PARADIGMA DAN DINAMIKANYA
4.bp.blogspot.com |
Konsep paradigma[1]
pertama kali dikemukakan oleh Thomas Khun dalam karyanya “The Structure of
Scientific Revolution” tahun 1962. Makna dari kata itu adalah pola,
berasal dari paradeigma (bahasa
latin). Mengenai istilah paradigma ini Lili Rasjidi (2003: 103) menulis sebagai
berikut:
Oleh Kuhn istilah ini dipergunakan untuk menunjuk
dua pengertian utama. Pertama,
sebagai totalitas konstelasi pemikiran, keyakinan, nilai, persepsi dan tekhnik
yang dianut oleh akademisi maupun praktisi disiplin ilmu tertentu yang memengaruhi
cara pandang realitas mereka. Kedua,
sebagai upaya manusia untuk memecahkan rahasia ilmu pengetahuan yang mampu
menjungkirbalikkan semua asumsi ataupun aturan yang ada.
Menurut
Sarwono (2011: 27), paradigma adalah sesuatu yang berfungsi sebagai pola atau model.
Adapun penulis lebih condong mengartikan paradigma sebagai suatu kepercayaan
atau prinsip dasar yang ada dalam diri seseorang tentang bagaimana memandang
dunia (worldview), atau menggunakan
sudut pandang tertentu dalam menyikapi dunia. Ataupun penulis lebih menyebutnya
sebagai pijakan atau basis seorang ilmuwan sosial dalam mengerjakan
penelitiannya. Sedangkan, penelitian sejatinya merupakan suatu upaya untuk
menemukan suatu kebenaran atau untuk lebih membenarkan suatu hal yang telah
benar.
Dalam konteks
Teori Sosial dan Pembangunan (TSP), Thomas Khun mengemukakan konsep paradigma
itu untuk menentang asumsi umum, bahwa ilmu pengetahuan berkembang secara
kumulatif. Artinya hanya memperkuat teori yang sudah ada. Padahal, Thomas Khun
meyakini bahwa ilmu pengetahuan itu berkembang secara revolusi, terjadi dan
terbentuk akibat revolusi. Sehingga teori-teori yang sudah usang tidak akan
digunakan lagi. Dibuang ke tong sampah, dan diganti dengan teori-teori baru
yang up to date dengan perkembangan zaman.
Namun demikian,
dalam praktiknya ada beberapa teori usang/lama yang masih digunakan. Seperti teorinya
Karl Marx tentang kelas sosial. Teori tersebut masih membumi sampai dengan
sekarang. Tentu dengan perubahan disana-sini. Jadi, teori usang tidak
semata-mata hanya bisa dibuang, tapi lebih baik jika di-recycle (daur)
ulang.
Adapun bagan
paradigma menurut Thomas Khun ialah sebagai berikut:
Paradigma I Normal Science Anomalies Crisis Revolusi
Paradigma II
Bak trend
fashion yang terus berubah-ubah, maka paradigma menurut konsep Thomas Khun
juga demikian adanya. Dimana perkembangan teori terus bergulir, dan saling
mengungguli satu sama lain. Ibarat mode pakaian, kalau dulu yang terkenal
adalah celana cutbray maka kini yang terkenal adalah celana kuncup, dan
di masa depan celana diatas mata kaki, misalnya. Begitupula halnya dengan
teori, ada masa jaya-jayanya, ada pasang-surutnya. Misalnya dalam konteks teori
sosial pembangunan, yang tengah berpengaruh itu teori modernisasi atau teori
globalisasi. Maka, para ilmuwan dalam kondisi normal science akan terus
mengembangkan paradigma itu.
Jika pada
satu waktu terjadinya penyimpangan pada ilmu pengetahuan (baca: teori) itu,
maka terciptalah kondisi anomali (ketidakpastian) di tengah masyarakat kita. Misalnya
teori modernisasi atau teori globalisasi sukses diterapkan di negara-negara
seperti: Korea Selatan, Jepang, Taiwan, Hongkong, Singapura hingga negeri jiran
Malaysia sehingga menjadi negara maju. Sedangkan, Indonesia yang turut
menerapkannya masih saja berstatus negara berkembang alias negara dunia ketiga.
Lantas, kenapa teori-teori itu malah klepek-klepek ketika dipraktikkan
di Indonesia? Sehingga Indonesia tetap saja tidak berhasil mengentaskan
kemiskinan, serta ketimpangan yang ada.
Nah, selama
penyimpangan ilmu pengetahuan itu terus memuncak, maka terciptalah krisis
kepercayaan, dan teori-teori (Paradigma I) tersebut pun dipertanyakan
validitasnya. Jika sudah sampai tahap ini, maka muncul lah revolusi ilmu
pengetahuan. Dimana munculnya Paradigma II untuk menggantikan Paradigma I yang
sudah mulai dipertanyakan kebenarannya. Begitu seterusnya, Paradigma II bisa
saja usang diganti dengan Paradigma III, IV, V dan sebagainya. Menurut Thomas
Khun, konsep paradigma ini bergerak secara linier (lurus), dan bukan
malah mengalami siklus.
TSP Bukan
Milik Negara Ketiga
Lantas, di sesi tanya jawab aku pun bertanya
pada Prof. Badaruddin yang mengajar, “Apakah TSP hanya berlaku pada negara dunia
ketiga/ berkembang?”. Beliau pun menjawab dengan bijaksana, bahwa TSP itu
adalah ilmu yang diadopsi dari negara maju (Amerika Serikat dan lain-lain),
maka barang tentu mereka sudah mempraktikannya terlebih dahulu dan terbukti
berhasil. Sehingga negara dunia ketiga (tidak harus Indonesia) juga turut
mempraktikkannya dengan maksud dan tujuan yang sama, yakni memajukan negaranya.
Hanya saja memang, menelan teori mereka secara mentah-mentah, tanpa
menyesuaikan dengan kearifan lokal yang ada hanya akan menjadikan negara kita westernisasi
(kebarat-baratan) belaka.
Selain itu,
banyak pula teori sosial dan pembangunan yang malah muncul dari negara kita
sendiri. Sayang, hal-hal tersebut ditemukan bukan oleh ilmuwan kita, melainkan
oleh para ilmuwan barat. Salah satunya yang muncul dan mungkin paling terkenal
ialah Teori ‘Santri, Abangan dan Priyayi’ yang ditemukan oleh Geertz (kalau
tidak salah). Dimana teori tersebut menjelaskan, bahwa partisipasi kita dalam
perpolitikan di Indonesia sangat ditentukan oleh ketiga latar belakang itu.
Jika kita ‘santri’ maka kita akan cenderung memilih mereka yang seakidah dengan
kita ataupun memilih parpol Islam. Jika kita ‘abangan’ yang cenderung sekuler
maka akan memilih berdasarkan tingkat rasionalitas. Begitupula halnya dengan
kaum ‘priyayi’ mereka akan memilih pasangan atau parpol, yang bakal memberikan benefit
(keuntungan) terhadap mereka. Uniknya, teori ini masih dapat diaplikasikan
pada konteks perpolitikan Indonesia sekarang ini.
Oh ya, ada satu pernyataan yang menarik ditengah
perkuliahan, yang disampaikan oleh abang senior saya Kadri Boy Tarigan. Dia mengatakan
tentang kesesuaian paradigma Thomas Khun dengan dinamika perpolitikan Indonesia
sekarang ini. Maksudnya begini, adanya isu seperti SARA yang digembosi oleh
oknum-oknum tertentu, bisa jadi dimaksudkan untuk menciptakan anomali ditengah
masyarakat kita. Sehingga terjadilah krisis kepercayaan terhadap pemimpin yang
tengah berkuasa, dan ingin segera menggantikannya dengan yang lain. Ya, sungguh
pernyataan yang menggelitik saya. Ya, bisa jadi!
Referensi:
Rasjidi, Lili dan I.B. Wyasa Putra.
(2003). Hukum Sebagai Suatu Sistem. Bandung: Mandar Maju.
[1]
Paradigma yakni pandangan mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject
matter) dari satu cabang ilmu.
Komentar
Posting Komentar