PERMASALAHAN REAL MEDIA DI DAERAH

google.com
Bagaimana keadaan real media di daerah? Merupakan sebuah pertanyaan yang menarik. Mengapa? Karena selama ini, media masih sangat berpusat di Jakarta (centris). Mulai dari penempatan kantor utamanya, hingga menyasar kepada pemberitaan-pemberitaan yang masih berskala nasional. Mungkin, karena sebagian termasuk saya beranggapan, bahwa isu-isu nasional itu lebih ‘seksi’ ketimbang pemberitaan-pemberitan di daerah. Padahal, akibatnya jelas, membuat pemberitaan-pemberitaan di daerah tidak dapat ter-cover dengan baik. Akibatnya, fungsi kontrol sosial yang dimiliki media di daerah kurang mendapatkan tempat. Akibatnya, penyelewengan yang dilakukan oknum-oknum negara di daerah dalam menyalip uang rakyat pun tidak terawasi dengan baik. Lantas, media di daerah gagal menjalankankan fungsinya sebagai ‘watchdog’ dalam pilar negara demokrasi yang keempat.
Selain permasalahan di atas, berikut beberapa permasalah real media di daerah yang perlu menjadi perhatian bersama, yaitu: Pertama, masih kurangnya independensi media di daerah. Hal ini terlihat dari banyaknya pemberitaan terutama di media online yang sifatnya tendensius dan menyerang salah satu pihak. Belum diketahui pasti apa motif utamanya, apakah demi uang, sehingga pemberitaan tersebut dimunculkan (menerima suap) ataupun baru akan dihentikan (memeras). Walhasil, media pun mendadak menjadi partisan, terutama pada tahun-tahun politik seperti sekarang ini. Belum lagi, pemberitaan-pemberitan, lagi-lagi di media online yang hanya menggunakan satu sumber, dan memberitakan citra positifnya saja. Saya sebagai orang awam pun mendadak bingung, apakah ini berita ataukah iklan advertorial, ataupun semacam iklan kampanye terselubung politisi?
 Musabab itu, media online harus benar-benar bijak menempatkan pemberitaan ataupun iklan kampanye, sesuai dengan peraturan dan jadwal yang telah ditetapkan, serta lembaga yang berwenang harus mencabut media abal-abal (tidak berizin), yang kerap menimbulkan keresahan ditengah masyarakat. Contohnya di KPI atau KPI Daerah memiliki salah satu program kerja bernama Satgas Pembinaan dan Penertiban Lembaga Penyiaran Ilegal. Program yang dalam pelaksanaannya bekerjasama dengan Balai Monitoring Kelas-A dan Polisi ini, bertujuan untuk menjamin agar persaingan usaha penyiaran berlangsung secara fairplay (tidak curang), dan masyarakat terbebas dari isi siaran yang sesat-menyesatkan, seperti tidak kompeten dan kerap menggoreng isu SARA demi tujuan tertentu.
Kedua, kesadaran wartawan untuk mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) harus lebih ditingkatkan lagi, meskipun di beberapa daerah telah tampak peningkatan kesadaran yang signifikan. Adanya wartawan yang masih beranggapan apa pentingnya ‘UKW’ perlu diberikan pemahaman melalui sosialisasi, bahwa UKW bertujuan untuk meningkatkan kualitas SDM wartawan itu sendiri. Untuk itu, penguji UKW pun harus menjaga kepercayaan wartawan yang mengikuti sertifikasi ini, dengan memberikan penilaian dan kelulusan secara objektif, bukan tebang pilih. Bukan yang seharusnya tidak lulus, eh ternyata diluluskan juga. Apalagi bila hanyak karena pertimbangan hubungan keturunan atau emosional semata. Waspada dalam pemberitaannya berjudul ‘Pendaftar Membludak, UKW Angkatan XV, 5-6 September’ menuliskan sebagai berikut, “Dengan UKW wartawan akan tahu, bagaimana sesungguhnya menjadi wartawan yang baik dan benar dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Dengan mengikuti UKW, kita jadi tahu bagaimana menjadi seorang wartawan yang sesungguhnya. Media yang ingin lulus verifikasi media oleh Dewan Pers salah satu syaratnya harus memiliki wartawan yang kompeten (lulus UKW) untuk masing-masing tingkatan”.
Ketiga, masih banyaknya media online kita yang meniru gaya media sosial, yang lebih mengutamakan kecepatan dan lebih mengedepankan trending topic. Padahal, dalam praktiknya hal ini berpotensi melanggar kode etik. Perlu ditegaskan bahwa media sosial bukanlah media pemberitaan. Media sosial adalah jejaring sosial yang memungkinkan orang untuk terhubung dalam suatu networking di dunia maya, walaupun pada kondisi nyata berada di ruang, jarak dan/atau waktu yang berbeda. Walaupun media sosial dapat dikatakan memiliki fungsi menghibur (to entertain), mendidik (to educate), kontrol sosial (to social control) dan menginformasikan (to inform). Namun, untuk dua butir terakhir bukanlah dalam bentuk berita hard, feature, investigatif di media yang terverifikasi di Dewan Pers. Fungsi kontrol sosialnya pun tergerus  oleh upaya penggiringan opini lewat pemberitaan bohong/ujaran kebencian, yang dimaksudkan untuk tujuan-tujuan ‘jahat’, ketimbang bertujuan untuk mencerdaskan anak bangsa dalam hal berpolitik.
Keempat, masih mudah dan banyaknya wartawan yang dikriminalisasi dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya. Sehingga, terkesan Dewan Pers di pusat yang terdiri dari 9 orang itu masih lamban dalam melindungi konstituennya sesuai dengan amanat UU No. 40/1999. Kriminalisasi tersebut bisa dalam bentuk teror, dijemput paksa, dipenjara[1] hingga kematian yang tidak jelas sebab-musababnya. Begitupula halnya dengan tindakan main hakim sendiri seperti penggerudukan kantor media dan lain-lain. Kelima, kurangnya pemahaman masyarakat tentang hak jawab, sehingga lebih memilih untuk langsung melaporkan atau menggeruduk kantor Pers terkait. Untuk itu, perorangan/kelompok/masyarakat hingga lembaga negara sekalipun perlu disosialisasikan terkait mekanisme hak jawab, jika mereka tidak senang terhadap suatu pemberitaan yang dimuat, ditayangkan ataupun diperdengarkan. Karya tulis harus dijawab dengan tulisan, bukan dengan kekerasan sampai menghilangkan nyawa manusia!



[1] Kebanyakan dari wartawan yang dipenjara dijerat dengan pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE. Padahal, sebelum itu, wartawan memiliki UU No. 40/1999 sebagai lex specialis Pers. Pasal pencemaran nama baik ini memang kerap disesalkan oleh insan Pers sebagai pasal karet, yang dalam penafsirannya bisa sangat subjektif dan sarat kepentingan si penafsir. Pasal ini juga dianggap paling menghambat wartawan dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya. Fenomena semacam ini jelas semakin membuat indeks kebebasan Pers di bumi Ibu Pertiwi menurun.

Komentar

Postingan Populer