SARUNG DARI MASA KE MASA
Sarung
bagi sebagian orang merupakan perlambang kekolotan. Padahal, sarung merupakan
periodisasi peradaban bangsa kita. Coba sekali-kali kita lihat film sejarah.
Disana diperlihatkan tokoh-tokoh Pangreh
Praja yang memadukan jas ala Belanda dengan sarung yang notabene budaya
kita. Tidakkah kita berbangga hati dengan perkara ini? Apalagi sekarang sarung
dapat diproduksi secara massal dengan menggunakan benang sintetis. Tidak lagi
seperti zaman baheula, coraknya pun beraneka ragam.
Mungkin
sekarang, secara tidak langsung sarung tampak dimonopoli oleh muslim dan para
santri. Padahal tidaklah demikian, sarung juga milik orang jaga malam. Sarung
juga sering dijadikan penutup muka bagi para maling, yang tak mampu beli topeng
perampok. Atau menurutku, ninja-ninja bertopeng dari dataran Cina itu
terinspirasi dari sarung kita. Bisa jadi-bisa jadi.
Sesekali,
jika memang saudara mengaku orang yang mencintai budaya, maka pakailah
sarungmu! Setidaknya berbalas budi lah kepada sarungmu, yang telah menjadi
pahlawan pasca sunatmu. Coba kalau kita masih pakai celana, bukankah begitu
tersiksanya ujung kejantanan kita? Hehehe.
Di
Mesjid, aku berpas-pasan dengan dua anak bau kencur yang sedang berdebat cara
memakai sarung.
“Pake sarung tu macem ni!” pamer satu anak. Padahal gaya bersarungnya lebih
mirip ibuku waktu bunting. Dibagian tengah sarung terdapat gulungan kain yang
besar dan tak rapi sama sekali. Aku terkekeh.
Sekarang
giliran aku menguping si anak kedua, “Mana ada macam tu! Macam emak-emak lagi
hamil aja! Hahaha!”
“Gaya
bersarung tu macem ni lah kan paten. Cak ko tengok lu!”. Akupun turut
melihatnya. Memang, tampilan luarnya terlihat rapi. Tapi ketika berjalan anak
ini menggunakan langkah-langkah kecil. Katanya, “Gak bisa pake langkah
besar, nanti rusak sarungnya!”.
“Hah!
Takut rusak?! Kau macem anak kecil kenak kencing batu saja! Hahaha! Jalan kok seperti itu!” ejek si anak pertama
tadi, membuat beberapa jama’ah yang lewat ikut tertawa.
Ah!
Aku jadi teringat dengan sarung pertamaku di pesantren dulu. Oh! So sweet! I dont remember I was a sarong man for a long time ago.
Selain
nyaman digunakan untuk shalat. Ada satu rahasia dari keutamaan bersarung dimana
hanya pejantan saja yang tahu. “Apa itu,
Bang?” tanya juniorku di pesantren dulu.
Aku
pun menjawabnya setelah berdeham dua kali, “Sesekali sayangilah kejantananmu.
Berkat dia kelak kamu bisa punya anak, bisa pula menuntaskan hajatmu ke kamar
kecil. Jangan biarkan dia terkurung lama di ruangan pengap (baca: celana).
Pakailah sarungmu, biarkanlah ia rehat sejenak. Bisa kau lakukan itu menjelang
tidur. Arahkan kipas angin kepada sarungmu. Maka, kau akan merasakan sensasi
disapu angin sejuk yang masuk merambat perlahan dari ujung sarungmu. Aih! Kimochi!”.
Juniorku
pun mendengarkan dengan khusyuk petuahku seperti mendengar petuah ulama. Aku
pun tersenyum-senyum sendiri mengingat hal itu, sambil menuju ke tempat whudu’.
Ah! Sebentar lagi adzan Isya bergema. Would
you wear sarong again today? Hihihi.
Komentar
Posting Komentar