Tingkatan dalam Mengapresiasi Pesan Media

 Sumber: www.beritagar.id
Perkembangan ini lebih berorientasi pada pengembangan kenikmatan, pemahaman, dan apresiasi yang meningkat terhadap konten media. Pada tingkat yang lebih rendah pada tangga estetika ini, orang memiliki pendapat yang sederhana untuk menentukan sebuah acara itu baik atau buruk. Sehingga, dalam hal ini orang yang menilai tidak membutuhkan tingkat penalaran yang tinggi. Bahkan, dalam penilaian ini, mereka tidak mengetahui kenapa suka atau tidak suka terhadap suatu program acara.
Pada tingkat menengah pada tangga estetika ini, orang memiliki pendapat yang lebih kompleks untuk menentukan sebuah acara itu baik atau tidak untuk ditonton. Hal ini biasanya merujuk kepada akting si tokoh dalam penceritaan, skrip yang dimainkan, ataupun bagaimana tangan dingin sutradara dalam mengemas tayangan tersebut sehingga menarik untuk disimak. Jadi, pada intinya tingkatan ini mirip dengan apa yang biasa dilakukan oleh para kritikus film, dimana dalam sebuah film ada hal-hal yang menarik dan ada pula hal-hal yang kurang. Dari elemen-elemen tersebutlah, kemudian kita dapat menentukan sebuah tayangan itu bagus atau tidak untuk ditonton.
Seperti film Mile 22 (2018) yang menurut sebagian besar kritikus memberi rating jelek, namun senang dengan penampilan Iko. Dalam situs pengepul ulasan Rotten Tomatoes, Mile 22 hanya mendapat rating 19 persen dengan nilai rata-rata 3,9 dari 10 poin. Dari 94 kritikus, hanya 18 yang menganggapnya bagus.
Penonton, setidaknya di AS, juga cenderung kurang menyukainya. Dari 1.049 pengguna Rotten, hanya 44 persen yang menyukai Mile 22. Dalam IMDB hasilnya cukup bagus, dengan nilai 6,1 dari 10 poin. Menurut kesimpulan kritik yang dirangkum Rotten, “Film ini membuang kesempatan dengan aksi yang kurang menegangkan” (beritagar.id).
Berikut beberapa kekurangan lain yang dimiliki film Mile 22, yang sekaligus menunjukkan para kritikusnya telah berada dalam tingkat menengah pada tangga apresiasi estetika yang disajikan dalam makalah ini, diantaranya:


  1. Saat ini, film-film aksi cenderung menggunakan long shot dengan penyuntingan prima saat penampilan adegan berkelahi. Namun, Mile 22 memiliki banyak adegan jarak dekat dengan kamera bergoyang-goyang (teknik shaky-cam) dan jarak antar adegan yang terlalu cepat berpindah (quick cut).
  2. Tak hanya adegan aksi. Adegan dialog juga didominasi quick-cut dan kurang jelas, kurang konsisten, sehingga kurang bisa diikuti (Ryan Oliver dari The Playlist).
  3. Film berdurasi 94 menit ini terkesan dibuat untuk menyesuaikan dengan gaya berkelahi pencak silat ala Iko. Namun itu Oliver anggap sebagai sisi positif. “Mungkin porsi (pencak silat) di sini tak sebanyak dua film The Raid, tapi adegan tersebut bikin film ini sesaat jadi lebih hidup”.
  4. Film terburuk sepanjang periode musim panas 2018. Namun Iko tetap dapat pujian. Dalam film ini, Iko punya kesempatan untuk menunjukkan kemampuan aktingnya. Ini berbeda dengan dua film The Raid ketika sejumlah adegannya didominasi pertarungan belaka. “Kegagalan estetika dalam film ini membuang-buang bakat Uwais, yang talentanya melebihi apapun yang pernah dimiliki Berg sebelumnya,” tulis David Ehrlich dari Indie Wire.
  5. Iko sebagai bintang aksi yang luar biasa. “Gaya akrobatik dan kekerasan tingkat tinggi yang ia tampilkan sangat seru, bukan untuk orang yang lemah. Iko adalah alasan utama untuk menonton film ini,” tulis Chris Nashawaty dari Entertainment Weekly.



                 
Ataupun film Black Panther yang mendapat komentar tersendiri dari para kritikus film di  Indonesia. Kritikus Film Indonesia Yan Wijaya salah satunya, yang mengapresiasi langkah tim produksi film ini, yang berani memproduksi film pahlawan super kulit hitam pertama di Amerika Serikat. “Film ini adalah bagian dari pergerakan yang sedang terjadi dalam beberapa tahun ke belakang. Sebenarnya puncaknya sudah terjadi saat mereka memiliki presiden kulit hitam pertama, yakni Barack Obama pada 2008. Jadi, film ini didahului peristiwa-peristiwa lain terlebih dahulu,” jelasnya.
Senada, pengamat film Hikmat Darmawan menilai muatan politis dalam film ini bukanlah hal yang sepenuhnya baru. Pada era 1960-an pun, film sudah digunakan untuk menyuarakan kesetaraan ras di Amerika Serikat. “Film To Kill a Mockingbird (1962) adalah salah satunya. Dan tren ini terus berlanjut dan tidak sepenuhnya hilang, sampai era 90-an, bahkan 2000-an pun topik politis tentang kesetaraan ras tak pernah sepenuhnya hilang,” jelasnya. Muatan politis dalam film ini menjadi topik hangat kembali karena memang situasi politik di Amerika Serikat tengah dirundung isu-isu rasisme. Sebagaimana diketahui kondisi ini dipicu oleh Presiden Donald Trump yang sering mengungkapkan komentar kontroversial terkait rasisme sejak terpilih pada 2016 (m.bisnis.com).
Pada tingkat yang lebih tinggi pada tangga estetika ini, orang-orang memiliki pendapat yang lebih kompleks ketimbang dua tingkat sebelumnya, untuk menentukan sebuah program acara itu baik atau buruk. Hal ini biasanya merujuk kepada karya film/tayangan pemberitaan dan sebagainya sebagai sebuah seni yang patut untuk diapresiasi ataupun sebaliknya. Memang, sebagian orang berpendapat, bahwa belajar tentang seni tidak menjadi prasyarat utama untuk menafsirkan sebuah karya seni, sebab ada begitu banyak sudut pandang lainnya dari sebuah seni yang dapat kita nilai. Namun, dalam buku James W. Potter ini disebutkan, bahwa mempelajari berbagai kaidah seni visual sebuah tayangan dapat membantu kita untuk meningkatkan apresiasi kita terhadap karya tersebut.
Begitupula halnya dengan pemberitaan live yang secara tidak langsung menampilkan orang yang sedang merokok ataupun asap rokok. Bukan berarti KPI akan langsung menegur lembaga penyiaran terkait yang menayangkan hal tersebut. Oleh karena itu, setiap kali pelaksanaan Focus Group Discussion (FGD) untuk menentukan sebuah program siaran melanggar ataupun tidak, KPI terkhusus KPID Provinsi Sumatera Utara mengundang berbagai pakar di bidangnya untuk kemudian bertukar pikiran terkait hal ini. Kebanyakan dari para ahli tersebut menilai (baik dari praktisi maupun Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia Indonesia/IJTI), sulit sekali untuk meniadakan orang yang sedang merokok di lapangan, sebab itu merupakan kejadian nyata dan pemberitaan yang disiarkan pun bersifat langsung, seperti breaking news yang mengedepankan kecepatan sebuah pemberitaan, sehingga tidak sempat memblurnya. KPID-SU pun mengambil keputusan untuk tidak menegur lembaga penyiaran terkait, melainkan melakukan pembinaan saja.
Setelah kita mempelajari keempat ‘Tangga Belajar’ di atas, tentu kita telah dapat membuat penilaian tentang dimana posisi kita setiap kali diterpa oleh pesan-pesan media. Semakin tinggi tangga belajar yang kita tempati, maka kesadaran kita dalam berliterasi media pun akan semakin tinggi. Namun, jika kita belum memahami dimana posisi kita sekarang ini, maka tampaknya kita perlu kembali menonton tv, membaca suratkabar dan sebagainya. Setelah itu, coba cocokkan kembali dengan keempat ‘Tangga Belajar’ di atas.

Komentar

Postingan Populer