Mediasi Aktif dalam Meningkatkan Literasi Media

dikutip dari berbagai sumber

Menurut Austin (1993); Nathanson & Cantor (2000); Nathanson & Yang (2003), teknik-teknik mediasi aktif telah didapati bermanfaat dalam mendorong anak-anak untuk mengurangi dampak yang tidak diinginkan dari tayangan televisi, seperti kekerasan dan sebagainya. Singer, Singer & Rapaczynski (1984) mengatakan, “Orangtua yang mencoba bernalar dengan anak-anak saat mendisiplinkan mereka, ternyata lebih efektif dalam mengurangi dampak berbahaya dari terpaan media, seperti kekerasan dan sebagainya, dibanding orangtua yang menggunakan hukuman fisik”. Anak-anak yang mengalami mediasi aktif secara umum kurang rentan terhadap efek negatif media. Untuk efek kognitif, mediasi aktif telah didapati berhasil dalam mengajar anak-anak agar lebih skeptis terhadap suatu pemberitaan di televisi (Austin, 1993), dan menciptakan pemahaman yang lebih baik terhadap plot televisi (Desmond, dkk, 1985).
Berikut beberapa hasil evaluasi pendalaman Focus Group Discussion terkait tayangan berita di layar televisi kita, diantaranya:
Untuk indikator keberagaman:
  1. Program berita secara keseluruhan dinilai sudah menyajikan pilihan isu yang beragam. Namun demikian dinilai masih cenderung menyajikan isu kriminal dan politik, isu untuk kepentingan masyarakat metropolitan.
  2. Berita yang disajikan cenderung negatif.
  3. Keragaman masih bersifat bad news is a good news (berita buruk adalah berita yang baik).
  4. Sumber informasi yang dipilih masih berpusat pada daerah Jawa-Jakarta dan sekitarnya.
  5. Diharapkan pilihan isu lebih memperhatikan kebutuhan masyarakat Indonesia.
  6. Diharapkan ragam berita positif dan negatif lebih proporsional.
  7. Diharapkan isu-isu tentang konversi, lingkungan, human interest lebih ditingkatkan.


Pembahasan: Padahal, terkhusus tayangan pemberitaan yang masih didominasi oleh tayangan-tayangan kriminalitas, kekerasan dan korupsi akan memberikan gambaran negatif pada anak bahwa citra dunia begitu buruk dan ‘menakutkan’, yang ternyata tidaklah sepenuhnya demikian. Termasuk juga dengan pemberitaan-pemberitaan yang masih bersifat ‘Jakarta Sentris’ seperti kemacetan, yang sejatinya tidak begitu diperlukan oleh anak-anak kita. Pemberitaan-pemberitaan semacam ini malah akan meredam potensi-potensi daerah yang seharusnya diketahui oleh anak-anak. Seperti kebudayaan di daerah Sumatera Utara, keberagamannya, pariwisatanya, kulinernya, adat-istiadatnya dan sebagainya bagi anak-anak yang tinggal di daerah Provinsi Sumatera Utara, begitupula halnya berlaku untuk anak-anak di daerah lain.   
Untuk indikator pengawasan:
  1. Program berita dinilai telah menyampaikan informasi mengenai isu dan peristiwa yang terjadi. Namun, demikian masih kurang dalam menyampaikan dampaknya misal bahaya korupsi, narkoba, kekerasan dan sebagainya.
  2. Upaya preventif dan edukatif terkait dengan peristiwa yang diberitakan, misal tentang mitigasi bencana dinilai masih kurang.
  3. Bagian yang di-highlight dan didramatisir dalam pemberitaan cenderung korban atau tersangka.
  4. Berita masih terfokus kepada eksekusi (pemadam kebakaran), belum kepada tingkat preventif.


Pembahasan: Dari beberapa butir di atas menunjukkan, bahwa media kita lebih mementingkan hasil ketimbang sebab terjadinya suatu kasus. Padahal dari sebab terjadinya kasus tersebut, anak-anak bisa belajar untuk menghindari beberapa tindakan yang dapat menjurumuskannya kepada hal yang sama. Hal ini jelas mendorong kaum ibu untuk memiliki pekerjaan tambahan disaat mendampingi anak menonton televisi, yaitu untuk senantiasa menjelaskan pesan ataupun amanat yang terkandung didalam sebuah pemberitaan.
Misalnya, narkoba, agar anak-anak lebih menjaga pergaulannya dan berhati-hati jika ada orang asing yang memberi barang-barang tertentu. Ataupun pemberitaan tentang korupsi, maka para orangtua juga dapat menanamkan pesan anti korupsi seperti jujur kepada orangtua terkait dengan uang yang dibutuhkan, baik itu untuk jajan ataupun untuk keperluan sekolah; atau menasehati mereka untuk tidak bolos dalam belajar di sekolah, apalagi sampai menitipkan absen pada teman yang lain; atau kepada anak yang lebih besar untuk tidak terbiasa mencontek ataupun menjiplak karya orang lain, karena semua contoh yang telah disebutkan ini adalah bibit awal munculnya perilaku korupsi.
Jika pun ada pesan-pesan media terkait pencegahan narkoba dan korupsi ataupun sebagainya, namun hal tersebut tidak berada dalam satu paket pemberitaan, melainkan pada iklan layanan masyarakat yang cenderung tayang pada jam-jam ‘hantu’. Artinya, alokasi tayang cenderung tidak produktif, dimana anak-anak sudah tidur, sehingga tidak dapat menerima pesan-pesan ‘baik’ tersebut. Andaipun pesan ‘pencegahan’ ada pada satu paket pemberitaan, biasanya berkaitan dengan bencana alam gempa. Yaitu dengan menjelaskan hal-hal apa saja yang harus dilakukan ketika gempa terjadi. Biasanya tayangan tersebut sekaligus menutup rangkaian pemberitaan. Begitupula halnya dengan kiat-kiat agar rumah tidak dilalap si jago merah pada saat ditinggal. Biasanya tayangan ini muncul pada saat musim mudik telah tiba.
Hal yang juga perlu diawasi pada saat anak-anak menonton televisi adalah kala mereka menonton tentang hal-hal berbau pelecehan seksual terhadap anak seusia mereka. Terutama dari anak-anak yang tidak disamarkan identitasnya, juga para pelakunya. Hal ini diatur dalam Pasal 43, 50 dan 58 dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Ada baiknya anak-anak dihindari dari tayangan-tayangan pemberitaan semacam itu, karena selain tidak sesuai dengan umur mereka, juga agar mereka terhindar dari potensi mengalami gejala traumatik semacam ‘ketakutan’ terhadap dunia luar (orang asing dewasa) secara tidak langsung.
Untuk indikator faktualitas:

  1. Sebagian berita masih memasukkan opini media.
  2. Mendramatisir dengan menggunakan kata-kata kasar (perbuatan bejat, aksi brutal).
  3. Masih ada pemberitaan yang hiperbolis dengan backsound yang sangat dramatis.
  4. Berita dengan gambar sensasional.


Pembahasan: Padahal, media penyiaran wajib mengutamakan kepentingan anak dalam setiap program siaran berkesesuaian dengan klasifikasinya. Hal ini terkandung dalam Pasal 14 P3, Pasal 15 SPS. Selain itu, anak-anak juga harus dilindungi dari adanya kekerasan baik verbal (ungkapan kasar, cabul, mesum, vulgar dalam bahasa apapun) maupun visual: Pasal 36, 37 SPS. Juga perlindungan dari pornografi dan unsur seksualitas (cabul, adegan seks, cium bibir, eksploitasi tubuh), dan eksploitasi anak dalam iklan, lagu, video klip & tayangan lain: Pasal 36, 37 dan 18 SPS. Namun, hal yang paling meresahkan yang kami dapati dari observasi singkat kami adalah kerap mendapati anak-anak menggunakan kata-kata ‘kotor’ dalam pergaulan mereka sehari-hari. Pertanyaan kami adalah darimana mereka belajar kata-kata ‘tak pantas’ ini, jika bukan dari lingkungan terdekat mereka ataupun media?
Untuk indikator kepentingan publik:

  1. Pada saat menyajikan isu kontroversial, beberapa berita dinilai masih belum berupaya menyampaikan dengan cara damai; tetapi justru ‘menggoreng’ isu kontroversial tersebut dengan memilih narasumber yang sesuai dengan kepentingan lembaga penyiaran.
  2. Isu-isu politik masih dimasukkan dalam program berita terutama terkait dengan pemilik media yang merupakan pengurus atau pimpinan suatu partai politik.


Pembahasan: Padahal dalam P3 Pasal 22 ayat (2) disebutkan, Lembaga Penyiaran wajib menjunjung tinggi prinsip-prinsip jurnalistik, antara lain: akurat, berimbang, adil, tidak beritikad buruk, tidak menghasut dan menyesatkan, tidak mencampuradukkan fakta dan opini pribadi, tidak menonjolkan unsur sadistis, tidak mempertentangkan suku, agama, ras dan antargolongan, serta tidak membuat berita bohong, fitnah, dan cabul”. Begitupula dalam SPS Pasal 40 yang berbunyi, Program siaran jurnalistik wajib memperhatikan prinsip-prinsip jurnalistik sebagai berikut:

  1. Akurat, adil, berimbang, tidak berpihak, tidak beritikad buruk, tidak menghasut dan menyesatkan, tidak mencampuradukkan fakta dan opini pribadi, tidak menonjolkan unsur kekerasan, dan tidak mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan;
  2. Tidak mebuat berita bohong, fitnah, sadis, dan/atau cabul;
  3. Menerapkan prinsip praduga tak bersalah dalam peliputan dan/atau menyiarkan program siaran jurnalistik dan tidak melakukan penghakiman; dan
  4. Melakukan ralat atas informasi yang tidak akurat..


Apabila pemberitaan terkait SARA ini tidak diantisipasi para orangtua dengan baik, maka bukan tidak mungkin akan timbul bibit-bibit kebencian dan permusuhan dalam diri anak. Jelas hal ini sebagai embrio munculnya permusuhan antaragama di tanah air yang harus segera dituntaskan. Adapun terkait contoh kasus pemberitaan-pemberitaan politik yang berafiliasi langsung dengan pemilik media tersebut, dapat kita lihat dari pemberitaan-pemberitaan MNC Group (RCTI, GTV, MNC TV, iNews TV), yang kerap mencitrakan positif Partai Perindo milik Hary Tanoe Soedibjo (HT), yang juga pemilik MNC Group secara masif, dan merupakan bentuk kampanye terselubung sebelum tiba masanya. Jelas, ini merupakan tindakan unfair terhadap partai politik lainnya yang juga ikut bertanding sebagai peserta pemilu.
Bahkan selain pemberitaan, juga muncul keluhan dari banyak orangtua yang gelisah melihat anak-anaknya hafal diluar kepala lirik Mars Perindo. Menurut Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) Samsul Ridwan (sebagaimana dikutip dari tirto.id), apa yang dilakukan Perindo cenderung mendorong dan melibatkan anak-anak telibat dalam kegiatan politik. Jika terbukti melakukan penggiringan, maka hal ini sudah bertentangan dengan UU Perlindungan Anak. Mars Perindo terbukti mampu menghipnotis anak-anak Indonesia. Mungkin HT tidak akan memetik hasilnya di 2019, tetapi di 2029 yakni ketika anak-anak batita-balita sekarang ini sudah memiliki hak pilih. Apalagi anak-anak masih memiliki tingkat imitasi (peniruan) yang cukup tinggi baik secara pola pikir (level kognitif), perasaan (afektif), dan/atau perilaku (behavioral)-nya.
Untuk indikator relevansi:

  1. Program berita dinilai masih cenderung menyajikan berita yang tidak ada relevansinya dengan kepentingan masyarakat diluar Jakarta, konten berita cenderung Jakarta sentris.
  2. Pemberitaan tentang daerah/wilayah lebih cenderung terkait dengan bencana atau peristiwa yang menghebohkan.
  3. Konten lokal/daerah belum mendapat perhatian utama stasiun televisi.


Pembahasan: Hal ini hampir sama dengan indikator keberagaman, dimana masih minimnya pemberitaan terkait konten lokal yang positif. Andaipun ada, maka itu didominasi oleh tayangan-tayangan kriminalitas, kekerasan[1] dan korupsi akan memberikan gambaran negatif pada anak bahwa citra dunia begitu buruk dan ‘menakutkan’, yang ternyata tidaklah sepenuhnya demikian adanya. Termasuk juga dengan pemberitaan-pemberitaan yang masih sangat bersifat ‘Jakarta Sentris’ seperti kemacetan, yang sejatinya tidak begitu diperlukan oleh anak-anak kita. Pemberitaan-pemberitaan semacam ini malah akan meredam potensi-potensi daerah yang seharusnya diketahui oleh anak-anak. Seperti kebudayaan di daerah Sumatera Utara, keberagamannya, pariwisatanya, kulinernya, adat-istiadatnya dan sebagainya bagi anak-anak yang tinggal di daerah Provinsi Sumatera Utara, begitupula halnya berlaku untuk anak-anak di daerah lain.  
“Apa signifikansinya kita yang berada di Bontang, harus mendengarkan atau melihat berita tentang macetnya beberapa ruas jalan di Jakarta atau kota-kota besar di Jawa sana. Sementara isu-isu lokal, baik berita maupun hiburan, yang justru kita butuhkan dan diminati masyarakat sini sulit atau bahkan tak mungkin ditayangkan oleh media umum tersebut. Tentu saja, mereka (media mainstream -red) yang mementingkan pasar potensial, atau bahkan tidak punya nilai jual yang dapat ditawarkan kepada para pengiklannya (dikutip dari Maryani, 2010: 6).
Pada intinya, keterlibatan orangtua dalam paparan media berfungsi untuk memengaruhi kognitif anak dalam memilih atau menilai suatu pesan media yang akan atau telah diterimanya. Seperti ketika orang dewasa memberikan komentar/penjelasan untuk membimbing anak-anak selama mereka menonton. Maka, orangtua dapat memengaruhi interpretasi anak-anak mereka (Austin, 1993). Sehingga, dapat mengurangi efek penanaman negatif dari media (Rothschild & Morgan, 1987).



[1] Adapun untuk perilaku, mediasi aktif telah didapati menurunkan tingkat agresi (Corder-Bolz, 1980; Grusec, 1973; Hicks, 1968; Nathanson, 1999; Nathanson & Cantor, 2000; Singer, et al., 1994) dan mengurangi pengaruh iklan (Reid, 1979).

Komentar

Postingan Populer