INDEPENDENSI KPI BUKAN ‘SEKEDAR WACANA’
asset.kompas.com |
Pemberlakuan
Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, secara langsung mencabut
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Penyiaran yang represif di zaman Orde
Baru. Dimana pengontrolan konten media penyiaran disesuaikan dengan selera dan
kehendak rezim yang berkuasa, lewat keputusan-keputusan menteri penerangan-nya.
Namun, kini masyarakat telah cerdas, tidak mau lagi dicekoki oleh informasi
yang telah dipreteli oleh penguasa. Oleh karena itu, masyarakat lewat dewan
perwakilannya menghendaki suatu lembaga penyiaran yang independen yang bukan
sekedar wacana.
“Komisi Penyiaran Indonesia adalah
lembaga negara yang bersifat independen, yang ada di pusat dan di daerah, yang
tugas dan wewenangnya diatur dalam Undang-undang ini sebagai wujud peran serta
masyarakat di bidang penyiaran.” (Pasal 1, Ayat 13).
Komisi Penyiaran Indonesia,
selanjutnya disingkat KPI benar-benar kita butuhkan kehadirannya. Sebagai suatu
lembaga negara yang independen dalam mengawasi penggunaan frekuensi di
Indonesia. Apakah dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan publik, atau
untuk kepentingan segelintir pemilik lembaga penyiaran saja. Sekaligus, KPI
menggantikan peran pemerintah sebagai ‘polisi’ dalam mengontrol dunia
penyiaran. Sehingga, dampak positif pemindahan kekuasaan ini adalah pengawasan
yang dilakukan dapat berlangsung secara bebas, independen, berwibawa dan wajar.
Tentu hal ini sangatlah berbeda, jika ‘wasit’ penyiaran masih dipegang oleh pemerintah.
Independensi
KPI pun bukan hanya diukur dari sumber pendanaannya, yang berasal dari APBN
untuk KPI Pusat dan APBD untuk KPID Provinsi. Melainkan, juga diukur lewat
pertanggungjawabannya terhadap rakyat dan profesionalisme yang berintegritas dalam
mengawasi isi siaran. Semoga kedepannya, KPI terus amanah dengan tetap
mengedepankan prinsip keterbukaan, transparansi dan akuntabel dalam setiap
kinerjanya. Amin.
Komentar
Posting Komentar