PROF. LILIWERI
http://www.lspr.edu |
Jika ada hal yang paling ingin
kutanyakan pada Prof. Liliweri adalah, mengapa banyaknya jumlah penelitian
tidak berkorelasi dengan semakin terpecahkannya permasalahan bangsa ini.
Seperti permasalahan stabilitas politik, kubu-kubuan, kemiskinan, ketimpangan
hingga disintegrasi sosial dan lainnya. Padahal, saban tahun bangsa ini selalu
menghasilkan penelitian-penelitian baru, yang saya yakin semua itu bermuara
kepada tujuan untuk memberikan solusi bagi carut-marutnya negeri ini. Apakah
itu terjadi karena penelitian itu hanya sebagai syarat kelulusan semata? Apa
karena penelitian itu hanya berkutat di lingkungan civitas akademika? Atau
karena terlalu banyak penelitian sehingga tidak ada eksekusi?
Alhamdulillah, dalam suatu
kesempatan saya dipertemukan dengan Profesor itu, dan beliau pun menjawab,
bahwa hal itu terjadi karena adanya dikotomi antara peneliti dengan pemerintah.
Sehingga kerusakan yang terjadi pada suatu kebijakan pemerintahan, tidak dapat
serta merta pula dilimpahkan kepada peneliti. Karena pembagian tugasnya sudah
jelas, peneliti itu meneliti dan memberikan masukan-masukan kepada pemerintah,
sedangkan tugas pemerintah ialah mengeksekusinya. Maka alangkah bagusnya jika
pemimpin-pemimpin kita memiliki kepekaan tentang hal ini. Maka, alangkah
indahnya jika pemimpin-pemimpin kita di eksekutif mengerti, dan mau menggunakan
penelitian yang ada untuk membangun daerahnya.
Pemerintah dalam hal ini birokrat
harus benar-benar memahami, bahwa suatu kebijakan diterapkan tetap ada
aspek-aspek yuridisnya, sosiologisnya dan penelitian-penelitian lain yang
dilakukan oleh peneliti. Hal ini bertujuan untuk menghasilkan suatu kebijakan
yang benar-benar layak diterapkan ditengah-tengah masyarakat. Namun, Prof.
Liliweri menggaris bawahi, bahwa suatu kebijakan pemerintah tidak bisa
disalahkan sepenuhnya, karena pemerintah punya data-data penelitiannya sendiri
yang sangat eksak (real dalam bentuk data), serta memiliki ahli di
bidangnya. Hanya saja memang, dalam praktiknya ada oknum-oknum birokrat tengik
yang menurunkan naluri intelektual, dan menaikkan naluri politik di
lingkungan pemerintahan kita. Akibatnya, studi-studi yang berguna untuk
membangun negeri tidak dapat dipakai
lagi. Oleh karena itu, membangun spirit akademis di pemerintahan mutlak
diperlukan.
Selain itu, penyebab tetap
terjadinya konflik, disintegrasi sosial dan sebagainya di masyarakat kita juga
karena penelitian-penelitian kita berbasis teori yang telah usang. Sehingga tak
mampu menjawab tantangan zaman. “Seperti tidak mampu menyelesaikan konflik-konflik
yang terjadi,” kata Prof Liliweri siang itu di Hotel Grandhika, Medan (15/0917).
Aku termangu dan mengangguk-angguk kecil. Pemilik disertasi berjudul prasangka
konflik ini juga menyimpulkan, bahwa bola konflik yang ada di tengah-tengah masyarakat
kita itu dilemparkan oleh aktor-aktor intelektual. Hal ini ia rujuk dari
hipotesisnya yang mengatakan, “Semakin pintar seseorang, maka semakin tinggi
bibit prasangka yang dibawanya. Karena di kampung-kampung itu aman-aman saja,
sekalipun berbeda-beda agamanya (kultural)”. Ia mencontohkan hubungan
kekerabatan yang besar itu pernah ia lihat sendiri di suatu daerah di Pulau
Flores.
“Dimana ada komunitas yang sebelah Islam yang
sebelah Katolik. Sebelah ada yang (maaf) makan daging babi, sebelah ada makan
ayam normal-normal saja tidak ada masalah. Bahkan dari dulu sudah ada program
untuk untuk memisahkan alat masak dan tempat makan. Ya, semua orang urus
dirinya. Jadi orang muslim yang sungguh-sungguh, dan jadi orang katolik yang
sungguh-sungguh”.
Ya, aku pikir benar apa yang
dikatakan Prof. Liliweri bahwa berbagai macam persoalan bangsa ini bukan hanya
soal penelitian, bukan juga semata soal kebijakan pemerintah. Tapi lebih dari
itu bagaimana kita menghargai dan mengelola perbedaan yang ada dengan bijaksana.
“Saya pikir no problem,” tutupnya.
Komentar
Posting Komentar