RUBAH PERSEPSI, REDAM PRASANGKA

http://cdn2.tstatic.net
Siang itu, Pak Syahrir salah satu senior kami di kelas bertanya, “Bagaimana sikap kita terhadap budaya luar yang masuk ke kita?”. Kelas pun bergeming. Kelompok pemapar sibuk mengumpulkan jawaban untuk menjawab pertanyaan itu. Aku diam saja. Aku tidak mau menjadi pahlawan di siang bolong. Lagipun, berkali-kali aku mengacungkan tangan pun tak digubrisnya. Mungkin ibu dosen bosan, “Asik kau kau saja pun yang menjawab!”. Ya, mungkin seperti itu, hehehe.   
Akupun mencoret-coret di kertas binder-ku jawabannya, bahwa kita tidak mungkin membendung masuknya budaya luar. Tapi kita pun tak mungkin membiarkan saja kedatangan arus budaya itu menggerogoti budaya kita. Jika aku merujuk kepada buku si ibu, maka keberadaan budaya mayor pasti bakal menggerus budaya minor. Masalahnya, budaya yang kita anut di tanah kita ialah budaya mayor, bahkan yang seharusnya budaya minor itu adalah Food, Fashion and Film (3F) yang datang dari sono. Lantas, kenapa bisa budaya kita yang kalah? Aku pun jadi pusing sendiri! @#$%^&*()
Mungkin karena kebanyakan dari kita beranggapan, bahwa budaya luar itu keren, gaul dan menyenangkan. Ketimbang budaya kita sendiri yang sering kita labelkan kolot dan ketinggalan zaman. Kampungan! Wong Ndeso! Ya, mungkin begitulah istilahnya. Padahal, budaya tersebut merupakan kekayaan bangsa kita yang harus senantiasa kita jaga bersama-sama. Bukan oleh sekelompok sanggar saja, seniman tradisional saja, dan budayawan saja! Melainkan tanggungjawab kita bersama seluruh anak-anak bangsa Indonesia.
Ataupun agar budaya kita digemari oleh pemuda-pemudi kita yang kebarat-baratan, perlu adanya upaya untuk me-mixed-kan antara budaya kita dan budaya luar. Biar kece gitu! Alhamdulillah, hal ini sudah dilakukan dan on progress. Seperti pakaian adat kita yang telah dimodifikasi sehingga bisa dipakai sehari-hari, musik tradisional berkolaborasi dengan musik modern, dan lain sebagainya. Kita patut mengapresiasi kreatifitas pemuda-pemudi kita yang seperti ini.
Jadi, menurutku sikap terbaik terhadap impor budaya ini ialah ‘sedang-sedang saja’. Hal ini kurujuk dari filosofi hidup Bang Haji Rhoma, “Sedang-sedang saja!”. Kita tidak mungkin meng-embargo budaya luar dan hanya menikmati budaya kita sendiri. Kalau seperti ini entar kita bisa dikata ‘Korea Utara jilid II’. Hahaha. Lagipun, hanya menganggap budaya sendiri yang paling hebat dapat menjurus kepada etnosentrisme[1] lho!
Semakin kita mengenal budaya orang lain, semakin terampil lah kita memperkirakan ekspektasi orang itu dan memenuhi ekspektasinya tersebut. Ekspektasi ini dan cara kita memenuhinya didasarkan pada apa yang telah terjadi sebelumnya. Setelah terjadi banyak pengulangan, kita biasanya dapat memastikan apa yang bakal terjadi, sehingga kita merasa tidaklah mungkin untuk melanggar aturan atau norma itu. –Hopper dan Whitehead (dalam Mulyana dan Rakhmat: 2005).
Intinya, kita sebagai bangsa yang bebas dan aktif dalam pergaulan dunia, hanya perlu melakukan interaksi secara intens. Sehingga tiada lagi menimbulkan kesalahpahaman, bahwa budaya luar itu buruk dan budaya kita lah yang paling superior. Andaipun budaya luar itu buruk seperti melegalkan narkoba, free sex dan sebagainya, maka tinggal buang saja yang buruk itu. Lalu ambil lah budaya mereka yang baik-baik sebagai panutan hidup. Seperti etos kerja, tingkat inovatif dan kreatifitasnya. Begitu. Win-win solution, kan? Hehe.
Insyaallah, bila Tuhan menghendaki maka meredam prasangka ini dapat menjadikan kita sebagai bangsa yang maju pemikirannya, dan terciptalah komunikasi antarbudaya yang efektif antara keduanya. Berarti, kita harus benar-benar memperbaiki persepsi kita tentang dunia ya, hehe. “Perception is the means by which you make sense of you physical and social world. Perception is the procces of selecting, organizing, interpreting sensory data in away that enables us to make sense of our world” (Samovar et al, 2007: 128-129).    
Sedangkan menurut Mulyana (2002: 167), persepsi itu muncul karena setiap penilaian seseorang terhadap orang lain diukur berdasarkan penyertaan budaya sendiri. Dengan persepsi, peserta komunikasi akan memilih apa-apa yang diterima atau ditolaknya. Persepsi yang sama akan memudahkan peserta komunikasi mencapai kualitas komunikasi yang diharapkan.

 Tiga Elemen yang berpengaruh terhadap Persepsi Budaya :
1.      World View (Cara Pandang)
-          Sistem Kepercayaan/Agama
-          Nilai
-          Sikap/Perilaku
2.      Organisasi Sosial
-          Keluarga yang paling berpengaruh, karena keluarga yang membentuk pola pikir, sikap, dan juga bahasa seseorang dari lahir.
-          Sekolah yang dapat merubah pola pikir dan cara bersikap seseorang, karena seorang itu bertemu hal-hal lain yang berbeda dari yang ia temui sebelumnya.
Keluarga juga yang membimbing anak dalam menggunakan bahasa, cara memperoleh kata hingga dialek. Keluarga juga memberika persetujuan, dukungan, ganjaran dan hukuman, yang mempengaruhi nilai-nilai yang anak kembangkan dan tujuan-tujuan yang ingin ia capai (Sihabudin, 2011: 42).
-          Institusi/Lembaga/Tempat Kerja, yang dapat membangun pola pikir kita.
3.      Simbol
-          Verbal
-          Non Verbal[2]
  Last but not least, tak dapat dipungkiri kita sebagai makhluk sosial akan senantiasa berinteraksi dan berhubungan dengan budaya luar. So yuk, mari rubah persepsi demi meredam prasangka yang ada. Peace! :)
Dan, jawaban atas pertanyaan Pak Syahrir pun kututup. Titik.


Referensi:
Mulyana, Dedey & Rakhmat, Jalaludin. (2005). Komunikasi Antarbudaya. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.


[1] Secara kurang formal, etnosentrisme adalah kebiasaan setiap kelompok untuk menganggap kebudayaan kelompoknya sebagai kebudayaan yang paling baik.
[2] Prof. Dra. Hj. Lusiana, MA, Ph.D.

Komentar

Postingan Populer