POLITAINMENT = BERITA POLITIK CAMPUR ENTERTAINMENT

Sumber: Google

Seharusnya, sudah jelas mana lapaknya masing-masing, bahwa berita adalah berita dan entertainment adalah entertainment. Tidak bisa digabung-gabung, bak minyak dan air. Andaipun digabung, maka jadilah dia es campur atau gado-gado delapan ribu yang sering dinamakan dengan istilah “infotainment”. Pemberitaan setengah gosip itu pun biasanya hanya menyasar para artis saja, yang memang banyak tingkahnya. Eh lantas, kenapa sekarang menyosor para politisi kita juga. Seperti badut sirkus saja! Hahaha.
Perlu digarisbawahi dulu, bahwasanya yang dimaksud dengan berita sekurang-kurangnya memiliki sifat aktual dan penting.  Artinya, berita itu haruslah baru-terbarukan dan berpengaruh bagi kelangsungan hidup orang banyak. Contoh: Pemberitaan tentang Kasus Mega Korupsi e-KTP. Jelas, pemberitaan ini informasi sidangnya terus up to date, dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Bayangkan, gara-gara ada tikus pada pengadaan proyek e-KTP, akhirnya banyak masyarakat kita tidak kebagian e-KTP dengan alasan kehabisan blangko lah, macem-macem lah. Padahal, gara-gara itu masyarakat kita menjadi susah untuk mengurus segala hal yang berbau administrasi.
Sementara, entertainment adalah konten media yang berisi hiburan. Baik berupa musik, film, drama, kartun, gosip, talkshow, kuliner, wisata dan cs-nya. Oleh karena itu, salah satu fungsi penyiaran yang diatur oleh negara melalui UU No. 32 Tahun 2002 adalah hiburan yang sehat. Sekali lagi, hiburan yang sehat pada Bab II, Pasal 4 yang dimaksudkan sebagai batasan terhadap hiburan-hiburan yang selama ini terkesan ‘mesum’ dan tidak mendidik. Bahkan, perlahan mereduksi norma-norma kesopanan yang berlaku di masyarakat.
Jadi, sampai di sini sudah jelas, bahwa berita adalah suatu informasi yang penting dan menyangkut kepentingan orang banyak. Sementara, entertainment adalah bentuk soft dari pemberitaan yang bisa jadi dimaksudkan redaksi, agar para penonton tidak jenuh dengan berita-berita ‘keras’ dan ‘memuakkan’, lantaran terus-menerus tentang korupsi. Hahaha. Bagi sebagian orang, entertainment tidaklah begitu penting untuk diikuti perkembangannya, karena sifatnya yang sangat remeh-temeh. Contoh: “Gantengnya Mantan Pacar Nagita Slavina yang Sempat Bikin Susah Move On”, atau “Lepas Hijab, Rina Nose Dekat Lagi dengan Mantan Kekasih”. Dari judulnya memang bikin kepo, tapi tingkat urgensinya dimana?. Jika dikaitkan pada kwadran peristiwa pun, maka ia termasuk kedalam kwadran pemberitaan  “tidak penting – tapi menarik”.
Hmmm, mungkin berita politik campur entertainment  ini dapat diklasifikasikan kepada jenis “Politainment”. Justus Nieland memaknai politainment sebagai pencampuran antara politik dan industri hiburan. Kait kelindan antara aktor, topik, dan proses politik dengan budaya hiburan media. Contoh politainment: “Potret Gaya Hidup Dwina Michaella, Putri Setya Novanto” (Sapa Indonesia Siang: Kompas TV); “Hari Ketiga Bekerja, Sepatu Tetap Sama” (Net.News: NET TV); “Sandiaga Sosok Pintar dan Pemalu di Mata Sang Istri” (Sapa Indonesia: Kompas TV); “Wapres Jusuf Kalla Jadi Saksi Pernikahan Putri Presiden” (Kompas Petang: Kompas TV); “Jokowi Mantu Live dari Solo” (Indosiar); “Menteri Kabinet Kerja Berfoto di Pelaminan Kahiyang-Bobby” (Kompas Petang: Kompas TV); “Kirab Kereta Kencana Kahiyang-Bobby” (CNN); “Video Sesi “Prewedding” Kahiyang dan Bobby (Kompas Petang: Kompas TV); Kahiyang & Bobby Kompak Unggah Foto yang Sama di Instagram (Kompas Petang: Kompas TV); “Keluarga Sandi Jelang Pelantikan (Special Event: CNN); “Persiapan Keluarga Anies Baswedan Jelang Pelantikan” (Special Event: CNN) (sumber: Remotivi). Pentingnya tidak ada, yang ada hanya membuat masyarakat bingung mencernanya: ini berita atau gosip selebriti?
Namun, hal ini lazim terjadi, karena “ekologi dalam televisi dipahami sebagai sebuah sistem yang melibatkan banyak organisme televisi. Mulai dari level produser, redaksi, pemilik, hingga politisi yang berkepentingan. Fenomena politainment dipahami sebagai rantai simbiosis antara media dan politisi. Di satu sisi politisi membutuhkan televisi sebagai panggung untuk mempromosikan dirinya kepada calon pemilih. Promosi ini bisa terjadi menjelang peristiwa politik seperti pilkada atau pilpres. Tetapi bisa pula terjadi sejak lama, bahkan sebelum peristiwa politik nasional terjadi. Dalam kacamata ekologi media, para politisi dan segala pihak yang terlibat di dalamnya disebut sebagai organisme” (Allifiansyah, 2017).
Dampak Positif Politainment
Tidak dapat dipungkiri, bahwa politainment memiliki sejumlah keuntungan, diantaranya: Pertama, memberikan keuntungan profit pada pihak media, karena berita semacam ini lebih disukai masyarakat, lantaran menyangkut zona ‘privasi’ masing-masing politisi; Kedua, memberikan keuntungan kepada politisi yang diberitakan. Jika media mampu mengemasnya secara menarik, bukan tidak mungkin semakin menunjang citra politisi secara gratis; Ketiga, masyarakat tidak jenuh dengan pemberitaan-pemberitaan straight news. Sekaligus, pemberitaan yang semula sulit untuk dicerna menjadi lebih ringan dan menghibur.
Dampak Negatif Politainment
Namun demikian, perlu pula kita ketahui, bahwa keberadaan politainment bakal mereduksi isu penting dalam suatu pemberitaan, dan menggantinya dengan hal-hal yang tidak perlu. Walhasil, yang menjadi isu penting terabaikan bahkan hilang dari pemberitaan media. Atau mungkin inikah yang disebut dengan pengalihan isu? Hahaha.
Kita pun menjadi kabur dengan kredibitas politisi yang sesungguhnya. Karena semuanya telah tertutupi dengan hasil konstruksi media. Konstruksi media sendiri bermakna, bahwa media adalah salah satu saluran pesan yang tidak luput dari proses interaksionisme simbolik dan konstruksi. Termasuk didalamnya politainment itu sendiri. Seseorang bisa digambarkan begitu baik, ramah, ‘tahu adat’, merakyat (protagonis) atau bahkan keparat (antagonis) tergantung bagaimana media mengkonstruksinya. Selain itu, politisi yang diberitakan tersebut tidak lagi memiliki ruang privat antara dia dan keluarganya. Semuanya akan dijual, selama itu dapat mendongkrak popularitas.
Nieland menemukan bahwa politainment bekerja dalam dua proses yang saling berhubungan: Pertama, “hiburan politik”. Proses ini terjadi ketika media menggunakan politik dalam berbagai format hiburan. Momen-momen yang bermuatan politis dieksploitasi untuk menghasilkan konten yang menghibur. Contoh: Setnov tidur saat akad Kahiyang & Bobby” (Net.12 = NET TV); “Drama Sidang Setya Novanto” (Metro Hari Ini: Metro TV). Metro TV menggunakan kata “drama” untuk menonjolkan sisi dramatis yang menghibur dari proses tersebut.
Proses Kedua adalah “politik yang menghibur”. Proses ini merujuk pada bagaimana aktor politik menggunakan strategi hiburan dalam mengkampanyekan pesan, atau mendongkrak popularitas mereka di media. Contohnya: Sinetron “Tukang Bubur Naik Haji” yang tiba-tiba menampilkan Wiranto dan Hary Tanoe. Kala itu, Win-HT bersepakat untuk maju sebagai bakal calon presiden dan wakil presiden tahun 2014. Apalagi, HT sendiri merupakan pemilik MNC Group yang menaungi RCTI, tempat dimana sinetron tersebut ditayangkan. Maka, mereka pun menggunakan sinetron tersebut untuk mengkampanyekan pesan, dan mendongkrak popularitas mereka. Apalagi, sinetron ini memiliki rating yang cukup tinggi. Sehingga, produk media adalah citra (simulacra) si aktor politik, dan bukan kejujuran mereka yang sesungguhnya (honesty). Sekaligus memberikan perasaan nano-nano bagi mereka yang menontonnya.
Kita pun tidak lagi memilih politisi berdasarkan kinerja, tetapi karena citra dan citra serta kesalehan yang semu. Kita bahkan mengidolakan mereka bak artis, yang rela ‘pasang badan’ tanpa digaji sepeserpun. Terlihat dari kemunculan buzzer-buzzer politik di media sosial. Walhasil, dalam politainment, kita bukan warganegara. Kita hanya penonton sandiwara (sumber cetak tebal: Remotivi), atau media menyebutnya “dramaturgi”. Bersatunya unsur politik dan entertainment memang merupakan suatu keniscayaan, yang tidak dapat dielakkan. Namun, masyarakat tetap perlu tahu mana yang disebut berita politik, entertainment, ataupun politainment? Sehingga, mereka tetap mengedepankan rasionalitasnya dalam berpolitik. Sekian.

Komentar

Postingan Populer