MEMPERTANYAKAN TAJI KPI DI DAERAH

dok. pribadi


Di Kerajaan Inggris dan beberapa negara Amerika Latin, pemberdayaan konsumen media adalah hal yang terpenting, yang seringkali berfokus pada kontrol industri melalui korporasi dan hegemoni pemerintah. Di Indonesia sendiri, lembaga penyiaran diatur oleh Lembaga Negara Independen bernama KPI. Negara membentuk KPI guna mengawasi[1] pelaksanaan diversity of ownership (pluralitas kepemilikan) dan diversity of content (keberagaman isi siaran) oleh lembaga penyiaran kita. Sehingga benar-benar dipergunakan untuk kemaslahatan publik. Hanya saja memang dalam praktiknya masih belum maksimal, dan cenderung menjelma sebagai lembaga ‘malaikat pencabut nyawa’ yang berlomba-lomba untuk sebanyak-banyaknya menerbitkan surat teguran tertulis kepada lembaga penyiaran, dan disisi lain masih sangat minim memberikan pencerdasan kepada masyarakat terutama di daerah, tentang lembaga penyiaran sebagai sebuah industri selain daripada sebuah institusi sosial.
Hampir seluruh media merupakan industri dengan orientasi memperoleh keuntungan, yang tidak jarang mengabaikan kualitas suatu konten media. Kecenderungan mereka adalah menarik sejumlah khalayak dalam jumlah yang besar dan menukarkannya kepada pengiklan. Semestinya hal-hal inilah yang diketahui oleh masyarakat kita, bahwa media sekali lagi tidak semata-mata sebagai institusi sosial, namun ia juga merupakan sebuah korporasi yang dalam proses mengejar profit kerap mengabaikan hak-hak publik atas tayangan yang disajikan. Andaipun ada diajarkan dalam Sekolah P3-SPS misalnya, kami menilai hal tersebut belum maksimal sekalipun telah menjawab persoalan, hingga kami berharap sekolah tersebut dapat lebih masif dan lebih meluas lagi proses persebarannya, terutama di daerah-daerah.
Selain itu, KPID-KPID di daerah sebagai bentukan negara masih kita pertanyakan taji, gigi, dan taringnya untuk mengawal penyiaran kita. Menurut kami, KPID-KPID di daerah masih terkesan setengah hati dalam bekerja – Mulai dari sebatas melakukan program kerja dengan output yang belum maksimal, ‘takut-takut’ dalam memberikan sanksi kepada lembaga penyiaran yang melanggar, ataupun masih sebatas menjadikan KPID-KPID di daerah sebagai batu loncatan untuk memperoleh jabatan yang lebih tinggi di tempat lain. Permasalahan semacam inilah yang tercium di masyarakat, sehingga semakin menyangsikan fungsi dari keberadaan KPID, dan bahkan mereka cenderung menuntut untuk membubarkannya saja, jika terbukti hanya menghabiskan anggaran negara secara percuma.


[1] Proses pengawasan menggunakan P3-SPS yang merupakan seperangkat regulasi yang dimiliki KPI dalam mengawasi lembaga penyiaran.

Komentar

Postingan Populer