KEKUASAAN DAN KEKERASAN DALAM KAP

http://poskotanews.com
Tulisan ini merupakan rangkuman dari slide Komunikasi AntarPribadi (pasca mid) karya ibu Mazdalifah, Ph.D, yang kemudian dilengkapi dengan makalah Muhammad Dhalim dkk. Berikut rangkumannya slide per slide:
A.    Pengertian Kekuasaan
Kekuasaan merupakan perbuatan yang memungkinkan seseorang untuk mengontrol pola pikir atau tingkah laku seseorang. Kekuasaan dalam hubungan antarpribadi merupakan sesuatu yang memungkinkan seseorang untuk mengontrol perilaku orang lain dalam sebuah hubungan antarpribadi seperti hubungan persahabatan, hubungan sepasang kekasih ataupun hubungan keluarga. Sebagai esensi dari kekuasaan, pengaruh diperlukan untuk menyampaikan gagasan, atau untuk memotivasi orang lain agar mendukung dan melaksanakan berbagai keputusan. Namun, kekuasaan juga dapat dinilai negatif dalam beberapa faktor. Kekuasaan hubungan antarpribadi dalam bentuk begatif juga dapat menjadi salah satu faktor terjadinya kekerasan dalam hubungan antarpribadi. 
Dengan kekuasaan seseorang memperoleh alat untuk memengaruhi bahkan mendikte perilaku para pengikutnya. Sejatinya, kekuasaan merupakan proses yang wajar dalam setiap kelompok dan organisasi (Ardana, 2008: 129). Sayang, seseorang yang mempunyai kekuasaan biasanya memanfaatkannya untuk hal-hal yang hanya menguntungkan dirinya saja, dan juga cenderung melakukan kekerasan. Kajian tentang kekuasaan dan kekerasan dimulai oleh Thomas Hobbes dalam bukunya yang berjudul Leviathan. Leviathan adalah hewan laut yang besar, menakutkan dan berkuasa atas makhluk lain dengan menggunakan kekerasan.
Menurut Hobbes, manusia bertindak atas dasar kepentingan sendiri, dan menjadi fitrah manusia untuk berselisih dan bertengkar. Oleh karena itu, adakalanya perselisihan dan pertengkaran harus diselesaikan melalui kekuasaan. Seseorang menggunakan kekuasaannya biasanya untuk melaksanakan dominasinya terhadap orang lain. Kekuasaan adalah kapasitas memaksa seseorang untuk menuruti kehendak orang lain (Shaun Tyson & Tony Jackson, 2000). Sementara BM Bass (dalam Robbins, 2002) mengatakan, bahwa kekuasaan itu adalah suatu kapasitas yang dimiliki A untuk memengaruhi perilaku B, sehingga B bertindak sesuai dengan keinginan A.
Definisi di atas senada dengan pendapatnya Robert Dahl (dalam Ardana, 2008: 130) yang mengatakan kekuasaan sebagai “A” memiliki kekuasaan atas “B”, berarti “A” dapat memerintah “B” untuk melakukan sesuatu yang diinginkan “A”. Contoh: Dalam hubungan antarpribadi yang terbina antara suami pada istri, besar kemungkinan suami mengontrol istri atau sebaliknya. Lewat komunikasi antarpribadi yang dilakukan, suami kerap mendominasi pembicaraan antara mereka berdua. Keputusan-keputusan penting pun lebih banyak diambil oleh suami, karena dia yang berkuasa. Tak jarang, suami berkomunikasi dengan nada memerintah dan bukan memohon. Dari pendapat tersebut paling tidak menunjukkan, bahwa kekuasaan melibatkan dua orang atau lebih serta adanya ketergantungan. Makin besar ketergantungan B pada A, maka makin besar cengkraman A atas B. Sedangkan, Tyson dan Jackson (2000) mengatakan, kekuasaan itu sebagai kapasitas untuk memaksa seseorang untuk menuruti kehendak orang lain.
Namun belakangan, muncul fenomena unik yang disebut dengan istilah “Suami-suami takut istri”, dimana sang istri lebih berkuasa atas suami dalam segala sektor rumah tangganya. Masih belum diketahui pasti mengapa hal ini bisa terjadi, terkhusus di Indonesia yang menganut patriarkal. Entah lantaran suaminya yang terlalu cinta pada istrinya; entah karena si istri yang memang galak; atau entah karena si istri yang lebih kaya ketimbang suaminya. Kalau istilah istri-istri zaman now, “Lo nikah ma gua mah modal kolor doang!”. Wkwkwk.
Kekuasaan erat pula kaitannya dengan dimensi budaya. Di Asia, Arab dan Afrika ada jarak kekuasaan yang besar antara laki-laki dan perempuan. Baik merujuk pada teori genderlect, maupun teori Hofstede (kekuasaan konteks tinggi dan kekuasaan konteks rendah) dalam komunikasi antarbudaya. Misalnya dalam budaya Arab: Laki-laki punya kekuasaan lebih besar dibandingkan perempuan dalam memutuskan hal-hal penting.
Hal ini merujuk pada ayat al-Qur’an yang berbunyi: “Kaum pria adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (pria) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (pria) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Maka dari itu, wanita yang salihah ialah yang taat kepada Allah subhanahu wata’ala lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kalian khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka, dan jauhilah mereka di tempat tidur, dan pukul lah mereka. Jika mereka menaati kalian, janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.“ (QS. An-Nisa’: 34).
Berikut adalah penjabaran singkat daripada tafsir ayat di atas, yakni:
Pertama, Kaum pria diberi kekuasaan untuk mengharuskan kaum wanita menunaikan hak-hak Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yaitu menjaga perkara-perkara yang diwajibkannya (seperti shalat dan semisalnya), dan mencegah mereka dari berbuat kerusakan dan kemaksiatan (qonitah.com, diakses pada 25/12/2017). Jadi, maksud ayat ini jelas untuk menjaga dan melindungi wanita. Bukan malah sebaliknya, salah menafsirkan ayat ini untuk menindas wanita.
Selain itu, kaum pria juga diberi kemampuan untuk memberikan nafkah, pakaian dan tempat tinggal kepada kaum wanita. Belakangan, kaum wanita juga telah mampu mencari nafkahnya sendiri. Dalam Islam, kaum perempuan amat sangat dimuliakan. Terlihat dari bagaimana sang suami bertanggungjawab atas nafkah si istri, sedangkan penghasilan si istri berhak untuk dirinya pribadi. Kecuali jika istri tersebut berkehendak untuk sama-sama membangun rumah tangga, maka hal ini sah-sah saja dalam agama.
Kedua, berikut beberapa keutamaan laki-laki adalah pemimpin hampir di segala sektor kehidupan. Contoh terbaik untuk ini adalah Amerika Serikat sendiri. Dimana negara Super Power yang mendaulat dirinya pejuang kesetaraan gender itu, toh tetap sulit untuk menempatkan perempuan pada puncuk pimpinan. Islam sendiri pernah memiliki pemimpin-pemimpin hebat berjenis kelamin perempuan. Seperti Khadijah yang sukses dalam bidang perniagaan, dan turut membantu dakwah Rasulullah; Aisyah yang menjadi pemimpin pasca wafatnya Rasulullah; Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia dan hero-hero perempuan lainnya di Bumi Aceh Serambi Mekkah.
Wanita adalah pemimpin atas penghuni rumah suaminya dan atas anak suaminya. Dia (wanita) bertanggungjawab atas yang dipimpinnya (Muttafaqun ‘alaih). Ya, dari rahim seorang ibu dan didikannya lah akan lahir generasi-generasi hebat di dunia. Walhasil, sungguh hebat perjuangan seorang ibu. Bahkan, hal ini dinukilkan oleh Rasulullah SAW melalui salah satu hadistnya yang berbunyi: Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shallahu ‘alaihi wassalam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548).
B.     Prinsip Kekuasaan AntarPribadi
Prinsip kekuasaan menurut De Vito adalah sebagai berikut:
1.      Beberapa orang lebih berkuasa daripada yang lain
Beberapa oang dilahirkn dalam kekuasaan dan beberapa dari mereka tidak. Namun, mereka belajar untuk mendapatkan kekuasaan itu. Beberapa orang dalam kehidupannya ada yang mengerahkan kekuasaannya di suatu tempat, di banyak tempat, namun ada pula yang di sedikit tempat.
Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan, dalam arti bahwa satu pihak yang memerintah dan ada pihak yang diperintah. Satu pihak yang memberi perintah dan satu pihak yang mematuhi perintah. Tidak ada persamaan martabat, selalu yang satu lebih tinggi daripada yang lain, dan selalu ada unsur paksaan dalam hubungan kekuasaan. Kekuasaan dapat menghasilkan hubungan yang dekat menjadi kekerasan antarpribadi.
2.      Kekuasaan dapat meningkat dan menurun
Setiap orang dapat meningkatkan kekuasaannya dalam beberapa cara. Begitupula sebaliknya, kekuasaan juga bisa menurun. Mungkin, cara yang paling umum turunnya kekuasaan kita adalah dengan gagal mengendalikan perilaku orang lain. Cara lain menurunnya kekuasaan adalah memungkinkannya orang lain mengendalikan Anda.
3.      Kekuasaan memiliki dimensi budaya
Contoh: Pria memiliki kekuasaan yang lebih besar ketimbang wanita. Dalam banyak keluarga di Amerika Serikat, pria masih memiliki kekuasaan yang lebih besar, karena mereka mampu menghasilkan banyak uang. Sebaliknya, dalam budaya Arab, pria dapat mengambil setiap keputusan penting, karena agama (baca: Islam) melegalkan kekuasaan mereka atas perempuan tersebut dalam artian yang positif. 
C.    Tipe-Tipe Kekuasaan
1.      Kekuasaan rujukan
Misalnya, kakak memiliki kekuasaan atas adik, karena adik ingin menjadi seperti kakak. Asumsi yang dibuat oleh adik adalah adik akan hebat seperti kakaknya, jika ia berbuat dan berperilaku seperti kakaknya.
2.      Kekuasaan yang sah
Kekuasaan yang sah berasal dari keyakinan, bahwa orang-orang tertentu harus memiliki kekuasaan atas kita, dan memengaruhi kita karena posisi mereka. sebagai contoh: orangtua dipandang memiliki kekuasaan yang sah atas anak-anak mereka.
3.      Kekuasaan ahli
Anda memiliki kekuasaan ahli atas orang lain, ketika mereka melihat Anda memiliki keahlian atau pengetahuan. Contoh: dokter, pengacara di bidang hukum, psikiater dan sebagainya.
4.      Kekuasaan penghargaan atau paksaan
Contoh: guru tidak hanya dapat memberikan hadiah dengan nilai yang tinggi, tetapi juga dapat menghukum dengan nilai rendah kepada siswanya. Kekuasaan atas paksaan tergantung pada dua faktor, yaitu: 1) Besarnya hukuman yang diberikan; 2) Hukuman akan diberikan sebagai akibat dari ketidakpatuhan.
Sungguh, seseorang yang menggunakan kekuasaan berdasarkan penghargaan lebih disukai, ketimbang menggunakan kekuasaan berdasarkan paksaan. Karena orang lebih senang untuk dihargai daripada diancam atau dipaksa. Ketika Anda mengerahkan kekuasaan dengan penghargaan, Anda akan berhadapan dengan individu yang puas dan bahagia. Tapi bila Anda menggunakan kekuasaan dengan paksaan dan hukuman, Anda harus siap untuk menanggung kemarahan dan permusuhan hingga perlawanan terhadap Anda.
Selain itu, ketika Anda menggunakan kekuasaan dengan paksaan, maka kekuasaan dalam diri Anda akan berkurang. Orang-orang yang menjalankan kekuasaan dengan paksaan, terkadang dilihat sebagai orang yang kurang berpendidikan. Namun, apabila Anda menggunakan kekuasaan dengan penghargaan, maka Anda akan dianggap berpendidikan. Sudah seyogyanya, kita dapat mempertimbangkan bagaimana kita mengkomunikasikan kekuasaan kita. Baik melalui pesan verbal maupun non verbal yang disampaikan secara bijak.     
D.    Pengertian Kekerasan
Secara umum, konsep kekerasan mengacu pada dua hal, yakni: Pertama, kekerasan merupakan suatu tindakan untuk menyakiti orang lain, sehingga menyebabkan luka-luka atau mengalami kesakitan; Kedua, kekerasan yang merujuk pada penggunaan kekuatan fisik yang tidak lazim dalam suatu kebudayaan (Wiyata, 2002: 7). Dalam bahasa sehari-hari, konsep kekerasan meliputi pengertian yang sangat luas mulai dari tindakan penghancuran harta benda, pemerkosaan, pemukulan, perusakan, penyiksaan, bahkan sampai pembunuhan.
Menurut asal katanya, kekerasan (violence) berasal dari gabungan kata latin yakni vis dan latus. Vis berarti daya dan kekuatan sedangkan latus berarti membawa. Jadi secara sosiologis, kekerasan merupakan konflik sosial yang tidak terkendali oleh masyarakat, dengan mengabaikan norma dan nilai sosial sehingga menimbulkan tindakan merusak. Kekerasan adalah perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang. Kekerasan dapat diklasifikasikan kedalam tiga bentuk yaitu ringan, menengah dan berat. Dalam komunikasi antarpribadi, kekerasan terjadi karena adanya kekuasaan pada diri pelaku.
Kekerasan fisik meliputi memukul, menampar, menjambak rambut, menendang, mendorong, menonjok, meludahi, melempar benda, pelecehan seksual (perabaan, colekan yang tidak diinginkan, pemaksaan untuk berciuman dan perkosaan), serta membawa ke tempat yang membahayakan keselamatan seseorang. Kekerasan non fisik merupakan tindakan yang bertujuan merendahkan citra atau kepercayaan diri seseorang. Baik melalui kata-kata maupun perbuatan yang tidak disukai atau dikehendaki oleh korbannya (Yanti, 2012: 63-64).
Dalam hubungan antarpribadi yang terbina dengan orang-orang terdekat rentan terjadinya kekerasan. Seperti orangtua terhadap anak, suami kepada istri, dosen kepada mahasiswa, bos kepada bawahannya dan sebagainya. Contoh: Kekerasan secara verbal (kata-kata); berteriak, memaki, berkata kasar yang tidak sepantasnya sering terjadi dalam KAP. Yupz, sayang sekali, kemampuan untuk mengontrol perilaku orang lain ini sering disalahgunakan untuk hal-hal negatif. Dengan melakukan kekerasan pada orang-orang terdekat. Contoh: KDRT, kekerasan pada anak, kekerasan dari atasan kepada bawahan dan sebagainya.
Kekerasan pada hilirnya akan memengaruhi kualitas KAP yang terjalin, diantaranya: 1) Terjadinya disharmoni dalam hubungan antarpribadi; 2) KAP mengalami hambatan; 3) Tahapan hubungan menjadi rusak, yang bisa diperbaiki bisa juga tidak, dan masih banyak lagi tentunya. Oleh karena itu, setiap individu yang terlibat dalam KAP harus mengontrol kekuasaannya, sehingga kekerasan dapat diminimalisir.
E.     Jenis Kekerasan
Ada empat jenis kekerasan, yaitu:
1.      Kekerasan verbal atau tertulis, melalui penggunaan stereotip-stereotip dan penamaan yang bermuatan seksis, rasis, menghina ketidaksempurnaan fisik/mental.
2.      Kekerasan fisik seperti mengguncang, mendorong, mencubit, menarik rambut atau telinga, memukul dengan penggaris, atau melemparkan sesuatu.
3.      Kekerasan psikologis seperti berteriak, berbicara dengan sarkasme, menyobek hasil kerja, mengadu domba siswa, membuat ancaman-ancaman.
4.      Kekerasan yang berkaitan dengan profesionalisme seperti penilaian yang tidak adil; menerapkan hukuman dengan pilih-pilih; menggunakan cara-cara pendisiplinan yang tidak pantas; membohongi rekan sekerja, orangtua, atasan; menghambat siswa untuk memperoleh kesempatan belajar yang sama dan lain-lain (Parsons, 2009: 71).
Kekerasan dalam hubungan pacaran atau rumah tangga dapat terjadi, ketika salah satu pasangannya mendominasi. Kekerasan itu terjadi seperti kekerasan fisik. Setiap tindakan pemukulan dan serangan fisik, yang dilakukan oleh pacar terhadap salah satu pasangannya yang menyebabkan rasa sakit, cidera, luka atau cacat pada tubuh seseorang atau menyebabkan kematian (Yanti, 2012: 63).
Dilihat dari aspek jenis kelamin, perempuan bisa dikatakan rentan terhadap semua bentuk kekerasan atau penindasan. Hal ini terjadi karena posisinya lemah, atau karena dilemahkan baik secara sosial, ekonomi maupun politik. Namun, bukan berarti laki-laki tidak mengalami kekerasan. Kekerasan dapat terjadi pada siapa saja, selama ada salah satu pihak yang lebih mendominasi.

Referensi:
Ardana, Komang, dkk. (2008). Perilaku Keorganisasian. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Parsons, Les. (2009). Bullied Teacher Bullied Student. Guru dan Siswa yang Terimindasi.  Jakarta: Penerbit Grasindo.
Wiyata, A. Latief. (2002). Carok: Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura. Yogyakarta: Lkis.
Yanti, Fitri. (2012). Kekerasan dalam Berpacaran. Studi Kasus: Siswa SMA 4 di Kota Makassar. Jurnal Universitas Hasanuddin.

Komentar

Postingan Populer