PELAJARAN BERHARGA DARI MNC TRIJAYA MEDAN 95.1 FM

 

Medan (31/08/20) -- Berfoto bersama Penanggung Jawab Radio MNC TRIJAYA MEDAN 95.1 FM, Bapak Iskandar (kedua dari kanan) Prapanca usai melakukan kunjungan industri ke radio tersebut. Dari Pihak Polimedia turut hadir Kepala Program Studi Penerbitan, Bapak DR. Faudunasokhi Telaumbanua, S.E., MM; Dosen Pengampu Mata Kuliah Etika Profesi dan HaKI, Khairullah, S.I.Kom, M.I.Kom; dan Mahasiswa/I yang diwakili oleh Dian Felix M. Tobing, Muhammad Khadafi, serta Cici Rama. Kunjungan Mahasiswa/I Semester V ini dalam rangka menambah pemahaman mereka terkait dengan ‘Penerapan Kode Etik Jurnalistik dalam Proses Peliputan dan Pemberitaan di Radio’. (dok. pribadi)


Ada banyak pelajaran berharga yang saya dapat dari MNC Trijaya Medan 95.1 FM ‘The Real News and Information’. Ketika itu dalam rangka kunjungan industri bersama mahasiswa-mahasiswi saya. Dengan harapan dapat menambah pemahaman mereka terkait dengan ‘Pentingnya Menerapkan Kode Etik Jurnalistik dalam Proses Peliputan dan Pemberitaan di Radio’. Kala itu, kami bertemu dan berbincang-bincang langsung dengan penanggung jawab radio tersebut, yakni Bapak Iskandar Prapanca. Beliau bertutur sebagai berikut:

Pertama, Ia menyatakan, bahwa fenomena kemerdekaan pers[1] dimulai pasca lengsernya Soeharto. Gerakan menuntut reformasi itu, katanya merupakan sesuatu yang luar biasa dan merupakan keajaiban, karena memberikan angin segar kepada setiap perusahaan media. Baik media cetak maupun elektronik saat itu gegap gempita, tidak takut lagi dibredel oleh Departemen Penerangan bentukan Orde Baru. Hal ini memang sesuai dengan bunyi Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang berbunyi: “Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran”. Adapun yang dimaksud dengan pembredelan atau pelarangan penyiaran adalah upaya penghentian penerbitan dan peredaran atau penyiaran secara paksa atau melawan hukum (Pasal 1 angka 9 UU Pers).

Dulu memang, masyarakat belum begitu mengenal akan keberadaan media daring (dalam jaringan/online). Kalau pun ada, itu masih terdapat satu-satu saja, seperti misalnya tempo interaktif. Media ini pun hadir, sebagai salah satu siasat dari para wartawan Tempo, agar tetap bisa melaksanakan fungsi kontrol sosial-nya (Pasal 3 ayat 1 UU Pers) kepada pemerintah. Jadi, meski pun bentuk fisiknya sudah dibredel berulang-ulang, lantaran sikap kritis yang mereka tunjukkan kepada penguasa, mereka akan tetap bisa eksis dan bersuara.

Oleh karena itu, dalam kurun kebebasan pers seperti sekarang ini, penting sekali katanya untuk tetap merdeka tanpa kebablasan. Seperti dengan tetap menjunjung tinggi penerapan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dalam peliputan dan pemberitaan di radio. Hingga, di mana kini media muncul bak cendawan di musim hujan, insan penyiaran[2] radio tetap dipercaya karena akurat dalam menyebarkan suatu informasi. Sebagaimana bunyi Pasal 1 KEJ yang berbunyi: Wartawan Indonesia bersikap independen menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beriktikad buruk.

Adapun akurat tafsirnya berarti dipercaya benar, sesuai keadaan objektif ketika peristiwa itu terjadi. Hal ini lah yang membedakan di antara media massa dengan media abal-abal. Perkara ini patut menjadi perhatian kita bersama, lagi pun kebebasan pers harus berpadanan dengan sistem pers yang dianut di negara ini, yaitu social responsibility press, atawa pers sosial yang bertanggung jawab. Bukan pers liberal yang sebebas-bebasnya, termasuk pers komunis yang dikekang oleh sistem rezim kediktatoran. Sementara itu, berimbang berarti semua pihak mendapatkan kesempatan yang setara, serta memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada tiap-tiap pihak secara proporsional.

Begitu pula dengan berita bohong/hoaks (hoax) dan ujaran kebencian (hate speech) juga telah diatur dalam Pasal 4 KEJ yang berbunyi: Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah. Maknanya ialah wartawan Indonesia tidak membuat berita yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi; dan tidak membuat berita berdasarkan tuduhan tanpa dasar, yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.

Serta Pasal 8 KEJ yang berbunyi: Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna, kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani. Prasangka sendiri ialah anggapan yang kurang baik, mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas, sedangkan diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.

Terlebih lagi menjelang Pilkada nanti isu hoaks seputar sosial politik bisa jadi kembali mencuat. Baik itu di media sosial seperti Facebook; Twitter dan/atau Instagram; aplikasi obrolan serta lainnya. Baik itu yang berbentuk tulisan, gambar atau pun video. Sekarang saja, sejak munculnya kasus pandemi Covid-19, banyak kita temui isu-isu hoaks yang berseliweran seputar Virus Corona. Bahkan, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) mencatat lebih dari 1.125 hoaks terkait yang telah ditemukan. Kemkominfo sendiri tergabung ke dalam Gugus Tugas Nasional Penanganan dan Pengendalian Virus ini.

Walhasil, menjaga kepercayaan publik (public trust) dan menegakkan integritas serta profesionalisme ialah dasar bagi wartawan Indonesia untuk menerapkan juga menaati KEJ selaku code of ethics. Untuk penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh Dewan Pers. Tentang hal sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik, dilakukan oleh organisasi wartawan seperti AJI, IJTI, PWI serta lainnya, dan/atau perusahan pers masing-masing. 


[1] Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 42 UU Penyiaran, bahwa Wartawan penyiaran dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik media elektronik tunduk kepada Kode Etik Jurnalistik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


[2] Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi (rights to know) dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki, serta meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Hal ini juga telah diatur dalam Pasal 28 E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Komentar

Postingan Populer