TEORI EKONOMI POLITIK MEDIA
www.google.co.id |
Tulisan ini merupakan rangkuman dari slide Teori Sosial
Pembangunan (pasca mid) karya Amir Purba., Ph.D, yang kemudian diperbaharui
kembali. Berikut rangkumannya slide per slide:
Dimana pemilik/elit mengontrol sumber-sumber ekonomi. Salah satu
sumber ekonomi dewasa ini adalah media massa (mass media). Oleh karena
itu, mereka kooptasi media massa dengan mengontrol isinya (konten); untuk
kepentingan elit, menyebarkan ideologi mereka dan memobilisasi kesadaran secara
perlahan tapi pasti. Padahal, frekeunsi udara yang digunakan media massa
tersebut adalah milik negara, yang harus dimanfaatkan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat, dan bukan malah untuk segelintir elit. Pada akhirnya
mobilisasi kesadaran secara masif itu bakal menjadi hegemoni, jika merujuk
kepada pernyataan Antonio Gramsci.
Dalam, teori ekonomi politik media, maka media diartikan sama
dengan alat produksi, yang mana harus dikuasai oleh para pemilik modal. Lantas,
bagaimana realitas media di Indonesia. Data menunjukkan sebagaimana berikut:
No.
|
Media (TV)
|
Pemilik
|
1.
|
RCTI; Global TV; MNC TV; INews (Setiap daerah)
|
Hary Tanoesoedibjo (Perindo)
|
2.
|
Indosiar; SCTV
|
Anthoni Salim
|
3.
|
Trans7; Trans TV; Trans Corp
|
Chairul Tanjung (CT Corp) (Demokrat)
|
4.
|
ANTV; tvOne
|
Anindya Bakrie (Anak Aburizal Bakrie); Ardiansyah Bakrie (Anak
Aburizal Bakrie) (Partai Golkar)
|
5.
|
Metro TV
|
Surya Paloh (Partai Nasdem)
|
Tabel di atas menunjukkan, bagaimana akuisisi dan merger
menyebabkan konsentrasi kepemilikan atau konglomerasi media. Namun, tentu kita
tidak boleh hanya melihatnya dengan kacamata kuda. Berikut dampak negatif dan
positifnya: Dampak positif: 1) Mengurangi tingkat pengangguran, karena banyak
menyedot tenaga kerja; 2) Kinerja media menjadi lebih profesional, karena telah
diakuisisi oleh pemilik yang berpengalaman dalam mengasuh media. Sementara
dampak negatifnya; 1) Konglomerasi memicu komersialisasi yang sarat profit, dan
hilirnya mengabaikan ‘kualitas’ konten; 2) Konten menjadi seragam dan monoton,
karena diatur oleh ‘pusat’ (dalam hal ini Jakarta); 3) Melemahnya fungsi
kontrol media terhadap tranparansi pemerintahan, dan ‘kenetralan’ dalam
berpolitik sebab cenderung tunduk pada penguasa media yang juga kader partai;
4) Masyarakat sebagai konsumen isi siaran pun di-ru-gi-kan!
Komentar
Posting Komentar