MODEL ‘TENGGANG RASA’ DALAM BERMEDIA SOSIAL

www.google.com

Tampaknya, kita belum benar-benar siap menghadapi transformasi teknologi digital, dari media konvensional (koran, televisi dan radio) ke gadget/gawai. Hal ini ditandai dengan semakin terpolarisasinya kita dengan keberadaan new media tersebut. Semakin memperuncing polarisasi (dua kubu) antara Jokowi – Ma’ruf Amin (Pasangan Calon No Urut 01) dan Prabowo – Sandi (Pasangan Calon No Urut 02). Jokowi dan Prabowo sendiri memang telah lama (Pemilihan Presiden 2014 –red) menjadi rival politik, dan sukses memperlebar keterbelahan bangsa menjadi dikotomi ‘We/Kita vs They/Mereka’.
Kini, hal tersebut semakin menjadi-jadi dengan adanya media sosial seperti What’sApp (WA), Instagram, Twitter, dan Facebook ataupun media online/platform web/situs yang menjadi corong propaganda masing-masing kubu. Contohnya di WA, sebagaimana yang sering penulis dapatkan, yaitu beberapa anggota dalam suatu grup kerap men-share/broadcast ‘pemberitaan’ yang tidak perlu, dan cenderung memaksakan anggota grup lainnya untuk menerima bahkan mengiyakan sikap politik mereka. Padahal, setiap orang telah memiliki sikap politiknya masing-masing dan bersifat reinforcement (kuat). Artinya, sulit untuk diubah, karena sudah kadung dalam memilih salah satu pasangan calon, atau tidak memilih sama sekali (golput).
Menurut penulis, tindakan seperti ini merupakan bentuk kemunduran dalam berpikir, kalau memang penulis tidak bisa mengatakan ‘mundur kembali ke zaman dark age/kegelapan’. Padahal, kita telah hidup di zaman pencerahan pemikiran (reinansance) akan ilmu pengetahuan dan demokrasi. Apalagi, sejak Johannes Gutenberg (Mainz, Jerman, 1398) menemukan mesin cetak pada tahun 1446. Bahkan, revolusi industri ini digadang-gadang merupakan cikal bakal revolusi ilmu pengetahuan, dan tak jarang mendobrak pakem-pakem ‘agama’ yang menurut ilmu pengetahuan nyeleneh (tidak logis –red).
Tampaknya negara memang perlu hadir untuk mengatur media sosial ini. Terutama pada bagian share men-share pemberitaan yang dapat meresahkan masyarakat. Sebelumnya UU No 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas UU No 11 Tahun 2018 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik  memang telah mengatur tentang hal ini, terutama pada Pasal 45A ayat (1): “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”; dan ayat (2): “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Begitupula halnya dengan Pasal-Pasal yang berkata kunci “mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diakses” menurut penulis merupakan penjabaran dan sinonim dari kata “share”, yang dialihbahasakan menjadi Bahasa Indonesia. Hanya saja, pasal-pasal itu hanya akan menindak pelaku yang terbukti menyebarkan berita hoaks dan hatespeech (ujaran kebencian) secara tersurat/fisik/physically. Namun, bagaimana jika hal ini terjadi secara tersirat, dimana seseorang men-share suatu link pemberitaan untuk memojokkan pasangan lawan yang menjadi pilihan anggota lain dalam suatu grup WA, jelas ini belum diatur. 
Andaipun pasal tersebut kemudian tidak dapat diatur, karena berpotensi menjadi pasal karet di kemudian hari. Maka perlu adanya literasi media bagi masing-masing anggota yang ada di grup WA. Karena jika tidak, akan semakin memperlebar jurang perbedaan (diversity) sebagai momok menakutkan zaman now. Contoh: Dalam suatu grup men-share pemberitaan terkait Ratna Sarumpaet yang mengaku mendapatkan penganiayaan oleh sekelompok orang, disertai tangkapan layar (screenshot) foto Ratna Sarumpaet yang seolah ‘babak belur’ wajahnya. Bagi pendukung ‘Prabowo’ jelas sekelompok orang itu bisa jadi merujuk pada partisan ‘Jokowi’. Apalagi, ditenggarai Ratna berada dalam daftar Tim Pemenangan Prabowo, dan berseberangan dengan kebijakan-kebijakan Jokowi (Ingat perdebatannya dengan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan). Apalagi, setelah konten tersebut kembali diviralkan oleh sejumlah tokoh politik opisisi, maka lantas semakin memperkuat keyakinan mereka.
Tak berselang lama, muncul lagi pemberitaan baru yang menyatakan bahwa penganiayaan itu adalah hoaks, dan kebohongan/rekayasa Ratna Sarumpaet. Hal ini berdasarkan hasil penyelidikan kepolisian. Lantas, dalam seketika grup heboh dan serentak terus-menerus mengabarkan perkembangan kasusnya. Prabowo yang termasuk kecolongan dalam hal ini turut menjadi bulan-bulanan. Bagi pendukung Jokowi, jelas ini merupakan kartu As untuk meruntuhkan elektabilitas Prabowo Subianto, yang bisa termakan hoaks Ratna dihadapan para pendukungnya didalam satu grup WA yang sama. Artinya, dalam kontestasi politik kita cenderung men-share sesuatu yang semakin mendukung keyakinan partisipasi politik kita, dan cenderung ‘memaksakan’ orang lain untuk mengakuinya. Bahkan, sekalipun Prabowo Subianto telah meminta maaf atas keteledorannya, share-share pemberitaan terkait tetap berlanjut. Seolah tidak ada ampun bagi para anggota kontra Jokowi dalam suatu grup WA itu. Seolah tidak ada ampun bagi para lawan politik.
Ataupun kasus lain, ketika seseorang dalam suatu grup men-share pemberitaan tirto.id berjudul “Reuni 212: Benarkah Klaim 8 Juta Peserta?”, yang memiliki analisa yahud namun tidak penting. Tidak lebih penting dari analisa bungkamnya media-media mainstream (terutama televisi) dalam meliput reuni itu. Begitupula halnya dengan demo mahasiswa di Medan yang berujung tragis, hanya muncul di media sosial. Bukankah ini yang lebih penting untuk dikaji dan dianalisa. Seolah-olah orang yang men-share pemberitaan tersebut ingin mengatakan, Reuni 212 itu penuh dengan kebohongan, dan karena terindikasi sedikit-banyak mendukung gerakan #2019GantiPresiden (baca: mendukung Prabowo Subianto), maka pendukungnya yang berada dalam grup WA yang sama perlu terus-menerus ‘digoyang’ keyakinannya.
Selain itu, jumlah pengguna internet di Indonesia sebanyak 143 juta orang (50 persen) telah terhubung ke jaringan internet sepanjang tahun 2017, setidaknya begitu menurut laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet (APJII), sebagaimana dikutip dari tekno.kompas.com. Lucunya, dalam penetrasi internet tersebut, tidak jarang mereka yang menggenggam gelar S2 dan S3, sekalipun menjadikan WA sebagai tempat perang asimetris. Artinya WA kerap digunakan sebagai ajang perang informasi. Tampaknya tak berbeda jauh dengan kelas menengah ke bawah yang dianggap gampang tersulut dan terprovokasi. Tampaknya, kelas menengah ke atas pun tak jauh berbeda dalam memaksakan ego politiknya. Yang pada akhirnya akan menumbalkan budaya kebersamaan/High Context Culture/keramah-tamahan (collective) kita menjadi perseorangan/Low Context Culture/ hantam kromo yang tidak sejalan (individual).
Walhasil, media telah lupa akan fungsinya sebagai watch dog (kontrol sosial - pemerintahan, dan lebih ke pet dog (‘Pers peliharaan’). Kebanyakan media juga lupa menjalankan fungsinya to serve the public (melayani masyarakat), dan lebih kepada to serve the owner (melayani pemilik). Pilar ke-empat dalam bernegara (The Fourth Ideological State) pun berpotensi ambruk! Inilah yang seharusnya menjadi bahan pembahasan, jikapun di-share di grup dan bukan malah men-share hal-hal yang tidak substansial seperti berapa jumlah riil peserta Reuni 212. Lagipun, media lahir dari rahim masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka atas informasi.
Sekelumit permasalahan di atas menunjukkan, bahwa diperlukannya model ‘tenggang rasa’ dalam bermedia sosial. Tenggang rasa sendiri adalah suatu sikap hidup dalam ucapan, perbuatan, dan tingkah laku yang mencerminkan sikap menghargai dan menghormati orang lain. Artinya, baik mayoritas maupun minoritas harus benar-benar bertengggang rasa dalam men-share pemberitaan, twit dan/atau menyatakan pendapat di grup WA. Harus bisa berempati sekiranya hal yang sama dilakukan orang lain, seperti men-share pemberitaan yang sebenarnya tidaklah menyenangkan bagi kita, karena bertentangan dengan sikap politik masing-masing. Adapun tujuan dari model ‘tenggang rasa’ dalam bermedia sosial, diantaranya: Pertama, dalam arti sempit, menjaga keberagaman (tenun kebangsaan kata Anies Baswedan) dalam suatu grup, sehingga tidak ada yang merasa terasingi, tersakiti dan akhirnya memilih untuk keluar (left group). Sedangkan, dalam arti luas tindakan ini bertujuan untuk menjaga keutuhan dan persatuan bangsa.
Kedua, Grup WA kembali kepada fungsi awalnya dibuat (tidak dijadikan sebagai corong politik pribadi/sekelompok orang). Apabila untuk kuliah, maka untuk keperluan pembelajaranlah grup WA itu dan bukan untuk yang lainnya (well informed). Andaipun suatu pemberitaan yang akan di-share berkaitan dengan materi perkuliahan, maka akan lebih bijak jika menyaringnya lebih dulu. Apakah isu ini sensitif atau cukup dijadikan konsumsi pribadi saja (cukup menjadikannya sebagai status WA pribadi). Jadi, intinya seluruh elemen grup WA harus mampu saling menjaga, membangun dan memelihara tolerasi (tak peduli dia ‘cebong’ atau ‘kampret’). Harus mampu bertenggang rasa dan menghormati orang lain. Ketiga, Model literasi ‘tenggang rasa’ meminimalisir/mengurangi dampak yang negatif/buruk, yang ditimbulkan oleh pesan broadcast WA seperti perpecahan.
Walhasil, literasi media itu ibarat melek huruf, dan i-literate adalah kebalikannya (buta aksara –red). Sikap politik sah-sah saja untuk diungkapkan dimanapun dan kapanpun. Namun, tampaknya hal itu harus tetap memperhatikan etika, kepantasan dan kadar sensitifitas terhadap konten yang terkandung di dalamnya. Sebagaimana dikatakan oleh David Buckingham, pendidikan literasi media tidak sebatas pada media cetak, artinya juga WA sebagai media sosial (new media); pendidikan media bukan pengajaran melalui media, artinya model ‘tenggang rasa’ adalah salah satu cara pra bermedia sosial (seperti syarat sebelum whudu’), yang dapat diterapkan; dan mengembangkan pemikiran kritis. Ya, semoga tulisan ini dapat mencerahkan dan menjadikan kita lebih bijak dalam bermedia sosial. Sekian.

Komentar

Postingan Populer