PERAN KOMUNIKASI DALAM PEMBANGUNAN DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF MARXIS KLASIK

thumbs.dreamstime.com
1.1  Latarbelakang Masalah
Pembangunan bukanlah kata yang asing di telinga kita. Mulai dari zaman Orde Baru sampai dengan musim kampanye, jargon ‘Pembangunan’ santer terdengar. Lantas apa itu pembangunan? Menurut definisi yang paling mudah untuk dipahami, “Pembangunan adalah suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik, melalui upaya yang dilakukan secara terencana” (Ginanjar Kartasasmita, 1994). Artinya ada perubahan atas segala aspek kehidupan kita mulai dari politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan hingga keamanannya.
Pembangunan adalah suatu jenis perubahan sosial, dimana gagasan baru diperkenalkan kepada suatu sistem sosial; meningkatkan pendapatan per kapita lebih besar, tingkat hidup lebih baik, menggunakan metode produksi yang lebih modern, dan organisasi sosial yang lebih baik (Rogers, 1964). Sementara, menurut Schramn dan Lerner (1976), “Pembangunan adalah suatu perubahan besar, menuju jenis sistem sosial dan ekonomi yang dipilih oleh suatu negara”.
Konsep pembangunan muncul pertama kali, saat George C. Marshall (1974) sebagai Menteri Luar Negeri Amerika kala itu berpidato di Universitas Harvard. Ia menelurkan gagasan untuk membantu sekutunya di Eropa Barat untuk kembali pulih pasca PD II. Kini, gagasannya dikenal dengan sebutan “Marshall Plan”, dimana memiliki program yang bermaksud untuk membantu pembangunan ekonomi di negara tertinggal.
Lantas, “Apakah ada perubahan tanpa adanya perencanaan yang sistematis? Jawabannya “Ada!”, yakni melalui bencana alam. Contohnya gelombang tsunami Aceh yang meluluhlantakkan segala aspek kehidupan di sana. Setelah itu apa yang terjadi? Bantuan internasional berdatangan, dan GAM-RI pun memutuskan berdamai setelah puluhan tahun berkonflik. Masalahnya, apakah kita mau menunggu terjadi bencana alam dulu untuk mendapatkan perubahan? Tentu jawabannya tidak!
Pembangunan tidak selamanya berjalan mulus, ada pula hambatan-hambatan didalamnya. Seperti masih tingginya kesenjangan antara si miskin dan si kaya, dan masih minimnya lapangan pekerjaan untuk anak-anak bangsa kita. Banjir dan kemacetan juga merupakan dampak negatif dari pembangunan yang salah kaprah.
Pembangunan di Indonesia sendiri masih berorientasi untuk mereduksi kemiskinan. Sebagaimana dikutip dari www.bps.go.id, “Pada bulan Maret 2017, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 27,77 juta orang (10,64 persen), bertambah sebesar 6,90 ribu orang dibandingkan dengan kondisi September 2016 yang sebesar 27,76 juta orang (10,70 persen)”. Sehingga, merupakan suatu hal yang lazim jika kemudian isu kemiskinan kerap diangkat dalam perhelatan politik.
1.1.1 Isu-Isu Pembangunan
Ada banyak sekali isu-isu pembangunan di dunia ini, dan senantiasa akan terus bertambah seiring berjalannya waktu. Adapun isu-isu pembangunan adalah sebagai berikut:
1.      Kemiskinan
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan (id.m.wikipedia.org). Kemiskinan dapat terjadi dalam konteks lokal, regional hingga global.
2.      Negara Maju vs Negara Berkembang
Negara maju adalah sebutan untuk negara yang menikmati standar hidup relatif tinggi melalui teknologi tinggi dan ekonomi yang merata. Sedangkan negara berkembang adalah istilah yang umum digunakan untuk menjelaskan suatu negara dengan kesejahteraan material tingkat rendah (id.m.wikipedia.org). Negara maju beranggapan negara berkembang miskin, karena keterbelakangan pola pikir dan kelemahan daya saing mereka (teori modernisme). Sedangkan negara berkembang menganggap mereka miskin, karena negara maju bersekongkol agar negara berkembang terus berhutang, dan akhirnya tergadai (teori dependensia).
3.      Sustainable Development Goals (SDG’s)
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Sustainable Development Goals disingkat dengan SDG’s adalah 17 tujuan[1] dengan 169 capaian yang terukur dan tenggat yang telah ditentukan oleh PBB sebagai agenda dunia pembangunan untuk kemaslahatan manusia dan planet bumi (id.m.wikipedia.org).
4.      Globalisasi VS Lokalitas
Globalisasi adalah proses integrasi internasional yang terjadi karena pertukaran pandangan dunia, produk, pemikiran, dan aspek-aspek kebudayaan lainnya (id.m.wikipedia.org). Globalisasi telah masuk ke segala ranah kehidupan kita seperti Food, Fashion and Film (3F).
5.      Gender
Gender adalah pembagian peran kedudukan, dan tugas antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan laki-laki yang dianggap pantas sesuai norma-norma, adat-istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan masyarakat” (prezi.com by Yonandha Bayu, 13/12/2014). Sekalipun isu gender sangat kuat di Amerika, namun nyatanya jabatan strategis di sana masih dipegang oleh laki-laki. Contohnya Hillary Clinton yang kalah dari Donald Trump pada Pilpres AS, karena terjegal isu gender. Di Indonesia sendiri, UU Pemilu dan UU MD3 mengatur 30 persen keterwakilan perempuan di DPR. Namun dalam praktiknya masih jauh panggang daripada api.   
6.      Global Warming (Pemanasan Global)
Suatu proses meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut, daratan bumi (id.m.wikipedia.org). Setiap negara-negara harus berkomitmen untuk menjaga iklim dunia tetap stabil.
7.      Ketahanan Pangan
Sebenarnya saya lebih setuju menyebutnya kedaulatan pangan. Karena kedaulatan pangan adalah konsep pemenuhan pangan melalui produksi lokal. Kedaulatan pangan merupakan konsep pemenuhan hak atas pangan yang berkualitas gizi baik dan sesuai secara budaya, diproduksi dengan sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Sedangkan ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan dan kemampuan seseorang untuk mengaksesnya. Sebuah rumah tangga dikatakan memiliki ketahanan pangan, jika penghuninya tidak berada dalam kondisi kelaparan atau dihantui ancaman kelaparan (id.m.wikipedia.org). 
Dewasa ini, pemerintah kita kerap mengimpor pangan dengan dalih cuaca buruk. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah masih berorientasi pada ketahanan pangan. Tak peduli itu impor dan membahayakan petani lokal, yang penting kebutuhan pangan kita cukup. Seyogyanya, pemerintah kita bisa mengambil langkah bijak dalam mencukupi kebutuhan pangan tersebut.
8.      Information Technology (IT)
Teknologi Informasi (TI), atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah Information Technology (IT) adalah istilah umum untuk teknologi apapun yang membantu manusia dalam membuat, mengubah, menyimpan, mengkomunikasikan dan/atau menyebarkan informasi (id.m.wikipedia.org). Dewasa ini, kemudahan tersebut malah digunakan untuk menyebarkan ujaran kebencian dan hoaks, yang dapat memicu disintegrasi sosial. Selain itu, IT sering disalahgunakan untuk mengakses video porno.  
Belakangan, isu media massa juga punya daya tarik tersendiri untuk dibahas dalam konteks pembangunan di Indonesia. Bahkan, ada pameo yang mengatakan bahwa siapa yang menguasai media massa, maka ia akan menguasai dunia. Pernyataan tersebut kerap kali terlontarkan di kalangan masyarakat khususnya bagi kalangan yang berkecimpung di dunia informasi, komunikasi dan media. Hal itu mengingat media massa merupakan sesuatu yang patut diperhitungkan, mengingat perannya sangat vital bagi suatu arah dan kebijakan pembangunan bangsa serta eksistensi suatu rezim. Selain itu, peran media massa juga memiliki dua sisi strategis, bagi siapapun yang menggunakannya. Musabab, dengan media seseorang bisa mengubah hal yang benar menjadi salah, dan hal yang salah menjadi benar. Lewat media massa suatu kepemimpinan yang dinilai kurang maksimal kinerja dan keberpihakannya terhadap masyarakat, bisa ‘dipoles’ sedemikian rupa seolah-olah positif.
Mengingat pentingnya media massa, tidaklah berlebihan apabila penulis menyebutkan, begitu besarnya peran media massa terhadap masyarakat. Khususnya terhadap pola pikir (cognitive), perasaan (afective) dan menentukan perilaku (behaviour). Peran pers sangat penting sebagai salah satu pilar demokrasi, selain menyampaikan liputan-liputan terkait sebagai salah satu fungsi pengawasan, juga mendorong pembangunan karakter bangsa. Selain karakter bangsa, media massa dapat mendorong peningkatan pemahaman masyarakat dalam masa transisi dari masa otoritarian ke masa demokrasi. Maka dari itu, pers dan media massa agar bisa ikut meluruskan mindset dan paradigma yang masih keliru dari sistem otoritarian ke demokrasi.
Lewat pernyataan tersebut, jelas terlihat bahwa betapa pentingnya peran media massa dalam mendukung kepemimpinan untuk melakukan kebijakan dan pembangunan bangsa. Dari pernyataan media massa agar menjadi garda terdepan sebagai jembatan atau penghubung kepada masyarakat, dalam memberikan pemahaman-pemahaman tentang kehidupan berdemokrasi dan bernegara. Melalui Media Massa, masyarakat akan mengetahui bagaimana perkembangan pembangunan di daerah ini, sehingga merasa memiliki, berpartisipasi dan mendukung berbagai kebijakan pemerintah dan pembangunan. Bukan malah semata menjadi corong politik. Oleh karena itu, selain dari memenuhi tugas UAS, tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui peran komunikasi dalam pembangunan di Indonesia dalam perspektif Marxis Klasik.
1.2 Tinjauan Pustaka
1.2.1 Media Massa
Media Massa (Mass Media) adalah chanel, media/medium, saluran, sarana, atau alat yang dipergunakan dalam proses komunikasi massa, yakni komunikasi yang diarahkan kepada orang banyak (channel of mass communication). L. John Martin berpendapat, bahwa media massa merujuk kepada alat yang mewujudkan interaksi sosial, politik, dan ekonomi dalam ukuran yang lebih moden. Media haruslah menyampaikan maklumat dan mendidik masyarakat, serta menjadi media perantara dalam bermasyarakat (Aggarwal, 2002). Dalam sistem demokrasi, media merupakan sumber primer dalam komunikasi massa (Ishak, 2006) dimana komunikasi massa sendiri merupakan kependekan dari komunikasi melalui media massa (communicate with media). Media massa pada masa kini telah melalui arus globalisasi, dimana media kini bersifat universal dan jenis serta fungsinya juga semakin canggih, sejalan dengan perkembangan arus modenisasi pada masa kini. Menurut John Ryan, media massa tidak dapat terpisahkan dari institusi yang lain dalam masyarakat. Yang termasuk media massa adalah suratkabar, majalah, radio, televisi, dan film sebagai The Big Five of Mass Media (Lima Besar Media Massa), juga baru-baru ini media baru (media online/ daring).
Menurut Denis McQuail[2], terdapat ciri-ciri khusus institusi media massa, diantaranya: 1) Memproduksi dan mendistribusi ‘pengetahuan’ dalam wujud informasi, pandangan dan budaya. Upaya tersebut merupakan respons terhadap kebutuhan sosial kolektif dan permintaan individu; 2) Menyediakan saluran untuk menghubungkan orang tertentu dengan orang lain, dari pengirim (sender) ke penerima (receiver), dari khalayak (audiences) kepada anggota khalayak lainnya; 3) Media menyelenggarakan sebagian besar kegiatannya dalam lingkungan publik; 4) Pada hakikatnya, partisipasi anggota khalayak dalam institusi bersifat sukarela, tanpa adanya keharusan atau kewajiban sosial; 5) Institusi media dikaitkan dengan industri pasar, karena ketergantungannya pada imbalan kerja, teknologi dan kebutuhan pembiayaan; dan 6) Meskipun institusi media itu sendiri tidak memiliki kekuasaan, namun institusi ini selalu berkaitan dengan kekuasaan negara, karena adanya kesinambungan pemakaian media dengan mekanisme hukum yang berlaku.
Sebagai capitalist venture media massa beroperasi dalam sebuah struktur industri kapitalis, yang tidak selalu memfasilitasi tetapi juga mengekang, bahkan mengeksploitasi. Menurut Smythe “.... Fungsi utama media adalah menciptakan kestabilan segmen khalayak, bagi monopoli penjualan pengiklan kapitalis”. Kalau kita kaji, ada banyak sekali teori yang menjelaskan keterkaitan antara sistem kapitalis dan institusi media massa, baik itu dari perspektif Marxist maupun non-Marxist.
1.2.2. Pemikiran Marxis Klasik
Karl Heinrich Marx (Trier, Prussian Rhineland, 5 Mei 1818 – London, 14 Maret 1883) merupakan tokoh besar Jerman dalam hal filsafat, politik ekonomi, dan revolusioner sosial. Marx meneliti berbagai macam isu, termasuk pengeksploitasian pekerja, kapitalisme dalam produksi, dan sejarah materialisme. Pengaruh idenya mulai meluas saat kemenangan Russian Bolsheviks dalam October Revolution tahun 1917. Namun, ada beberapa bagian yang tidak sepenuhnya dibahas dalam ide Marxian pada abad ke-20. Pemikiran Marxis klasik didasarkan pada pemikiran Karl Marx dan Engels, yang mengaitkan transisi masyarakat Eropa dari feodalisme - kapitalisme – sosialisme (Gilpin, 1987: 272). 
Marxisme Klasik merupakan teori-teori yang secara langsung dilahirkan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels. Istilah “Marxisme Klasik” digunakan untuk membedakan antara “Marxisme” yang dipahami secara luas dengan apa yang diyakini oleh Marx. Sedangkan, Marxisme adalah teori yang didasarkan pada interpretasi atas karya-karya Marx dan Engels. Marxis mempercayai, bahwa kaum kapitalis perekonomian internasional akan beroperasi secara sistemik, dan mengubah perekonomian LDC (negara yang belum maju: Less Developed Countries). Negara yang kaya akan memiliki kontrol atas negara-negara dunia ketiga dan kemiskinannya. Marxis menganggap interaksi yang dihasilkan bersifat konfliktual dan penuh eksploitasi (Gilpin, 1987: 265).
Gilpin, Robert (1987), Marxist melihat masyarakat kapitalis sebagai salah satu kelas dominasi. Media dijadikan arena pertandingan ideologis agar dapat dilihat semua kelas yang sedang berjuang, yang akhirnya mengarah pada monopoli modal dan internalisasi budaya yang dominan. Kapitalisme telah melanggengkan kelompok elite berkuasa melakukan eksploitasi terhadap kelompok yang tidak berkuasa alias lemah.  Pesan yang disampaikan melalui media sejak awal dibuat dan disampaikan kepada khalayak dengan satu tujuan, yaitu membela kepentingan kapitalisme. Walaupun media seringkali mengklaim bahwa diri mereka menyampaikan informasi untuk kepentingan publik dan kebaikan bersama (common good), namun “ujung-ujungnya duit” (Morissan, 2013: 536).  Teori marxist ini cenderung menekankan kepada peran media massa dalam mempertahankan dan mengembangkan status quo, seolah-olah berbeda dengan paham liberal dan menekankan peran media dalam mengembangkan kebebasan berbicara.
            Indonesia sebagai negara yang berada pada era reformasi ditegakkan sejak tahun 1998 hingga kini abad 21, telah memberi ruang yang sangat terbuka terhadap kebebasan penyaluran informasi, berekspresi dan berpendapat.  Ini dapat dilihat dengan munculnya perusahaan media massa, khususnya yang semakin tumbuh dan berkembang bak cendawan di musim hujan. Distribusi informasi tidak terbatas hanya melalui lembaran kertas, siaran lokal, dan berita luar negeri yang disadur, namun sudah menjelajah sampai ke berbagai media berteknologi tinggi. Televisi pemerintah semakin tenggelam dengan banyaknya bermunculan televisi swasta, yang menyajikan beragam informasi baik lokal maupun interlokal, Indonesia bahkan dunia secara lebih mendetail. Mulai dari program program hiburan, seperti film, musik, sinetron, kuis atau berbagai macam reality show sampai pada program non-hiburan.
Berita yang awalnya dengan tampilan sederhana bertransformasi dengan kemasan yang sangat menarik. Kemunculan televisi swasta seperti Metro TV mulai mengambil alih posisi khalayak, sebagai stasiun berita laiknya saluran televisi luar negeri CNN. Hal ini dibebeki oleh media televisi swasta lainnya seperti tvOne, dengan tag linenya sebagai stasiun berita dan olahraga hingga terjadi persaingan diantara keduanya, yang kemudian pula diikuti oleh stasiun televisi lain, seperti TransTV, Trans7, RCTI, SCTV, ANTV, Kompas TV, Net TV  dan stasiun lainnya yang seolah ‘tak mau kalah’ dalam merebut pundi-pundi keuntungan. Hingga kini, perkembangan media massa, media cetak bahkan media online sudah tidak terbendung lagi keberadaannya.
            Namun, selanjutnya muncul pemikiran sampai kapan idealisme pemberitaan pro rakyat ini bertahan? Tidak berubah menjadi kepentingan segelintir pemilik perusahaan pemberitaan, yang memiliki afiliasi terhadap kepentingan politik tertentu. Walhasil, frekuensi udara sebagai milik negara yang digunakan untuk kemaslahatan rakyat pun dipertaruhkan; antara edukasi atau mengejar profit semata. Atas dasar inilah, penulis meyakini pentingnya perspektif Marxis Klasik dalam memandang realitas media di Indonesia, sebagai alat komunikasi pembangunan.
2.1 Pembahasan
Dalam, teori ekonomi politik media, maka media diartikan sama dengan alat produksi, yang mana harus dikuasai oleh para pemilik modal. Lantas, bagaimana realitas media di Indonesia. Data menunjukkan sebagaimana berikut:
No.
Media (TV)
Pemilik
1.       
RCTI; Global TV; MNC TV; INews (Setiap daerah)
Hary Tanoesoedibjo (Perindo)
2.       
Indosiar; SCTV
Anthoni Salim
3.       
Trans7; Trans TV; Trans Corp
Chairul Tanjung (CT Corp) (Demokrat)
4.       
ANTV; tvOne
Anindya Bakrie (Anak Aburizal Bakrie); Ardiansyah Bakrie (Anak Aburizal Bakrie) (Partai Golkar)
5.       
Metro TV
Surya Paloh (Partai Nasdem)

Tabel di atas menunjukkan, bagaimana akuisisi dan merger menyebabkan konsentrasi kepemilikan atau konglomerasi media. Dimana pemilik/elit mengontrol sumber-sumber ekonomi. Salah satu sumber ekonomi dewasa ini adalah media massa (mass media). Oleh karena itu, mereka kooptasi media massa dengan mengontrol isinya (konten); untuk kepentingan elit, menyebarkan ideologi mereka dan memobilisasi kesadaran secara perlahan tapi pasti. Padahal, frekuensi udara yang digunakan media massa tersebut adalah milik negara, yang harus dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemaslahatan rakyatnya, dan bukan malah untuk segelintir elit. Pada akhirnya, mobilisasi kesadaran secara masif itu bakal menjadi hegemoni, jika merujuk kepada pernyataan Antonio Gramsci.
Teori hegemoni lebih menekankan pada ideologi itu sendiri, bentuk ekspresi, cara penerapan dan mekanisme yang dijalankannya, untuk mempertahankan dan mengembangkan diri melalui kepatuhan para pekerja (proletar). Sehingga, upaya itu berhasil memengaruhi dan membentuk alam bawah sadar mereka akan statusnya. Pergeseran perhatian dari faktor ekonomi ke faktor ideologi, berkaitan erat dengan keberlanjutan hidup kapitalisme. Pergeseran ini menurut William, telah mengangkat derajat media massa setara dengan alat ideologi negara lainnya. Hingga tak jarang, pers juga disebut sebagai pilar ke-empat dalam sebuah negara.   
Namun tentu kita tidak boleh hanya melihatnya dengan kacamata kuda. Berikut dampak negatif dan positifnya: Dampak positif; 1) Mengurangi tingkat pengangguran, karena banyak menyedot tenaga kerja; 2) Kinerja media menjadi lebih profesional, karena telah diakuisisi oleh pemilik yang berpengalaman dalam mengasuh media. Sementara dampak negatifnya; 1) Konglomerasi memicu komersialisasi yang sarat profit, dan hilirnya mengabaikan ‘kualitas’ konten; 2) Konten menjadi seragam dan monoton, karena diatur oleh ‘pusat’ (dalam hal ini Jakarta); 3) Melemahnya fungsi kontrol media terhadap tranparansi pemerintahan, dan ‘kenetralan’ dalam berpolitik, sebab cenderung tunduk pada penguasa media yang juga kader partai; 4) Masyarakat sebagai konsumen isi siaran pun di-ru-gi-kan!
Dalam ilmu komunikasi terdapat teori ekologi media. Ekologi media memandang media sebagai makhluk hidup, yang berupaya mempertahankan kehidupan. Untuk mempertahankan kehidupan, media membutuhkan sumber-sumber kehidupan. Dalam perspektif ekologi media, sumber-sumber penunjang kehidupan media adalah sebagai berikut: 1) Modal (Capital): Misalnya pemasukan iklan atau iuran berlangganan; 2) Jenis isi media (Type of Content): Misalnya Quiz, Sinetron atau Informasi; dan 3) Jenis khalayak sasaran (Type of Audiences): Misalnya usia, berdasarkan jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan lain sebagainya.
Media saling berkompetisi dalam memperebutkan sumber-sumber kehidupan tersebut. Sebab secara teoritis, terdapat hubungan antara isi, khalayak dan iklan. Jika isi suatu media baik secara kualitatif, banyak penonton yang akan mengonsumsi media tersebut sehingga banyak pemasang iklan menempatkan iklannya pada media itu.

Berikut dasar pemikiran Marxis Klasik, yaitu: 1) Melihat hubungan antara basis dengan superstruktur; 2) Ekonomi sebagai basis dari superstruktur; dan 3) Dinamika masyarakat ditentukan oleh proses merebutkan alat-alat produksi. Sementara, penjelasan proses sistem dua kelas Marx adalah jumlah alat produksi terbatas; karena hanya dikuasai oleh segelintir orang yang menamakan diri mereka ‘Kelas Kapital’/Borjuis. Sementara, ‘Kelas Proletar/Buruh’ tidak menguasai alat produksi apapun. Walhasil dalam sistem dua kelas Marx ini dijelaskan, bagaimana borjuis kapitalis mengeksploitasi tenaga proletar/buruh dengan kekuatan dan untuk kekuasaannya semata.
2.1.1 Pemikiran Marxis Klasik Terhadap Media di Indonesia Saat Ini
Marxisme merupakan dasar teori komunisme modern (Audi, 1995: 465-467). Teori ini tertuang dalam buku “Manisfesto Komunis”, yang dibuat oleh Marx dan Friedrich Engels. Marxisme merupakan bentuk protes Marx terhadap paham kapitalisme. Ia menganggap bahwa kaum kapital mengumpulkan uang dengan mengorbankan kaum proletar. Kondisi kaum proletar sangat menyedihkan, karena dipaksa bekerja berjam-jam dengan upah minim. Sementara hasil pekerjaan mereka hanya dinikmati oleh kaum kapitalis. Banyak kaum proletar yang harus hidup di daerah pinggiran dan kumuh. Marx berpendapat bahwa masalah ini timbul, karena adanya ‘kepemilikan pribadi’ dan penguasaan kekayaan yang didominasi orang-orang kaya.
Untuk mensejahterakan kaum proletar, Marx berpendapat bahwa paham kapitalisme diganti dengan paham komunisme. Bila kondisi ini terus dibiarkan, menurut Marx, kaum proletar akan memberontak dan menuntut keadilan. Inilah dasar dari marxisme (Weij, 1991: 111-117). Menurut Gurevitch terdapat tiga paradigma dalam pendekatan Kajian Media Marxisme, yaitu:
1)      Kelompok “strukturalis”, antara lain adalah Althuserian Marxisme dengan fokus pada artikulasi internal dari sistem penandaan media.
2)      Kelompok “political economy” memandang ideologi sebagai subordinat dari ekonomi. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah Graham Murdock, yang menempatkan kekuatan media dalam proses ekonomi dan struktur produksi media. Pemilikan dan pengendalian media dilihat sebagai faktor kunci dalam mengendalikan pesan media.
3)      Kelompok “kulturalis” yang termasuk didalamnya adalah Stuart Hall yang mewakili Culturalist Marxism, mempunyai pandangan bahwa media massa bersifat habis dalam mempengaruhi pembentukan kesadaran publik (Curran dalam Chandler, 1995).
            Media massa pada dasarnya berfungsi menyebarluaskan opini publik, yang menghasilkan pendapat dan pandangan dominan, yang pada gilirannya cenderung memberitakan pandangan yang terungkap dan karenanya spiral of silence berlanjut. Besarnya pengaruh media terhadap pembentukan opini publik, mengkontruksi pemikiran dan pandangan kepada suatu arah tertentu; dimana tujuan media menggiring khalayak kepada suatu arah yang diinginkan. Tentu ini ada hubungannya dengan menjadikan pemberitaan dan tontonan menjadi seolah-olah sebuah realita yang benar-benar terjadi.
Selain itu, saat ini kepemilikan media massa lebih banyak dimiliki oleh orang-orang yang berorientasi pada kepentingan politik dan bisnis (ekonomi) semata. Keadaan ini sangat mengkhawatirkan, karena media pasti akan melupakan fungsi utamanya untuk dapat memenuhi kepentingan informasi dan edukasi bagi masyarakat.
Donal Shaw dan Maxwell McComb (dalam Morissan 2013: 496) menyatakan, para editor media cetak dan para pengelola media penyiaran memainkan peran penting dalam membentuk realitas sosial kita, ketika mereka melakukan pekerjaan untuk membuat berita. Bahkan menurut Hall, media adalah instrumen kekuasaan kelompok elite, dan media berfungsi menyampaikan pemikiran kelompok yang mendominasi masyarakat, terlepas apakah pemikiran itu efektif atau tidak. Studi kultural menekankan pada gagasan, bahwa media menjaga kelompok berkuasa untuk tetap memegang kendali atas masyarakat. Sementara, mereka yang kurang berkuasa menerima apa saja, yang disisakan kepada mereka oleh kelompok berkuasa (Morissan, 2013: 535).
2.1.2 Kapitalis di Media Televisi
Menurut Gordon (dalam Rahayu), ada tiga hal penting yang dapat digunakan sebagai patokan untuk mengidentifikasi karakteristik suatu industri. Ketiga hal itu berkaitan dengan customer requirements, competitive environment dan social expectation. Pertama, customer requirement merujuk pada pengertian harapan konsumen tentang produk yang mencakup aspek kualitas, diversitas dan ketersediaan; Kedua, competitive environment merupakan lingkungan persaingan yang dihadapi perusahaan; Ketiga, social expectation berhubungan dengan tingkatan harapan masyarakat terhadap keberadaan industri. Industri media seiring dengan revolusi teknologi komunikasi mencapai tahap industri modern dengan segala konsekuensinya. Hal ini menempatkan media pada sisi yang dilematis, yakni antara pemenuhan fungsi media secara komprehensif dengan kepentingan bisnis.
Sebagai salah satu media yang cukup akrab dengan kita, televisi harusnya bersifat netral (dalam artian berpihak pada masyarakat). Namun, karena ia dikelola dan digerakkan oleh subjeksubjek, subjektifikasi para pengelola televisi akan menjadi warna yang dominan, yang menentukan kemana arah dan peran televisi. Besarnya investasi untuk sebuah stasiun televisi akan membuat pengelola televisi melakukan perhitunganperhitungan, untuk mengembalikan modal (mendapatkan laba/keuntungan finansial). Selain itu, distribusi atau sirklulasi pemerintahan yang berpusat di ibukota Jakarta, secara tidak langsung juga memberikan berbagai akibat. Yakni memposisikan stasiunstasiun televisi yang ada di Jakarta sebagai televisi nasional, yang dikonsumsi oleh masyarakat di seluruh pelosok tanah air.
Sementara watak dan perilaku televisitelevisi itu, dengan berbagai keterbatasannya melakukan penyempitan Indonesia menjadi semata Jakarta saja. Berdasarkan kacamata Jakarta ini lah, yang membuat media televisi tidak mampu memotret fenomena ketimpangan sosial di Indonesia secara maksimal. Pada posisi inilah stasiun televisi dikhawatirkan menjadi penyebab munculnya keseragaman (homogenisasi) nilai sosial-kebudayaan di Indonesia. Pluralitas dan heterogenitas budaya bangsa diabaikan. Indonesia yang heterogen dengan ribuan suku, bahasa, adat dan kebudayaan tergerus oleh keterbatasan modal dan keterbatasan wilayah.
Munculnya UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002, meski mencoba menata dan mengkritisi penyiaran televisi Jakarta yang sentralistis, belum jua mampu menyelesaikan persoalan. Bahkan, para pengelola dan investor televisi Jakarta sempat melakukan perlawanan untuk menggagalkan UU No. 32 Tahun 2002. Demikian pula munculnya televisi lokal dibeberapa daerah sebagai akibat adanya regulasi ini, tidak pula berada dalam harapan yang sebanding karena stasiun televisi ini pun sama dan dibangun/diakuisisi oleh ‘orang-orang pusat’. Dalam percaturan politik ekonomi skala internasional maupun nasional tidak dapat dipungkiri, bahwa media massa mainstream dikuasai oleh para pemilik modal, dan digunakan untuk kepentingan para pemilik modal tersebut. Cengkraman kapitalis terhadap media komunikasi di Indonesia menjelaskan, bahwa penyiaran tidak lagi menjadi alat penerangan, namun bisa dimiliki secara pribadi. Sekaligus tak dapat dipungkiri pula, hukum industrial membuat pemilik media memiliki otoritas penuh dalam mengelola medianya.
Dampak lain yang dapat dirasakan secara langsung atau tidak langsung, terjadi pada semua elemen pendukung penyiaran pemberitaannya. Karyawan sebagai elemen penting dalam proses regulasi berita, tereksploitasi menurut arah kepentingan para pihak yang berkuasa. Ini yang disebut Marx sebagai sistem ekonomi kapitalis, keuntungan mendorong produksi sehingga menindas buruh dan kaum pekerja. Marxis juga berpandangan, bahwa masyarakat mengalami penindasan yang dilakukan oleh kelompok yang kuat. Menurut pandangan ini, kelompok buruh harus bangkit melawan kelompok pengusaha yang dominan dan merebut sumber-sumber produksi, hanya dengan inilah kebebasan pekerja dapat dicapai (Morissan, 2003: 57-58). Inilah sebuah kesenjangan yang sangat tinggi, yang disebut marx kelompok masyarakat Borjuis dari kaum kapitalis, dan proletar dari kaum buruh atau rakyat jelata.
            Musabab itu, setiap elemen masyarakat turut ambil andil dalam menuntut penyiaran televisi yang tidak terdistorsi secara ideologis bagi masyarakat. Sekaligus secara khusus bisa digunakan untuk mencapai konsensus dari perseteruan antara publik dengan pemodal stasiun televisi. Media massa menurut Schramm sejatinya memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut:
1.      Sebagai pemberi informasi. Tanpa media massa sangatlah sulit untuk menyampaikan informasi secara cepat dan tepat waktu, seperti yang diharapkan oleh suatu negara yang sedang ‘membangun’. Tentu informasi yang diharapkan adalah informasi yang berimbang, tajam dan terpercaya dan bukan malah memecah belah.
2.      Pembuatan keputusan. Dalam hal ini media massa berperan sebagai penunjang data, karena fungsi ini menuntut adanya kelompok-kelompok diskusi yang akan membuat keputusan. Sehingga, media massa hanya berperan sebagai penguat saja (reinforcement). Disini pula berperan opinion leader yang terdapat dalam teori two step flow communication, milik Paul F. Lazarsfeld. Baik itu yang berlangsung di masyarakat yang mekanik (pedesaan) maupun masyarakat organik (perkotaan), bila merujuk pada teori solidaritas sosial milik Emile Durkheim.
3.      Sebagai pendidik (to educate). Sebagian dapat dilaksanakan sendiri oleh media massa,sedangkan bagian yang lainnya dikombinasikan dengan komunikasiantarpribadi. Misalkan program-program pendidikan luar sekolah, atau siaran pendidikan.
Menurut Schramm, peran lain media massa, diantaranya: 1) meluaskan wawasan masyarakat; 2) Memfokuskan perhatian masyarakat kepada pembangunan; 3) Meningkatkan aspirasi; 4) Memperlebar dialog kebijakan; dan 5) Menegakkan norma-norma sosial.
3.1  Simpulan
Secara ideologis, pengaturan dan pengawasan media masih sangat diperlukan, karena aspek kepentingan yang berada dibalik penyelenggaraan media informasi itu, yang notabene menggunakan ranah publik itu masih sangat dominan. Upaya penataan usaha media komunikasi perlu lebih ditingkatkan lagi. DPR, Pemilik modal/pemilik stasiun TV, Komisi penyiaran Indonesia (KPI) dan wakil masyarakat seperti LSM dan sebagainya perlu punya komitmen bersama untuk membicarakan hal ini. Setidaknya, keseimbangan (balance) pemberitaan media dapat terlaksana, tanpa harus berpihak pada kepentingan politis. Last but not least, suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, fenomena ini sekali lagi membuktikan bahwa teori Marxisme Klasik masih bisa digunakan, untuk memotret peran komunikasi (media) yang masih minim dalam pembangunan di Indonesia.

Komentar

Postingan Populer