PERMASALAHAN REAL MEDIA DI DAERAH
Bagaimana
keadaan real media di daerah?
Merupakan sebuah pertanyaan yang menarik. Mengapa? Karena selama ini, media
masih sangat berpusat di Jakarta (centris).
Mulai dari penempatan kantor utamanya, hingga menyasar kepada
pemberitaan-pemberitaan yang masih berskala nasional. Mungkin, karena sebagian
termasuk saya beranggapan, bahwa isu-isu nasional itu lebih ‘seksi’ ketimbang
pemberitaan-pemberitan di daerah. Padahal, akibatnya jelas, membuat
pemberitaan-pemberitaan di daerah tidak dapat ter-cover dengan baik. Akibatnya, fungsi kontrol sosial yang dimiliki
media di daerah kurang mendapatkan tempat. Akibatnya, penyelewengan yang
dilakukan oknum-oknum negara di daerah dalam menyalip uang rakyat pun tidak
terawasi dengan baik. Lantas, media di daerah gagal menjalankankan fungsinya sebagai
‘watchdog’ dalam pilar negara
demokrasi yang keempat.
Selain
permasalahan di atas, berikut beberapa permasalah real media di daerah yang perlu menjadi perhatian bersama, yaitu: Pertama, masih kurangnya independensi
media di daerah. Hal ini terlihat dari banyaknya pemberitaan terutama di media online yang sifatnya tendensius dan
menyerang salah satu pihak. Belum diketahui pasti apa motif utamanya, apakah
demi uang, sehingga pemberitaan tersebut dimunculkan (menerima suap) ataupun baru
akan dihentikan (memeras). Walhasil, media pun mendadak menjadi partisan,
terutama pada tahun-tahun politik seperti sekarang ini. Belum lagi,
pemberitaan-pemberitan, lagi-lagi di media online
yang hanya menggunakan satu sumber, dan memberitakan citra positifnya saja.
Saya sebagai orang awam pun mendadak bingung, apakah ini berita ataukah iklan
advertorial, ataupun semacam iklan kampanye terselubung politisi?
Musabab itu, media online harus benar-benar bijak menempatkan pemberitaan ataupun
iklan kampanye, sesuai dengan peraturan dan jadwal yang telah ditetapkan, serta
lembaga yang berwenang harus mencabut media abal-abal
(tidak berizin), yang kerap menimbulkan keresahan ditengah masyarakat.
Contohnya di KPI atau KPI Daerah memiliki salah satu program kerja bernama Satgas
Pembinaan dan Penertiban Lembaga Penyiaran Ilegal. Program yang dalam
pelaksanaannya bekerjasama dengan Balai Monitoring Kelas-A dan Polisi ini,
bertujuan untuk menjamin agar persaingan usaha penyiaran berlangsung secara fairplay (tidak curang), dan masyarakat
terbebas dari isi siaran yang sesat-menyesatkan, seperti tidak kompeten dan
kerap menggoreng isu SARA demi tujuan tertentu.
Kedua,
kesadaran wartawan untuk mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) harus lebih
ditingkatkan lagi, meskipun di beberapa daerah telah tampak peningkatan
kesadaran yang signifikan. Adanya wartawan yang masih beranggapan apa
pentingnya ‘UKW’ perlu diberikan pemahaman melalui sosialisasi, bahwa UKW
bertujuan untuk meningkatkan kualitas SDM wartawan itu sendiri. Untuk itu, penguji
UKW pun harus menjaga kepercayaan wartawan yang mengikuti sertifikasi ini,
dengan memberikan penilaian dan kelulusan secara objektif, bukan tebang pilih.
Bukan yang seharusnya tidak lulus, eh ternyata
diluluskan juga. Apalagi bila hanyak karena pertimbangan hubungan keturunan
atau emosional semata. Waspada dalam
pemberitaannya berjudul ‘Pendaftar Membludak, UKW Angkatan XV, 5-6 September’ menuliskan
sebagai berikut, “Dengan UKW wartawan
akan tahu, bagaimana sesungguhnya menjadi wartawan yang baik dan benar dalam
menjalankan tugas dan fungsinya. Dengan mengikuti UKW, kita jadi tahu bagaimana
menjadi seorang wartawan yang sesungguhnya. Media yang ingin lulus verifikasi
media oleh Dewan Pers salah satu syaratnya harus memiliki wartawan yang
kompeten (lulus UKW) untuk masing-masing tingkatan”.
Ketiga,
masih banyaknya media online kita
yang meniru gaya media sosial, yang lebih mengutamakan kecepatan dan lebih
mengedepankan trending topic.
Padahal, dalam praktiknya hal ini berpotensi melanggar kode etik. Perlu
ditegaskan bahwa media sosial bukanlah media pemberitaan. Media sosial adalah
jejaring sosial yang memungkinkan orang untuk terhubung dalam suatu networking di dunia maya, walaupun pada
kondisi nyata berada di ruang, jarak dan/atau waktu yang berbeda. Walaupun
media sosial dapat dikatakan memiliki fungsi menghibur (to entertain), mendidik (to
educate), kontrol sosial (to social
control) dan menginformasikan (to
inform). Namun, untuk dua butir terakhir bukanlah dalam bentuk berita hard, feature, investigatif di media yang terverifikasi di Dewan Pers.
Fungsi kontrol sosialnya pun tergerus
oleh upaya penggiringan opini lewat pemberitaan bohong/ujaran kebencian,
yang dimaksudkan untuk tujuan-tujuan ‘jahat’, ketimbang bertujuan untuk mencerdaskan
anak bangsa dalam hal berpolitik.
Keempat,
masih mudah dan banyaknya wartawan yang dikriminalisasi dalam melaksanakan
tugas jurnalistiknya. Sehingga, terkesan Dewan Pers di pusat yang terdiri dari
9 orang itu masih lamban dalam melindungi konstituennya sesuai dengan amanat UU
No. 40/1999. Kriminalisasi tersebut bisa dalam bentuk teror, dijemput paksa,
dipenjara[1]
hingga kematian yang tidak jelas sebab-musababnya. Begitupula halnya dengan
tindakan main hakim sendiri seperti penggerudukan kantor media dan lain-lain. Kelima, kurangnya pemahaman masyarakat
tentang hak jawab, sehingga lebih memilih untuk langsung melaporkan atau menggeruduk
kantor Pers terkait. Untuk itu, perorangan/kelompok/masyarakat hingga lembaga
negara sekalipun perlu disosialisasikan terkait mekanisme hak jawab, jika
mereka tidak senang terhadap suatu pemberitaan yang dimuat, ditayangkan ataupun
diperdengarkan. Karya tulis harus dijawab dengan tulisan, bukan dengan
kekerasan sampai menghilangkan nyawa manusia!
[1] Kebanyakan dari wartawan yang
dipenjara dijerat dengan pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE. Padahal,
sebelum itu, wartawan memiliki UU No. 40/1999 sebagai lex specialis Pers. Pasal
pencemaran nama baik ini memang kerap disesalkan oleh insan Pers sebagai pasal
karet, yang dalam penafsirannya bisa sangat subjektif dan sarat kepentingan si
penafsir. Pasal ini juga dianggap paling menghambat wartawan dalam melaksanakan
tugas jurnalistiknya. Fenomena semacam ini jelas semakin membuat indeks
kebebasan Pers di bumi Ibu Pertiwi menurun.
Komentar
Posting Komentar