ISU CINA DALAM BINGKAI NKRI
cinemapoetica.com |
72 tahun sudah negara kita merdeka, namun isu cina sebagai
minoritas masih saja bergulir dan tak berkesudahan. Padahal, yang dimaksud
dengan kemerdekaan itu ialah sama rata sama rasa. Ya! merasakan kemerdekaan itu
secara bersama-sama, tanpa adanya lagi sekat-sekat perbedaan. Jadi, tak perlu
lah ada lagi persaingan antara mayoritas vs minoritas, yang malah membuat saraf
tegang dan mengakibatkan perpecah belahan. 72 tahun Indonesia merdeka, sudah
seharusnya dibarengi dengan terhapusnya isu-isu mengenai rasial. Melainkan,
perbedaan etnis[1]
maupun agama sudah seharusnya kita sikapi secara bijak. Menganggapnya sebagai
suatu keniscayaan, dan menjadi kekhasan tersendiri di Indonesia.
Memiliki ‘mata sipit’ dan ‘kulit putih’ bagi etnis cina di
Indonesia, sekaligus merupakan sebuah keunikan tersendiri dalam sebuah
keberagaman yang diciptakan oleh Tuhan YME. Sudah seharusnya kita tidak lagi
membully ‘mereka’. Bahkan, kita harus mulai menghilangkan penggunaan frasa
‘kita’ dan ‘mereka’, sebab kita adalah sama. Ya! sama-sama Warga Negara
Indonesia yang mencari rezeki untuk makan, pendidikan dan penghidupan lainnya
di Indonesia.
Etnis Cina di Indonesia pun, jangan hanya berteman dengan sesama
etnisnya saja. Tetapi membaurlah dengan kami ‘kaum pribumi’. Bahkan, kalau
perlu ajari kami cara berdagang yang lihai seperti pedagang etnis cina,
sehingga perekonomian kami tidak selalu terpuruk, dan tidak lagi terjadi gap
ekonomi antara etnis cina dan kaum pribumi. Ya, setidaknya itulah yang saya
tangkap ditengah isu rasial yang ada.
Adanya gap ekonomi antara minoritas etnis Cina dengan
Mayoritas pribumi menjadikan kaum pribumi tidak terima. Bagaimanapun, mereka
merasa paling memiliki Indonesia, namun sekaligus paling tidak sejahtera di
Indonesia. Akhirnya, mereka pun mengutuki keberadaan etnis Cina di Indonesia,
yang mereka anggap sebagai pengeruk keuntungan semata. Selain itu, kaum pribumi
juga masih menyangsikan kesetiaan mereka kepada Indonesia. Oleh karena itu,
etnis Cina di Indonesia punya tugas berat untuk membuktikan bahwa mereka benar
cinta Indonesia, dan bukan hanya untuk berdagang dan berbisnis saja.
Masyarakat pribumi pun tidak bisa memukul rata keberadaan etnis
Tionghoa sebagai pengeruk keuntungan. Musabab bagaimanapun mereka memang
berusaha untuk mendapatkan itu dengan kelihaian mereka dalam berdagang.
Lagipun, seharusnya kita mencontoh kegigihan mereka dalam berdagang, sehingga
bisa mendapatkan hasil yang maksimal. Bukan malah hanya bisanya mengutuki dan
menggerutu saja!
Tanpa kita sadari, gap ekonomi ini pun terus berlanjut
kepada anak cucu kita. Baik di sekolah SD, SMP, SMA, kuliah hingga bekerja
sekalipun, kita bakal terus terbiasa mengolok-olok etnis Cina karena tampilan
fisiknya yang berbeda. Begitupula sebaiknya dengan keturunan-keturunan etnis
Cina pun cenderung mendiskriminasikan[2]
kita pribumi dalam pergaulan mereka. Jika sudah seperti ini, maka tenun
kebangsaan yang telah kita rajut selama 72 tahun belumlah terajut dengan kuat.
Akibatnya, benang-benang kebangsaan itu bakal putus dan tenunnya pun robek.
Miris!
Tampaknya, guna meminimalisir hal-hal yang tidak diinginkan itu,
sudah seharusnya anak-anak kita diberikan pemahaman tentang pentingnya menjaga
persatuan. Baik anak-anak etnis cina maupun anak-anak pribumi harus diajarkan
oleh orangtua mereka, agar tidak pilih-pilih dalam berkawan. Dalam artian tetap
berbaur dengan teman-teman yang berbeda suku, agama, ras dan antar-golongan.
Masyarakat kita pun harus mulai menerima dengan adanya fenomena
menikah beda etnis. Terutama pernikahan antara etnis Cina dengan pribumi. Saya
pikir hal tersebut sah-sah saja, selama mereka saling cinta dan bakal saling
menyayangi satu sama lain. Saya yakin dengan adanya pernikahan beda etnis ini,
sedikit banyak bakal meminimalisir perkembangan isu rasial dan diskriminasi di
negara kita tercinta.
Asal-Muasal
Diskriminasi
Sebagaimana
dikutip dari Proposal Seminar Rista Dwi Jayanti, Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu
Komunikasi Almamater Wartawan Surabaya menyebutkan: Sebelum Orde Baru pemerintah
kolonial Belanda membedakan posisi etnis Cina dengan masyarakat pribumi untuk
mendukung pemenuhan tujuan mereka di Indonesia yaitu imperialisme. Kebanyakan
masyarakat Cina sangat menguasai perdagangan terutama di pedesaan. Akibat dari
diskriminasi tersebut orang Cina menganggap dirinya lebih tinggi statusnya
dibanding dengan orang Indonesia.
“Namun,
dengan adanya pemerintah Belanda lebih memberikan kepercayaan kepada etnis
Tionghoa untuk memenuhi tujuan mereka ternyata sejak jaman penjajahan Belanda
etnis Tionghoa ini sudah mengalami diskriminasi sampai kekerasan fisik seperti
perampokan, pembunuhan, penjarahan dan pemerkosaan” –Darini (dalam proposal
seminar Rista Dwi Jayanti)
Perihal
diskriminasi itulah yang kemudian terus berlanjut dan menjadi persoalan
nasional yang tak kenal usai. Seperti di zaman Orde Baru yang menggunakan
istilah ‘Cina’ yang digunakan untuk menyebut orang Tionghoa (chinese).
Istilah Cina sendiri dipakai untuk merendahkan, menghina dan meremehkan. Dengan
begitu, penyebutan etnis Cina adalah bentuk penghinaan sebagai kaum kalangan
rendah.
“Sejak
pemerintahan Soekarno kisah kehadiran orang etnis Tionghoa di Indonesia adalah
kisah lika-liku yang dapat dinamakan hubungan “cinta dan benci” antara
minoritas etnis Tionghoa dan mayoritas etnis Indonesia. Di lain pihak ada
perasaan kebencian karena pada suatu saat kelompok yang hanya merupakan kurang
lebih 3-4% dari penduduk Indonesia, menguasai sampai 70% dari sektor swasta
dalam perekonomian Indonesia.’
“Sentimen
demikian selama rezim Soeharto dieksploitasi dan diperkuat dengan dikeluarkan
berbagai produk hukum yang jelas bersifat diskriminatif. Berbagai Inpres dan
Keppres telah dikeluarkan sejak 1966, yang merupakan akibat dari peristiwa
G-30-S yang merembet ke golongan etnis Tionghoa dengan khadiran organisasi
Baperki yang pimpinannya, Siauw Giok Tjhan (alm.) dianggap dekat dengan PKI.’
“Keadaan
ini memungkinkan terjadinya kerusuhan dahsyat di Jakarta di pertengahan Mei
1998, yang jelas ditujukan kepada orang etnis Tionghoa dengan serangan kepada
daerah bisnis, pertokoan, dan pemukiman yang kebanyakan dimiliki dan atau
dihuni orang etnis Tionghoa”. –Tan (dalam proposal seminar Rista Dwi Jiyanti)
Persuasi ‘Persatuan’ Lewat Film
Saya juga percaya, dengan adanya film-film Indonesia yang konsen
dengan isu persatuan, dapat mempersuasi masyarakat kita untuk lebih berpikir
rasional dan mengesampingkan ego yang ada. Salah satu film tersebut ialah
“Ngenest”. Sebagaimana dikutip dari www.muvila.com, Film Ngenest
mengisahkan tentang kehidupan Ernest Prakasa (Kevin Anggara/Ernest Prakasa)
dari masa SD, SMP, kuliah hingga bekerja. Ia terlahir di sebuah keluarga etnis
China, dan tumbuh di lingkungan yang masih mendiskriminasi etnis China. Sejak
SD ia kerap menjadi korban olok-olok teman-temannya karena tampilan fisiknya
yang berbeda. Sewaktu SMP, Ernest pun berusaha mencoba berbaur dengan
teman-teman yang kerap mengolok-ngoloknya meski keputusannya ini ditentang oleh
sahabatnya, Patrick (Brandon Salim/Morgan Oey).
Namun,
upaya Ernest ini tak berhasil hingga ia pun berkesimpulan bahwa cara terbaik
untuk membaur yakni menikahi perempuan pribumi. Saat kuliah di Bandung, Ernest
lalu bertemu dengan Meira (Lala Karmela) dan berhasil mewujudkan keinginannya
menikah dengan pribumi setelah lima tahun jadi kekasihnya. Namun, pergulatan
batin Ernest tidak kunjung terselesaikan. Ia malah takut anaknya lahir dengan
penampilan sebagai keturunan China dan akan merasakan olok-olok yang pernah ia
alami. (www.muvila.com)
Namun,
kedepannya kita berharap para sineas tidak hanya mengangkat film-film tentang
diskriminasi terhadap etnis Cina. Tetapi juga ikut mengangkat faktor-faktor
penyebab diskriminasi itu terjadi. Salah satunya ialah gap ekonomi antara etnis
Cina dan pribumi yang semakin tinggi. Dan, bagaimana caranya untuk menghapuskan
kesenjangan itu. Musabab kita tidak bisa memandang fenomena diskriminasi hanya
dari mata etnis Cina saja, tetapi juga dari pribumi. Agar lebih fair dan
berimbang, sehingga tidak menyudutkan salah satu pihak saja.
Kita harus
berdamai dengan masa lalu, dan memikirkan persoalan yang kita hadapi
bersama-sama. Sehingga takkan ada lagi isu-isu asimilasi yang berkembang, dan
terciptanya harmonisasi dalam masyarakat kita yang heterogen. Last but not
least, sebagai sebuah negara yang telah merdeka sudah saatnya kita bersatu
dalam menghadapi hidup, dan apapun tantangannya. Bersatu kita teguh, bercerai
kita runtuh! NKRI harga mati!
[1] Menurut
Sutrisno (dalam proposal seminar Rista Dwi Jayanti), etnisitas adalah konsep
kultural yang terpusat pada kepemilikan bersama akan norma-norma, nilai-nilai,
kepercayaan, simbol kultural dan praktek. Di sisi lain, konsep etnisitas adalah
sesuatu yang sering diperdebatkan. Ini adalah karena mayoritas orang kulit
putih mencirikan setiap kelompok yang lain, terutamanya orang bukan kulit putih
sebagai kelompok-kelompok etnis. Di Indonesia, kata etnis sering dipakai untuk
merujuk kepada kelompok Tionghoa atau kelompok-kelompok minoritas yang lain
terutamanya apabila dibandingkan dengan kelompok mayoritas Jawa Muslim. Tentu
saja, pemakaian kata ini adalah keliru dan kadang-kadang derogative.
[2] Menurut Theodorson (dalam proposal seminar
Rista Dwi Jayanti), pengertian diskriminasi adalah perlakuan yang tidak
seimbang terhadap perorangan, atau kelompok berdasarkan sesuatu, biasanya
bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras,
kesukubangsaan, agama atau keanggotaan kelas-kelas sosial.
Komentar
Posting Komentar