AKU PICISAN

                                                                           http://3.bp.blogspot.com

Sebenarnya aku tidak suka berbuka puasa di mesjid. Ya, karena menu berbukanya tidak enak dan tidak mengenyangkan perutku. Minuman yang disediakan pun tidak manis, tidak banyak dan tidak dingin. Wadahnya pun kecil sekali! Aku jadi tidak senang!

Aku memang suka kebersamaan. Tapi aku tidak suka berbuka dengan orang-orang yang tidak kukenal. Apalagi, jika menurutku gaya dan sikapnya begitu pongah! Aku lebih suka berbuka dengan sahabat karibku. Berbuka di tempat yang telah dipesan sebelumnya.

Tempat makanku juga tidak boleh yang sembarangan. Harus yang tenang dan tidak bising. Makanannya pun harus makanan berat, seperti nasi dan lauk-pauknya. Aku tidak suka makanan yang mahal, bergaya tapi tidak mengenyangkan. Aku lebih memilih yang tidak sehat tapi mengenyangkan!

Tapi aku tahu, aku tak bisa menolak tawaran teman yang mengajakku berbuka di mesjid. Aku juga paham, tidak semua orang memiliki taraf ekonomi seperti keluargaku.

Tapi jika aku boleh memilih. Aku ingin berbuka di kost-san saja. Pulang kampung pun aku belum bisa. Belum libur! Di kost nanti. Ingin rasanya kubeli air semangka segentong!
***

RAMADHAN TIMELINE

                                                              http://www.designbolts.com

Pertama kali aku belajar puasa itu ketika kelas dua SD. Ibu memintaku puasa setengah hari saja. Pukul 12 teng! Aku sudah bisa berbuka. Ketika duduk di bangku kelas tiga, aku sudah berpuasa penuh dari pagi hingga petang. Mulanya kurasakan sulit juga menahan haus dan lapar. Apalagi kerjaku hanya nonton tv saja, yang banyak iklan sirupnya itu!

Waktu itu puasaku masih tergolong puasa awam. Sebab aku hanya menahan nafsu makan saja. Sedangkan tarawih, witir serta tadarus aku belum mengerjakannya. Kata Bapak, “Kamu shalat di rumah saja, nanti di mesjid bikin bising”. Padahal aku ingin menyanggah, “Yang bising bukan aku, tapi teman-temanku”. Namun aku menahannya. Sedangkan tadarus aku belum bisa mengerjakannya, sebab aku belum tamat IQRA’.

Pernah ketika kelas lima SD waktu bulan puasa tiba, Bapak membawa banyak menu bukaan di awal ramadhan. Ada kolak dingin, ada sirup merah dingin, ada teh manis dingin, ada kurma, ada mie pecel, ada nasi, ada mie 3000, ada tahu-risol-bakwan-tempe, ada sate, ada buah semangka, ada kue-kue pencuci mulut, ada juga susu putih.

Maka setelah sirine berbunyi, tanda waktu berbuka sudah tiba. Aku pun langsung menengguk sirup merah. Belum habis sirup, kuminum susu yang ada di meja. Kuambil mie pecel kutaruh di nasi, kuambil mie 3000 kutaruh juga di nasi. Piring makanku penuh! Dan langsung semuanya kumasukkan sekaligus ke dalam mulutku yang kecil.

Sedang-sedang kukunyah makanan yang terasa berat di mulutku. Kugigit lagi daging sate yang dilumuri bumbu kacang. Adikku ketakutan melihat cara abangnya makan. Bapak tetap berbuka puasa dengan tenang. Sedangkan Ibu merasa bersalah karena menghidangkan semuanya diatas meja.

“Aduh! Abang makannya kok kayak kesurupan sih!” keluh Ibu yang mulai risih dengan tingkahku memonopoli makanan.

Aku tak peduli. Walaupun kurasakan makanan yang kumakan sudah sampai ke leher. Aku masih ngotot ingin mengambil tahu.

Dan Allah mengadzabku.

Aku muntah seketika! Semua makanan yang telah kumakan, dan baru saja kukunyah semuanya berhamburan keluar. Untung aku langsung memalingkan muka dari meja. Tapi, lantai ruang makan kami penuh dengan muntahku.

Bapak seketika itu juga menghentikan makannya dan beranjak keluar. Adikku menutup mukanya dengan kedua belah tangannya. Dan Ibuku langsung memekik memaki-maki.

“Makanya! Kalo makan jangan buru-buru! Abis maghrib kan masih ada waktu! Makanya jadi orang jangan serakah!” bentak Ibu menciutkan nyaliku menatap matanya. Dan Ibu langsung bergegas mengambil pel dan mulai membersihkannya. Malu aku!

Kini tanpa terasa umurku sudah 21 tahun. Berkuliah di sebuah universitas negeri di Kota Medan. Jarang sekali aku bisa pulang ke kampung halamanku di Lhokseumawe. Kata Bapak, “Lhokseumawe kini sudah padat. Entah dari-dari mana aja orang datang”. Kalau aku pulang menjelang hari raya dan berjumpa Ibu. Pasti Ibu tertawa-tawa mengingat peristiwa muntah dulu.

Bapak juga mengaku, “Kalo gak ada abang di sini. Gak ada yang ambil kanji rumbi Bapak di Islamic Centre”.

       Aduh! Terenyuh hatiku kalau sudah Bapak yang buka suara. Aku berharap semoga puasa kedepannya kami bisa bersama-sama menunaikannya di rumah, “Ya Allah yang maha mengabulkan do’a. Panjangkanlah umur kami sekeluarga, dan berilah kami kesehatan. Agar kami dapat menyambut bulan sucimu ini. Amin. Allahumma Amin.” gumamku dalam hati.  

Komentar

Postingan Populer