Menerima Lembaga KPI dengan Sepenuh Hati
nugrohowisdom.files.wordpress.com |
Menelurkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 bukanlah suatu hal yang mudah, sebagaimana kita
membalikkan telapak tangan. Ada banyak sekali ‘rongrongan’ dari pihak-pihak
yang tidak senang, karena merasa lembaga penyiarannya bakal dirugikan dengan
adanya regulasi tersebut, atau karena merasa kekreatifitasan mereka bakal
terenggut dan terhambat. Kutipan Amar Putusan MK RI Perkara No: 005/PUU-I/2003
adalah salah satu contoh bagaimana mempertahankan kelembagaan KPI ini tidaklah
mudah.
Pertama,
persoalan independensi lembaga KPI, jelas dimaksudkan agar proses pengawasan
yang dilakukannya tidaklah bias (subjektif). Jauh dari kesan intervensi, baik
itu dari para pemilik penyiaran maupun penguasa negara sekalipun. UU No. 32
Tahun 2002 sendiri adalah landasan konstitusional bagi KPI untuk berdiri tegak dalam
mengawasi lembaga-lembaga penyiaran tanah air agar tetap sehat. Namun, dalam
hal ini tidaklah pula KPI bermaksud untuk medikte lembaga penyiaran terkait,
apalagi mengungkung kebebasan mereka.
Kedua,
sanksi yang diberikan KPI tidaklah bersifat represif seperti di zaman Orde Baru
lewat Departemen Penerangan-nya. Pada pasal 55 ayat 2 dalam UU ini disebutkan,
bagaimana KPI memberikan sanksi administratif-nya, seperti: teguran tertulis; penghentian
sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap-tahap tertentu;
pembatasan durasi dan waktu siaran; denda administratif; pembekuan kegiatan
siaran untuk waktu tertentu; tidak diberikan izin perpanjangan penyelenggaraan
siaran; dan pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran. Kata yang dicetak tebal
ini membuktikan, bahwa dalam proses pemberian sanksinya, KPI tidaklah bersikap
serampangan alias ‘suka-suka gue’.
Melainkan ada serangkaian proses yang dilalui untuk menentukan, apakah suatu
mata acara melanggar ataupun tidak. Pun, kewenangan KPI yang hanya bisa memberikan
sanksi administrative itu, sedikit banyak disesalkan juga oleh masyarakat kita,
karena sanksi tersebut kurang ‘ampuh’ membuat jera lembaga penyiaran yang
melanggar.
Ketiga,
dalam hal jangkauan siaran, KPI tidaklah bersikap diskriminatif. Sudah jelas
bahwa lembaga penyiaran publik seperti TVRI berlaku secara nasional, karena
memang fungsinya sebagai lembaga penyiaran milik negara. Jadi, tidak ada maksud
untuk memonopoli ataupun mengurangi alternatif informasi masyarakat. Pun, tidak
perlulah kita bersikap hipokrit, bahwa selama ini keberadaan TVRI semakin ditinggalkan
dengan keberadaan televisi swasta, yang memang lebih disenangi program-program
acaranya. Sebagian berpendapat, bahwa hal ini terjadi karena lembaga penyiaran
swasta memiliki lebih banyak modal ketimbang lembaga penyiaran publik.
Keempat,
wajar saja jika lembaga penyiaran komunitas tidak diperbolehkan untuk mendapat
pendapatan dari iklan. Karena memang orientasi lembaga penyiaran ini bukan
untuk mencari profit, melainkan bertujuan untuk kemaslahatan komunitasnya lewat
informasi yang disiarkan. Pemasukan lembaga penyiaran
komunitas terbatas pada sumbangan, hibah, sponsor dan sumbangan lain yang sah
dan tidak mengikat.
Kelima,
UU No. 32 Tahun 2002 tidak bermaksud diskriminatif dengan membatasi keanggotaan
KPI yang berasal dari Organisasi Penyiaran. Hal ini dimaksudkan agar proses
pengawasan dan regulasi penyiaran benar-benar objektif dan tidak adanya
intervensi. Hal ini merujuk pada Pasal 10 ayat (1)
huruf g: untuk dapat diangkat menjadi anggota KPI harus dipenuhi syarat ..... tidak terkait langsung atau tidak langsung
dengan kepemilikan media massa.
Keenam,
Pasal 44 ayat (1) berbunyi: Lembaga penyiaran wajib
melakukan ralat apabila isi siaran dan/atau berita diketahui terdapat
kekeliruan dan/atau kesalahan, atau terjadi sanggahan atas isi siaran dan/atau
berita. Kewajiban meralat pemberitaan ini dimaksudkan agar kesalahan pemberitaan
bisa segera diperbaiki, sehingga masyarakat tidak salah dalam mengkonsumsi
suatu pemberitaan. Tentu ralat ini tidak terjadi begitu saja, melainkan pihak KPI
juga akan terlebih dahulu menindaklanjuti sanggahan tersebut. Lembaga penyiaran terkait tidak perlu merasa
ralat tersebut bakal mengurangi kredibilitas mereka. Malah, tindakan segera
meralat ini bakal membuat mereka semakin profesional di mata masyarakat kita.
Ketujuh, kebijakan sensor yang dilakukan oleh lembaga terkait
dimaksudkan, agar penyiaran yang tersampaikan kepada masyarakat dapat
berlangsung ideal. Baik itu sensor internal maupun eksternal yang telah diatur
dengan peraturan-peraturan yang berlaku.
Sudah
seyogyanya kita sebagai masyarakat Indonesia menerima keberadaan lembaga KPI
dengan sepenuh hati, sebagai bentuk pengawasan negara terhadap program-program
siaran yang tidak sehat, dan dapat mendegradasi moral anak-anak bangsa kita. Sudah
seyogyanya pula, insan pers terutama media elektronik untuk mendukung niat
mulia ini.
Kewenangan
yang diberikan negara kepada KPI sebagai regulator penyiaran bakal tidak
berarti apa-apa, jika lembaga penyiaran sendiri tidak mendukungnya. Padahal,
baik KPI dan lembaga penyiaran sama-sama punya tanggung jawab atas kemaslahatan
rakyat dalam mengkonsumsi suatu informasi. Jadi, UU ini tidak pernah bermaksud
untuk menghidupkan kembali Departemen Penerangan versi Orde Baru. KPI hanyalah
sebagai regulator penyiaran, yang diamanahkan oleh negara untuk mengawasi isi
siaran. Tentu, kita harus benar-benar jernih dalam menyikapi hal ini. Sekian.
Komentar
Posting Komentar