Kehidupan Seorang Wartawan karya Dian Felix Meidivo L. Tobing
sumber: webdunia. |
Rintik
hujan yang tak kunjung henti, dingin udara yang menusuk menembus jaket yang
dikenakan Hairil. Dilihatnya sekeliling yang kini sudah mulai sepi. Hari ini ia
berkeliling ke beberapa wilayah. Rasa lelah yang sudah sampai ke ujung kakinya.
Bukan hanya raganya yang terasa lelah, namun batinnya juga mulai resah. Ia
melihat jam yang melingkar pada tangannya di sana menunjukan hampir setengah
delapan. Ia mengendarai motornya dengan perlahan, dan menuju pulang ke rumah, serta
kini ia memikirkan tempat tidurnya yang nyaman.
Hairil
menyalakan lampu tidurnya, dan memulai kembali membuka laptopnya, serta mulai
menulis berita yang harus diserahkannya pada esok hari. Kata demi kata ditulis
dengan teliti, agar dapat menghasilkan berita yang benar apa adanya alias
akurat dan faktual. Pekerjaannya yang pada awalnya, menurutnya sangat
menyenangkan, tetapi lama-kelamaan setelah beberapa tahun belakangan ini, terasa
sangat membosankan baginya.
***
Ia
seorang wartawan yang berkerja di salah satu surat kabar. Berita-berita yang di
sampaikannya menurut pada apa adanya, sebagaimana yang ia dapatkan di lapangan.
Hairil berusaha menjadi wartawan yang bertanggung jawab dan profesional. Pagi
hari yang cerah, kini langit benar benar mendukung pekerjaannya.
“Ril..,"
terdengar suara wanita yang ia kenal. Hairil menoleh dan memandang wanita itu.
“Ril,
aku panggil bukanya di sahut lho!”
katanya rada manja.
“Iya,
mengapa pagi-pagi sudah sampai sini?”. Kata Hairil tersenyum.
“Aku
bawain sarapan Ril, kamunya sudah rapi aja, mau pergi kerja ya?".
“Aku
harus ke kantor menyerahkan berita. Aku harus cepat, nanti aku hubungin kamu
ya"
Hairil
bergegas memegang motornya, dan tangannya mengelus lembut rambut wanita itu, seraya
pergi berlalu.
Wanita
itu bernama Andira Pramita, gadis yang telah bersama Hairil sejak 5 tahun yang
lalu. Andira adalah gadis baik, manja, penurut, dan memiliki hidup yang serba
mewah. Hairil sebenarnya juga orang yang cukup berada, tetapi ia lebih memilih
memulai karir dari nol. Ia tidak ingin memakai kekuasaan ayahnya untuk karirnya.
Bahkan, Hairil memilih tinggal sendiri di rumahnya, yang ia beli menggunakan
uang pribadinya.
***
Di
kantor, semua berjalan dengan baik, dan kini Hairil harus kembali terjun ke lapangan;
mencari berita dari kehidupan masyarakat. Tututan perkerjaan yang selalu
mengutamakan topik utama asupan masyarakat kini, mengenai Virus Corona yang
semakin lama, semakin merajalela saja.
Hairil
duduk di sebuah warung penjual kopi. Ia memesan kopi hitam yang dijual di
warung sederhana itu, tapi tak kalah nikmatnya dengan kopi-kopi anak hits di
kota. Ia melihat fenomena masyarakat yang acuh tak acuh mengenai keberadaan virus
tersebut, dan malah mereka tidak menerapkan Protokol Kesehatan, seperti: tidak
menjaga jarak, dan tidak mengenakan masker dengan benar. Pembicaraan mereka
kala itu mengakat topik tentang Virus Corona.
“Udah
denger belum?" kata seorang
lelaki paruh baya kepada temannya.
"Apaan?” sahut teman di sebelahnya pula.
“Pak
Dene masuk Rumah Sakit, terkabar beliau terpapar Virus Corona” sambung lelaki
itu.
“Wah… Itu bisa menyebar virus di kampung
kita. Kita harus bicarakan dengan Pak RT”.
“Maaf
Pak, boleh saya bergabung cerita,” kata Hairil tiba-tiba.
“Ya,
boleh,” ucap salah seorang dari mereka.
Hairi
banyak medapatkan keterangan dari beberapa masyarakat yang ditemuinya. Ia
mencatat segala sesuatu yang dianggapnya penting, dan mengambil ikhtisar dari catatan
tersebut. Hairil hamper selalu sibuk dengan pekerjaannya setiap hari, dari
berbagai jenis berita yang diperolehnya. Baik itu mengenai masyarakat, mengenai
kecelakaan, bahkan berbagai jenis berita unik lainnya dari berbagai kalangan.
Hairil sangat aktif mencari informasi dari berbagai narasumber.
***
Hari
sudah mulai menunjukan waktu pulang. Hairil menuju ke rumah dan ingin kembali
menulis berbagai berita yang ia dapat hari ini. Ia terlalu sibuk, hingga ia
lupa bahwa ada yang sedang menunggu kabarnya, yang sejak pagi tadi memunculkan
banyak notifikasi di smartphone miliknya,
namun ia sama sekali tidak menghiraukannya. Demikianlah sifat Hairil, jika ia
sudah sibuk berkerja, maka ia lupa dengan segala sesuatu. Termasuk kekasihnya
itu, padahal umurnya kini telah menginjak 27 tahun. Sudah seharusnya ia
memikirkan kepastian masa depannya bersama Andira. Benar saja, gadis berambut
panjang itu sudah berada di depan rumah Hairil, dengan membawakan beberapa
makanan, serta isi kulkas yang akan menjadi stok keperluan Hairil selama satu
bulan ke depan.
Seperti
biasanya, Andira selalu mengisi keperluan Hairil setiap bulannya. Hairil memang
tinggal seorang diri, tapi ia sering melalaikan segala keperluannya, sehingga
Adira harus selalu mengecek segala keperluan Hairil. Terkadang, seminggu sekali
ia datang ke rumah Hairil.
“Cie… rajin banget,“ kata Hairil mengoda kekasihnya.
“Au akh… bukain pintunya, aku udah di sini dari tadi tau, nunggui kamu!” kata gadis itu
dengan manja.
Hairil
hanya tersenyum dan membuka pintu.
“Ra,
aku mandi dulu ya!” kata Hairil bergegas.
Dinyalakannya
lampu kamarnya. Hairil membuka lemari, terlihat ada foto wanita yang amat dicintainnya.
Andira pun menggambil foto tersebut, dan melihat tulisan dibalik nya: “Ma.
Hairil lelah. Hairil rindu mama”. Tertulis dibalik foto tersebut.
Hairil
masih memiliki ayah, dan juga memiliki seorang Ibu tiri yang membuat Hairil
tidak nyaman dan kerasan tinggal di rumah bersama dengan ayahnya. Mama Hairil
sudah lama meninggal dunia, karena insiden kecelakaan yang cukup parah, yang
harus merenggut kebahagiaan Hairil.
Ayah
Hairi sudah berkali-kali mengajaknya untuk kembali ke rumah, dan lagi-lagi
Hairil selalu menolaknya, serta memilih tinggal sendiri ditemani foto mamanya.
“Ril,
sudah siap mandi belom?” kata Andira
dari luar kamar Hairil.
“Sudah
saying, sebentar aku keluar ya. Lagi benerin
berita sebentar,” ujar Hairil pelan.
Semua
bagian rumah sudah beres, tak ada lagi yang berantakan. Hairil keluar kamar dan
menemui kekasihnya di ruang tv.
“Ril,
aku mau ngomong serius,” kata Andira.
“Omongin saja, Ril”. Hairil sambil
memakan penganan ringan yang dibawakan oleh Andira.
“Papaku
suruh kamu kerja di kantor,” ucap Andira sedikit ragu.
Hairil
tersenyum kecut.
“Kita
sudah sering membicarakan ini kan?”
“Tapi,
Ril...”
“Aku
gak mau bantuan, Ra. Aku cuman perlu pengertian aja udah,”
timpal Hairil memotong perkataan Andira yang belum selesai.
“Ril!
Berapa lama lagi aku harus nungguin kamu? Kita udah jalan 5 tahun lebih lho.
Tapi kamu selalu aja sibuk sama dunia
wartawan kamu! dunia kerja kamu! Sampai kamu lupa ada orang yang nunggu kepastian selama ini dari kamu! Dan
kamu sedikit pun tidak pernah membahas hubungan kita buat ke depannya! Jelas!!!
Andira pergi meninggalkan rumah, dan Hairil hanya terpaku diam mendengar penjelasan
kekasihnya itu.
Hati
Hairil mendadak jadi hancur. Ia kini memikirkan tentang dirinya. Benarkah ia
egois? Tetapi Hairil tidak ingin pusing menanggapi keresahan Andira. Hairil
pergi ke kamar, dan kembali fokus pada kerjaannya yang masih belum selesai.
Hairil memang tipe orang yang cukup kaku dengan percintaan, dan ia sangat
jarang ingin berdebat soal itu.
***
Pagi
hari yang sedikit mendung, hari ini ia tidak bekerja sendiri. Hairil bersama
tim akan meliput seorang pengusaha di salah satu perusahaan yang cukup besar.
Hairil dan rekan-rekannya tengah sibuk dengan urusan perkerjaan mereka
masing-masing, yang mana perkerjaan mereka itu ialah meliput, serta mencari
informasi terkait yang ingin mereka gali.
Liputan
selesai. Hairil dan rekan kerjanya pun istirahat di tempat makan yang tidak
jauh dari kantor yang mereka liput tadi. Mereka pun duduk, meminum kopi, berbincang-canda
gurau. Hingga tiba-tiba ada sesosok perempuan yang dating, duduk di dekat
Hairil serta mengajaknya berkenalan.
to be continued………………
Komentar
Posting Komentar