PENGELOLAAN KONFLIK DALAM HUBUNGAN ANTARPRIBADI
indonesiana.tempo.co |
1.1 Latar Belakang
Masalah
1.1.1
Pengertian Konflik
Konflik berasal dari bahasa Latin “Configere”
yang berarti memukul. Namun, dalam konteks ilmu komunikasi, konflik tidak harus
berakhir dengan memukul. Sementara, secara sosiologis, konflik diartikan
sebagai proses sosial antara dua orang atau lebih, dimana salah satunya
berusaha untuk menyingkirkan, menghancurkan, atau membuat pihak lain tak
berdaya.
“Setiap hubungan antarpribadi mengandung unsur-unsur
konflik, pertentangan pendapat atau perbedaan kepentingan. Konflik adalah
situasi dimana tindakan salah satu pihak berakibat menghalangi, menghambat,
atau mengganggu tindakan pihak lain.” (Johnson, 1981).
Selaras dengan Robbins (1996) dalam bukunya, “Organization Behaviour”
menjelaskan bahwa konflik adalah suatu proses interaksi yang terjadi, akibat
ketidaksesuaian antara dua pendapat. Sehingga berpengaruh atas pihak-pihak yang
terlibat. Baik pengaruh secara positif maupun pengaruh secara negatif.
Sedangkan menurut Luthans (1981), konflik adalah kondisi yang ditimbulkan oleh
adanya kekuatan yang saling bertentangan. Kekuatan-kekuatan ini bersumber pada
keinginan manusia.
Konflik kerap terjadi dalam hubungan antarpribadi. Hal ini menandakan, bila
kita ingin mengetahui cara mengelola konflik, maka kita harus merujuk pada
kemampuan tiap-tiap individu dalam berkomunikasi. Namun, sungguh kita telah
salah kaprah, jika kita beranggapan bahwa konflik itu harus dihindari, karena
sifatnya yang negatif. Padahal, konflik adalah suatu hal yang niscaya dalam
hubungan antarpribadi. Tidak dapat dielakkan memang, sebagai konsekuensi logis
interaksi antarmanusia. Oleh karena itu, kita punya kewajiban untuk
mengelolanya dengan baik.
Keberadaan konflik berjalin kelindan dengan tujuan ilmu komunikasi itu
sendiri, untuk menciptakan persamaan pesan. Dimana tiap-tiap individu berupaya
untuk mempertemukan perbedaan sudut pandangnya. Tentu, seorang komunikator
tidak dapat memaksakan kehendaknya terhadap komunikan. Tapi setidaknya,
komunikan memahami maksud pesan komunikator dan coba melihatnya dari kacamata
yang sama. Konflik tidak terwujud dalam bentuk verbal saja, tetapi juga dalam
bentuk nonverbal, seperti raut muka dan gerak badan yang mengekspresikan
pertentangan.
Banyak persoalan dapat diselesaikan jika komunikasi berjalan lancar.
Komunikasi yang buruk memperparah persoalan karena setiap orang terlibat dalam
konflik secara tidak sadar. Perbedaan antara pesan yang disampaikan dengan
pesan yang diterima akan menimbulkan masalah ketika komunikasi berlangsung.
“Tidak ada suatu yang lebih penting bagi sebagian besar
orang selain berinteraksi dengan orang lain. Begitu pentingnya interaksi ini,
sehingga apabila tidak dilakukan dalam jangka waktu lama, akan menimbulkan
depresi, kurang percaya diri dan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar bagi
kehidupan sehari-hari.’
“Beberapa alasan umum tentang mengapa seseorang menjalin
hubungan, yaitu: mengurangi kesepian yang muncul ketika kebutuhan interaksi
akrab tidak terpenuhi, menguatkan dorongan karena semua manusia membutuhkan
dorongan semangat, dan salah satu cara terbaik untuk mendapatkannya adalah
dengan interaksi manusia.’
“Memperoleh pengetahuan tentang diri sendiri, karena
melalui interaksi seseorang akan melihat dirinya seperti orang lain melihatnya,
memaksimalkan kesenangan dan meminimalkan rasa sakit dengan cara melalui
berbagi rasa dengan orang lain. Tidak jarang konflik terjadi sebagai pelarian
dari perasaan yang dirasakan, untuk menjaga kehormatan diri. Namun, sayangnya
itu sangat beresiko bagi hubungan antarpribadi (De Vito, 1996: 245-246).
Menurut Budyatna & Gainem (dalam Aini, 2014: 293) ada tiga peran
komunikasi dalam pengelolaan konflik, yaitu: 1) Kecakapan berkomunikasi untuk
memprakarsai konflik; 2) Kecakapan berkomunikasi untuk merespons konflik; dan
3) Kemampuan berkomunikasi untuk menengahi konflik.
1.1.2 Kajian Literatur
Ketika konflik meledak, individu
merespons dengan berbagai cara: mereka memilih tindakan mereka secara sadar dan
refleks, atau bereaksi secara emosional saat itu (Tjosvold, 1986). Dalam
literatur, konsep gaya manajemen konflik interpersonal mengacu pada reaksi dan
perilaku spesifik orang ketika berhadapan dengan konflik (Follett, 1940).
Periset telah mengembangkan beberapa tipologi konstruksi ini (misalnya, Blake
dan Mouton, 1964;
Follett, 1940;
Thomas, 1976) mengklasifikasikan
gaya manajemen konflik menjadi lima jenis: bersaing (yaitu mencapai tujuan
mereka dengan mengorbankan tujuan orang lain); berkolaborasi (yaitu mencoba menemukan
solusi yang saling menguntungkan,
yang memungkinkan benar-benar tercapai);
menghindar (yaitu, menolak
untuk menghadapi konflik,
atau bahkan mengakui adanya konflik);
berpuas diri (misalnya, memaafkan seseorang atas pelanggaran dan membiarkan
yang berikutnya);
serta berkomitmen (yaitu,
mengakui sebuah kesepakatan parsial dengan sudut pandang tertentu, dan memiliki
kesalahan parsial untuk pelanggaran).
Dahrendorf (1958)
menyamakan konflik dengan adanya perselisihan: “Semua hubungan antara kumpulan
individu yang menyiratkan perbedaan tujuan yang tidak sesuai”. Para periset
(Amason, 1996) mengidentifikasi konflik atau konflik kognitif sebagai jenis
konflik dan mendefinisikannya sebagai ketidaksesuaian, keinginan yang tidak
sesuai atau keinginan yang tidak dapat didamaikan (Jehn and Mannix, 2001, hal. 238). Terkadang konflik juga dianggap penuh dengan emosi
negatif (Jehn, 1997).
2.1 Pembahasan
Komunikasi antarpribadi bersifat transaksional, dimana sebuah hubungan
antarmanusia saling memengaruhi satu dengan yang lainnya. Hubungan antarpribadi
yang berkelanjutan dan terus-menerus akan memberikan semangat, saling merespon
tanpa adanya manipulasi. Tidak hanya tentang menang atau kalah dalam
beragumentasi, melainkan tentang pengertian dan penerimaan (Beebe, 2008: 3).
Konflik yang terjadi pada komunikasi antarpribadi biasanya terjadi, karena
adanya kesalahpahaman yang kebanyakan terjadi dari hal-hal yang kecil.
Pengelolaan konflik dalam hubungan antarpribadi diperlukan untuk membuat
efek dari konflik tersebut, bermanfaat bagi yang menjalani komunikasi. Karena
pada dasarnya, efek konflik bisa dikategorikan menjadi dua, efek positif dan
negatif. Efek positif konflik bisa meningkatkan kualitas hubungan. Sementara
efek negatif, jika konflik tidak dikelola dengan baik membuat hubungan yang
terjalin berakhir.
2.1.1 Jenis-jenis Konflik
Menurut James A.F. Stoner dan Charles Wankel, setidaknya terdapat lima
jenis konflik, yaitu: 1) Konflik intrapersonal; 2) Konflik interpersonal; 3)
Konflik antarindividu dan kelompok; 4) Konflik antarkelompok; dan 5) Konflik
antarorganisasi.
Salah satunya adalah konflik interpersonal, yang merupakan pertentangan
antara seseorang dengan orang lain karena perbedaan kepentingan. Hal ini bisa
terjadi antara dua orang yang berbeda status, jabatan dalam bidang kerja dan
lain-lain.
2.1.2 Konflik Menurut Sifatnya
Konflik
menurut sifatnya terdiri dari dua jenis, yaitu:
1.
Konflik Destruktif.
Menurut Deutsch (dalam Wilmot, 1985: 29) menyatakan, bahwa
konflik bersifat destruktif apabila partisipan merasa tidak puas dengan hasil
dari suatu konflik, dan
berfikir bahwa mereka telah kehilangan suatu hasil dari konflik. Dalam suatu
konflik destruktif, satu pihak secara sepihak
berusaha mengubah struktur, membatasi pilihan bagi yang lainnya, dan
mendapatkan keuntungan dari orang lain.
Contoh dari konflik destruktif dapat dibagi dalam
dua bentuk, konflik terbuka dalam bentuk baku hantam secara fisik, verbal
(saling memaki), atau konflik terselubung yang tidak ada komunikasi sama
sekali, baik verbal maupun nonverbal. Konflik destruktif bersifat merusak
apabila tidak merasa puas dengan hasil
penyelesaian konflik.
Hocker dan
Wilmat (1985: 30) mengatakan, bahwa konflik destruktif yang paling mudah dikenali
adalah konflik spiral. Konflik spiral adalah sebuah
konflik yang terus meningkat dan meluas di sekelilingnya, dan lebih merusak pada kondisi akhir dalam sebuah
hubungan.
2.
Konflik
konstruktif
Adalah
konflik yang keberadaannya dapat membangun hubungan yang
sesuai dengan keinginan. Artinya
melalui konflik yang dilakukan
dengan cara baik, akan
membuka peluang kemungkinan bagi masing-masing pihak untuk lebih memahami satu
sama lain. Konflik jenis ini membuat pihak yang
berkonflik bersedia mengubah cara bersikap, dan cara
berkomunikasi satu sama lain.
Suatu konflik yang konstruktif juga diperlukan untuk memenuhi fungsi-fungsi
yang produktif dalam mengelola sebuah hubungan. Coser (dalam Wilmot, 1985: 32) mengatakan, bahwa
konflik hanya menjadi ancaman pada sebuah pola hubungan jika tidak ada
kesempatan untuk menanganinya. Dalam sistem yang elastis, dimana diperbolehkan
adanya keterbukaan dan ekspresi langsung dan menyesuaikan pada pergiliran
keseimbangan kekuasaan, konflik bukan merupakan suatu ancaman bagi pihak-pihak
yang bertikai.
2.1.3 Faktor-Faktor Konflik
Faktor penyebab konflik dalam hubungan antarpribadi ialah sebagai berikut:
1. Perbedaan pendirian dan perasaan
Perbedaan ini jelas dapat memicu terjadinya konflik, sebab dalam menjalani
hubungan seseorang tidak selalu sejaan dengan orang lain. Seperti lirik lagu “Sorry”
milik Netral yang berbunyi, “Sorry, kita tak sejalan/ Sepertinya kita tak
sepaham/ Sorry, sorry//.” (m.kapanlagi.com, diakses pada 03/12/7,
pukul 9:36 wib).
2. Perbedaan latarbelakang kebudayaan
Kebudayaan memiliki peran penting dalam membentuk world view (sudut
pandang) masing-masing individu, yang perbedaannya dapat menimbulkan konflik.
3. Perbedaan kepentingan antarindividu
Baik secara kognitif (pemikiran), afektif (perasaan) dan konatif (tindakan)
setiap individu jelas berbeda-beda dalam memahami sesuatu hal. Ibarat kata
pepatah, “rambut boleh sama hitam, isi pikiran orang siapa yang tahu”
mengisyaratkan, bahwa sekalipun tiap-tiap individu berada dalam satu waktu yang
bersamaan, namun setiap individu tersebut jelas memiliki kepentingan yang
berbeda. Kepentingan yang berbeda-beda inilah yang ingin dikelola dalam
hubungan antarpribadi, agar dapat meminimalisir konflik.
2.1.4 Aspek-Aspek Positif Konflik
Pada umumnya, masyarakat mengkonotasikan ‘konflik’ sebagai sesuatu hal yang
negatif, sehingga harus dihindari. Seperti berdampak pada penurunan eskalasi
hubungan. Padahal, konflik adalah bumbu-bumbu kehidupan dalam hubungan
antarpribadi. Baik dalam lingkup keluarga, persahabatan dan sebagainya. Konflik
terjadi bukan hanya karena niat pelakunya, tapi juga karena ketidakmampuan kita
dalam menghadapinya; memecahkan konflik secara konstruktif, adil dan memuaskan
kedua belah pihak.
Sesungguhnya, bila kita mampu mengelola suatu konflik dengan baik, konflik
justru mendatangkan manfaat bagi orang yang mengalaminya. Menurut Johnson
(1981) berikut beberapa manfaat positif adanya konflik, diantaranya:
1. Konflik menjadikan kita sadar, bahwa ada
persoalan yang perlu dipecahkan bersama-sama.
Contoh: Beauty menyenangi film bergenre “murdered”, sedangkan Kim
Shin menyukai drama Korea. Hal ini tentu menandakan adanya perbedaan, dan
menjadi masalah ketika mereka punya rencana untuk nonton bersama.
2. Konflik menyadarkan kita untuk melakukan
perubahan dalam diri kita.
Contoh: Beauty sebagai seorang perempuan, tidak suka dimarahi apalagi
dibentak oleh kekasihnya. Oleh karena itu, Kim Shin sebagai kekasih Beauty
harus mulai belajar mengontrol kemarahannya.
3. Koflik dapat mendorong kita untuk memecahkan
persoalan, yang selama ini dibiarkan berlarut-larut.
Contoh: Rajesh Khan sering mengganggu tetangga apartemennya, Zaman
Zulkarnaen dengan menghidupkan musik India kencang-kencang. Akhirnya, Zaman
Zulkarnaen mendatangi kamar Rajesh Khan dan menyampaikan keberatannya.
4. Konflik dapat menjadikan hidup seseorang lebih
berwarna.
Contoh: Perbedaan pendapat antara Kim Shin dengan teman lelakinya yang
sedang kasmaran, tentang bagaimana caranya menyatakan cinta jelas menimbulkan
perdebatan. Tapi dibalik itu, juga memunculkan sudut pandang yang beragam.
5. Perbedaan dapat membimbing ke arah tercapainya
keputusan bersama, yang lebih matang dan bermutu.
Contoh: Sepasang suami istri sedang bersitegang. Sang istri marah karena
sang suami punya kebiasaan mentraktir teman-temannya, sehingga dianggap boros.
Akhirnya setelah pertengkaran mereda, sang suami bersepakat untuk tidak lagi
mengulangi perbuatannya, dan sang istri tetap membolehkan sang suami berkumpul
dengan teman-temannya.
6. Konflik dapat menghilangkan
ketegangan-ketegangan kecil.
Contoh: Sebuah keluarga tengah terlibat pertengkaran serius, karena masalah
defisit uang belanja. Si istri jengkel, karena uang belanja yang diberikan
tidak cukup. Sedangkan, si suami sudah berusaha menjelaskan kalau dagangannya
akhir-akhir ini kurang laris. Percekcokan terus terjadi yang berujung pada
pecahnya perabotan rumah tangga. Seperti kaca, gelas dan piring terbang.
Beruntung, salah seorang tetangga datang melerai, dan coba menjadi penengah
atas masalah ini.
7. Konflik juga menjadikan kita tahu tentang
siapa diri kita; apa yang tidak kita sukai, apa yang membuat kita gampang
tersinggung dan sebagainya.
8. Konflik dapat menjadi sumber hiburan.
Contoh: Dalam berbagai bentuk games (permainan) yang semakin
memperkaya dan mempererat hubungan.
Maka daripada itu, konflik dalam hubungan antarpribadi memiliki potensi
penunjang kepribadian kita, dan mengembangkan relasi kita dengan orang lain.
2.1.5 Pengelolaan Konflik
Berikut kiat-kiat dalam mengelola konflik:
1. Disiplin dalam mencegah dan mengelola konflik
2. Pertimbangan pengalaman dalam tahapan
kehidupan
3. Komunikasi yang baik dapat menciptakan
hubungan yang kondusif. Dengan menerapkan komunikasi yang efektif dalam
kehidupan sehari-hari.
4. Mendengarkan secara aktif
A.G. Lunandi dalah bukunya pernah menuliskan, “Saya tidak mengenal Anda,
maka saya tidak tahu apakah Anda bisa mendengarkan dengan sabar, dan dengan
penuh perhatian; atau tak sabar mendengarkan, dengan kecenderungan untuk
memutuskan percakapan orang”.
Hal ini menyimpulkan, bahwa aktivitas mendengarkan merupakan elemen penting
dalam hubungan antarpribadi. Sekaligus ampuh dalam upaya mengelola konflik.
Seperti tidak memotong pembicaraan lawan bicara; ataupun mendengarkan suatu
informasi dengan sebaik-baiknya, sehingga tidak menimbulkan hoaks di kemudian
hari.
2.1.5.1 Strategi
Pengelolaan Konflik
Dalam menghadapi konflik interpersonal seringkali kita tidak mungkin
menahan diri sejenak, menganalisis situasi, dan mengevaluasi prinsip
efektifitas yang mungkin paling relevan. Pengeloaan konflik merupakan proses
individu berperilaku dalam membicarakan dan
menyelesaikan konflik. Kilman dan
Thomas (dalam Hocker dan Wilmot, 1985: 10-43) menyebutkan ada lima tipe
pengelolaan konflik, yaitu:
1.
Penghindaran (avoidance)
Tipe penghindaran memiliki
karakteristik perilaku pasif atau tidak tegas. Orang tidak secara terbuka
mengejar kepentingan pribadi maupun kepentingan orang lain, tetapi secara
afektif menolak untuk melibatkan diri secara terbuka di dalam konflik.
Keuntungannya adalah dapat mensuplai
waktu untuk berfikir, atau untuk
memberikan respon lain terhadap konflik. Penggunaan gaya ini cocok, jika tujuan seseorang adalah untuk mencegah pihak
lain untuk mempengaruhinya. Maka, penghindaran akan sangat membantu untuk mencapai tujuan
tersebut.
Sifat tindakan juga cenderung menunda konflik yang terjadi. Menghindari
konflik bisa dilakukan jika masing-masing pihak coba mendinginkan suasana.
Namun, mendiamkan masalah tentu bukanlah cara yang baik. Sebab salah satu pihak
akan merasa stres, dengan masalahnya yang tak kunjung usai.
2. Penyesuaian (accomodation)
Tipe penyesuaian terjadi apabila
seseorang bersikap tidak tegas dan kooperatif. Ketika menggunakan tipe
penyesuaian seseorang akan mendahulukan kepentingan orang lain daripada
kepentingan pribadi. Individu dalam kelompok ini sering mengalah untuk membuat
keputusan yang cepat dan sesuai dengan pandangan pribadinya.
Keuntungan dari gaya ini adalah
ketika Anda mengetahui, bahwa Anda salah, adalah jalan terbaik untuk mengakomodasi
terhadap pihak lain untuk menunjukkan tanggungjawab Anda.
Kerugiannya adalah akomodasi dapat
membantu sifat kompetisi yang tidak nampak, jika
seseorang membangun pola yang memperlihatkan betapa bertanggung jawabnya dia. Yang perlu dicatat adalah jika cara ini terlalu banyak digunakan, maka
kesepakatan dalam sebuah hubungan dapat diuji karena orang tersebut selalu
mengalah.
3. Kompromi (compromise)
Kompromi adalah tipe yang berada
diantara ketegasan dan kerjasama. Ciri khas tipe ini adalah adanya dua perbedaan
yang kemudian didiskusikan, untuk
mencapai sebuah kesepakatan yang tidak merugikan bagi kedua belah pihak.
Keuntungan dari pengelolaan konflik
ini adalah kompromi terkadang dapat membantu seseorang mencapai tujuan dengan
konsumsi waktu yang lebih sedikit. Kompromi juga sebagai keseimbangan power
yang dapat dipergunakan untuk membuat keputusan sementara, atau mencari jalan keluar yang bijaksana dalam
situasi yang menekan.
Sedangkan, kerugiannya adalah
kompromi menghalangi munculnya opsi-opsi kreatif yang baru muncul, karena
kompromi mudah sekali digunakan. Tindakan ini dilakukan dengan cara mengorbankan sebagian
kepentingan masing-masing pihak, untuk mendapatkan situasi ‘win win solution’.
Terciptanya hubungan yang baik tetap menjadi prioritas utama.
4. Kerjasama (collaboration)
Tipe kerjasama dapat terjadi, apabila sikap ketegasan tinggi yang diarahkan untuk mencapai tujuan pribadi, dengan perhatian yang tinggi terhadap orang lain.
Kerjasama berarti seseorang berusaha untuk mencapai tujuan pribadinya dan
tujuan orang lain. Keuntungannya adalah kolaborasi akan berjalan dengan baik, jika orang menginginkan untuk mencari solusi integrative
yang akan memuaskan kedua belah pihak yang sedang bertikai.
Kolaborasi adalah penekanan aktif
terhadap pentingnya hubungan dan isi tujuan, yang kemudian membangun sebuah tim untuk mendekati manajemen
konflik. Sedangkan, kerugian dari pengelolaan konflik kerjasama ini
adalah akan ada yang terpenjara di dalamnya. Contohnya jika salah satu pihak menggunakan kolaborasi, dia bisa menuduh
pihak lain “tidak rasional” karena memilih gaya pengelolaan konflik yang lain.
5. Persaingan (competitive)
Tipe konflik ini ditandai dengan
sikap agresif perilaku yang tidak kooperatif. Tipe ini berusaha memenangkan
pendapat tanpa menyesuaikan dengan kepentingan dan keinginan orang lain.
Tipe persaingan dalam pengelolaan
sebuah konflik tidak selalu bersifat kurang produktif, karena seseorang dapat sangat bersikap terbuka untuk memenuhi tujuannya sendiri. Ibarat dua
sisi mata uang, ada sisi keuntungan dan kerugian dari tipe tersebut.
Keuntungannya adalah dengan
kompetisi bisa berguna ketika seseorang harus memutuskan tindakan cepat,
seperti dalam keadaan darurat. Kerugiannya adalah dengan kompetisi, maka cenderung akan mudah merusak hubungan diantara
pihak-pihak yang bertikai.
2.1.5.2 Gaya Pengelolaan Konflik
Menurut Johnson (1981) berikut lima gaya dalam mengelola konflik antarpribadi,
diantaranya:
1. Gaya kura-kura
Konon, kura-kura lebih senang menarik diri. Bersembunyi dibalik cangkangnya
untuk menghindari konflik. Mereka cenderung menghindar dari pokok-pokok
masalah, apalagi dari orang-orang yang dapat menimbulkan konflik.
Mereka percaya setiap upaya memecahkan konflik hanya akan sia-sia. Lebih
mudah menarik diri, baik secara fisik maupun psikologis dari konflik ketimbang
menghadapinya.
2. Gaya ikan hiu
Ikan hiu senang menaklukkan lawan dengan memaksanya menerima solusi konflik
yang ia sodorkan. Baginya tercapainya tujuan pribadi adalah yang utama,
sedangkan hubungan dengan pihak lain tidak terlalu penting.
Konflik harus dipecahkan dengan cara satu pihak menang dan pihak lainnya
kalah. Watak ikan hiu adalah selalu mencari menang dengan cara menyerang,
mengungguli dan mengancam ikan-ikan lain. Persis tokoh ikan hiu di film “Finding
Nemo” ataupun “Finding Dory”.
3. Gaya kancil
Seekor kancil sangat mengutamakan hubungan, dan kurang mementingkan
tujuan-tujuan pribadinya. Ia ingin diterima dan disukai oleh binatang-binatang
lain. Ia berkeyakinan bahwa konflik harus dihindari demi kerukunan. Setiap
konflik tidak mungkin dipecahkan tanpa merusak hubungan. Konflik harus
didamaikan, bukan dipecahkan agar hubungan tidak menjadi rusak.
4. Gaya rubah
Rubah senang mencari kompromi. Baginya, tercapainya tujuan-tujuan pribadi
maupun hubungan baik dengan pihak lain sama-sama cukup penting. Ia mau mengorbankan
sedikit tujuannya dengan pihak lain, demi tercapainya kepentingan dan kebaikan
bersama.
5. Gaya burung hantu
Burung hantu sangat mengutamakan tujuan-tujuan pribadinya sekaligus
hubungannya dengan pihak lain. Baginya, konflik merupakan masalah yang harus
dicari pemecahannya. Pemecahan ini harus sejalan dengan tujuan-tujuan pribadi
maupun lawannya. Dalam gaya ini, konflik dinilai bermanfaat untuk meningkatkan
hubungan, dengan cara mengurangi ketegangan serta perasaan negatif lain, yang
mungkin muncul didalam diri kedua pihak akibat konflik itu.
2.1.5.3 Faktor-Faktor Penting dalam
Pengelolaan Konflik
Faktor-faktor yang penting dalam pengelolaan hubungan antarpribadi ialah
sebagai berikut:
1. Percaya (Trust)
Faktor percaya adalah hal yang paling penting. Apabila diantara individu
ada rasa saling percaya, maka akan terbina saling pengertian. Sehingga akan
terbentuk sikap saling terbuka, saling mengisi, saling mengerti dan terhindar
dari kesalahpahaman. Sejak tahap pertama dalam hubungan antarpribadi (tahap
perkenalan), sampai pada tahap kedua (peneguhan) ‘percaya’ menentukan
efektivitas komunikasi.
Menurut psikologi humanistik, pemahaman antarpribadi terjadi melalui self
disclosure, feedback, dan sensitivity to the disclosures of
others. Kesalahpahaman dan ketidakpuasan dalam suatu jalinan antarpribadi
diakibatkan oleh ketidakjujuran, tidak adanya keselarasan antara tindakan dan
perasaan, serta terhambatnya pengungkapan diri.
2. Sikap Suportif (Supportiveness)
Sikap ini dibutuhkan untuk mengurangi sikap defensif dalam berkomunikasi,
yang dapat terjadi karena faktor-faktor personal seperti ketakutan, kecemasan
dan lain sebagainya. Sikap defensif menyebabkan komunikasi antarpribadi akan
gagal, karena orang defensif akan lebih banyak melindungi diri dari ancaman,
yang ditanggapinya dalam komunikasi ketimbang memahami pesan orang lain.
3. Sikap Terbuka (Open-Mindedness)
Sikap ini amat besar pengaruhnya dalam menumbuhkan komunikasi antarpribadi
yang efektif. Dengan komunikasi yang terbuka, diharapkan tidak akan ada hal-hal
yang tertutup. Bersama-sama dengan sikap saling percaya dan sikap suportif,
sikap terbuka mendorong timbulnya saling pengertian; saling menghargai dan yang
paling penting saling mengembangkan kualitas hubungan antarpribadi.
Meskipun berkomunikasi merupakan salah satu kebiasaan dan kegiatan kita
sepanjang kehidupan. Namun, tidak selamanya memberikan hasil sebagaimana yang
diharapkan. Menurut De Vito (dalam Budyatma, 2008: 13) ada beberapa strategi
yang tidak produktif dalam menyelesaikan konflik, dan malah semakin memperkeruh
hubungan, yaitu: 1) Penjauhan diri/redefinisi, 2) Kekuatan atau paksaan, 3)
Minimisasi, 4) Menyalahkan, dan 5) Membuat orang lain bungkam.
3.1 Simpulan
Konflik dalam hubungan antarpribadi perlu dikelola dengan baik. Sehingga
perlu adanya keterampilan dari masing-masing pihak untuk mengelolanya. Seperti
mulai menetapkan batasan mana yang boleh dibahas dan mana yang tidak, memulai
percakapan yang bermanfaat, serta terampil dalam menyatakan ketidaksetujuan.
Semoga kedepannya, komunikasi antarpribadi yang terjalin semakin harmonis.
Sekian. Amin ya Rabbal ‘alamin.
Komentar
Posting Komentar