Apa Kabar Undang-Undang Penyiaran?

img.okezone.com
Puji Tuhan. Undang-Undang Penyiaran kita masih dalam keadan baik, sehat wal ‘afiat dan bahagia. Yang sakit adalah lembaga penyiaran kita sendiri, yang masih saja menayangkan konten-konten bermasalah. Seperti, masih banyak ditemukan konten-konten yang mengumbar kemewahan (hedonisme) secara instan, adegan percintaan yang belum sepantasnya, kenakalan remaja, adegan kekerasan, pornografi, dan beberapa pelanggaran lain yang kerap ditemukan bersinggungan dengan norma dan etika ketimuran kita. Sehingga, konten-konten ‘sakit’ seperti ini jelas tidak memberikan nilai edukasi bagi masyarakat.
Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa keberadaan Undang-Undang Penyiaran ini dimaksudkan untuk menjadikan penyiaran kita lebih sehat, tidak berat sebelah pada pemilik media, serta tetap menjaga prinsip-prinsip demokrasi. Untuk itu, keberadaan UU ini haruslah dibarengi dengan pelaksanaannya yang maksimal. Yang dalam hal ini diamanahkan kepada Komisi Penyiaran Indonesia, atau yang lebih dikenal dengan sebutan KPI.
Namun sayang, kurangnya kewenangan KPI dalam memberikan sanksi terhadap lembaga penyiaran yang melanggar, membuat lembaga-lembaga penyiaran tersebut berulah lagi. Terbukti dari kewenangan KPI yang hanya bisa memberikan sanksi administratif berupa teguran, ataupun paling banter penghentian program acara. Jelas, sanksi semacam ini tidaklah menimbulkan efek jera, sehingga sebagian kalangan meyakini perlu adanya sanksi denda.
Pentingnya Keberadaan Konten Lokal
UU Penyiaran kita jelas menghendaki Komisioner KPI kita yang independen. Artinya, komisoner-komisioner didalamnya benar-benar berintegritas, dan kuat dalam mengawasi konten-konten penyiaran yang bermasalah. Salah satunya ialah masih kurangnya lembaga penyiaran kita dalam mengakomodir konten lokal. Sehingga, disinilah peran Komisioner KPID di seluruh provinsi di Indonesia, termasuk di Sumatera Utara sangat dibutuhkan. Untuk terus mengawasi ada tidaknya konten lokal dalam suatu lembaga penyiaran.
Hal ini jelas kita rasa penting, karena industri penyiaran selama ini kerap mengabaikan konten lokal dan menggantinya dengan isu-isu ‘Jakarta’ seperti kemacetan, yang kita rasa sangat tidak penting. Selain itu, isu-isu seperti ini pun kerap meredam potensi-potensi daerah kita, yang seharusnya bisa disebarluaskan melalui keberadaan konten lokal. Seperti kebudayaan di daerah sumut, keberagaman di daerah sumut, pariwisata, kuliner, adat-istiadat dan sebagainya. Sehingga, lebih mendapatkan tempatnya di hati masyarakat. Selain itu, keberadaan UU Penyiaran ini juga menyiratkan satu pesan, bahwa konten lokal tidak boleh ‘dibunuh’ dengan alasan apapun. Termasuk dengan alasan mengejar profit yang sebesar-besarnya. Maka daripada itu, KPI harus terus diperkuat dalam bidang pengawasannya. Beberapa caranya ialah dengan peningkatan sumber daya manusianya, penambahan anggaran untuk pembaharuan infrastruktur pengawasan, serta penguatan kewenangan yang dimilikinya.
Tentu kita berharap kabar UU Penyiaran tetap baik dan KPI sebagai eksekutornya tetap sehat. Sehingga, lembaga ini tetap ada, eksis dan bernafas. Butuh dukungan dari semua pihak, agar fungsi pengawasan yang dilakukan KPI tetap berjalan maksimal. Dan, bagi lembaga penyiaran publik, swasta, komunitas maupun berlangganan untuk dapat mengindahkan UU Penyiaran ini demi kemaslahatan kita bersama. Sekian. 

Komentar

Postingan Populer