KOMUNIKASI ANTARBUDAYA

http://1.bp.blogspot.com
Apa sebenarnya Komunikasi antarbudaya itu? Akupun baru memahaminya saat duduk di bangku kuliah S1. Tidak, sebenarnya aku tidak juga begitu memahaminya. Oleh karena itu, aku kuliah lagi. Hahaha. Dan, alhamdulillah, ada pula mata kuliah ini, yang langsung diasuh oleh Ibu Lusi, kepala Magister Ilmu Komunikasi. Singkatnya begini, komunikasi antarbudaya itu ialah komunikasi yang terjadi diantara orang-orang yang berbeda kebudayaan. Hal ini aku rujuk dari bukunya Stewart L. Tubbs dan kawannya Sylvia Moss (pasti perempuan, hehehe). Menurutku perbedaan itu bisa berupa suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA) yang selama ini kerap memecah belah bangsa kita.
Ya, mungkin ini adalah salah satu penyebabnya, dimana kita terlalu mudah diadu domba, tanpa adanya pemahaman yang baik tentang komunikasi antarbudaya pada diri kita. Ya, mungkin inilah yang membuat anak-anak bangsa kita sedikit-sedikit slek, adu urat hingga adu jotos yang tak jarang memakan korban. Oleh karena itu, menurut aku yang awam, kita bukan hanya harus memberantas hoaks, yang menyebabkan perpecahan pada bangsa kita. Tapi kita juga perlu menanamkan nilai-nilai positif dari komunikasi antarbudaya kepada masyarakat kita. Sehingga, ilmu baik ini tidak hanya berkutat di kalangan akademisi ataupun di seminar-seminar saja. Melainkan juga menyentuh inti persoalan, dan menyentuh ke kalangan akar rumput.
###
Kebudayaan adalah cara hidup yang berkembang dan dianut oleh sekelompok orang serta berlangsung dari generasi ke generasi. Hamid Mowlana menyebutkan komunikasi antarbudaya sebagai human flow across national boundaries. Misalnya, dalam keterlibatan suatu konferensi internasional dimana bangsa-bangsa dari berbagai negara berkumpul dan berkomunikasi satu sama lain. Contoh simpelnya menurutku seperti KTT OKI yang baru-baru ini dilaksanakan, dan tengah membahas isu hot terkait krisis kemanusiaan etnis Rohingya di Rakhine State, Myanmar. Aku yakin dan percaya, disana ada banyak orang-orang hebat yang berbeda latar budayanya, meskipun mereka dibalut dengan kesamaan keyakinan, yakni Islam. Namun, demikian, komunikasi antarbudaya skala beda negara itu tetap diperlukan guna lancarnya proses komunikasi yang berlangsung disana. Gitu lho!
Hal diatas memang untuk komunikasi antarbudaya skala besar. Sedangkan untuk skala kecilnya, Fred E. Jandt mengartikan komunikasi antarbudaya sebagai interaksi tatap muka di antara orang-orang yang berbeda budayanya. "Intercultural communication generally refers to face-to-face interaction among people of diverse culture". Contohnya yang sering kita hadapi sehari-hari, dimana ada orang Aceh, Batak, Jawa, Cina Pujakesuma, dan lain-lain dalam interaksi sosial yang kita jalani sehari-hari. Saya sendiri orang Aceh. Siapa, tanya? Hahaha.
###
Sekurang-kurangnya, komunikasi antarbudaya meniscayakan dua hakikat. Yakni enkulturasi dan akulturasi. Enkulturasi sendiri mengacu pada proses dengan mana kultur (budaya) ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kita mempelajari kultur, bukan mewarisinya. Kultur ditransmisikan melalui proses belajar, bukan melalui gen. Orang tua, kelompok, teman, sekolah, lembaga keagamaan, dan lembaga pemerintahan merupakan guru-guru utama dibidang kultur. Enkulturasi terjadi melalui mereka. Jadi menurut Joseph A. Devito diatas, budaya bukanlah sesuatu yang semata-mata diwariskan. Lebih dari itu, budaya merupakan sebuah pengajaran yang dilakukan secara turun-temurun, sehingga menjadi sebuah kebiasaan. Peribahasa menyebutkan, ala bisa karena biasa. All custom makes perfect.
Tapi, muncul pertanyaan di benakku, apakah perilaku hoaks dan ujaran kebencian itu merupakan sebuah budaya? Bukankah budaya itu sesuatu yang diajarkan, namun pasti tidak ada orangtua yang mau mengajarkan kebohongan pada anaknya. Tapi bukankah juga hoaks dan ujaran kebencian itu sudah ada sedari dulu. Mulai yang bermaksud untuk kebaikan sampai yang paling jahat untuk menjatuhkan kredibilitas orang lain. Lha, lantas itu bagaimana ibu? Mohon pencerahannya, hehe.
Sedangkan, Akulturasi mengacu pada proses dimana kultur seseorang dimodifikasi melalui kontak atau pemaparan langsung dengan kultur lain. Misalnya, bila sekelompok imigran kemudian berdiam di Amerika Serikat (kultur tuan rumah), kultur mereka sendiri akan dipengaruhi oleh kultur tuan rumah ini. Berangsur-angsur, nilai-nilai, cara berperilaku, serta kepercayaan dari kultur tuan rumah akan menjadi bagian dari kultur kelompok imigran itu. Pada waktu yang sama, kultur tuan rumah pun ikut berubah.
Contoh simple-nya begini, seperti sekumpulan pedagang etnis Tionghoa di Aceh ataupun Pecinan di Amerika. Maka, secara tidak langsung mereka akan mengikuti budaya yang berkembang di Aceh ataupun di Amerika. Misalnya di Aceh seperti etnis Tionghoa yang ikut tutup toko baik pada saat shalat jumat ataupun saat menjelang maghrib. Hal itu mungkin juga karena berlandaskan filosofi, dimana 'langit dipijak disitu langit dijunjung'. Maka, mereka pun menghormati waktu-waktu umat Islam Aceh beribadah. Tapi, akulturasi itu tidak hanya berlaku bagi etnis Tionghoa saja, melainkan orang Aceh juga turut meniru kelihaian etnis Tionghoa dalam berdagang.
###
Adapun fungsi pribadi Komunikasi Antarbudaya, diantaranya:
1.      Menyatakan identitas sosial. Misalnya dapat diketahui melalui asal-usul, suku bangsa, agama, bahasa, maupun tingkat pendidikan seseorang.
2.      Menyatakan Integrasi Sosial
Inti konsep integrasi sosial adalah menerima kesatuan dan persatuan antarpribadi, antarkelompok namun tetap mengakui perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh setiap unsur. Perlu dipahami bahwa salah satu tujuan komunikasi adalah memberikan makna yang sama atas pesan yang dibagi antara komunikator dan komunikan. Dalam kasus komunikasi antarbudaya yang melibatkan perbedaan budaya antar komunikator dengan komunikan, maka integrasi sosial merupakan tujuan utama komunikasi. Dan prinsip utama dalam proses pertukaran pesan komunikasi antarbudaya adalah: Saya memperlakukan Anda sebagaimana kebudayaan Anda memperlakukan Anda, dan bukan sebagaimana yang Saya kehendaki. Dengan demikian, komunikator dan komunikan dapat meningkatkan integrasi sosial atas relasi mereka.
Jadi, pemahamanku begini, prinsip integrasi sosial itu sama dengan prinsip pluralitas dalam Islam. Dimana bagiku agamaku, dan bagimu agamamu. Perbedaan adalah suatu hal yang niscaya dan harus kita pahami sebagai sesuatu kekayaan. Namun, menghargai itu masih dalam konteks ataupun ruang lingkup tidak mencampuri akidah dan keimanan seseorang kepada Tuhannya.
3.      Menambah Pengetahuan
Jelas, dengan adanya perbedaan budaya dan komunikasi didalamnya, kita secara langsung ataupun tidak langsung ikut mempelajari kebudayaan masing-masing.
4.      Melepaskan Diri atau Jalan Keluar
Komunikasi antarbudaya juga dapat menjadi ladang curhat bagi kita yang mungkin punya masalah, dan membutuhkan suatu solusi dari teman bicara yang mungkin berbeda kebudayaan dengan kita.
Daripada penjelasan diatas, aku menyadari bahwa ilmu ini sangat penting untuk dipelajari oleh bangsa kita yang konon begitu mudah diadu domba. Musabab, komunikasi antarbudaya coba menjembatani antara dua orang yang berbeda budaya. Melalui saling memahami atas pesan-pesan yang mereka pertukarkan. Keduanya saling menjelaskan perbedaan tafsir atas sebuah pesan, sehingga menghasilkan makna yang sama. Maka, fungsi sosialisasi, yang merupakan fungsi untuk mengajarkan dan memperkenalkan nilai-nilai kebudayaan suatu masyarakat kepada masyarakat lain mutlak diperlukan, agar tidak terjadi lagi miss-communication, dan mis-persepsi yang kerap terjadi kepada agama Islam, misalnya. Hingga, Islam dan kebudayaannya tidak lagi dicap sebagai teroris, radikalis berdasarkan pemberitaan-pemberitaan yang tidak seimbang. Media punya tanggung jawab besar untuk memutuskan mata rantai stigma sesat yang selama ini berkembang di tengah masyarakat kita, maupun di belahan bumi eropa dan barat. Oh ya, komunikasi antarbudaya juga tidak melulu soal-soal yang keras saja. Tapi juga ada yang lunak, seperti fungsinya untuk menghibur juga sering tampil dalam proses komunikasi antarbudaya. Misalnya menonton tarian, dimana saya pernah menjadi penarinya. Siapa, nanya? Hahaha.
###
Bahasa adalah cerminan budaya dan tingkat intelektualitas seseorang. Dimana perbedaan penggunaan bahasa juga dapat menyebabkan slek dan tidak sepemahaman. Maka daripada itu, tak perlu heran jika kemudian dunia menyepakati beberapa bahasa sebagai bahasa dunia. Seperti Bahasa Inggris, Arab, juga Cina di beberapa tempat dan kelembagaan.
"Bahasa mencerminkan budaya. Makin besar perbedaan budaya, makin perbedaan komunikasi baik dalam bahasa maupun dalam isyarat-isyarat nonverbal. Makin besar perbedaan antara budaya (dan, karenanya, makin besar perbedaan komunikasi), makin sulit komunikasi dilakukan. Kesulitan ini dapat mengakibatkan, misalnya, lebih banyak kesalahan komunikasi, lebih banyak kesalahan kalimat, lebih besar kemungkinan salah paham, makin banyak salah persepsi".
Semua ini ditujukan kepada satu maksud, yakni mengurangi ketidakpastian yang ada antara komunikator dan komunikan. Baik yang sifatnya pribadi sampai yang sifatnya kelompok dalam skala besar. "Makin besar perbedaan antarbudaya, makin besarlah ketidakpastian dan ambiguitas dalam komunikasi. Banyak dari komunikasi kita berusaha mengurangi ketidak-pastian ini sehingga kita dapat lebih baik menguraikan, memprediksi, dan menjelaskan perilaku orang lain. Karena ketidak-pastian dan ambiguitas yang lebih besar ini, diperlukan lebih banyak waktu dan upaya untuk mengurangi ketidak-pastian dan untuk berkomunikasi secara lebih bermakna".
Maka daripada itu, sekali lagi, kesadaran diri atas perbedaan budaya, dan kemauan untuk mempelajari hal tersebut merupakan suatu hal yang niscaya, dan merupakan suatu keharusan. Last but not least, semoga upaya semua ini dapat memaksimalkan kita dalam upaya memperbagus hasil interaksi yang kita lakukan setiap harinya. Amin ya, Rabb. Oh ya, sempat tergelitik di benak saya tentang maksud kalimat ‘antarbudaya’ itu kenapa digabungkan? Belakangan saya seperti mendapatkan ilham, bahwa itu ada maksudnya. Ya, bahwa perbedaan itu seharusnya tidak menjadi penghalang bagi kita untuk saling mengenal satu dengan yang lain. Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Quran yang berbunyi: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujurat: 13).

Referensi:
Alo Liliweri. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. (2003). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.           Hal. 11-12, 36-42.
Andrik Purwasito. Komunikasi Multikultural. (2003). Surakarta: Universitas Muhammadiyah        Surakarta. Hal. 123.
Fred E. Jandt. Intercultural Communication, An Introduction. (1998). London: Sage          Publication. Hal. 36.
Joseph A. Devito. Komunikasi Antarmanusia. Kuliah Dasar. Jakarta: Professional Books. Hal. 479-488
Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss. Human Communication: Konteks-konteks Komunikasi.          (1996). Bandung: Remaja Rosdakarya. Hal. 236-238.

Komentar

Postingan Populer