TANTANGAN KOMUNIKASI ANTARBUDAYA
http://pmi-sa.co.za |
Tulisan ini merupakan rangkuman dari slide Komunikasi
AntarBudaya (pasca mid) karya Inon Beydha., Ph.D, yang kemudian dilengkapi
dengan buku Komunikasi Lintas Budaya karya Larry A. Samovar, dkk tahun 2010,
terbitan Salemba Humanika, Jakarta. Berikut rangkumannya dari halaman 291-340;
470:
1.
Ambiguitas
Merujuk pada kamus besar bahasa Indonesia, maka ambiguitas adalah
sifat atau hal yang bermakna dua; kemungkinan mempunyai dua pengertian;
ketidaktentuan; ketidakjelasan; kemungkinan adanya makna atau penafsiran yang
lebih dari satu. Ambiguitas erat kaitannya dengan komunikasi non verbal.
Misalnya, Anda mungkin melakukan gerakan secara acak (seperti mengusir lalat
dari lengan Anda), dan seseorang mungkin melihat tindakan tersebut dan
mengartikannya, bahwa Anda sedang melambaikan tangan padanya (Samovar, dkk,
2010: 295). Oleh karena itu, salah satu tantangan komunikasi antarbudaya adalah
kita tidak pernah yakin, apakah seseorang mengerti pesan nonverbal yang orang
lain sampaikan. Sebagian ambiguitas ini terjadi, karena komunikasi non verbal
ini berdasarkan konteks negara masing-masing.
2.
Intervensi
Intervensi dalam konteks komunikasi antarbudaya terjadi, dimana
budaya mayor mencampuri urusan budaya minor dengan kacamata mereka. Campur
tangan ini terkadang bisa sampai berlebihan dan menimbulkan konflik, karena
menimbulkan ketidaksenangan di pihak budaya minor atas pengekangan yang ada.
Contoh tindakan intervensi budaya: 1) Seorang majikan melarang/membatasi
pekerjanya untuk beribadah sesuai, dengan agama yang dianutnya; 2) Israel
melarang/memblokade penduduk Palestina untuk beribadah di Masjidil Aqsha,
kiblat pertama muslim dunia.
Negara-negara yang sering melakukan intervensi budaya adalah
Amerika Serikat, Barat dan Eropa. Namun, tentu hal ini tidak dapat
digeneralisasikan secara serta-merta. Negara-negara tersebut mengambil
keputusan seperti itu, karena ada pertimbangan politik di dalamnya.
3.
Non
Egaliter
Kata ‘egaliter’ erat kaitannya dengan pandangan Hofstede mengenai
jarak kekuatan, “bahwa setiap budaya dan organisasi memiliki protokol, yang
didasarkan pada budaya untuk mengarahkan interaksi antara orang-orang yang
posisinya bervariasi. Setidaknya, Hofstede membagi hubungan status kedalam dua
kelompok, yaitu egalitarian, dengan sedikit perhatian terhadap perbedaan
sosial, dan hierarkis, yang menekankan pada status dan tingkatan. Aliran
egalitarian memfasilitasi dan mendorong keterbukaan diantara pelaku komunikasi,
menekankan interaksi informal antara bawahan dan atasan, dan mengurangi
ekspektasi akan rasa hormat dan formalitas (Samovar, dkk, 2010: 351-352).
Orang-orang egaliter percaya bahwa setiap orang memiliki untuk meningkatkan
status sosialnya, asalkan mereka berusaha. Jadi, tidak ada yang perlu disombongkan
di dunia ini.
Mereka tetap berpenampilan rendah dari kekuasaan dan prestise
mereka yang tinggi. Contoh negara-negara egaliter adalah Amerika Serikat,
Australia dan Selandia Baru. karena mereka tidak begitu peduli dengan perbedaan
status sosial dan kekuasaan. Hal ini tampak dari Bill Clinton yang mampir di McDonald ketika jogging,
dengan mengenakan kaos dan celana pendek; dan foto kandidat Presiden Barack
Obama kala itu, yang bermain basket; atau mungkin di Indonesia, gaya blusukan
Presiden RI Joko Widodo. Aktivitas juga pakaian yang dikenakan orang-orang
terkemuka ini, mengizinkan mereka untuk merendahkan status mereka, dan
menunjukkan bahwa ia juga seperti orang lain pada umumnya.
Tentu, tidak memiliki konsep egaliter dalam diri, dapat menghambat individu
untuk berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya. Tidak egaliter
dapat juga disebut hubungan status yang hierarkis. Artinya, budaya ini melihat
perbedaan status turut mengatur aktivitas interpersonal dan antarbudaya mereka.
Biasanya hal ini ditentukan oleh jabatan, usia, tingkat pendidikan dan
sebagainya. Negara-negara yang menganut budaya ini adalah Jepang, Cina, Amerika
Latin, dan Spanyol, termasuk Indonesia. Contoh: budaya perpoloncoan yang masih
belum tuntas di Indonesia menunjukkan, bahwa senior masih mengharapkan rasa
hormat dari anggotanya yang lebih rendah; atau guru/dosen yang dihormati karena
keilmuan yang dimilikinya
McDaniel (dalam Samovar, dkk, 2010: 353) menyebut, “hierarki lebih
berperan penting dalam masyarakat Jepang dibandingkan di negara Barat. Bagi
orang Jepang, hierarki merupakan pembagian sosial yang alami dan umunya
menyebar ke seluruh aspek masyarakat. Bahkan, dalam organisasi Jepang, hierarki
dicerminkan oleh seorang junior yang selalu membungkuk lebih rendah
dibandingkan seniornya. Sebagai tambahan, junior menggunakan bahasa yang formal
dan sopan, sedangkan senior dapat menggunakan gaya yang tidak formal.
Variasi penggunaan bahasa diantara orang-orang dari budaya
hierarkis tidak hanya di Asia saja. Misalnya, di Spanyol, Meksiko dan
negara-negara berbahasa Spanyol, kata informal “tu” (kamu) digunakan
diantara keluarga, teman, dan rekan kerja yang dekat. Namun ketika berhubungan
dengan orang yang tidak dekat, kata “usted” yang formal digunakan. India
juga memiliki sejarah pembagian hierarkis berdasarkan sistem kasta. Walaupun
sistem ini digantikan oleh hukum, “kepercayaan bahwa ada perbedaan kualitatif
antara kasta” terus memengaruhi hubungan di India. Dewasa ini, pengaruh
internet dan media sosial seperti Facebook turut mengaburkan hubungan
status hierarkis. Contoh: seorang doktor bisa saja berdebat dengan tukang becak
terkait suatu isu, tanpa memerdulikan lagi strata dan tingkat pendidikan yang
melekat pada mereka.
4.
Prasangka
Dalam pengertian yang luas, prasangka merupakan perasaan negatif
yang dalam terhadap kelompok tertentu. Sentimen ini kadang meliputi kemarahan,
ketakutan, kebencian dan kecemasan. “Prasangka merupakan generalisasi kaku dan
menyakitkan mengenai sekelompok orang. Prasangka menyakitkan dalam arti bahwa
orang memiliki sikap yang tidak fleksibel, yang didasarkan atas sedikit atau
tidak ada bukti sama sekali. Orang-orang dari kelas sosial, jenis kelamin,
orientasi seks, usia, partai politik, ras atau etnis tertentu dapat menjadi
target dari prasangka.” (Macionis dalam Samovar, dkk, 2010: 207). Contoh: Pada
masa Pilpres 2014 sangat kental prasangka terhadap Joko Widodo, yang dicap
sebagai antek-antek PKI. Tanpa kejelasan bukti, melainkan hanya sebagai alat
propaganda oleh orang-orang yang tidak menyenanginya. Atau FPI yang kerap
disangkakan sebagai Ormas Islam radikal di Indonesia. Padahal, FPI adalah satu-satunya
Ormas Islam yang tegas menentang penyimpang dan penghina ‘aqidah agamanya.
Menurut Russher (dalam Samovar, dkk, 2010: 207), prasangka adalah perasaan
dan perilaku negatif. Sasaran prasangka kadang ditunjukkan melalui penggunaan
label, humor permusuhan, atau pidato yang menyatakan superioritas suatu
kelompok terhadap kelompok lain. Contoh: Viktor Laiskodat yang dilaporkan
sejumlah pihak terkait kasus videonya, yang diduga mengandung ujaran kebencian.
Dalam video tersebut diketahui, pidatonya di NTT dianggap menghasut dan
menyebarkan kebencian terhadap empat parpol (Partai Gerindra, Partai Demokrat,
Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Amanat Nasional), dengan menyebut empat
parpol tersebut pro-khilafah. Viktor dianggap melanggar UU No. 19/2016 tentang
Informasi Transaksi Elektronik, dan Pasal 28 Ayat (2) Juncto, Pasal 45 Ayat
(2), Pasal 4 dan 5 UU No. 40/200 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis
(JawaPos, Selasa 19 Desember, 2017, pukul 08:14 wib).
Prasangka dinyatakan dalam
berbagai cara – kadang secara halus dan tidak langsung, namun juga kadang
secara terang-terangan dan langsung. Prasangka dalam skala yang lebih besar
dapat memunculkan tindakan pembersihan etnis, seperti yang terjadi pada etnis
Rohingya di Rakhine, Myanmar. Penyebab prasangka adalah sebagai berikut:
a.
Sumber
sosial
Banyak
prasangka yang dibangun dalam organisasi dan institusi masyarakat yang besar.
Menurut Skamp (dalam Samovar, dkk, 2010: 210), organisasi-organisasi ini
menetapkan hukum, peraturan, dan norma yang menimbulkan prasangka dalam suatu
masyarakat. Hukum dan peraturan ini menolong untuk “mempertahankan kekuasaan
kelompok dominan terhadap kelompok yang di bawahnya”. Contoh: Orang Aceh yang
punya peraturan Syari’at Islam akan berprasangka buruk, ketika sepasang
pemuda-pemudi Medan tengah mojok.
b.
Mempertahankan
identitas sosial
Pentingnya
identitas seseorang dalam hubungannya dengan budaya. Hubungan ini merupakan
hubungan yang personal dan emosional. Hal ini menciptakan hubungan individu dan
budayanya. Segala sesuatu yang mengancam ikatan tersebut, seperti anggota
kelompok luar dapat menjadi target prasangka.
c.
Mencari
kambing hitam
Pencarian
kambing hitam terjadi ketika sekelompok orang tertentu, biasanya bukan
minoritas, dipilih untuk dipersalahkan terhadap suatu kejadian tertentu.
Misalnya kesulitan ekonomi atau sosial yang memengaruhi kelompok dominan.
Sepanjang sejarah, orang kulit hitam, bangsa Palestina, perempuan berhijab dan
muslim sering dijadikan sebagai kambing hitam pemboman atau aksi terorisme.
Adapun menghindari prasangka bukanlah hal yang mudah, karena
seperti aspek budaya pada umumnya, prasangka rasial dan budaya telah dipelajari
sejak kecil, dan ditanamkan melalui interaksi. Setidaknya, ada dua teknik yang
dapat digunakan dalam mencegah prasangka, yaitu:
a.
Hubungan
Personal
Semakin
sering terjadi hubungan positif antara anggota kelompok dalam dan kelompok
luar, maka semakin rendah level prasangka yang terjadi.
b.
Pendidikan
Jenis
yang pertama berpusat pada apa yang disebut dengan kurikulum pendidikan
multikultur, menurut Stephan dan Stephan (dalam Samovar, dkk, 2010: 211) adalah
kurikulum itu “biasanya berisi materi tentang sejarah dan praktik budaya dari
sejumlah kelompok ras dan etnis”. Materi dalam kurikulum multikultur
ditampilkan dari sudut pandang kelompok minoritas, dibandingkan dari sudut
pandang kelompok dominan.
Jenis
yang kedua, pelatihan keanekaragaman budaya, digunakan umumnya dalam lingkungan
bisnis dan organisasi, dan berisi program-program yang didesain “untuk mengajar
manajer dan karyawan untuk menghargai perbedaan kelompok, meningkatkan
pemahaman diantara kelompok, dan menolong setiap individu untuk menyadari bahwa
perilaku mereka sendiri dipengaruhi oleh latar belakang mereka sendiri”.
5.
Stereotip
Ketika berhadapan dengan suatu hal yang tidak sama dan tidak
diketahui, kita cenderung untuk memiliki stereotip. Stereotip biasa terjadi,
karena kita bertemu dengan banyak orang asing dan terkadang dihadapkan pada kesempatan
yang tidak lazim. Jadi, stereotip dapat menjadi hal yang wajar dalam menghadapi
sesuatu yang tidak kita ketahui. Masalah timbul ketika kita tidak menyadari
bahwa kita memiliki stereotip negatif. Stereotip merupakan bentuk kompleks dari
pengelompokkan, yang secara mental mengatur pengalaman Anda, dan mengarahkan
sikap Anda dalam menghadapi orang-orang tertentu. Alasan mengapa stereotip
begitu mudah menyebar karena manusia memiliki kebutuhan psikologis, untuk
mengelompokkan dan mengklasifikasikan suatu hal.
Dunia dimana kita tinggal ini terlalu luas, terlalu kompleks, dan
terlalu dinamis untuk Anda ketahui secara detail. Jadi, Anda ingin mengelompokkan
dan mengotak-ngotakkannya. Stereotip dapat positif ataupun negatif. Stereotip
yang merujuk sekelompok orang sebagai orang malas, kasar, jahat atau bodoh
jelas-jelas merupakan stereotip negatif. tentu saja, ada stereotip positif,
seperti asumsi pelajar dari Jepang yang pekerja keras, berkelakuan baik dan
pandai. Bagaimanapun, karena stereotip mempersempit persepsi kita, maka
stereotip dapat mencemarkan komunikasi antarbudaya. Hal ini karena stereotip
cenderung untuk menyamaratakan ciri-ciri sekelompok orang.
Kita tidak lahir dengan stereotip; stereotip tersebut dipelajari
dengan berbagai cara. Mungkin unsur yang paling nyata dan penting dari
stereotip adalah proses sosialisasi, yang dimulai dari orangtua kita. Anak-anak
yang mendengar orangtuanya berkata, “budaya si anu begini, budaya si anu
seperti ini” sedang belajar tentang stereotip. Disadari atau tidak disadari
oleh orangtuanya. Selain itu, tempat-tempat yang turut membawa stereotip adalah
pranata sosial seperti sekolah, teman dan lingkungan kelompok tempat tumbuhnya
si anak. Kelompok-kelompok ini baik agama maupun sosial, secara sengaja atau
tidak sengaja mengajarkan stereotip.
Misalnya, dengan belajar cara pandang agama tertentu, dan pada
waktu yang bersamaan mendengarkan “kejahatan teroris agama”, anak-anak mungkin
mempelajari stereotip mengenai Islam. Media dalam hal ini juga berperan dalam
menyebarkan stereotip. Misalnya Islam adalah dalang dari peristiwa peledakan WTC
9/11. Padahal, belum tentu benar adanya, atau Wood (dalam Samovar, dkk,
2010: 204) menyimpulkan penggambaran laki-laki sebagai sosok yang aktif,
petualang dan agresif secara seksual. Sementara perempuan digambarkan sebagai
sosok muda, langsing, cantik, pasif, bergantung dan tidak cakap.
Last but not least, “Stereotip
merupakan konsep kaku yang diterapkan pada semua anggota suatu kelompok dalam
suatu waktu, tanpa mempertimbangkan keanekaragaman individu.” (Atkinson, Morten
dan Sue dalam Samovar, dkk, 2010: 205). Stereotip menghalangi keberhasilan kita
sebagai seorang komunikator, karena stereotip biasanya berlebih-lebihan,
terlalu sederhana, dan terlalu menyamaratakan. Stereotip jarang berubah, karena
stereotip biasanya berkembang sejak awal kehidupan, dan terus berulang dan
diperkuat dalam suatu kelompok, stereotip berkembang setiap waktu.
Stereotip
Positif
|
Stereotip
Negatif
|
-
Orang Jepang
rajin
-
Orang Yahudi
Pintar
|
-
Orang kulit
putih penjajah
-
Orang kulit
hitam budak
-
Orang Aceh Pungo
(Gila)
-
Orang Batak
makan orang
-
Orang Minang
pelit
-
dan
sebagainya
|
Komentar
Posting Komentar