DIBALIK SEBUAH KARANGAN
Karangan
itu tidak selamanya fiktif. Ada kalanya karangan itu menyatakan pengalaman atau
perasaan pengarang yang sebenarnya. Meskipun tujuan utamanya tetap untuk
menghibur para pembaca. Namun, karangan tetap berisikan suatu pesan yang ingin
disampaikan si pengarang.
Dalam
mengarang, ketajaman perasaan ataupun banyaknya pengalaman belum sepenuhnya
menjadikan pengarang hebat. Sebab, pengarang juga harus cakap dalam meramu
ceritanya menjadi bahan tulisan yang enak dibaca. Kepintaran mengatur alur
dengan baik dan gaya komunikatif dalam bertutur merupakan hal-hal yang bisa
didapatkan, asalkan kita mau bersungguh-sungguh dalam belajar.
Terkadang,
memiliki lawan penullis bisa dijadikan sebagai pendongkrak untuk menghasilkan
karya yang lebih bagus lagi. Bacalah karya-karyanya, pahamilah kelebihan yang
dimiliki serta kekurangannya. Kemudian dari sana, mulailah kamu menulis dengan
gayamu sendiri. Tulisanmu pasti akan lebih bagus, jika kamu terus mengasah hari
demi hari, lagi dan lagi.
***
CATATAN HATI SEORANG ISTRI MUDA
Kapankah
Bapak akan mengenalkanku pada mereka? Bahwa aku adalah istri sah mu, walaupun
aku yang paling muda. Sampai kapan aku harus terus menderita, karena dianggap
sebagai tamu negara semata. Biar dipanggil ibu tiri pun aku tak mengapa. Asal
jangan dihina sebagai selir istana. Lagipula, aku mulai bisa mencintai
anak-anakmu. Yang basah tergerai rambutnya, yang suka belajar menari di balai
istana, yang mirip ibunya dan yang lucu-lucu paras serta tingkahnya. Aku rela,
asal tak ada desas-desus itu lagi!
Karena
aku perempuan, aku butuh pengakuan. Pengakuan akan cinta Bapak kepadaku.
Walaupun Bapak telah mengucapkannya, aku ingin itu lebih dari sekali. Agar
mekar hatiku kembali, Bapak. Mekar seperti waktu Bapak membawaku dari negeri
asalku. Tahukah Bapak, mengapa aku mau ikut denganmu?
Karena
aku terpikat pertama kalinya dengan kharisma Bapak, wibawa yang Bapak miliki,
kecerdasan pola pikir Bapak yang visioner jauh ke depan, ketegasan sikap Bapak
dalam orasi-orasi politik yang Bapak bawa diatas podium, sehingga tak heran
jika orang-orang menjuluki Bapak “Singa Podium”. Lagipun, Bapak juga tampan dan
gagah sebagai seorang lelaki.
Belum
lagi, saat Bapak menyatakan cinta itu. Ah, romantis sekali! Di Pantai Bali,
kita duduk-duduk berdua diatas pasir putih, didekat pohon kelapa yang daunnya
nyiur melambai. Seolah mengucapkan selamat beristirahat kepada matahari yang
terbenam di ufuk barat. Bapak membisikkan ke telingaku, kata-kata yang masih
sangat segar dalam ingatan, “Maukah engkau menjadi inspirasiku? Teman mengejar
mimpi-mimpiku? Dan, penguat kehidupanku?”. Engkau telah membuat hatiku
melambung, Bapak. Lantas, aku langsung mengangguk bersemangat, mengiyakan
mimpimu membangun mahligai rumah tangga kita.
Setelah
istri Bapak yang kesekian tahu perihal percintaan kita. Hidupku mulai banyak
dirundung luka. Mulai banyak yang menggunjing, mencibir dan menyakiti hatiku.
Namun semua itu, kutepis saja dengan senyumku yang menurut Bapak sangat manis.
Dan kini, setelah 45 tahun kepergianmu, yang masih tak dapat kuterima. Aku
mencoba untuk bangkit!
Aku
mencoba untuk bangkit kembali dari status janda, istri mantan presiden beranak
satu, yang menjanda pada umur 19 tahun! Aku mencoba bangkit bersama anak
perempuan kita, yang bahkan hanya mengenal kehebatan Bapaknya dari Arsip
Nasional RI! Namun demikian, aku dan anak kita yang tak lagi tinggal di
Indonesia, sampai kapanpun akan tetap tulus mencintaimu.
Bapak,
sampai kapanpun takkan redup gemuruh cinta dalam dada ini. Sampai kapanpun
takkan kuganti kewarganegaraan yang telah Bapak berikan padaku. Sampai kapanpun
takkan kuhapus nama indah yang Bapak sematkan padaku. Aku akan tetap
mengunjungi makammu di Blitar, Jawa
Timur. Membersihkan pusaranya dan mengenang bahwa kita pernah jatuh
cinta dan akan selalu jatuh cinta, Bapak. (15 Ramadhan, 20 Juni 2016).
Komentar
Posting Komentar