BAHADURI BERPENA Oleh: Mei Elisabet Sibarani
sumber: gramedia.com. |
“Betapa tidak asyik, menahan rindu yang begitu mendalam..”
Matahari mulai memunculkan
wujudnya, pertanda pagi hari telah tiba. Itu juga sebuah pertanda, bahwa
kegiatan atau pun rutinitas akan berjalan sebagaimana biasanya. Benar, aku
sudah tahu pagi ini akan ke mana akan pergi berburu[1].
Karena sebelumnya, sudah berkomunikasi dengan redaktur di tempat aku bekerja.
Dalam artian, aku itu berburu berita, di mana tempat-tempat yang sedang viral
terjadi.
Seperti
saat ini, banyak terjadi kebakaran, pasti aku akan diutus ke sana, untuk mencari
berita; mengapa bisa terjadi? kapan peristiwa terjadi? dan menanyakan orang
sekitar tempat kejadian yang menjadi saksi. Sebelum berangkat berburu ke tempat
kejadian, aku tidak lupa juga dengan tanggung jawabku sebagai seorang suami dan
sebagai seorang ayah.
“Sayang,
pagi ini aku harus pergi,” kataku pada istri.
“Ke
mana?”
“Bekerja
sayang, tadi aku sudah ditelepon Bapak redaktur, karena ada kejadian pagi tadi.”
“Oke, kamu hati-hati. Aku akan
menyiapkan bekalmu, dan beberapa pakain gantimu.”
“Terima
kasih, sayang. Aku titip anak-anak denganmu.”
Beginilah
nasib para perkerja tinta, berburu berita atau biasa disebut sebagai wartawan.
Harus selalau bersedia kapan aja,
jika sewaktu-waktu harus meliput. Harus rela meninggalkan keluarga di rumah.
Pilu memang, apalagi jika peristiwanya itu turut membahayakan nyawa para wartawan
yang juga menjadi taruhan. Apalagi, begitu banyak memang peristiwa yang
mengancam nyawa.
“Ibu,
Ayah ke mana?” kata anak-anaknya.
“Sudah
berangkat bekerja sayang.”
“Kenapa
pagi sekali? Kami bahkan belum berpelukan dengan Ayah, dan mencium tengkuk Ayah Bu,” katanya sambil memanyunkan
bibirnya.
“Sudahlah
Nak, Ayah kan hanya berkerja, nanti pasti akan pulang ke rumah lagi untuk bertemu kita. Nanti kita akan video call Ayah ya sayang. Ayo siap-siap
ke sekolah sana.”
Banyak
pilu yang hadir di kala pergi meninggalkan mereka, bahkan berbulan bisa tidak
pulang. Bagaimana tidak? Jika ada peristiwa banjir atau pun yang lebih parah
dari itu, bisa tidak pulang berbulan-bulan ke rumah. Betapa tidak asyik, menahan rindu yang begitu mendalam.
***
Untungnya sekarang alat
komunikasi sudah cukup cangih, sangat membantu untuk memperkecil rasa rindu
dengan mereka yang di sana. Sudah bisa bertatap muka dan mendengar suara walau
tidak saling menyentuh, memikirkan mereka bagaimana di sana, kendala selalu ada
di saat bekerja.
“Halo,
Ayah…,” kata salah satu anakku dengan riang melalui telepon.
“Halo
Anakku sayang, bagaimana sekolahmu hari ini? Kamu sehat kan?”
“Iya
Ayah, sekolah hari ini sangat menyenangkan! Aku sehat! Ayah bagaimana?”
“Syukurlah,
Ayah juga sehat. Sudah dulu ya sayang, Ayah mau lanjut kerja lagi, kalian baik-baik dengan Ibu ya.”
Begitulah
pertemuan yang kini harus terjadi, walau tidak bisa saling bertatap langsung.
Setidaknya bisa melihat lewat kecanggihan media. Selalu pertemuan itu yang
dirindu, tidak ada selain itu. Keluarga
adalah sebuah alasan mengapa aku bisa bertahan sebagai wartawan.
Meninggalkan mereka sebuah pilu yang amat memekik.
***
Aku
bukan seorang wartawan yang hanya mementingan berita. Namun, mencari sebuah
kebenaran juga dalam peristiwa yang diliput. Tidak sembarangan menggambil
informasi, berbagai sumber aku teliti dari setiap sudut, dan juga para saksi
yang ada di sekitar tempat kejadian. Semua punya etika dalam pembuat berita
nanti. Bukan hanya pentingnya sebuah berita, tapi kebenarannya juga amat-sangat
penting.
Kami sebagai wartawan juga memiliki
panduan. Kami menyebutnya sebagai kode etik jurnalistik. Code of ethics ini ialah etika profesi kewartawanan yang harus kami
miliki; dan juga terdapat undang-undang yang harus kami pegang teguh, yakni Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pers.
“Halo,
Pak, bagaimana persiapan tim kalian dalam peliputan hari ini?”
“Iya,
Pak redaktur, ini kami sedang diskusi per tim. Segera kami menuju lokasi kejadian.”
“Baik
lah, semoga semua lancar dan kalian hati-hati, serta tetap pegang teguh kode
etik jurnalistik kita sebagai pedoman.”
“Siap
86! Laksanakan, Pak!”
Sebegitu
pentingnya sebuah kode etik itu, setiap kali kami ingin meliput berita, pasti
Bapak Redaktur akan senantiasa mengingatkan kami agar tetap memegang teguh kode
etik itu. Supaya semuanya berjalan dengan baik, tiada risiko yang berarti tatkala
ada komplen dari para pihak yang sedang tertimpa musibah. Jika ada berita yang
menyimpang, pasti bisa dikendalikan jika sudah bedasarkan kode etik yang wajib
kami pegang setelah menjadi seorang wartawan.
Maka
daripada itu, kami mempunyai sikap yang profesional dalam menjalankan tugas
kami. Sebelum kami menanyakan pertanyaan kepada narasumber, kami melakukan
langkah-langkah, seperti: kami menunjukkan indentitas, menghormati hak privasi,
tidak menerima suap, dan menghasilkan berita yang faktual serta jelas
sumbernya. Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik menyebut, Wartawan Indonesia dituntut bersikap independen, menghasilkan berita
yang akurat, berimbang dan tidak beriktikad buruk.
***
Aku
cukup banga dengan pekerjaanku ini, banyak yang memuji perkerjaan ini, karena
begitu banyak yang dikorbankan ketika meliput suatu peristiwa. Keluarga terus
ditinggal. Sungguh, begitu menyedihkan tidak bisa bertemu selama beberapa hari
bahkan sampai berbulan-bulan. Tidak tahu telah berapa banyak perkembangan yang
terjadi pada keluarga dan anak-anak di rumah.
Ya, mencintai sebuah pekerjaan
itu penting, agar perkerjaan bisa berjalan dengan baik. Jika sudah melakukannya,
semua tampak mudah dilakukan, Seperti bukan beban, tapi sebuah kesenangan
bahkan bisa dikatakan hobi. Sungguh, pekerjaan
yang paling menyenangkan ialah hobi yang dibayar.
*)Penulis merupakan Mahasiswi Semester V Polimedia Medan dalam salah satu tugas mata kuliah Etika Profesi dan HaKI.
[1]
Jurnalis memang identik dengan aktivitas 6 M, yaitu: Mencari, Memperoleh,
Memiliki, Menyimpan, Mengolah, dan Menyebarluaskan informasi kepada masyarakat
lewat berbagai wadah pemberitaan yang
ada.
Komentar
Posting Komentar