TINGKATAN LITERASI MEDIA
dok. pribadi |
Mungkin
terkait realitas yang tayang di televisi dapat menjadi contoh kasus untuk
keseluruhan tangga belajar dalam pembahasan ini. Dimana realitas sebagai suatu
genre dianggap dapat menarik perhatian pemirsa dari semua tingkatan literasi
media, lantaran tingkat ‘kenyataannya’. Pada
tingkat literasi rendah misalnya, orang-orang merasa bahwa tokoh
tersebut nyata, sehingga tak jarang meniru apa yang dilakukannya. Mereka tidak
bisa menjelaskan mengapa mereka menyukai tokoh ataupun acara itu, karena mereka
tidak menganalisisnya (kurangnya struktur pengetahuan mereka), dan mereka pun
membiarkannya begitu saja. Contoh: Pemberitaan tentang Valentino, bocah berusia
5 tahun yang terjun dari lantai 19 Apartemen Laguna, Jakarta Utara, lantaran
ingin meniru tokoh idolanya Spiderman[1].
Meskipun bukan faktor utama, namun tayangan ini turut menjadi pemicu anak
tersebut mempraktikkan adegan yang salah. Apalagi, anak merupakan ‘peniru’
ulung di usianya (sumber: m.liputan6.com,
1 Mei 2014).
Atau, pada tingkat literasi media
yang rendah, kita cenderung menggunakan media sosial untuk mengunggah foto-foto
yang kita anggap keren, namun ternyata ‘alay’
bagi banyak orang. Mereka pun cenderung menggunakan media sosial untuk
menambah-nambah daftar pertemanan saja, kemudian memamerkan hal itu kepada teman-temannya
yang lain. Juga mereka cenderung lebih banyak menghabiskan waktu untuk
mengobrol terkait hal-hal yang tidak penting. Walhasil, mereka cenderung
menghabiskan waktu percuma, cenderung kontra produktif dan menghambur-hamburkan
uang.
Pada
tingkat literasi menengah, yang sedikit lebih tinggi dari tingkatan
sebelumnya, orang akan menonton atau mendengarkan musik, karena merasa memiliki
kesamaan dengan tokoh ataupun lirik lagu yang ditonton dan didengarnya.
Sehingga begitu menikmatinya dan memiliki reaksi emosional yang sama dengan
pesan media tersebut. Contoh: Khairil belakangan suka mendengarkan lagu “Zona
Nyaman” milik band indie bernama Fourtwnty. Lirik lagu tersebut berbunyi,
“Pagi ke pagi ku terjebak didalam ambisi/
seperti orang-orang berdasi yang gila materi// Rasa bosan membukakan jalan
mencari peran// Keluarlah dari zona nyaman// Sembilu yang dulu/ biarlah
berlalu// Bekerja bersama hati// Kita
ini insan bukan seekor sapi// Sembilu yang dulu/ biarlah membiru//
Berkarya bersama hati.
Waktu
ke waktu perlahan kurakit egoku/ merangkul orang-orang yang mulai sejiwa
denganku// Ke-BM-an membukakan jalan mencari teman// Bergeraklah dari zona
nyaman// Sembilu yang dulu/ biarlah berlalu// Bekerja bersama hati// Kita ini
insan bukan seekor sapi// Sembilu yang dulu/ biarlah membiru// Berkarya bersama
hati// Diam dan mati/ milik dia yang tak bisa berdiri, berdiri// Diam dan mati/
milik dia yang tak bisa berdiri/ berdiri di kakinya sendiri// Sembilu yang
dulu/ biarlah berlalu// Bekerja bersama hati// Kita ini insan bukan seekor
sapi// Sembilu yang dulu/ biarlah membiru// Berkarya bersama hati// Kita ini
insan bukan seekor sapi// Tanamkan pesanku/ agar tak keliru// Bekerja bersama
hati//.
Lagu
ini seolah mewakili perasaan Khairil yang merasa dirinya menjadi ‘robot’ di
lingkungannya yang struktural fungsional. Pergi pagi pulang sore dilanjutkan dengan
kuliah, dan malam yang diisi dengan agenda-agenda untuk mengerjakan tugas.
Semua itu ia lakukan hanya untuk mengejar penghidupan yang lebih baik, dan
materi yang lebih berkecukupan. Namun, lagu ini seolah menyadarkan ia, apakah
ia telah bekerja sebagaimana layaknya manusia bekerja, ataukah telah bekerja
sebagaimana seekor sapi bekerja, yang terus-menerus dipaksa untuk bekerja dan
diperas terus-menerus susunya. Akibatnya, Khairil hampir tidak memiliki waktu
untuk berseda gurau dengan sahabatnya, dan pergi berjalan-jalan menikmati pemandangan
bersama mereka. Pada intinya, pesan lagu ini amat-sangat mendalam bagi diri
Khairil, hanya saja ia cukup memahaminya pada tataran kognitif, atau sampai pada
tataran behavioral dengan keluar dari ‘zona nyaman’-nya selama ini.
Atau
pada tingkat literasi menengah, mereka cenderung menggunakan media sosial untuk
menampilkan karya-karya terbaik mereka. Entah dalam bentuk tulisan/cerita
singkat ataupun coretan-coretan gambar. Mereka menggunakan media sosial sebagai
wadah gratis untuk mendapatkan pujian ataupun kritikan, untuk kemudian menjadi
bahan evaluasi sehingga karya-karya mereka dapat lebih baik kedepannya.
Pada tingkat literasi
yang lebih tinggi dari dua tingkat sebelumnya, beberapa
orang menyaksikan realitas dalam sebuah film secara berkelompok, sehingga
mereka bisa mendiskusikan akting para tokohnya. Hal ini sering kita temukan
diantara sekumpulan anak muda yang tergabung dalam komunitas film, dan membahas
setiap adegan film yang baru mereka tonton dari berbagai sudutpandang mereka.
Atau, mereka yang bertanya kepada teman-teman yang mereka anggap ahli untuk
membahas terkait topik-topik penting dalam sebuah pemberitaan. Menurut kami, antv termasuk televisi swasta yang
pernah mengajak masyarakat untuk senantiasa mendiskusikan apapun yang telah ditonton,
melalui salah satu iklan layanan masyarakatnya.
Atau
pada tingkat literasi media yang tinggi, para pengguna media sosial
menggunakannya sebagai bahan pencitraan positif ataupun mencari uang. Kami
secara pribadi merasa terkesan dengan para blogger,
youtuber yang mendulang keuntungan
tidak sedikit dari unggahan-unggahan mereka. Apalagi jika unggahan-unggahan
tersebut memiliki nilai positif. Tidak sedikit pula politisi dunia yang
menggunakan media sosial sebagai ajang unjuk diri dan pemikiran-pemikiran
mereka kepada khalayak ramai. Di zaman milenial ini, kami juga salut kepada
Bayu Juliandra Putra, pemilik akun Instagram
@rayaproductionmedan yang menggunakan media sosial sebagai ajang
mempublikasikan karya-karyanya, terutama di bidang fotografi prewedding dan pernikahan. Selain dapat
menyalurkan hobi di bidang fotografi, dan menjadi bagian dalam mengabadikan
momen terbaik setiap orang dalam pernikahan mereka, akun ini juga menjadi ajang
promosi diri untuk terus berwirausaha.
Pada
akhirnya, apapun media yang kita gunakan hanya akan menjadi tontonan, ataupun
menjadi tuntunan, atau malah mendulang keuntungan akan sangat bergantung pada
bagaimana kita menggunakan media tersebut. Proses penyikapan itu pun
amat-sangat bergantung di tangga belajar mana kita berada, apakah tangga
kognitif, tangga emosional, tangga moral, ataupun tangga apresiasi estetika.
[1] Anak-anak cenderung menunjukkan
perilaku mereka sesuai tokoh-tokoh menarik yang mereka lihat di media.
Komentar
Posting Komentar