FILM PENGURAS AIR MATA
http://cdn.klimg.com |
Jika ada film drama Indonesia, yang berhasil membuat saya menangis
dari awal hingga akhir, itu ialah film yang dibintangi oleh Dwi Sasono dan Tika
Bravani. Berjudul “Malaikat Kecil”, yang diproduksi oleh Atlantis Pictures.
Film ini sempat dirilis pada tahun 2015 lalu. Namun saya baru menontonnya ketika
kembali ditayangkan di tv, bertepatan dengan perayaan Idul Adha 1438 H.
Sebagaimana dikutip dari id.wikipedia.org (05/09/2017). Film ini
bercerita tentang Budi (Dwi Sasono), penderita autis. Bersama keluarganya
datang ke Jakarta untuk mengadu nasib. Ia berusaha menepati janji untuk
membelikan baju baru pada anaknya, Ratih (Rachel Patricia) dan Iyan (Dhelon F
Albers), jika mereka mampu puasa sebulan penuh selama Ramadhan.
Nasib bicara lain. Sepeda yang dipakai untuk berkeliling jualan
ikan hias, terserempet mobil milik orang kaya. Tiba-tiba Iyan juga terserang
demam berdarah dan harus dirawat di rumah sakit. Budi tetap yakin bisa menepati
janjinya. Budi mendapat pekerjaan sebagai kuli bangunan yang jauh dari
rumahnya. Saat kembali ke rumah sakit, ia tak menjumpai istri dan anaknya yang
dirawat. Konflik pun terus bergulir, dan setiap scene yang ada saling
berjalin kelindan satu sama lain. Benar-benar sukses menguras air mata!
Film ini banyak mengajarkan saya, bahwa autis layak mendapatkan
tempat di hati kita bersama dalam kehidupan bersosial. Film ini juga banyak mendapatkan
apresiasi, karena mau mengangkat pengorbanan hidup seorang autis dalam
membahagiakan keluarganya. Satu hal lain yang juga paling berharga dalam film
ini ialah bahagia itu sederhana. Cukup berikan usaha terbaik atas segala
keterbatasan yang ada. Semata demi kebahagiaan keluargamu. Hal itu sebagaimana
yang ditunjukkan Budi kepada dua anaknya.
Terinspirasi
dari kisah nyata, film Malaikat Kecil mengangkat cerita tentang perjuangan ayah
bagi keluarganya. Sosok ayah yang berkebutuhan digambarkan sebagai seorang
“Malaikat Kecil” yang hadir ditengah keluarga, dan bisa menjadi kebanggaan,
serta panutan bagi keluarganya. Meskipun tidak berkecukupan secara ekonomi, namun
mampu memberi kebahagiaan bagi keluarga (analisadaily.com).
Efek dramatisasi pada gambar juga sukses menghanyutkan perasaan
penonton kedalam cerita. Seolah-olah penonton benar-benar berada pada situasi
ataupun posisi tersebut. Walaupun ada banyak adegan yang dipotong demi efisiensi. Ya, film ini dapat menjadi jawara lewat
dramanya.
Musabab, saya pikir Indonesia masih kesulitan untuk menciptakan
film-film action hebat sekaliber Hollywood. Tetapi bukan tidak mungkin,
Indonesia dapat berjaya dengan genre dramanya yang tanpa gimmick. Asalkan kita
optimis dan fokus pada jalan cerita yang ada. Menurut saya, ‘Malaikat Kecil’
telah melakukan itu. Optimis dan fokus dengan ceritanya yang sederhana.
Saya termasuk orang yang meyakini, bahwa pemain film yang kuat juga
harus dibarengi dengan alur cerita yang kuat serta sarat konflik. Sekalipun
konflik tersebut merupakan konflik dengan batinnya sendiri. Jika bisa dikelola
dengan baik, pasti menarik juga. Semoga film-film drama kita bisa ikut mewarnai
Asia seperti Korea dan India. Berikut beberapa review yang saya kutip dari
id.filmcritics.com:
Critics Review
Wayan Diananto (Tabloid Bintang)
Malaikat
Kecil ingin menyampaikan pesan damai, cinta sejati, arti keluarga lewat dialog
verbal. Adegan yang berkelebat di layar menjadi stabilo yang menebalkan
teks-teks naskah. Gaya penyutradaraan Richyana tersebut menempatkan Malaikat
Kecil di posisi drama biasa, pengambilan gambar yang secukupnya menjadikan
Malaikat Kecil kisah hidup yang mendekati realita. Semuanya tampak biasa
kecuali chemistry Dwi-Tika yang mengesankan. Dwi sebagai ujung tombak
memperlihatkan gestur, sinar mata, cara bicara, dan berjalan yang meyakinkan.
Rating: NA.
Bloggers
Review
Djay
Cso-Called Reviewer
Udah
lama ga ada film sesederhana ini. inget Kiamat Sudah Dekat-nya Dedy Mizwar? Ya,
Malaikat Kecil sesederhana itu. Tampilan sederhana, apa adanya, ga neko-neko,
dan semuanya mengalir baik. ada beberapa glitch yang mungkin bikin Malaikat
Kecil rada kurang sreg di beberapa bagian, tapi itu bisa ditutupi dengan
aktor-aktornya. Dwi Sasono aktor gila. He can be anyone. Rating: ***1/2.
Josep
Alexander (postingan biasa)
Cerita
sederhana, mengena, dan pinter memilih kedua pemain utama. Tanpa mereka film
ini akan membosankan. Dwi Sasono juara! Rating: ***1/2.
“Setiap manusia pasti menangis, karena ada hal sedih yang
dialaminya. Namun, setiap manusia yang terharu juga menangis, lantaran bahagia.
Setiap orang pasti ingin menangis, marah bahkan berteriak. Namun,
pasti semua itu ada penyebabnya, dan setiap penyebab pasti ada obatnya.
Cinta itu bisa berlandaskan pengabdian. Bukan karena fisik, rupa,
ataupun mentalnya. Cinta itu muncul bisa karena satu peristiwa saja, yang
berakhir dengan ikrar dan janji suci untuk setia. Sekalipun hidup dalam keadaan
berkekurangan bersama pasangan tercinta. Bersama keluarga tercinta: Bapak, ibu
dan adik-adik.
Tirulah orang baik itu. Baik hatinya, perkataannya maupun
perbuatannya”.
Komentar
Posting Komentar