PERAN KOMUNIKASI DALAM PEMBANGUNAN DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF MARXIS KLASIK
thumbs.dreamstime.com |
1.1
Latarbelakang Masalah
Pembangunan bukanlah kata yang asing di telinga kita. Mulai dari
zaman Orde Baru sampai dengan musim kampanye, jargon ‘Pembangunan’ santer
terdengar. Lantas apa itu pembangunan? Menurut definisi yang paling mudah untuk
dipahami, “Pembangunan adalah suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik,
melalui upaya yang dilakukan secara terencana” (Ginanjar Kartasasmita, 1994).
Artinya ada perubahan atas segala aspek kehidupan kita mulai dari politik,
ekonomi, sosial, budaya, pertahanan hingga keamanannya.
Pembangunan adalah suatu jenis perubahan sosial, dimana gagasan
baru diperkenalkan kepada suatu sistem sosial; meningkatkan pendapatan per
kapita lebih besar, tingkat hidup lebih baik, menggunakan metode produksi yang
lebih modern, dan organisasi sosial yang lebih baik (Rogers, 1964). Sementara,
menurut Schramn dan Lerner (1976), “Pembangunan adalah suatu perubahan besar,
menuju jenis sistem sosial dan ekonomi yang dipilih oleh suatu negara”.
Konsep pembangunan muncul pertama kali, saat George C. Marshall
(1974) sebagai Menteri Luar Negeri Amerika kala itu berpidato di Universitas
Harvard. Ia menelurkan gagasan untuk membantu sekutunya di Eropa Barat untuk
kembali pulih pasca PD II. Kini, gagasannya dikenal dengan sebutan “Marshall
Plan”, dimana memiliki program yang bermaksud untuk membantu pembangunan
ekonomi di negara tertinggal.
Lantas, “Apakah ada perubahan tanpa adanya perencanaan yang
sistematis? Jawabannya “Ada!”, yakni melalui bencana alam. Contohnya gelombang
tsunami Aceh yang meluluhlantakkan segala aspek kehidupan di sana. Setelah itu
apa yang terjadi? Bantuan internasional berdatangan, dan GAM-RI pun memutuskan
berdamai setelah puluhan tahun berkonflik. Masalahnya, apakah kita mau menunggu
terjadi bencana alam dulu untuk mendapatkan perubahan? Tentu jawabannya tidak!
Pembangunan tidak selamanya berjalan mulus, ada pula
hambatan-hambatan didalamnya. Seperti masih tingginya kesenjangan antara si
miskin dan si kaya, dan masih minimnya lapangan pekerjaan untuk anak-anak
bangsa kita. Banjir dan kemacetan juga merupakan dampak negatif dari
pembangunan yang salah kaprah.
Pembangunan di Indonesia sendiri masih berorientasi untuk mereduksi
kemiskinan. Sebagaimana dikutip dari www.bps.go.id, “Pada bulan Maret
2017, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan
di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 27,77 juta orang (10,64
persen), bertambah sebesar 6,90 ribu orang dibandingkan dengan kondisi
September 2016 yang sebesar 27,76 juta orang (10,70 persen)”. Sehingga, merupakan
suatu hal yang lazim jika kemudian isu kemiskinan kerap diangkat dalam
perhelatan politik.
1.1.1 Isu-Isu Pembangunan
Ada banyak sekali isu-isu pembangunan di dunia ini, dan senantiasa
akan terus bertambah seiring berjalannya waktu. Adapun isu-isu pembangunan
adalah sebagai berikut:
1.
Kemiskinan
Kemiskinan
adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar
seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan dan kesehatan.
Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar,
ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan (id.m.wikipedia.org).
Kemiskinan dapat terjadi dalam konteks lokal, regional hingga global.
2.
Negara Maju vs Negara Berkembang
Negara
maju adalah sebutan untuk negara yang menikmati standar hidup relatif tinggi
melalui teknologi tinggi dan ekonomi yang merata. Sedangkan negara berkembang
adalah istilah yang umum digunakan untuk menjelaskan suatu negara dengan
kesejahteraan material tingkat rendah (id.m.wikipedia.org). Negara maju
beranggapan negara berkembang miskin, karena keterbelakangan pola pikir dan
kelemahan daya saing mereka (teori modernisme). Sedangkan negara berkembang
menganggap mereka miskin, karena negara maju bersekongkol agar negara
berkembang terus berhutang, dan akhirnya tergadai (teori dependensia).
3.
Sustainable Development Goals (SDG’s)
Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan atau dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Sustainable
Development Goals disingkat dengan SDG’s adalah 17 tujuan[1] dengan 169 capaian yang
terukur dan tenggat yang telah ditentukan oleh PBB sebagai agenda dunia
pembangunan untuk kemaslahatan manusia dan planet bumi (id.m.wikipedia.org).
4.
Globalisasi VS Lokalitas
Globalisasi
adalah proses integrasi internasional yang terjadi karena pertukaran pandangan
dunia, produk, pemikiran, dan aspek-aspek kebudayaan lainnya (id.m.wikipedia.org).
Globalisasi telah masuk ke segala ranah kehidupan kita seperti Food, Fashion
and Film (3F).
5.
Gender
Gender
adalah pembagian peran kedudukan, dan tugas antara laki-laki dan perempuan yang
ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan laki-laki yang
dianggap pantas sesuai norma-norma, adat-istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan
masyarakat” (prezi.com by Yonandha Bayu, 13/12/2014). Sekalipun isu
gender sangat kuat di Amerika, namun nyatanya jabatan strategis di sana masih
dipegang oleh laki-laki. Contohnya Hillary Clinton yang kalah dari Donald Trump
pada Pilpres AS, karena terjegal isu gender. Di Indonesia sendiri, UU Pemilu
dan UU MD3 mengatur 30 persen keterwakilan perempuan di DPR. Namun dalam
praktiknya masih jauh panggang daripada api.
6.
Global Warming (Pemanasan Global)
Suatu
proses meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut, daratan bumi (id.m.wikipedia.org).
Setiap negara-negara harus berkomitmen untuk menjaga iklim dunia tetap stabil.
7.
Ketahanan Pangan
Sebenarnya
saya lebih setuju menyebutnya kedaulatan pangan. Karena kedaulatan pangan
adalah konsep pemenuhan pangan melalui produksi lokal. Kedaulatan pangan
merupakan konsep pemenuhan hak atas pangan yang berkualitas gizi baik dan
sesuai secara budaya, diproduksi dengan sistem pertanian yang berkelanjutan dan
ramah lingkungan. Sedangkan ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan dan
kemampuan seseorang untuk mengaksesnya. Sebuah rumah tangga dikatakan memiliki
ketahanan pangan, jika penghuninya tidak berada dalam kondisi kelaparan atau
dihantui ancaman kelaparan (id.m.wikipedia.org).
Dewasa
ini, pemerintah kita kerap mengimpor pangan dengan dalih cuaca buruk. Hal ini
menunjukkan bahwa pemerintah masih berorientasi pada ketahanan pangan. Tak
peduli itu impor dan membahayakan petani lokal, yang penting kebutuhan pangan
kita cukup. Seyogyanya, pemerintah kita bisa mengambil langkah bijak dalam
mencukupi kebutuhan pangan tersebut.
8.
Information Technology (IT)
Teknologi
Informasi (TI), atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah Information
Technology (IT) adalah istilah umum untuk teknologi apapun yang
membantu manusia dalam membuat, mengubah, menyimpan, mengkomunikasikan dan/atau
menyebarkan informasi (id.m.wikipedia.org). Dewasa ini, kemudahan
tersebut malah digunakan untuk menyebarkan ujaran kebencian dan hoaks, yang
dapat memicu disintegrasi sosial. Selain itu, IT sering disalahgunakan
untuk mengakses video porno.
Belakangan, isu media massa juga punya daya tarik tersendiri untuk
dibahas dalam konteks pembangunan di Indonesia. Bahkan, ada pameo yang
mengatakan bahwa siapa yang menguasai media massa, maka ia akan menguasai
dunia. Pernyataan tersebut kerap
kali terlontarkan di kalangan masyarakat khususnya bagi kalangan yang
berkecimpung di dunia informasi, komunikasi dan media. Hal itu mengingat media
massa merupakan sesuatu yang patut diperhitungkan, mengingat perannya sangat vital
bagi suatu arah dan kebijakan pembangunan bangsa serta eksistensi suatu rezim. Selain
itu, peran media massa juga memiliki dua sisi strategis, bagi siapapun yang
menggunakannya. Musabab, dengan media seseorang bisa mengubah hal yang benar
menjadi salah, dan hal yang salah menjadi benar. Lewat media massa suatu
kepemimpinan yang dinilai kurang maksimal kinerja dan keberpihakannya terhadap
masyarakat, bisa ‘dipoles’ sedemikian rupa seolah-olah positif.
Mengingat
pentingnya media massa, tidaklah berlebihan apabila penulis menyebutkan, begitu
besarnya peran media massa terhadap masyarakat. Khususnya terhadap pola pikir (cognitive),
perasaan (afective) dan menentukan perilaku (behaviour). Peran
pers sangat penting sebagai salah satu pilar demokrasi, selain menyampaikan
liputan-liputan terkait sebagai salah satu fungsi pengawasan, juga mendorong
pembangunan karakter bangsa. Selain karakter bangsa, media massa dapat
mendorong peningkatan pemahaman masyarakat dalam masa transisi dari masa
otoritarian ke masa demokrasi. Maka dari itu, pers dan media massa agar bisa
ikut meluruskan mindset dan paradigma yang masih
keliru dari sistem otoritarian ke demokrasi.
Lewat
pernyataan tersebut, jelas terlihat bahwa betapa pentingnya peran media massa
dalam mendukung kepemimpinan untuk melakukan kebijakan dan pembangunan bangsa.
Dari pernyataan media massa agar menjadi garda terdepan sebagai jembatan atau
penghubung kepada masyarakat, dalam memberikan pemahaman-pemahaman tentang
kehidupan berdemokrasi dan bernegara. Melalui Media Massa, masyarakat akan
mengetahui bagaimana perkembangan pembangunan di daerah ini, sehingga merasa
memiliki, berpartisipasi dan mendukung berbagai kebijakan pemerintah dan
pembangunan. Bukan malah semata menjadi corong politik. Oleh karena itu, selain
dari memenuhi tugas UAS, tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk
mengetahui peran komunikasi dalam pembangunan di Indonesia dalam perspektif
Marxis Klasik.
1.2 Tinjauan Pustaka
1.2.1 Media Massa
Media Massa (Mass Media)
adalah chanel, media/medium, saluran, sarana, atau alat yang
dipergunakan dalam proses komunikasi massa, yakni komunikasi yang diarahkan
kepada orang banyak (channel of mass communication). L. John Martin berpendapat,
bahwa media massa merujuk kepada alat yang mewujudkan interaksi sosial,
politik, dan ekonomi dalam ukuran yang lebih moden. Media haruslah menyampaikan
maklumat dan mendidik masyarakat, serta menjadi media perantara dalam bermasyarakat
(Aggarwal, 2002). Dalam sistem demokrasi, media merupakan sumber primer dalam
komunikasi massa (Ishak, 2006) dimana komunikasi massa sendiri merupakan
kependekan dari komunikasi melalui media massa (communicate with media).
Media massa pada masa kini telah melalui arus globalisasi, dimana media kini
bersifat universal dan jenis serta fungsinya juga semakin canggih, sejalan
dengan perkembangan arus modenisasi pada masa kini. Menurut John Ryan, media
massa tidak dapat terpisahkan dari institusi yang lain dalam masyarakat. Yang
termasuk media massa adalah suratkabar, majalah, radio, televisi, dan film
sebagai The Big Five of Mass Media (Lima Besar Media Massa), juga
baru-baru ini media baru (media online/ daring).
Menurut Denis McQuail[2],
terdapat ciri-ciri khusus institusi media massa, diantaranya: 1) Memproduksi
dan mendistribusi ‘pengetahuan’ dalam wujud informasi, pandangan dan budaya.
Upaya tersebut merupakan respons terhadap kebutuhan sosial kolektif dan
permintaan individu; 2) Menyediakan saluran untuk menghubungkan orang tertentu
dengan orang lain, dari pengirim (sender) ke penerima (receiver),
dari khalayak (audiences) kepada anggota khalayak lainnya; 3) Media
menyelenggarakan sebagian besar kegiatannya dalam lingkungan publik; 4) Pada
hakikatnya, partisipasi anggota khalayak dalam institusi bersifat sukarela,
tanpa adanya keharusan atau kewajiban sosial; 5) Institusi media dikaitkan
dengan industri pasar, karena ketergantungannya pada imbalan kerja, teknologi
dan kebutuhan pembiayaan; dan 6) Meskipun institusi media itu sendiri tidak
memiliki kekuasaan, namun institusi ini selalu berkaitan dengan kekuasaan
negara, karena adanya kesinambungan pemakaian media dengan mekanisme hukum yang
berlaku.
Sebagai capitalist venture media massa beroperasi dalam
sebuah struktur industri kapitalis, yang tidak selalu memfasilitasi tetapi juga
mengekang, bahkan mengeksploitasi. Menurut Smythe “.... Fungsi utama media
adalah menciptakan kestabilan segmen khalayak, bagi monopoli penjualan
pengiklan kapitalis”.
Kalau kita kaji, ada banyak sekali teori yang menjelaskan keterkaitan antara
sistem kapitalis dan institusi media massa, baik itu dari perspektif Marxist
maupun non-Marxist.
1.2.2. Pemikiran Marxis Klasik
Karl Heinrich Marx (Trier, Prussian
Rhineland, 5 Mei 1818 – London, 14 Maret 1883) merupakan tokoh besar Jerman
dalam hal filsafat, politik ekonomi, dan revolusioner sosial. Marx meneliti
berbagai macam isu, termasuk pengeksploitasian pekerja, kapitalisme dalam
produksi, dan sejarah materialisme. Pengaruh idenya mulai meluas saat
kemenangan Russian Bolsheviks dalam October Revolution tahun 1917. Namun, ada
beberapa bagian yang tidak sepenuhnya dibahas dalam ide Marxian pada abad
ke-20. Pemikiran Marxis klasik didasarkan pada pemikiran Karl Marx dan Engels, yang
mengaitkan transisi masyarakat Eropa dari feodalisme - kapitalisme – sosialisme
(Gilpin, 1987: 272).
Marxisme Klasik merupakan
teori-teori yang secara langsung dilahirkan oleh Karl Marx dan Friedrich
Engels. Istilah “Marxisme Klasik” digunakan untuk membedakan antara “Marxisme”
yang dipahami secara luas dengan apa yang diyakini oleh Marx. Sedangkan,
Marxisme adalah teori yang didasarkan pada interpretasi atas karya-karya Marx
dan Engels. Marxis mempercayai, bahwa kaum kapitalis perekonomian internasional
akan beroperasi secara sistemik, dan mengubah perekonomian LDC (negara yang belum maju: Less
Developed Countries). Negara yang kaya akan memiliki kontrol atas
negara-negara dunia ketiga dan kemiskinannya. Marxis menganggap interaksi yang
dihasilkan bersifat konfliktual dan penuh eksploitasi (Gilpin, 1987: 265).
Gilpin, Robert (1987), Marxist melihat masyarakat kapitalis
sebagai salah satu kelas dominasi. Media dijadikan arena pertandingan ideologis
agar dapat dilihat semua kelas yang sedang berjuang, yang akhirnya mengarah
pada monopoli modal dan internalisasi budaya yang dominan. Kapitalisme telah melanggengkan
kelompok elite berkuasa melakukan eksploitasi terhadap kelompok yang
tidak berkuasa alias lemah. Pesan yang
disampaikan melalui media sejak awal dibuat dan disampaikan kepada khalayak
dengan satu tujuan, yaitu membela kepentingan kapitalisme. Walaupun media
seringkali mengklaim bahwa diri mereka menyampaikan informasi untuk kepentingan
publik dan kebaikan bersama (common good), namun “ujung-ujungnya duit” (Morissan, 2013: 536). Teori marxist ini cenderung menekankan kepada
peran media massa dalam mempertahankan dan mengembangkan status quo,
seolah-olah berbeda dengan paham liberal dan menekankan peran media dalam
mengembangkan kebebasan berbicara.
Indonesia
sebagai negara yang berada pada era reformasi ditegakkan sejak tahun 1998
hingga kini abad 21, telah memberi ruang yang sangat terbuka terhadap kebebasan
penyaluran informasi, berekspresi dan berpendapat. Ini dapat dilihat dengan munculnya perusahaan
media massa, khususnya yang semakin tumbuh dan berkembang bak cendawan di musim
hujan. Distribusi informasi tidak terbatas hanya melalui lembaran kertas,
siaran lokal, dan berita luar negeri yang disadur, namun sudah menjelajah sampai
ke berbagai media berteknologi tinggi. Televisi pemerintah semakin tenggelam
dengan banyaknya bermunculan televisi swasta, yang menyajikan beragam informasi
baik lokal maupun interlokal, Indonesia bahkan dunia secara lebih mendetail. Mulai
dari program program hiburan, seperti film, musik, sinetron, kuis atau berbagai
macam reality show sampai pada program non-hiburan.
Berita yang awalnya dengan tampilan
sederhana bertransformasi dengan kemasan yang sangat menarik. Kemunculan
televisi swasta seperti Metro TV mulai mengambil alih posisi khalayak, sebagai
stasiun berita laiknya saluran televisi luar negeri CNN. Hal ini dibebeki oleh
media televisi swasta lainnya seperti tvOne, dengan tag linenya sebagai
stasiun berita dan olahraga hingga terjadi persaingan diantara keduanya, yang
kemudian pula diikuti oleh stasiun televisi lain, seperti TransTV, Trans7,
RCTI, SCTV, ANTV, Kompas TV, Net TV dan
stasiun lainnya yang seolah ‘tak mau kalah’ dalam merebut pundi-pundi
keuntungan. Hingga kini, perkembangan media massa, media cetak bahkan media
online sudah tidak terbendung lagi keberadaannya.
Namun,
selanjutnya muncul pemikiran sampai kapan idealisme pemberitaan pro rakyat ini
bertahan? Tidak berubah menjadi kepentingan segelintir pemilik perusahaan
pemberitaan, yang memiliki afiliasi terhadap kepentingan politik tertentu. Walhasil,
frekuensi udara sebagai milik negara yang digunakan untuk kemaslahatan rakyat
pun dipertaruhkan; antara edukasi atau mengejar profit semata. Atas dasar inilah,
penulis meyakini pentingnya perspektif Marxis Klasik dalam memandang realitas
media di Indonesia, sebagai alat komunikasi pembangunan.
2.1 Pembahasan
Dalam, teori ekonomi politik media, maka media diartikan sama
dengan alat produksi, yang mana harus dikuasai oleh para pemilik modal. Lantas,
bagaimana realitas media di Indonesia. Data menunjukkan sebagaimana berikut:
No.
|
Media (TV)
|
Pemilik
|
1.
|
RCTI; Global TV; MNC TV; INews (Setiap daerah)
|
Hary Tanoesoedibjo (Perindo)
|
2.
|
Indosiar; SCTV
|
Anthoni Salim
|
3.
|
Trans7; Trans TV; Trans Corp
|
Chairul Tanjung (CT Corp) (Demokrat)
|
4.
|
ANTV; tvOne
|
Anindya Bakrie (Anak Aburizal Bakrie); Ardiansyah Bakrie (Anak
Aburizal Bakrie) (Partai Golkar)
|
5.
|
Metro TV
|
Surya Paloh (Partai Nasdem)
|
Tabel di atas menunjukkan, bagaimana akuisisi dan merger
menyebabkan konsentrasi kepemilikan atau konglomerasi media. Dimana
pemilik/elit mengontrol sumber-sumber ekonomi. Salah satu sumber ekonomi dewasa
ini adalah media massa (mass media). Oleh karena itu, mereka kooptasi
media massa dengan mengontrol isinya (konten); untuk kepentingan elit,
menyebarkan ideologi mereka dan memobilisasi kesadaran secara perlahan tapi
pasti. Padahal, frekuensi udara yang digunakan media massa tersebut adalah
milik negara, yang harus dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemaslahatan rakyatnya,
dan bukan malah untuk segelintir elit. Pada akhirnya, mobilisasi kesadaran
secara masif itu bakal menjadi hegemoni, jika merujuk kepada pernyataan Antonio
Gramsci.
Teori
hegemoni lebih menekankan pada ideologi itu sendiri, bentuk ekspresi, cara
penerapan dan mekanisme yang dijalankannya, untuk mempertahankan dan
mengembangkan diri melalui kepatuhan para pekerja (proletar). Sehingga, upaya
itu berhasil memengaruhi dan membentuk alam bawah sadar mereka akan statusnya.
Pergeseran perhatian dari faktor ekonomi ke faktor ideologi, berkaitan erat
dengan keberlanjutan hidup kapitalisme. Pergeseran ini menurut William, telah
mengangkat derajat media massa setara dengan alat ideologi negara lainnya.
Hingga tak jarang, pers juga disebut sebagai pilar ke-empat dalam sebuah negara.
Namun tentu kita tidak boleh hanya melihatnya dengan kacamata kuda.
Berikut dampak negatif dan positifnya: Dampak positif; 1) Mengurangi tingkat
pengangguran, karena banyak menyedot tenaga kerja; 2) Kinerja media menjadi
lebih profesional, karena telah diakuisisi oleh pemilik yang berpengalaman
dalam mengasuh media. Sementara dampak negatifnya; 1) Konglomerasi memicu
komersialisasi yang sarat profit, dan hilirnya mengabaikan ‘kualitas’ konten;
2) Konten menjadi seragam dan monoton, karena diatur oleh ‘pusat’ (dalam hal
ini Jakarta); 3) Melemahnya fungsi kontrol media terhadap tranparansi
pemerintahan, dan ‘kenetralan’ dalam berpolitik, sebab cenderung tunduk pada
penguasa media yang juga kader partai; 4) Masyarakat sebagai konsumen isi
siaran pun di-ru-gi-kan!
Dalam ilmu komunikasi terdapat
teori ekologi media. Ekologi media memandang media sebagai makhluk hidup, yang
berupaya mempertahankan kehidupan. Untuk mempertahankan kehidupan, media membutuhkan
sumber-sumber kehidupan. Dalam perspektif ekologi media, sumber-sumber
penunjang kehidupan media adalah sebagai berikut: 1) Modal (Capital): Misalnya pemasukan iklan atau
iuran berlangganan; 2) Jenis isi media (Type
of Content): Misalnya Quiz, Sinetron atau Informasi; dan 3) Jenis
khalayak sasaran (Type of Audiences):
Misalnya usia, berdasarkan jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan,
dan lain sebagainya.
Media saling berkompetisi dalam
memperebutkan sumber-sumber kehidupan tersebut. Sebab secara teoritis, terdapat
hubungan antara isi, khalayak dan iklan. Jika isi suatu media baik secara
kualitatif, banyak penonton yang akan mengonsumsi media tersebut sehingga
banyak pemasang iklan menempatkan iklannya pada media itu.
Berikut dasar pemikiran Marxis Klasik, yaitu: 1) Melihat hubungan
antara basis dengan superstruktur; 2) Ekonomi sebagai basis dari superstruktur;
dan 3) Dinamika masyarakat ditentukan oleh proses merebutkan alat-alat
produksi. Sementara, penjelasan proses sistem dua kelas Marx adalah jumlah alat
produksi terbatas; karena hanya dikuasai oleh segelintir orang yang menamakan
diri mereka ‘Kelas Kapital’/Borjuis. Sementara, ‘Kelas Proletar/Buruh’ tidak
menguasai alat produksi apapun. Walhasil dalam sistem dua kelas Marx ini dijelaskan,
bagaimana borjuis kapitalis mengeksploitasi tenaga proletar/buruh dengan
kekuatan dan untuk kekuasaannya semata.
2.1.1 Pemikiran Marxis Klasik Terhadap Media di Indonesia Saat Ini
Marxisme merupakan dasar teori komunisme modern (Audi, 1995: 465-467). Teori ini tertuang
dalam buku “Manisfesto Komunis”, yang dibuat oleh Marx dan Friedrich Engels. Marxisme merupakan bentuk protes
Marx terhadap paham kapitalisme. Ia menganggap bahwa kaum kapital
mengumpulkan uang dengan mengorbankan kaum proletar. Kondisi kaum proletar
sangat menyedihkan, karena dipaksa bekerja berjam-jam dengan upah minim. Sementara
hasil pekerjaan mereka hanya dinikmati oleh kaum kapitalis. Banyak kaum
proletar yang harus hidup di daerah pinggiran dan kumuh. Marx berpendapat bahwa
masalah ini timbul, karena adanya ‘kepemilikan pribadi’ dan penguasaan kekayaan
yang didominasi orang-orang kaya.
Untuk mensejahterakan kaum
proletar, Marx berpendapat bahwa paham kapitalisme diganti dengan paham komunisme. Bila kondisi ini terus
dibiarkan, menurut Marx, kaum proletar akan memberontak dan menuntut keadilan.
Inilah dasar dari marxisme (Weij, 1991:
111-117). Menurut Gurevitch terdapat tiga paradigma dalam pendekatan Kajian
Media Marxisme, yaitu:
1)
Kelompok
“strukturalis”, antara lain adalah Althuserian Marxisme dengan fokus pada
artikulasi internal dari sistem penandaan media.
2)
Kelompok
“political economy” memandang ideologi sebagai subordinat dari ekonomi.
Yang termasuk dalam kelompok ini adalah Graham Murdock, yang menempatkan
kekuatan media dalam proses ekonomi dan struktur produksi media. Pemilikan dan
pengendalian media dilihat sebagai faktor kunci dalam mengendalikan pesan media.
3)
Kelompok
“kulturalis” yang termasuk didalamnya adalah Stuart Hall yang mewakili
Culturalist Marxism, mempunyai pandangan bahwa media massa bersifat habis dalam
mempengaruhi pembentukan kesadaran publik (Curran dalam Chandler, 1995).
Media massa pada dasarnya berfungsi menyebarluaskan opini publik,
yang menghasilkan pendapat dan pandangan dominan, yang pada gilirannya
cenderung memberitakan pandangan yang terungkap dan karenanya spiral of
silence berlanjut. Besarnya pengaruh media terhadap pembentukan opini
publik, mengkontruksi pemikiran dan pandangan kepada suatu arah tertentu; dimana
tujuan media menggiring khalayak kepada suatu arah yang diinginkan. Tentu ini
ada hubungannya dengan menjadikan pemberitaan dan tontonan menjadi seolah-olah
sebuah realita yang benar-benar terjadi.
Selain
itu, saat ini kepemilikan media massa lebih banyak dimiliki oleh orang-orang
yang berorientasi pada kepentingan politik dan bisnis (ekonomi) semata. Keadaan
ini sangat mengkhawatirkan, karena media pasti akan melupakan fungsi utamanya
untuk dapat memenuhi kepentingan informasi dan edukasi bagi masyarakat.
Donal
Shaw dan Maxwell McComb (dalam Morissan 2013: 496) menyatakan, para editor
media cetak dan para pengelola media penyiaran memainkan peran penting dalam
membentuk realitas sosial kita, ketika mereka melakukan pekerjaan untuk membuat
berita. Bahkan menurut Hall, media adalah instrumen kekuasaan kelompok elite,
dan media berfungsi menyampaikan pemikiran kelompok yang mendominasi masyarakat,
terlepas apakah pemikiran itu efektif atau tidak. Studi kultural menekankan
pada gagasan, bahwa media menjaga kelompok berkuasa untuk tetap memegang kendali
atas masyarakat. Sementara, mereka yang kurang berkuasa menerima apa saja, yang
disisakan kepada mereka oleh kelompok berkuasa (Morissan, 2013: 535).
2.1.2
Kapitalis di Media Televisi
Menurut Gordon (dalam Rahayu), ada tiga hal penting yang dapat
digunakan sebagai patokan untuk mengidentifikasi karakteristik suatu industri.
Ketiga hal itu berkaitan dengan customer requirements, competitive
environment dan social expectation.
Pertama, customer requirement merujuk pada pengertian harapan
konsumen tentang produk yang mencakup aspek kualitas, diversitas dan
ketersediaan; Kedua, competitive environment merupakan lingkungan
persaingan yang dihadapi perusahaan; Ketiga, social expectation berhubungan
dengan tingkatan harapan masyarakat terhadap keberadaan industri. Industri
media seiring dengan revolusi teknologi komunikasi mencapai tahap industri
modern dengan segala konsekuensinya. Hal ini menempatkan media pada sisi yang
dilematis, yakni antara pemenuhan fungsi media secara komprehensif dengan
kepentingan bisnis.
Sebagai
salah satu media yang cukup akrab dengan kita, televisi harusnya bersifat
netral (dalam artian berpihak pada masyarakat). Namun, karena ia dikelola dan
digerakkan oleh subjek‐subjek, subjektifikasi para pengelola televisi akan menjadi warna
yang dominan, yang menentukan kemana arah dan peran televisi. Besarnya investasi
untuk sebuah stasiun televisi akan membuat pengelola televisi melakukan
perhitungan‐perhitungan, untuk mengembalikan modal (mendapatkan laba/keuntungan
finansial). Selain itu, distribusi atau sirklulasi pemerintahan yang berpusat
di ibukota Jakarta, secara tidak langsung juga memberikan berbagai akibat.
Yakni memposisikan stasiun‐stasiun televisi yang ada di Jakarta sebagai televisi nasional,
yang dikonsumsi oleh masyarakat di seluruh pelosok tanah air.
Sementara
watak dan perilaku televisi‐televisi itu, dengan berbagai keterbatasannya melakukan penyempitan
Indonesia menjadi semata Jakarta saja. Berdasarkan kacamata Jakarta ini lah,
yang membuat media televisi tidak mampu memotret fenomena ketimpangan sosial di
Indonesia secara maksimal. Pada posisi inilah stasiun televisi dikhawatirkan
menjadi penyebab munculnya keseragaman (homogenisasi) nilai sosial-kebudayaan di
Indonesia. Pluralitas dan heterogenitas budaya bangsa diabaikan. Indonesia yang
heterogen dengan ribuan suku, bahasa, adat dan kebudayaan tergerus oleh
keterbatasan modal dan keterbatasan wilayah.
Munculnya
UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002, meski mencoba menata dan mengkritisi penyiaran
televisi Jakarta yang sentralistis, belum jua mampu menyelesaikan persoalan.
Bahkan, para pengelola dan investor televisi Jakarta sempat melakukan
perlawanan untuk menggagalkan UU No. 32 Tahun 2002. Demikian pula munculnya
televisi lokal dibeberapa daerah sebagai akibat adanya regulasi ini, tidak pula
berada dalam harapan yang sebanding karena stasiun televisi ini pun sama dan dibangun/diakuisisi
oleh ‘orang-orang pusat’. Dalam percaturan politik ekonomi skala internasional
maupun nasional tidak dapat dipungkiri, bahwa media massa mainstream
dikuasai oleh para pemilik modal, dan digunakan untuk kepentingan para pemilik
modal tersebut. Cengkraman kapitalis terhadap media komunikasi di Indonesia
menjelaskan, bahwa penyiaran tidak lagi menjadi alat penerangan, namun bisa
dimiliki secara pribadi. Sekaligus tak dapat dipungkiri pula, hukum industrial
membuat pemilik media memiliki otoritas penuh dalam mengelola medianya.
Dampak
lain yang dapat dirasakan secara langsung atau tidak langsung, terjadi pada
semua elemen pendukung penyiaran pemberitaannya. Karyawan sebagai elemen
penting dalam proses regulasi berita, tereksploitasi menurut arah kepentingan
para pihak yang berkuasa. Ini yang disebut Marx sebagai sistem ekonomi
kapitalis, keuntungan mendorong produksi sehingga menindas buruh dan kaum
pekerja. Marxis juga berpandangan, bahwa masyarakat mengalami penindasan yang
dilakukan oleh kelompok yang kuat. Menurut pandangan ini, kelompok buruh harus
bangkit melawan kelompok pengusaha yang dominan dan merebut sumber-sumber
produksi, hanya dengan inilah kebebasan pekerja dapat dicapai (Morissan, 2003: 57-58).
Inilah sebuah kesenjangan yang sangat tinggi, yang disebut marx kelompok masyarakat
Borjuis dari kaum kapitalis, dan proletar dari kaum buruh atau rakyat jelata.
Musabab itu, setiap elemen
masyarakat turut ambil andil dalam menuntut penyiaran televisi yang tidak
terdistorsi secara ideologis bagi masyarakat. Sekaligus secara khusus bisa
digunakan untuk mencapai konsensus dari perseteruan antara publik dengan pemodal
stasiun televisi. Media massa menurut Schramm sejatinya memiliki fungsi-fungsi
sebagai berikut:
1. Sebagai
pemberi informasi. Tanpa media massa sangatlah sulit untuk menyampaikan
informasi secara cepat dan tepat waktu, seperti yang diharapkan oleh suatu
negara yang sedang ‘membangun’. Tentu informasi yang diharapkan adalah
informasi yang berimbang, tajam dan terpercaya dan bukan malah memecah belah.
2. Pembuatan keputusan.
Dalam hal ini media massa berperan sebagai penunjang data, karena fungsi
ini menuntut adanya kelompok-kelompok diskusi yang akan membuat keputusan.
Sehingga, media massa hanya berperan sebagai penguat saja (reinforcement).
Disini pula berperan opinion leader yang terdapat dalam teori two
step flow communication, milik Paul F. Lazarsfeld. Baik itu yang
berlangsung di masyarakat yang mekanik (pedesaan) maupun masyarakat organik
(perkotaan), bila merujuk pada teori solidaritas sosial milik Emile Durkheim.
3. Sebagai pendidik
(to educate). Sebagian dapat dilaksanakan sendiri oleh media
massa,sedangkan bagian yang lainnya dikombinasikan dengan
komunikasiantarpribadi. Misalkan program-program pendidikan luar sekolah, atau
siaran pendidikan.
Menurut Schramm, peran lain media
massa, diantaranya: 1) meluaskan wawasan masyarakat; 2) Memfokuskan perhatian
masyarakat kepada pembangunan; 3) Meningkatkan aspirasi; 4) Memperlebar dialog
kebijakan; dan 5) Menegakkan norma-norma sosial.
3.1
Simpulan
Secara ideologis, pengaturan dan pengawasan media masih
sangat diperlukan, karena aspek kepentingan yang berada dibalik penyelenggaraan
media informasi itu, yang notabene menggunakan ranah publik itu masih sangat
dominan. Upaya penataan usaha media komunikasi perlu lebih ditingkatkan lagi.
DPR, Pemilik modal/pemilik stasiun TV, Komisi penyiaran Indonesia (KPI) dan
wakil masyarakat seperti LSM dan sebagainya perlu punya komitmen bersama untuk
membicarakan hal ini. Setidaknya, keseimbangan (balance) pemberitaan
media dapat terlaksana, tanpa harus berpihak pada kepentingan politis. Last
but not least, suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, fenomena ini
sekali lagi membuktikan bahwa teori Marxisme Klasik masih bisa digunakan, untuk
memotret peran komunikasi (media) yang masih minim dalam pembangunan di
Indonesia.
Komentar
Posting Komentar