Perspektif Media: Bijak Menyikapi Yahudi dalam Konflik Israel-Palestina

http://rmol.co
Sejak pernyataan kontroversial Trump tentang pengakuan sepihaknya atas Jerussalem sebagai ibukota Israel diberitakan, masyarakat dunia pun bergeming dan menolak keputusan ‘nyeleneh’ tersebut, sekalipun didengungkan oleh negara adidaya dunia. Mengapa demikian? Karena Jerussalem merupakan situs suci dari tiga agama besar dunia yakni Islam, Nasrani dan Yahudi. Mencaplok daerah tersebut sebagai milik suatu golongan saja, jelas hanya akan menciptakan instabilitas dan perang hebat antara agama-agama di dunia. Oleh karena itu, sebagian masyarakat dunia pun bersepakat, bahwa konflik antara Israel dan Palestina adalah murni masalah kemanusiaan (it’s not about religion, it’s about humanity).
Berbagai media pun sambung-menyambung memberitakan dan bersepakat, bahwa langkah Trump ini bakal memperparah ketegangan yang terjadi di wilayah Timur Tengah. Namun, ada satu hal yang kita sesalkan di sini, yakni informasi yang disampaikan media tidak benar-benar jernih. Hal ini terlihat dari seolah-olah ‘Yahudi’ lah yang menjadi sumber dan akar permasalahan. Padahal, tidaklah demikian adanya. Tidaklah semua Yahudi menghendaki pendudukan Israel atas Palestina, bahkan sebagian menolaknya dengan tegas dan terang-terangan, namun luput dari perhatian media kita.
Sebagian besar situ-situs media kita hanya berfokus pada AIPAC, yang dianggap ambil andil dan merupakan tokoh antagonis dalam konflik Israel-Palestina. AIPAC atau American Israel Public Affairs Commite sendiri merupakan kelompok lobi di Amerika Serikat yang kerap melobi kongres Amerika dan badan eksekutif pemerintahannya, dengan tujuan menghasilkan kebijakan yang meningkatkan hubungan ‘mesra’ antara Paman Sam dan Tel Aviv, yang tak jarang juga menghasilkan dukungan terhadap kebijakan yang sarat pertumpahan darah.
Akibatnya, slot pemberitaan yang terlalu besar terhadap AIPAC, mengaburkan sisi lain dari Yahudi. Seperti JVP (Jewish Voice for Peace), yang beranggotakan komunitas Yahudi di Amerika dan aktif menolak berdirinya Negara Israel, serta mendukung kemerdekaan Palestina; B’Tselem, organisasi hak manusia di Israel yang mengungkap masalah-masalah yang muncul pasca pendudukan Israel di Palestina; Neturei Karta, kelompok orthodox Yahudi yang percaya bahwa mendirikan negara Israel sebelum datangnya Mesiah bertentangan dengan ajaran Judaisme; ataupun MAKI, Partai Komunis Israel yang menentang keras pendudukan dan mendorong pembebasan Palestina (sumber: Remotivi).
Media perlu memberikan pemahaman yang bijak pada masyarakat kita, bahwa Yahudi adalah ras, Judaisme adalah kepercayaan, dan zionisme sebagai ideologi politik. Sebenarnya, Zionisme lah yang menjustifikasi pendudukan Israel atas Palestina. Jadi, sumber masalah bukanlah ras (Israel vs Arab), ataupun kepercayaan (Yahudi vs Islam). Yahudi sebagai ras sama seperti ras-ras lainnya di dunia, sebagian memeluk Judaisme, Kristen, Islam, bahkan sebagian lagi atheis (tidak memercayai Tuhan). Sebagian dari mereka juga menghendaki pendirian Negara Israel Raya, sebagaimana Islam menghendaki pendirian negara yang bersistemkan khilafah, ataupun Komunis yang menghendaki pendirian negara yang berprinsipkan “sama rata sama rasa”, yang harus direbut melalui jalan revolusi.
Last but not least, kita semua sepakat bahwa invasi Israel atas Palestina tidak dapat ditolerir. Namun, kita juga seyogyanya bersepakat, bahwa rasisme dan permusuhan terhadap agama Yahudi hanya akan menambah permasalahan baru, dan secara tidak langsung menjustifikasi kisah horor ‘Holocaust’ yang dilakukan Hitler di masa lalu. Mari bijak menyikapi Yahudi dalam konflik Israel-Palestina di media. Salam damai!

*Tulisan ini merupakan rangkuman dari video Remotivi berjudul “Gambar Buram Yahudi di Media Indonesia”, dan dapat diakses di Youtube. 

Komentar

Postingan Populer