PENDIDIKAN LITERASI MEDIA DI INDONESIA


Sumber: internet sehat (seri literasi digital)
Mungkin, Indonesia merupakan negara yang banyak ketinggalan di berbagai sektor. Termasuk salah satunya adalah sektor pendidikan literasi media di sekolah. Andaipun jika ‘dipaksakan’ ada, maka kurikulum tersebut hanya sebatas dengan adanya mata pelajaran TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi). Itu pun menurut pengamatan kami hanya menyentuh aspek komputer dan internet sebagai wadah media baru saat ini. Padahal, berdasarkan survei yang dilakukan Nielsen Cross-Platform pada tahun 2017 (artinya baru-baru ini) menunjukkan, meski keberadaan internet sebagai media yang masyarakat konsumsi semakin tinggi, namun belum menggeser keberadaan televisi yang masih memiliki pengaruh hingga 96%. Itu artinya literasi media yang berkaitan dengan media televisi dan radio juga mutlak mereka ketahui.
Internet dan keberadaan gawai dapat digolongkan kedalam tahapan Penetration Stage atau tahap pertumbuhan. Dimana tahap ini sangat ditentukan oleh tahap sebelumnya (tahap perkenalan –red). Artinya ketika media massa mampu merebut perhatian khalayak pada saat pertama kali diperkenalkan, maka tahap pertumbuhan dapat berlangsung dengan durasi yang singkat. Bahkan, keberadaan industri media baru yang memulai dengan tepat akan segera menjadi media yang memimpin industri sejenis dan lebih diprioritaskan dalam memenuhi kebutuhan dan kepuasan khalayak banyak.
Sedangkan, televisi berdasarkan data survei di atas, dapat digolongkan pada tahap Maturity/Peak Stage atau tahap kematangan/puncak. Pada tahap ini, media sudah mencapai puncaknya bahkan dapat disebut sebagai sumber media utama bagi khalayak untuk memperoleh kebenaran atas suatu informasi, karena media baru yang mengandalkan kecepatan rentan mengabarkan suatu pemberitaan secara tidak akurat. Sekaligus hal ini membawa keuntungan finansial yang lebih besar kepada perusahaan terkait.
Menurut pengamatan kami, literasi media (tv dan radio) parahnya hanya diajarkan pada mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi. Andaipun menyentuh khalayak yang lebih umum, maka biasanya itu hanya berlaku pada saat ada seminar, kuliah umum atau dialog publik yang diselenggarakan oleh berbagai pihak. Artinya, kita ketinggalan jauh dibelakang dari Australia, Kanada, Britania Raya, Afrika Selatan, Skadinavia, Rusia, serta banyak negara lainnya di Eropa, Amerika Selatan, dan Asia (J. A. Brown, 1991; Piette & Giroux, 1997).
Misalnya, Australia telah mengamanatkan pendidikan media sejak taman kanak-kanak hingga kelas 12 sejak pertengahan 1990-an (J. A. Brown, 1998). Di Indonesia andaipun ada, maka hal ini cenderung dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), baik yang bersumber dari dana pribadi maupun melalui gelontoran dana dari pihak asing. Beberapa lembaga tersebut yang kami ketahui seperti Remotivi, PR2Media, YP2MA, ataupun Immedia (Indonesia Melek Media) yang langsung diasuh oleh Ibu Dra. Mazdalifah, M.Si., Ph.D.
Kami pun melihat beberapa kekurangan dari beberapa LSM tersebut, seperti LSM yang terlalu bergantung pada donator luar, sehingga apabila donator tersebut macet, maka macet pula agenda literasi media yang akan dilakukan; atau gerakan literasi media yang masih berada pada tataran elit. Kami melihat ini dari perkembangan Remotivi yang aktif mempublikasikan tulisan-tulisan ‘cerdas’ tentang literasi media. Namun, amat-sangat jarang kami dengar kiprah mereka yang turun ke jalan dan menyuarakan literasi media ke desa-desa. Padahal, sebagaimana kita ketahui, bacaan-bacaan cerdas dan cadas (baca: kritik pedas menghujam -red) tidak akan dibaca kalangan akar rumput. Itupun harapannya semoga tulisan-tulisan di web resmi mereka benar-benar dibaca oleh para elit pembuat kebijakan di negeri ini, sehingga benar-benar dapat memberdayakan literasi media pada anak-anak bangsa.
Ataupun ada gerakan literasi media yang mau turun ke masyarakat-masyarakat kelas bawah, dan menyuarakan tentang arti pentingnya pemahaman akan literasi media. Namun, sebagaimana kita ketahui, LSM-LSM seperti ini biasanya muflis, cekak dana, tidak punya sponsor, sehingga harus swakelola dari para anggotanya yang terlibat. Walhasil, ibarat kata pepatah, “hidup segan mati tak mau”; Lantas, untuk menjawab permasalahan ini, tampaknya perlu perhatian serius dari pemerintah terkait dengan pendidikan literasi media di tanah air. Apalagi, perkembangan media di tanah air cukup signifikan mulai dari yang terdata hingga yang abal-abal. Sehingga, masyarakat tidak menilai pemerintah abai. 

Komentar

Postingan Populer