Apa itu Komisi Penyiaran Indonesia?
http://www.abc.net.au |
Komisi
Penyiaran Indonesia atau disingkat KPI merupakan lembaga independen Negara,
yang didirikan pada tahun 2002. KPI memiliki kedudukan setingkat dengan lembaga
Negara lainnya, yang berfungsi sebagai regulator penyelenggaraan penyiaran di
Indonesia. Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Penyiaran; Bab I, Pasal 1, ayat 13: “Komisi
Penyiaran Indonesia adalah lembaga negara yang bersifat independen yang ada di
pusat dan di daerah, yang tugas dan wewenangnya diatur dalam Undang-Undang ini
sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran”.
Dasar
hukum pendirian KPI adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002. KPI terdiri atas
Lembaga Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat), dan Komisi Penyiaran
Indonesia Daerah (KPID), yang bekerja di wilayah setingkat provinsi. Adapun,
kantor KPI pusat terletak di Ibukota Jakarta. Tepatnya, di Gedung Sekretariat
Negara Lantai VI, Jl. Gajah Mada No. 8. Saat ini, KPI Pusat diketuai oleh
Yuliandre Darwis, dibantu oleh komisioner lainnya. Situs KPI dapat dikunjungi
pada laman kpi.go.id. Wewenang dan
lingkup tugas Komisi Penyiaran meliputi pengaturan penyiaran, yang
diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Publik, Lembaga Penyiaran Swasta, dan
Lembaga Penyiaran Komunitas.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002
Undang-Undang
Penyiaran No. 32 Tahun 2002 merupakan landasan utama terbentuknya Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI). Semangatnya adalah mengelola sistem penyiaran
menjadi lebih baik. Apalagi, penyiaran menggunakan ranah publik, yang
seyogyanya dikelola secara independen. Jauh dari kesan campur tangan para
pemilik modalnya. Baik itu dalam hal mencari keuntungan profit ataupun politik,
atau bahkan kedua-duanya.
Undang-Undang
Penyiaran No. 32 Tahun 2002 adalah bentuk perlawanan terhadap undang-undang
sebelumnya, yakni Undang-Undang No. 24 Tahun 1997 Pasal 7, yang berbunyi:
“Penyiaran dikuasai oleh negara yang pembinaan dan pengendaliannya dilakukan
oleh pemerintah. Tentu hal ini menyiratkan, bahwa pada masa itu penyiaran kita
bergerak secara authoritarian. Dimana penyiaran digunakan sebagai alat
kekuasaan dan alat propaganda, yang semata-mata digunakan untuk kepentingan
pemerintah (baca: Orde Baru). “Bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c,
huruf d, dan huruf e maka Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran
dipandang tidak sesuai lagi, sehingga perlu dicabut dan membentuk Undang-Undang
tentang Penyiaran yang baru;”.
Padahal,
proses demokratisasi di Indonesia telah menempatkan publik sebagai pemilik dan
pengendali utama ranah penyiaran. Karena frekuensi merupakan milik publik, yang
digunakan sebesar-besarnya untuk kemaslahatan mereka. Sebesar-besarnya
kemaslahatan publik artinya, media penyiaran harus menjalankan fungsi pelayanan
informasi publik yang sehat dan tidak menyesatkan, apalagi yang sifatnya
mengadu domba publik.
Dasar
dari fungsi pelayanan informasi yang sehat tertuang dalam Undang-Undang
Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002, yaitu Diversity
of Content (prinsip keberagaman isi), dan Diversity of Ownership (prinsip keberagaman kepemilikan). Kedua
prinsip tersebut menjadi landasan bagi setiap kebijakan yang dirumuskan oleh
KPI. Pelayanan informasi yang sehat berdasarkan prinsip keberagaman isi adalah
tersedianya informasi yang beragam bagi public. Baik berdasarkan jenis program
maupun isi program. Sedangkan, prinsip
keberagaman kepemilikan adalah jaminan bahwa kepemilikan media massa yang
ada di Indonesia tidak terpusat dan dimonopoli oleh segelintir orang/lembaga
saja. Sayang, hal ini masih saja terjadi di republik ini, dimana media penyiaran hanya
dikuasai oleh segelintir elit saja. Sehingga, prinsip untuk menjamin
terciptanya persaingan yang sehat, antara pengelola media massa dalam dunia
penyiaran di Indonesia.
Apabila
ditelaah lebih lanjut, Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran juga
lahir dengan dua semangat utama. Pertama,
pengelolaan system penyiaran harus bebas dari berbagai kepentingan, karena penyiaran
merupakan ranah publik,
dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. Kedua, semangat untuk menguatkan entitas lokal dalam semangat
otonomi daerah, dengan pemberlakuan system siaran berjaringan. Sehingga,
penyiaran tidak hanya dimonopoli oleh siaran-siaran dari pulau Jawa, yang tidak
begitu penting dampaknya bagi daerah. Sebagaimana bunyi Undang-Undang No. 32
Tahun 2002 tentang Penyiaran; Bab 1, Pasal 1, Ayat 11: “Tatanan informasi nasional yang adil, merata dan seimbang adalah
kondisi informasi yang tertib, teratur, dan harmonis terutama mengenai arus
informasi atau pesan dalam penyiaran antara pusat dan daerah, antarwilayah di
Indonesia, serta antara Indonesia dan dunia internasional.
Tentu,
hal ini dimaksudkan untuk menjamin tidak terjadinya sentralisasi informasi,
seperti yang terjadi sekarang ini. Selain itu, potensi yang ada di daerah pun
dapat lebih dikembangkan. Seperti pariwisatanya, maupun kearifan budaya local
lainnya yang harus senantiasa dijaga. Sebaliknya, jika ini dianggap ‘angin
lalu’, maka hak sosial-budaya masyarakat local dan minoritas bisa jadi terus
terabaikan. Padahal, masyarakat lokal juga berhak untuk memperoleh informasi
yang sesuai dengan kebutuhan dan kepuasannya (uses and gratification). Disamping itu, keberadaan lembaga penyiaran
yang sentralistis dan telah mapan, serta berskala nasional semakin membuat
lembaga-lembaga penyiaran lokal menjerit tak sanggup bersaing. Walhasil, mereka
pun diakuisisi oleh media-media besar itu.
Maka,
sejak disahkannya Undang-Undang No. 32 Tahun 2002, terjadi perubahan
fundamental dalam pengelolaan sistem penyiaran di tanah air. Dimana pada
intinya adanya upaya negara untuk melindungi hak masyarakat dari konten
penyiaran yang sesat-menyesatkan. Perubahan paling mendasar dalam semangat UU
ini, yakni adanya limited transfer of
authority dari pengelolaan penyiaran yang selama ini merupakan hak
eksklusif pemerintah kepada sebuah badan pengatur independen (independent regulatory body) bernama
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Kata “Independen” pada lembaga tersebut
mempertegas, bahwa pengelolaan sistem penyiaran harus benar-benar netral dari
intervensi modal maupun kepentingan kekuasaan.
Hal
ini dilakukan, karena Pemerintah belajar dari pengalaman masa lalu, saat Orde
Baru meng-kooptasi penyiaran dan menggunakannya untuk melanggengkan
kekuasaannya. Sehingga, hal tersebut tidak boleh terjadi lagi, sebab penyiaran
yang memiliki kekuatan untuk menciptakan hegemoni bias sangat berbahaya jika
dikuasai oleh orang-orang yang salah.
Informasi
Informasi
terdiri dari bermacam-macam bentuk, mulai dari berita (news), hiburan (entertain),
ilmu pengetahuan (knowledge) dan
sebagainya.
Struktur Kelembagaan
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002, Komisi Penyiaran Indonesia terdiri dari KPI
Pusat dan KPI Daerah (tingkat provinsi). Anggota KPI Pusat terdiri dari
Sembilan orang, yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Sementara,
KPI Daerah terdiri dari 7 orang yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) tingkat provinsi. Selanjutnya, anggaran untuk program kerja KPI
Pusat dibiayai oleh APBN (Anggaran Pendapatn Belanja Negara), dan KPI Daerah
dibiayai oleh APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) masing-masing Provinsi.
Masa jabatan setiap periode komisioner adalah tiga tahun, dengan batasan dua
kali masa jabatan berturut-turut maupun tidak berturut-turut pada setiap
tingkatan komisi dan daerah.
Dalam
pelaksanaan tugasnya, KPI dibantu oleh secretariat tingkat eselon II, yang
stafnya terdiri dari staf Pegawai Negeri Sipil (PNS), serta staf professional
non PNS. KPI merupakan wujud peran serta masyarakat, yang berfungsi mewadahi
aspirasi masyarakat atas penyiaran. Hal ini tertuang dengan jelas pada Bab II
(Asas, Tujuan, Fungsi dan Arah), Pasal 3 yang berbunyi: “Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi
nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa,
mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka
membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta
menumbuhkan industry penyiaran Indonesia”.
Lembaga Negara Independen
Demokrasi
konstitusional diharapkan memunculkan pemerintahan yang efektif dan
terstruktur. Musabab, perkembangan lembaga negara dimaksudkan sebagai proses check and balances, pemenuhan hak-hak
individu dan menghindari tirani otoritarian. Hal ini merupakan perkembangan
pemikiran trias politica yang
dikemukakan Montesquie. Ada beberapa ciri lembaga negara independen di
Indonesia, yaitu: bukan cabang kekuasaan utama, pemilihan pimpinan dengan
seleksi, pemilihan dan pemberhentian berdasarkan aturan, kepemimpinan kolektif
dan kolegial, serta legitimasi dari undang-undang.
Adapun
tujuh lembaga negara independen berdasarkan criteria di atas adalah: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi
Pemilihan Umum, Dewan Pers, Komisi Ombudsman, Komisi Pemberantasan Korupsi dan
Komisi Yudisial.
Siaran dan Penyiaran
Penyiaran
adalah distribusi konten audio dan video kepada pemirsa yang tersebar melalu
medium komunikasi massa visual atau audio, atau visual + audio. Umumnya,
penyiaran menggunakan spectrum elektromagnetik (gelombang radio), dalam suatu
model satu-untuk-banyak[1].
Penyiaran merupakan kegiatan penyelenggaraan siaran, yaitu rangkaian mata acara
dalam bentuk audio, suara atau visual gambar yang ditransmisikan dalam bentuk
sinyal suara atau gambar, baik melalui udara maupun kabel dan atau serat optik,
yang dapat diterima oleh pesawat penerima di rumah-rumah[2].
Penyiaran
dimulai dengan radio AM, yang menjadi popular pada sekitar tahun 1920, seiring
dengan banyaknya penggunaan tabung vakum, pemancar dan penerima radio.
Sebelumnya, seluruh bentuk komunikasi elektronik (radio, telepon dan telegraf)
berbasis satu-untuk-satu, dengan pesan yang ditujukan hanya untuk satu
penerima. Istilah penyiaran, dipinjam dari suatu metode pertanian untuk menebar
benih-benih tersebut[3],
diciptakan oleh manager KDKA Frank Conrad dan sejarawan RCA George Clark[4]
pada sekitar tahun 1920 untuk membedakan aktivitas ini dengan komunikasi
“satu-untuk-banyak; suatu stasiun radio tunggal dapat mentransmisikan kepada
banyak pendengar.
Sejarah Penyiaran
Penyiaran
pada mulanya terdiri dari pengiriman sinyal telegraf melalui gelombang udara,
menggunakan kode morse, sebuah system yang dikembangkan pada tahun 1830-an oleh
Samuel F.B. Morse, fisikawan Joseph Henry dan Alfred Vail. Mereka mengembangkan
suatu system telegraf listrik yang mengirimkan pulsa pada arus listrik melalui
kawat, yang dikenadalikan oleh suatu magnet listrik yang berada di ujung
penerima system telegraf. Sebuah kode diperlukan untuk mentransmisikan bahasa
alami hanya dengan menggunakan pulsa ini, dan keheningan dianatara keduanya.
Oleh karena itu, Morse mengembangkan cikal bakal kode Morse Internasional
modern.
Penyiaran
audio mulai bereksperimen pada decade pertama abad ke-20. Pada awal 1920-an,
penyiaran eadio menjadi media rumah tangga, pada awalnya di pita AM dan kemudian
di FM. Penyiaran televise dimulai secara eksperimental pada tahun 1920-an dan
menyebar luas setelah Perang Dunia II, dengan menggunakan VHF dan UHF.
Penyiaran satelit dimulai pada tahun 1960-an dan beralih ke penggunaan industry
secara umum di tahun 1970-an, dengan DBS (Direct
Broadcast Satellites) yang muncul di tahun 1980-an.
Awalnya,
seluruh penyiaran terdiri dari sinyal analog menggunakan teknik transmisi
analog. Namun, di tahun 2000-an, penyiaran berpindah menggunakan teknik
transmisi digital. Dalam penggunaan secara umum, penyiaran paling sering
mengacu pada transmisi informasi dan pemrograman hiburan dari berbagai sumber
kepada masyarakat umum. Jadi, audio analog vs radio HD, televise analog vs
televise digital dan nirkabel.
Kapasitas
teknologi dunia untuk menerima informasi melalui jaringan siaran satu arah
lebih dari empat kali lipat selama dua decade dari tahun 1986 sampai 2007, dari
432 eksabita informasi (yang secara optimal terkompresi), menjadi 1.9
zettabita. Informasi ini setara dengan 55 surat kabar per orang per hari pada
tahun 1986, dan 175 surat kabar per orang per hari pada tahun 2007.
Penyiaran dalam UU No. 32 Tahun 2002
Tentang Penyiaran
Merujuk
pada Undang-Undang 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyebutkan, bahwa siaran
adalah pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau suaran dan
gambar atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat interaktif
maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran. Sementara,
penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran
dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan
menggunakan spektrum
frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat
diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat
penerima siaran. Penyiaran yang diatur dalam undang-undang ini terdiri dari dua
jenis, yaitu penyiaran radio dan penyiran televisi. Adapun penyiaran yang
diteliti dalam tesis ini adalah penyiaran televisi. Dimana penyiaran televisi
adalah media komunikasi massa dengar pandang, yang menyalurkan gagasan dan
informasi dalam bentuk suara dan gambar secara umum, baik terbuka maupun
tertutup, berupa program yang teratur dan berkesinambungan.
Aktivitas
tersebut dilakukan oleh lembaga penyiaran, baik lembaga penyiaran public,
lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas maupun lembaga penyiaran
berlangganan. Dewasa ini, memang banyak masyarakat perkotaan yang memilih
televisi berlangganan, lantaran bisa memilih program tayangan sesuai dengan
keinginan dan kepuasan mereka (uses and
gratification). Namun demikian, baik itu lembaga penyiaran publik, lembaga
penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas, maupun lembaga penyiaran
berlangganan tetap harus melaksanakan tugas, fungsi dan tanggungjawabnya dengan
berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga, arah
penyiaran tanah dapat mewujudkan salah satu cita-cita nasional, yakni penyiaran
yang turut mencerdaskan kehidupan bangsa.
Penyiaran
sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi (to inform), pendidikan (to educate), hiburan yang sehat (to entertain), serta control dan perekat
sosial (to social control). Hiburan
yang sehat dimaksudkan sebagai batasan terhadap hiburan-hiburan, yang selama
ini terkesan ‘jorok’ dan ‘tidak mendidik’, bahkan perlahan mereduksi
norma-norma kesopanan yang berlaku di masyarakat kita.
Masalah Penyiaran
Selain
daripada konten lokal yang belum terakomodir dengan baik, dan monopoli .
Masalah penyiaran di republik
ini adalah belum mampu memperkukuh integrasi nasional. Bahkan, masih terkesan
memecah belah masyarakat. Hal ini terjadi, karena penguasa media yang juga
kader partai ataupun memiliki afiliasi tertentu terhadap partai politik.
Sehingga, tak jarang menggunakan lembaga penyiarannya sebagai corong politik. Pada
tahun ini pun, masalah penyiaran yang kita hadapi pun masih tetap sama, masih
berkutat pada: Pertama, Semakin
mengguritanya bisnis konglomerasi media, yang hanya dimiliki oleh segelintir
orang. Hal ini menyebabkan tersendatnya cita-cita demokratisasi penyiaran; Kedua, Lemahnya kewenangan untuk
menjatuhkan sanksi administrative. Sehingga, tayangan yang penuh kekerasan,
eksploitasi tubuh perempuan dan tayangan tidak mendidik dan menciderai akal
sehat public, bisa terus tayang, karena fungsi KPI sebagai regulator penyiaran
tidak maksimal; Ketiga, Sentralisasi
penyiaran yang masih berpusat di Jawa (baca: Ibukota). Sehingga, hak informasi
masyarakat diluar DKI Jakarta menjadi terabaikan. Walhasil, mendamba penyiaran
yang sehat bagi keluarga di Indonesia pun masih jauh panggang daripada api.
[1] Peters, John Durham (1999). Speaking into the Air. University of
Chicago Press.
[2] Suprapto, T. (2006). Berkarier di Bidang Broadcasting Media.
Yogyakarta: Pressindo.
[3] Douglas, Susan J. (1987). Inventing American Broadcasting, 1899-1922.
Johns Hopkins University Press.
[4] Greb, Gordon; Adams, Mike.
(2003). Charles Herrold, Inventor of
Radio Broadcasting. McFarland (halaman: 220-221).
Komentar
Posting Komentar