AKU PICISAN
Sebenarnya
aku tidak suka berbuka puasa di mesjid. Ya, karena menu berbukanya tidak enak
dan tidak mengenyangkan perutku. Minuman yang disediakan pun tidak manis, tidak
banyak dan tidak dingin. Wadahnya pun kecil sekali! Aku jadi tidak senang!
Aku
memang suka kebersamaan. Tapi aku tidak suka berbuka dengan orang-orang yang
tidak kukenal. Apalagi, jika menurutku gaya dan sikapnya begitu pongah! Aku
lebih suka berbuka dengan sahabat karibku. Berbuka di tempat yang telah dipesan
sebelumnya.
Tempat
makanku juga tidak boleh yang sembarangan. Harus yang tenang dan tidak bising.
Makanannya pun harus makanan berat, seperti nasi dan lauk-pauknya. Aku tidak
suka makanan yang mahal, bergaya tapi tidak mengenyangkan. Aku lebih memilih
yang tidak sehat tapi mengenyangkan!
Tapi
aku tahu, aku tak bisa menolak tawaran teman yang mengajakku berbuka di mesjid.
Aku juga paham, tidak semua orang memiliki taraf ekonomi seperti keluargaku.
Tapi
jika aku boleh memilih. Aku ingin berbuka di kost-san saja. Pulang kampung pun
aku belum bisa. Belum libur! Di kost nanti. Ingin rasanya kubeli air semangka
segentong!
***
RAMADHAN TIMELINE
Pertama
kali aku belajar puasa itu ketika kelas dua SD. Ibu memintaku puasa setengah
hari saja. Pukul 12 teng! Aku sudah
bisa berbuka. Ketika duduk di bangku kelas tiga, aku sudah berpuasa penuh dari
pagi hingga petang. Mulanya kurasakan sulit juga menahan haus dan lapar.
Apalagi kerjaku hanya nonton tv saja, yang banyak iklan sirupnya itu!
Waktu
itu puasaku masih tergolong puasa awam. Sebab aku hanya menahan nafsu makan
saja. Sedangkan tarawih, witir serta tadarus aku belum mengerjakannya. Kata
Bapak, “Kamu shalat di rumah saja, nanti di mesjid bikin bising”. Padahal aku
ingin menyanggah, “Yang bising bukan aku, tapi teman-temanku”. Namun aku
menahannya. Sedangkan tadarus aku belum bisa mengerjakannya, sebab aku belum
tamat IQRA’.
Pernah
ketika kelas lima SD waktu bulan puasa tiba, Bapak membawa banyak menu bukaan
di awal ramadhan. Ada kolak dingin, ada sirup merah dingin, ada teh manis
dingin, ada kurma, ada mie pecel, ada nasi, ada mie 3000, ada
tahu-risol-bakwan-tempe, ada sate, ada buah semangka, ada kue-kue pencuci
mulut, ada juga susu putih.
Maka
setelah sirine berbunyi, tanda waktu berbuka sudah tiba. Aku pun langsung
menengguk sirup merah. Belum habis sirup, kuminum susu yang ada di meja.
Kuambil mie pecel kutaruh di nasi, kuambil mie 3000 kutaruh juga di nasi.
Piring makanku penuh! Dan langsung semuanya kumasukkan sekaligus ke dalam
mulutku yang kecil.
Sedang-sedang
kukunyah makanan yang terasa berat di mulutku. Kugigit lagi daging sate yang
dilumuri bumbu kacang. Adikku ketakutan melihat cara abangnya makan. Bapak
tetap berbuka puasa dengan tenang. Sedangkan Ibu merasa bersalah karena
menghidangkan semuanya diatas meja.
“Aduh!
Abang makannya kok kayak kesurupan sih!” keluh Ibu yang mulai risih dengan
tingkahku memonopoli makanan.
Aku
tak peduli. Walaupun kurasakan makanan yang kumakan sudah sampai ke leher. Aku
masih ngotot ingin mengambil tahu.
Dan
Allah mengadzabku.
Aku
muntah seketika! Semua makanan yang telah kumakan, dan baru saja kukunyah
semuanya berhamburan keluar. Untung aku langsung memalingkan muka dari meja.
Tapi, lantai ruang makan kami penuh dengan muntahku.
Bapak
seketika itu juga menghentikan makannya dan beranjak keluar. Adikku menutup
mukanya dengan kedua belah tangannya. Dan Ibuku langsung memekik memaki-maki.
“Makanya!
Kalo makan jangan buru-buru! Abis maghrib kan masih ada waktu! Makanya jadi
orang jangan serakah!” bentak Ibu menciutkan nyaliku menatap matanya. Dan Ibu
langsung bergegas mengambil pel dan mulai membersihkannya. Malu aku!
Kini
tanpa terasa umurku sudah 21 tahun. Berkuliah di sebuah universitas negeri di
Kota Medan. Jarang sekali aku bisa pulang ke kampung halamanku di Lhokseumawe.
Kata Bapak, “Lhokseumawe kini sudah padat. Entah dari-dari mana aja orang
datang”. Kalau aku pulang menjelang hari raya dan berjumpa Ibu. Pasti Ibu
tertawa-tawa mengingat peristiwa muntah dulu.
Bapak
juga mengaku, “Kalo gak ada abang di
sini. Gak ada yang ambil kanji rumbi
Bapak di Islamic Centre”.
Aduh! Terenyuh hatiku kalau sudah
Bapak yang buka suara. Aku berharap semoga puasa kedepannya kami bisa
bersama-sama menunaikannya di rumah, “Ya Allah yang maha mengabulkan do’a.
Panjangkanlah umur kami sekeluarga, dan berilah kami kesehatan. Agar kami dapat
menyambut bulan sucimu ini. Amin. Allahumma
Amin.” gumamku dalam hati.
Komentar
Posting Komentar