SAMAKAN CARA PANDANG LEWAT KAB
www.google.co.id |
Cara mudah memahami Komunikasi
antar-budaya[1]
ialah, dengan memahaminya sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang perbedaan
budaya. Baik antara individu dengan individu hingga kelompok dalam skala besar.
Dan, perbedaan budaya itu mencakup segala aspek dalam hidup kita. Seperti
adat-istiadat maupun kebiasaan-kebiasaan yang berurat akar. Contonya: Medan
yang terkenal dengan budaya Bataknya. Padahal, Medan sebagai sebuah kota
metropolitan terdiri dari beragam etnis yang multikultural. Seperti Melayu,
Aceh, Jawa, Tionghoa, Nias, dan sebagainya.
Namun memang benar adanya, bahwa
kultur yang dominan biasanya akan memakan kultur yang minor. Dan budaya Batak
yang terkenal dengan ‘Horas dan Meujuah-juahnya’ itu, juga pengaru dari ekspos
media yang besar terhadapnya. Namun, ekspos media baik melalui pemberitaan maupun
cerita-cerita, juga dapat membiaskan suatu budaya dalam persepsi orang lain.
Misalnya orang Batak yang distereotipkan kasar. Padahal, jika ditilik lebih
jauh, dibalik kekasarannya itu terdapat keramahan yang luar biasa tulus. Selain
itu, sikap to the point yang terdapat pada diri orang Batak, juga
didasari oleh sikap mereka yang memang tidak mau untuk bertele-tele alias njelimet.
Jadi, budaya bukan hanya sekedar
pakaian adat yang dipawaikan pada perayaan 17 agustusan, ataupun upacara
pernikahan saja. Melainkan maknanya lebih dalam dari itu. Bagaimana komunikasi
antar-budaya bertransformasi menjadi komunikasi transaksional antar dua/lebih
pihak yang berbeda budaya, guna mendapatkan persetujuan atas perbedaan
tersebut. Ribet? Hahaha.
Komunikasi antarbudaya memuat beberapa
elemen penting yang harus dipahami, seperti: 1) Penampilan, 2) Ras, 3) Makanan,
4) Pengalaman, dan 5) Pengetahuan. Pengalaman sendiri membentuk FoE (Field
of Experience), sedangkan pengetahuan membentuk FoR (Field of
References). Maka pertanyaannya ialah, mengapa seseorang bisa mengalami culture
shock (keterkejutan/gegar budaya)? Hal itu terjadi karena orang tersebut
menghadapi sesuatu yang lain dari dirinya. Seperti perbedaan penampilan, ras,
makanan, pengalaman serta pengetahuan yang berbeda. Nah, komunikasi
antarbudaya coba meminimalisir keterkejutan yang ada dengan adanya pemahaman
akan perbedaan budaya. Selain itu jelas, tingginya jam terbang, pengalaman
hidup, serta sudah banyak makan asam garam kehidupan (sering diucapkan
orangtua kita) dapat meminimalisir fenomena culture shock yang ada.
FoE dan FoR nantinya akan
membentuk persepsi kita akan suatu budaya. Persepsi budaya didalamnya memuat
beberapa hal sebagai berikut: 1) Worldview (sudut/cara pandang), 2)
Simbol-simbol, 3) Organisasi sosial, dan 4) Keluarga. Jika semua ini telah
dikuasai dengan baik, maka bakal efektiflah komunikasi antarbudaya yang kita
jalani. Sebaliknya jika tidak, maka akan menimbulkan konflik budaya. Adapun yang
dimaksud konflik budaya ialah ketidaksepahaman, yang tak jarang menimbulkan
perpecahan, perceraian bahkan pertikaian antar sesama anak-anak bangsa
(disintegrasi sosial).
Last but not least, akar dari permasalahan disintegrasi
bangsa ini adalah ketidakmauan kita untuk saling mengerti satu sama lain.
Termasuk didalamnya ketidakmauan untuk mempelajari perbedaan yang ada, baik itu
budaya maupun agama. Mari kita juga sama-sama tegas memberantas hoaks dan
ujaran kebencian di media sosial, yang kerap menggoreng isu perbedaan untuk
memecah belah kita, demi tujuan politis yang berujung kubu-kubuan. Mari
sama-sama menyamakan cara pandang kita atas perbedaan yang ada lewat pendekatan
komunikasi antarbudaya, demi keutuhan negeri ini. Amin ya Rabb.
Perbedaan Komunikasi antarbudaya dan
Komunikasi LintasBudaya
Adapun perbedaan diantara keduanya
ialah kadar intensitas hubungan yang terjadi di dalamnya. Misalnya, komunikasi
antarbudaya baru bisa terjadi ketika telah intens-nya hubungan antara dua
orang/lebih. Sebaliknya, didalam komunikasi lintasbudaya intensitas hubungan
yang ada belum terlalu dalam. Maka, hipotesis-nya seperti ini: Semakin
intensifnya hubungan yang ada, maka semakin kecil lah konflik komunikasi
antarbudaya yang bakal terjadi.
Contohnya kasus Rohingya yang
baru-baru ini marak diberitakan. Jika kita melihat dari kacamata lintasbudaya,
maka kita akan menganggap krisis kemanusiaan itu sebagai masalah pribadi negara
Myanmar saja. Tapi, jika kita melihat dari kacamata antarbudaya, maka didalam
diri kita akan muncul rasa simpati dan empati yang mendalam untuk ikut
meringankan beban mereka. Maka daripada itu, hubungan diplomasi yang terjalin
di KTT OKI dalam membahas tragedi kemanusiaan di Rakhine Myanmar, seharusnya
dilandasi oleh konteks komunikasi antarbudaya. Begitupula kasus-kasus lainnya
yang membutuhkan mata batin kita, dan bukan sekedar nalar kita. Sebagaimana
yang terjadi di Arab Saudi terkait hukuman gantung bagi TKI kita, ataupun
tragedi Palestina vs Israel yang masih terus bergulir.
Referensi:
Andriani Lubis, Lusiana. (2012). PEMAHAMAN
PRAKTIS KOMUNIKASI ANTARBUDAYA. Medan: USU Press.
[1]
Komunikasi antarbudaya pertama kali diperkenalkan oleh seorang antropolog
Edward T. Hall lebih dari empat dekade yang lalu. Bidang ini bukanlah fenomena
yang baru. Komunikasi antarbudaya sudah ada sejak pertama kali orang beda
budaya bertemu. Meskipun begitu, studi/kajian yang sistematik mengenai bidang
ini baru dilakukan selama 30 tahun belakangan ini (Andriani Lubis, 2012: 1).
Komentar
Posting Komentar