HOAX & UJARAN KEBENCIAN SERTA AKIBATNYA
sumber: www.kaskus.co.id |
Loncatan
perkembangan teknologi yang terus-menerus terjadi harus dibarengi dengan
kesiapan masyarakatnya untuk mengantisipasi dampak buruk yang ditimbulkan, seperti berita bohong (hoax) dan
ujaran kebencian. Apalagi, berita hoax
dan ujaran kebencian memang berpotensi untuk membuat keresahan, menaikkan tensi
masyarakat, membuat keonaran, dan menciptakan rasa antipati terhadap
pemerintah. Jadi, intinya hoax
berpotensi mengganggu stabilitas sebuah negara terlebih di tahun-tahun politik
seperti sekarang ini.
Hoax seolah menjadi komoditi politik
guna merebut hati rakyat dalam upaya merebut atau mempertahankan kekuasaan. Hoax masuk menyusup dalam program
kampanye yang dijanjikan kepada rakyat. Program yang ditawarkan terkadang terlalu
muluk-muluk dan sulit dijangkau. Bila program tersebut tidak terlaksana, maka terpaksa
dicari alasan yang dapat meyakinkan dengan bahasa yang lain, sehingga sejatinya
mempertahankan hoax adalah dengan
melahirkan hoax yang baru.
Menurut data
terbaru dari Divisi Multimedia Humas Mabes Polri, telah termonitor sebanyak 3.500
berita hoax per hari. Sedangkan
Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri mengamankan 18 tersangka dugaan
SARA dan ujaran kebencian sepanjang tahun 2018. Di tahun-tahun politik seperti
sekarang ini, hoax memang menjadi
permainan sekelompok oknum agar kita membenci kelompok yang lain. Hoax bertujuan untuk membuat para
pembacanya berprasangka buruk tanpa bukti yang nyata. Hoax pun semakin meningkat jelang
pemilu 17 April 2019. Secara kasat mata, di media sosial sangat banyak
diedarkan hoax yang tujuannya
bermuatan politis.
Tentu hoax akan mengganggu proses penyelenggaraan
Pemilu, dan setidaknya ada beberapa isu hoax
yang telah digelontorkan sejauh ini, seperti: isu kotak kardus sebagai
tempat pemungutan suara, isu 14 juta orang yang tidak waras namun masuk kedalam
DPT, hingga kabar penemuan 7 kontainer berisi surat suara yang telah tercoblos.
Padahal, menurut Direktur Eksekutif Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDi)
Sumatera Utara Nazir Salim Manik, pengguanaan kotak suara berbahan kardus atau duplex sudah dilakukan sejak pemilu 2014
silam, namun saat itu tidak begitu dipersoalkan, sedangkan tentang masuknya
tunagrahita kedalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) juga sudah menjadi wacana pada Pemilu
dan Pilkada sebelumnya. Selain itu, ujaran kebencian juga termasuk dalam peta
kerawanan pemilu, dan bisa membuat jalannya pemilu terganggu. Persoalan
kerawanan akibat ujaran kebencian memiliki persoalan yang lebih kompleks, sebab
hal ini terjadi dengan mudah dan tidak terfokus pada lokasi tertentu, sebab
ujaran kebencian biasanya dilakukan melalui media sosial.
Kepala Seksi
Sandi Telekomunikasi Dinas Informasi dan Komunikasi Pemerintahan Provinsi
Sumatera Utara, Thamrin Dedi Sunarto menyebutkan 92,4 persen hoax menyebar dari media sosial, dan
22,88 persen menyebar lewat aplikasi chat
dan lainnya. Disisi lain, media massa merupakan salah satu pintu gerbang
informasi, sekaligus penyebar ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi yang
sangat berguna dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada saat yang
bersamaan, media massa sebagai pilar keempat demokrasi punya ‘PR’ besar melawan
informasi bohong di media sosial. Bahkan, Presiden Joko Widodo secara pribadi
turut prihatin dengan menyoroti semakin banyaknya pelanggaran kode etik yang
dilakukan oleh media massa, khususnya portal berita di internet yang kerap
mengumbar berita tidak benar, berisi fitnah, bombastis, mengandung muatan
pornografi, sadis, hoax dan
lain-lain.
Komentar
Posting Komentar