PROBLEMATIKA SANKSI TEGURAN TERTULIS KPI
http://www.pustakatahfidz.com |
Ketika saya kuliah dulu, saya pikir Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) termasuk lembaga negara yang tidak memiliki gigi. Lantaran,
dalam kinerjanya masih diawasi oleh Remotivi yang menurut saya lebih bagus
kinerjanya dalam mengawasi lembaga penyiaran kita. Selain itu, saya juga
‘benci’ dengan KPI yang hanya bisa memberikan sanksi teguran tertulis terhadap
media penyiaran yang bermasalah.
Belakangan,
setelah saya bekerja untuk KPID-SU saya menyadari, bahwa pemberian sanksi
administratif pun tidak bisa sembarangan. Harus ada mekanisme yang dilalui,
yang bisa jadi sangat melelahkan. Salah satunya adalah mekanisme FGD (Focus
Group Discussion), dimana dalam FGD itu mengundang para akademisi
dan perwakilan masyarakat, untuk menentukan apakah sebuah program/konten
tersebut melanggar ataukah tidak. Bahkan, dalam FGD
yang bisa menghabiskan waktu berjam-jam itu, tak jarang membuat urat saraf
tegang. Para pemantau yang menemukan pelanggaran harus mampu mempertahankan
temuannya tersebut.
Dari mekanisme itulah, kemudian KPI baru bisa memberikan
sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku, yakni P3SPS (Pedoman Perilaku
Penyiaran dan Standar Program Siaran). Sanksi
administratif sendiri terdiri dari teguran tertulis (teguran 1 dan 2); penghentian sementara mata acara yang
bermasalah setelah melalui tahap tertentu; pembatasan durasi dan waktu siaran; denda administratif; pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu; tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan
penyiaran; atau pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran (Bab XXX, Pasal 75, Ayat
(2), huruf a-g).
Namun,
untuk teguran tertulis sendiri, saya menyadari bahwa KPI sangat membutuhkan
definisi yang pasti akan perbedaan antara teguran 1 dan 2. Sebab, perbedaan
tingkatan sanksi semacam ini diperlukan untuk memberikan efek jera. Eduard
Lazarus dan Gabriela Eriviany dalam bukunya “Rambu-Rambu Ambigu” menuliskan, “Sebuah teguran tertulis tidak memiliki dampak
apapun terhadap stasiun televisi—hal ini berarti bahwa memberikan sebanyak
mungkin teguran tertulis terhadap program siaran tidak akan merugikan stasiun
televisi sama sekali. Logika kebertingkatan dalam SPS dapat menghadirkan efek
jera agar stasiun televisi tidak lupa bahwa terdapat standar minimal yang harus
ia penuhi untuk melindungi publik (hal. 19). Ya, tanpa kebertingkatan sanksi
tersebut, maka KPI hanya akan terus membuat televisi mengulangi kesalahannya.
Karena hukum yang diberikan tidak memiliki gigi yang cukup tajam untuk
memberikan dampak berarti.
Pemberian Sanksi yang
Tepat
Selain itu, KPI juga harus memberikan
sanksi secara tepat. Jika memang suatu program telah melanggar dan layak
mendapatkan sanksi penghentian
sementara, maka ia harus tetap diberikan. Karena jika hanya diberlakukan sanksi
teguran tertulis, padahal layak diberikan sanksi penghentian sementara, maka ia
tidak memiliki dampak riil. Oleh karena itu, KPI harus memberikan sanksi sesuai
proporsinya. Jika tidak, lagi-lagi hukum hanya akan berakhir diatas kertas.
Integritas pemantau siaran dan komisioner KPI/KPID benar-benar dipertaruhkan
dalam menjalankan wewenangnya.
Mayoritas Program Siaran
Didominasi Asing
Mayoritas program siaran kita masih
didominasi oleh tayangan asing. Bukannya tidak boleh, namun tentu ada
batasan-batasan tertentu. Selama ini, KPI telah menyoroti bahwa program siaran
“India” lebih dominan dalam salah satu lembaga penyiaran nasional kita. Padahal,
mayoritas program siaran yang didominasi oleh satu identitas kebudayaan asing
ini bertentangan dengan Pasal 36 UU
Penyiaran, yang berbunyi: “Isi siaran
dari jasa penyiaran televisi, yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran
Swasta dan Lembaga Penyiaran Publik, wajib memuat sekurang-kurangnya 60% (enam
puluh per seratus) mata acara yang berasal dari dalam negeri”, dan Pasal 5
huruf j, yang berbunyi: “memajukan kebudayaan nasional”.
Last but not least, KPI harus punya keberanian
untuk mengurangi jumlah durasi program siaran asing yang ditayangkan lembaga
penyiaran itu. Pun, lembaga-lembaga penyiaran di Indonesia punya kewajiban
untuk mengutamakan program siaran yang mempromosikan kebudayaan nasional,
seperti pemanfaatan konten lokal. KPI harus memberikan sanksi yang memiliki konsekuensi berat terhadap pelanggar, dan industri televisi harus terus melakukan perbaikan terhadap kualitas konten yang ditayangkan. KPI tidak boleh mengingkari amanat yang dibebankan kepadanya, untuk menjatuhkan sanksi yang adil dan proporsional sesuai dengan amanat P3SPS yang berlaku. Penyalahgunaan pemberian sanksi kepada lembaga penyiaran, hanya akan mengurangi integritas dan objektifitas Komisioner KPI dalam mengawal penyiaran kita.
Komentar
Posting Komentar