SINETRON PELANGGENG KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
www.google.co.id |
Apa
bedanya perempuan tanpa otonomi dengan sasak tinju, hmm.. kukira tidak ada bedanya. Yang jelas, perempuan tetap menjadi
korban keganasan laki-laki yang sedang kalap. Ia ditinju jika si laki-laki
tidak senang, ia ditempeleng
karena tidak mau menuruti suami, dan bahkan ia dibuat lebam tanpa suatu alasan
yang jelas. Apalagi,
di dunia yang menganut patriarkal, seolah
tindakan seperti ini dapat dibenarkan.
Begitupula halnya dengan tayangan
sinetron kita, yang turut
melanggengkan kekerasan terhadap perempuan. Percaya
tidak percaya, sinetron yang tidak sehat ini turut menjadi faktor ‘x’ terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Kerap kita jumpai bagaimana posisi perempuan
digambarkan dalam sinetron. Baik itu sebagai
sosok yang lemah, tidak diberikan ruang untuk berbicara, dan hanya bisa pasrah atas kelakuan kasar suami.
Padahal,
dalam salah satu literatur agama disebutkan, “.... mereka (perempuan –red)
adalah pakaian bagimu (laki-laki
–red), dan kamu pun adalah pakaian bagi
mereka....” (QS. Al-Baqarah: 187). Artinya, sepasang suami
istri haruslah saling memiliki dan
melindungi, bukan malah satu pihak merasa paling berkuasa dan mendominasi pihak
lainnya. Sayang, sinetron di Indonesia termasuk yang bernafaskan religi masih
menempatkan perempuan pada posisi yang rendah, sehingga turut meneguhkan tindakan diskriminasi terhadap mereka.
Pun, sinetron religi di tanah air
masih menjadi gincu dan bumbu
industri media untuk
mendapatkan rating setinggi-tingginya.
Walhasil, sinetron religi yang dikemas tidaklah
mewakili representasi Islam yang sesungguhnya. Karena tafsiran teks agama tidak bisa ditafsirkan secara serampangan,
melainkan harus memperhatikan makna tersembunyi didalamnya sesuai dengan
konteks kekinian.
Diskriminasi
terhadap perempuan sendiri bermakna: “Setiap pembedaan, pengucilan, atau
pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau
tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau
penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang
politik, ekonomi, budaya, sipil, ataupun lainnya oleh kaum perempuan.”
(CEDAW[1]
dalam Thaniago dan Arief, 2014).
Lewat adegan sinetron
yang didramatisir sedemikian
rupa, ditambah karakter tokoh
perempuannya yang lemah tak berdaya hanya akan menjadikan penonton salah kaprah
dalam menyikapi budaya patriarkal. Padahal, budaya patriarkial adalah budaya yang bermaksud
melindungi
perempuan dan anak-anak (termasuk dalam
hal harta benda),
dengan menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaannya. Budaya patriarkal begitu terasa di
Indonesia dan agama Islam. Bahkan, dalam agama Islam memiliki
dalilnya
tersendiri yang berbunyi:
“Arrijalu qawwamuna ‘alan nisaa (Lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum
perempuan)” (QS. An-Nisa’: 34).
Walhasil,
media penyiaran kita
lewat program sinetronnya telah
memelihara ketidakadilan terhadap perempuan. Sekalipun sinetron tersebut berdasarkan kisah nyata, namun haruslah
dipahami bahwa sinetron memiliki
dampak sekecil apapun itu terhadap tingkat kognisi, afeksi dan perilaku penontonnya. Oleh
karena itu, media penyiaran harus bijak
dan menempatkan kepentingan publik diatas segala-gala.
Sinetron
‘Menetukan’ Bagaimana Perempuan Bersikap
Sebagaimana
halnya dengan kriteria cantik atau ibu tiri itu jahat yang berhasil dibentuk
oleh iklan dan
sinetron dalam media penyiaran kita, maka ditakutkan sinetron dalam konteks
‘kekerasan[2]
terhadap perempuan’ semakin menambah daftar panjang
buruknya dampak media penyiaran tanah
air. Berikut tabel 1.1 beberapa stereotip perempuan dalam
sinetron kita.
No.
|
Stereotip
|
1.
|
Sosok
yang lemah/ objek KDRT
|
2.
|
Objek seks/ gemar merayu
|
3.
|
Karakter pencemburu
|
4.
|
Tukang gossip/bergunjing
|
5.
|
Matre/ liar
|
6.
|
Ruang lingkupnya tak jauh dari memasak, mencuci atau
menanti suami
|
7.
|
Pelakor/ perusak rumah tangga orang/ aktor
perselingkuhan/ kurang moral
|
8.
|
Tidak mandiri/ tidak punya penghasilan sendiri
|
9.
|
Tidak punya otoritas untuk mengambil keputusan,
bahkan untuk keberlangsungan hidupnya sendiri.
|
10.
|
Pasrah begitu saja ketika dipoligami
|
11.
|
Konteks budaya, agama dan negara diklaim untuk
memperlemah posisi perempuan
|
12.
|
Pasrah terhadap kemiskinan suami sebagai takdir
Tuhan/ tidak boleh bekerja.
|
13.
|
Harus selalu mendapatkan izin suami atas apa yang
dikehendakinya. Sehingga istri tidak punya pilihan, selain daripada mengikuti
keputusan suami.
|
Padahal, dengan otonomi, yakni kehendak bebas untuk bisa
menentukan pilihannya sendiri, memungkinkan seorang perempuan untuk tumbuh
secara adil. Perempuan dalam sinetron kita pada akhirnya hanya menjadi
individidu-individu tanpa otonomi untuk mengurusi hidupnya sendiri. Walhasil, media
harus benar-benar netral,
dalam artian sinetronnya tidak hanya berpihak pada budaya patriarkal, tetapi
juga memberikan ruang yang cukup bagi perempuan untuk ‘melawan’. Karena jika
terus dibiarkan, posisi perempuan yang
tereduksi
dalam layar kaca, bakal terus-menerus melegitimasi
tindak diskriminatif di dunia nyata. Sekian.
Komentar
Posting Komentar