DAYAH: BEUT, SEUMEUBEUT (Pesantren: Ngaji, Mengajikan)
Namaku Fazilis Syakur. Bagiku, Mudi Mesra Samalanga adalah dayah tua yang bertabur hikmah.
Di pesantren inilah aku digembleng dan dibina untuk lebih mendalami ilmu agama.
Sebab bagiku, ilmu agama lebih dari sekedar tuntutan melainkan telah menjadi
kebutuhan di zaman seperti sekarang ini. Namun, aku tidak begitu berambisi
untuk menjadi ulama hanya karena aku belajar di dayah (baca: pesantren).
Musabab yang terpenting bagiku ialah aku bisa menjadi bagian dalam menyebarkan
ajaran agama Islam, yang menjunjung tinggi nilai moral dan etika anak-anak
bangsa.
Selain itu ada satu rahasia lain yang menyebabkan aku memilih untuk
masuk dayah, yaitu karena rasa penasaranku akan bagaimana caranya Ustadz Ahmad
Musa, guru mengajiku di SMK TI Ulumuddin dulu begitu lancar dalam membaca kitab
kuning (kitab klasik), yang hanya berisikan aksara Arab tanpa baris seperti kasrah,
fathah dan dhammah atau sukun. Akhirnya, aku pun memberanikan diri untuk
bertanya kepada ustadz ahli agama itu, “Ustadz, kiban cara beu jeut teuh
kitab? Ho tajak?” (Guru, bagaimana caranya aku bisa pintar dalam
mempelajari kitab, dan bukan malah tidur terus jika diajarkan? Kemana aku harus
pergi, guru, agar aku bisa membaca kitab dengan lancar sebagaimana guru mengajarkan
aku selama ini?”. Ustadz pun menjawab, “Neujak u Lhoknibong, atau Mudi Samalanga..”
(Pergilah ke Lhoknibong (nama daerah) atau ke Mudi Samalanga). Sejak saat
itu, aku pun mulai mencari tahu segala informasi tentang dua nama dayah yang
disebutkan guruku itu, terutama yang terletak di Mudi Samalanga.
Berdasarkan beberapa referensi dan dengar-dengar cerita baik dari kawan
seangkatan maupun orang lain, tahulah aku bahwa, mulanya Lembaga Pendidikan
Islam Ma’hadal ‘Ulum Diniyah Islamiyah (MUDI) Mejid Raya Samalanga, Kabupaten
Bireuen, Aceh mulanya didirikan seiring dengan pembangunan masjid raya di
kawasan itu. Dayah yang tersohor di belahan nusantara ini terletak di Gampong
Mideun Jok, Kemukiman Masjid Raya, Kecamatan Samalanga atau jarak tempuh dari
pusat kota Kabupaten Bireuen sekitar 47 kilometer. Pondasi dasar dan peletakan batu
pertama MUDI Mesra ini dilakukan oleh Sultan Iskandar Muda, serta pimpinan
dayah pertama dikenal dengan sebutan Faqeh Abdul Ghani.
Aku masih ingat, kala itu tanggal 9 Juni 2016, aku diantar oleh
Ayah dan sembilan orang temanku mengendarai Innova ke tempat pendaftaran di
Kantor Sekretriat LPI Ma’hadal ‘Ulum Diniyah Islamiyah (MUDI) Mesjid Raya
Samalangan (Lantai I No. 9 Mabna Al-Aziziyah), Jln Mesjid Raya KM. 1,5 Desa
Mideun Jok, Kec. Samalanga, Kab. Bireuen, Prov. Aceh. Aku masih ingat persis, kala itu ibu dan
adik-adikku berhalangan hadir, dan Bang Fajri (Syeh Mejeuhom), abang sepupunya
temanku, yang menemaniku mengurusi segala sesuatunya. Seperti membayar biaya
administrasi dan mengisi formulir pendaftaran, menyerahkan fotocopy
ijazah terakhir, SKBD/SKCK, KK, KTP,
juga pas photo mengenakan peci dengan latar warna biru. Terima kasih
Bang Fajri!
Akupun dinyatakan lulus, setelah melalui serangkaian materi testing
seperti membaca Al-Qur’an (Tajwid, Makhrajil Huruf, Fashahah), Kitab Matan
Ghayah Wat-Taqrib, serta Nahwu dan Saraf dengan kitab Matan al-‘Awamil
dan Matan Ajurumiyah, serta Kitab Dhammun dan Matan Bina wal
Asas.
Aku masih ingat ada beberapa poin kedisiplinan yang harus aku
jalani setelah resmi terdaftar sebagai santri Dayah Mudi Mesra, dan jelas aku
merasa sangat keberatan mulanya untuk mematuhi semua itu. Namun, belakangan
semuanya terasa enteng saja bagiku untuk kujalani sepenuhnya. Diantara
persyaratannya yang masih kuingat ialah:
- Mengikuti pelajaran setiap jam belajar, mulai dari pagi, siang hingga malam harinya.
- Memakai busana muslim dan seragam putih yang bersih pada waktu belajar, bahkan yang perempuan diwajiban memakai cadar penutup muka.
- Mengikuti shalat berjama’ah setiap waktu.
- Mengikuti wirid Yasin menjelang shalat maghrib.
- Mengikuti Dalail Khairat dan Muhadzarah setiap malam Jum’at.
- Tidak boleh merokok baik di dalam maupun diluar komplek.
- Tidak boleh berhubungan dengan santriwan/santriwati yang bukan mahram.
- Tidak boleh keluar komplek tanpa izin.
- Tidak boleh memakai handphone dan alat eletronik lainnya.
- Santriwan yang terlambat kembali ke dayah, baik pada waktu libur ataupun izin pulang harus diantar oleh wali.
- Kuliah diizinkan setelah menguasai kitab I’annatut Thalibin.
Memang tak dapat aku pungkiri, terkadang aku merasa jenuh juga
dengan rutinitas yang ada di dayah ini selama beberapa tahun. Tapi entah
mengapa, disini aku mendapatkan apa yang tidak aku dapatkan diluar sana, yakni
berupa-rupa ketenangan dan kedamaian. Apalagi, di sini aku belajar tidak
sendiri, tapi selalu ada teman-teman sesama santri yang setia untuk menemani.
Bahkan, sekarang alhamdulillah, berkat keseriusanku dalam belajar, kini aku kerap
dipercaya sebagai imam shalat berjam’ah 5 waktu, termasuk di bulan ramadhan
ini, aku kerap diminta sebagai imam shalat tarawih dan witir. Subhanallah!
Jujur, aku bangga dengan pesantren tempatku menimba ilmu ini. Di
pesantren inilah tokoh-tokoh ulama kharismatik Aceh dilahirkan. Seperti: Tgk
Kasem TB (Abu Kasem), Tgk Ibrahim Ishak (Abu Budi Lamno), Tgk Mukhtar bin Abdul
Wahab (Abon Teupin Raya), Tgk Ibrahim Bardan (Abu Panton), Tgk Daud Lueng Angen
(Abu Lhok Nibong), Tgk Muhammad Yusuf A Wahab (Tu Sop), Abu Ismail (Ayah
Caleu), Tgk Nuruzzahri (Waled Nu), dan tentu masih banyak lagi tokoh-tokoh
ulama Aceh yang disegani lainnya. Oleh karena itu, akupun semakin bertambah
semangat untuk menimba ilmu di dayah. Sehingga, jika ada orang bertanya apa
motto hidupku, maka dengan mantap aku akan menjawab: “Beut, Seumeubeut!”
(Ngaji, Mengajikan!).
Kini perluasan bangunan terus dilakukan, lantaran kuantitas
masuknya santri terus bertambah, baik dari Aceh itu sendiri maupun dari luar
Aceh, seperti: Jambi, Lampung, dan Bekasi serta Jakarta, bahkan juga ada dari
luar negeri. Para santri juga diberi kesempatan untuk kuliah umum di luar
Dayah, umumnya santri kuliah di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI)
Al-Aziziyah. Hal ini dimaksudkan untuk
menjawab kebutuhan masyarakat Aceh, yang disatu sisi tetap mempertahankan
tradisi dayah dengan pembelajaran totalitas terhadap kitab kuning, dan di satu
sisi kader-kader ulama dayah mudi mesra memiliki kapasitas dan legalitas untuk
berdakwah lewat jalur birokrasi yang legal formal.
Namun, Mudi Mesra bukan tidak pernah dilanda bencana, baru-baru ini
kami pernah terkena imbas dari tragedi gempa di Kabupaten Pidie Jaya. Aku masih
ingat, gempa itu berkekuatan 6,5 SR dan terjadi pada subuh pagi, saat kami
sedang berada di mesjid. Beruntung dari kami tidak ada yang menjadi korban, dan
saat ini Mudi Mesra sedang giat membangun bangunan-bangunannya kembali yang
sempat roboh. Alhamdulillah, kala itu bantuan terus berdatangan dari seluruh
penjuru negeri.
*Penulis adalah Khairullah, S.I.Kom, alumnus Departemen Ilmu
Komunikasi USU 2017, yang hobi menulis dan sempat menimba ilmu agama di
Pesantren Ulumuddin, Uteunkot Cunda, Kota Lhokseumawe. Sekarang sedang sibuk
memperbanyak viewers blognya dan juga tengah mencari pekerjaan (job
seeker).
Komentar
Posting Komentar