KALA MEDIA MEMBEBEK PENGUASA

cdn.tmpo.co
Sekalipun saya banyak menuliskan tentang isu-isu politik, yang tengah berkembang di masyarakat. Tetapi terkadang jujur, saya merasa takut jika di kemudian hari opini saya itu menyinggung perasaan orang lain. Bagi saya, bagaimanapun juga isu dan pembahasan politik adalah suatu hal yang riskan, yang bahkan perbedaan pandangannya bisa menyebabkan perpecahan antar sesama kita. Pembahasan politik adalah sesuatu hal yang sensitif. Jadi lebih baik dijauhi saja dan jangan dibawa-bawa kedalam suatu forum, begitu kata orang-orang. Ya, saya tahu, lagipula tidak semua dari kita menyenangi politik. Mungkin karena politik itu kotor dan sifatnya yang memecah belah.
Sekalipun pemahaman terhadap politik itu merupakan suatu hal yang krusial untuk dipahami oleh setiap anak-anak bangsa. Tetapi tetap saja, kita tak dapat memaksakan kehendak kita bukan? Sama halnya seperti seseorang yang tidak menyenangi matematika, meskipun pelajaran matematika itu penting dalam hal kehidupan dan perniagaan. Tetapi tetap saja kita tidak punya hak untuk memaksakan orang tersebut menyenangi ataupun menyukai pelajaran matematika.
***
   Tapi entah kenapa, jari-jemari saya tetap menginginkan menuliskannya. Kali ini berjudul, “Kala Media Membebek Penguasa”. Sebagaimana yang baru-baru ini dikabarkan, Hary Tanoe, sang raja media kembali melakukan zig-zag politiknya. Ia dan Partainya Perindo bakal mendeklarasikan dukungan kepada Pakdhe Jokowi untuk nyapres kembali pada perhelatan Pilpres 2019. Walaupun Pilpres itu sendiri masih lama, akan tetapi gaungnya kian begitu terasa. Saya memakluminya, hal itu ditandakan dari partai-partai yang merapat dan membentuk koalisi, ataupun menjauh dengan membuat oposisi alias saingan. Semakin seru!
Tetapi yang ingin saya bahas disini bukan itu, saya sebagai sarjana Ilmu Komunikasi punya tanggungjawab bertanya, “Lantas bagaimana dengan media Hary Tanoe? Apakah mereka akan ikut-ikutan membebek penguasa sebagaimana yang dilakukan tuannya? Saya takut jawabannya ialah “Ya, jelas!”. Dan, saat itu saya benar-benar takut, bahwa media Hary Tanoe yang bejibun banyaknya itu bakal bertransformasi menjadi sebuah corong, corong politik. Tak lebih! Baik itu lewat konten pemberitaan ataupun iklan-iklan menjelang kampanye.
 Jika sudah seperti ini, maka hampir semua media mainstream dimiliki oleh petahana. Eits! Saya bukannya takut lawan yang tidak punya media bakal K.O. Bukan! Tapi yang benar-benar saya takutkan adalah saat pemberitaan ataupu konten-konten media itu tidak lagi menjadi netral. Dalam artian netral memihak kepada masyarakat, dan mencerdaskan masyarakat untuk memilih pemimpinnya berdasarkan data-data yang valid dan balance. Bukan malah netral dalam artian memihak kepada empunya media. Musabab bagaimanapun, media menggunakan frekuensi milik negara, yang digunakan untuk sebenar-benar kemaslahatan rakyat dalam mengonsumsi isi suatu tayangan media.  
Hary Tanoe yang Terdzhalimi
Pada satu sisi, saya memang merasa kasihan juga dengan HT, ia adalah sosok pengusaha yang gigih, dan kini mencoba peruntungannya di gelanggang politik. Ia memulainya dari Partai Nasdem, pendirinya juga bos Media Group, Surya Paloh. Kalau orang Aceh menyebutnya “Om Brewok”. Hehehe. Tapi sayang, karena ada beberapa perseteruan kecil, akhirnya HT memilih minggat ke partai lain yakni Hanura, milik Jenderal Wiranto, yang kini juga menjabat sebagai Menkopolhukam.
Saya memang tidak melihat secara langsung dampak media-media Hary Tanoe ketika bergabung dengan Nasdem. Tetapi saya ingat dengan jelas, media Hary Tanoe seperti RCTI sempat menghadirkan sosok Wiranto dan dirinya sendiri dalam sinetron berjudul “Tukang Bubur Naik Haji”. Apalagi ini, kalau bukan kampanye terselubung namanya. Hehehe. Apalagi, kala itu sempat mantap dikabarkan duet maut WIN-HT bakal maju di Pilpres beberapa tahun silam. Tapi sayang hal itu kandas, ditengah jalan Wiranto memutuskan secara sepihak bahwa Partai Hanura mendukung Jokowi untuk maju di Pilpres tahun 2014. Padahal di partai itu HT didapuk sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Hanura. Wajar jika kemudian hari HT ngambek, kecewa dan merasa terdzhalimi. Akhirnya Suami dari Lilliana Tanoesoedibjo ini pun memutuskan hengkang dan membelot mendukung Prabowo Subianto dari Gerindra, lawan berat PDIP cs kala itu.
Singkat cerita ia pun berlabuh di barisan Koalisi Merah Putih (KMP). Disini pun ia memberikan kans yang besar, terutama dalam hal operasional pembiayaan dan juga tentu media. Prabowo kalah, tapi disini HT sempat bertahan lama, bahkan ia sempat mendukung Anies-Sandi yang berlaga melawan Ahok di Pilkada Jakarta. Disini tampak begitu jelas, bagaimana media HT terutama INews TV dengan gencarnya memberitakan Aksi Bela Islam yang berjilid-jilid itu saban hari. INews  TV pun tanpa henti mendatangkan pakar-pakar yang setuju jika Ahok harus dibui atas kasus penistaan agama.
INews TV kala itu satu-satunya televisi Hary Tanoe yang mendadak ‘alim, dan menjadi referensi umat Islam untuk meng-counter pemberitaan-pemberitaan Metro TV yang dianggap menipu. Ya, satu televisi Hary Tanoe itu seolah memang membidik penonton muslim sebagai konsumennya. Padahal, selama ini tivi-tivi Hary Tanoe enggan untuk sekedar menayangkan adzan maghrib, dan malah menggantinya dengan iklan Sanaflu. Hehehe. Secara tidak langsung, kasus besar yang tengah membelit Ahok saat itu, ditambah dengan INews TV yang begitu gencarnya memberitakan kasus tersebut, secara tidak langsung turut membantu tumbangnya Ahok dengan lebih cepat.
Mengapa HT Membelot?
Apa sebenarnya yang membuat HT dan partainya Perindo mengakhiri pertemanannya dengan Partai Gerindra dan PKS masih menjadi misteri. Hingga tiba-tiba saja secara mengejutkan menyatakan dukungannya kepada Joko Widodo untuk kembali nyapres, yang notabene selama ini menjadi lawan politiknya. Para pakar pun berspekulasi, bahwa langkah Perindo itu dikarenakan mereka sadar diri tidak bisa mengusung capres. Sehingga HT pun harus legowo merelakan ambisinya untuk nyapres kembali kandas. Padahal, Mars Perindo sudah saban hari diputar hingga dihapal oleh anak-anak diluar kepala. Bahkan, hingga ditegur oleh KPI. Hihihi.
Namun, saya pikir HT dan Perindo tidak akan benar-benar ikhlas dalam hal ini. Musabab, keikhlasannya itu baru dapat diukur dari sejauhmana HT kembali menggunakan medianya untuk mengkampanyekan siapa yang dia usung. Bagaimanapun HT dan Perindo pasti telah memiliki hitung-hitungannya sendiri untuk mendukung Jokowi kembali, yang secara kans politik lebih mendukung petahana dan keberlangsungan Perindo sendiri.
Dan bukan tidak mungkin pula, langkah HT ini terkait dengan kasus hukum yang tengah menjeratnya. Untuk diketahui, sebagaimana diberitakan oleh detikX, Bos MNC Group tersebut sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Direktorat Tindak Pidana Bareskrim Polri pada 15 Juni 2017. HT dijerat Pasal 29 UU Nomor 11/2008 tentang ITE juncto Pasal 45B UU Nomor 19/2016 tentang Perubahan atas UU ITE Nomor 11/2008. Ancaman pidana dalam pasal tersebut adalah penjara maksimal 4 tahun. Pasal-pasal yang menjerat HT tersebut lantaran pesan singkat (SMS) yang berisi ancaman kepada jaksa Yulianto, yang menyidik kasus Mobile-8.
Walaupun HT menampik hal itu, tapi entah kenapa saya meyakini bahwa kasus ini ada sangkutpaut dengan dukungannya terhadap Jokowi. Bagaimanapun dulu, saat perseteruan antara Jaksa Agung HM. Prasetyo (kader Nasdem/Koalisi Pemerintahan Jokowi) vs Hary Tanoe sedang mencak-mencak-nya, media HT kerap memberitakan lewat berita barisnya di Seputar Indonesia RCTI, bahwa sms HT bukanlah sebuah ancaman sebagaimana dikatakan oleh Kuasa Hukumnya Hotman Paris Hutapea.
Begipula halnya dengan Koran Sindo miliknya yang sempat mengeluarkan tajuk, yang meminta HM. Prasetyo untuk di-reshufffle saja, karena tak becus kerjanya. Seandainya saya punya tivi, saya ingin tahu saja bagaimana perkembangan berita sms ancaman HT itu sekarang. Begitupula tentang pemberitaan yang kerap memojokkan HM. Prasetyo sebagai Jaksa Agung yang mengurus kasus HT. Apakah masih ada, atau jangan-jangan sudah hilang ditelan bumi? Hehehe. Kita lihat saja! Sekaligus semoga juga anggapan orang-orang diluar sana tidak benar, bahwa pemerintahan ini telah melakukan abuse of power terhadap HT demi langgenggnya kekuasan. Amin Ya Rabb.
Menggalakkan Literasi Media
Tampaknya, untuk meng-counter dampak negatif dari politik media itu perlu digalakkan yang namanya literasi. Terutama ditengah-ditengah masyarakat kita yang masih awam dengan fungsi media sebagai corong politik. Baik berupa sosialisasi dan diskusi yang turut menghadirkan akademisi, pakar serta wartawan. Sehingga bapak-bapak, ibu-ibu, remaja, anak-anak juga mahasiswa kita tahu bagaimana memilih channel dan bagaimana menyikapi suatu pemberitaan.
Literasi media sendiri itu bermakna melek/sadar, bahwa pemberitaan suatu media bukanlah sabda dan tidaklah mutlak kebenarannya. Melainkan harus ada upaya-upaya dari para penontonnya untuk meng-cross check kembali kebenarannya. Bukan malah menelannya secara mentah-mentah. Mirisnya, anggapan seperti inilah yang sering terjadi di lingkungan akar rumput kita. Mereka meyakini pemberitaan-pemberitaan media tertentu yang semakin meneguhkan keyakinan politik mereka. Sedangkan media lainnya yang tidak mendukung, mereka anggap sebagai sampah dan penyebar hoaks. Kalau sudah seperti ini maka kebenaran menjadi multitafsir, dan hanya menjadi milik si empunya media yang sayangnya ikut-ikutan bercokol dalam politik. Sehingga terjadilah perpecahan yang tentu sangat tidak kita inginkan. Masyarakat perlu diberikan pemahaman, bahwa media sebagai sebuah perusahaan juga turut mempertimbangkan aspek ekonomi dan politik medianya dalam menyajikan suatu tayangan, termasuk didalamnya program berita.
Sudah menjadi tanggungjawab kita bersama untuk memahami media secara bijak. Maka daripada itu pula, apresiasi tinggi terhadap komunitas-komunitas yang bergerak dalam bidang literasi perlu diberikan. Musabab mereka telah berupaya keras untuk mendidik, dan mengajak kita untuk mau lebih kritis lagi dalam memahami media. Terutama bagi komunitas-komunitas yang mau turun ke jalan, dan memberikan penyadaran di lingkungan akar rumput. Sungguh langkah-langkah seperti ini merupakan sebuah niat mulia, dan secara tidak langsung turut mengamalkan amanat Pembukaan Undang-Undang kita yang salah satunya berbunyi “.........Mencerdaskan kehidupan bangsa.....”.
IMMEDIA (Indonesia Melek Media) sebagai sebuah komunitas yang dibentuk pada 16 April 2014 juga sama. IMMEDIA ingin turut berkontribusi dalam gerakan-gerakan penyadaran terhadap masyarakatnya akan dampak buruk media. Walaupun IMMEDIA dapat dikatakan sebagai sebuah komunitas kecil dan masih baru merangkak, namun ia punya tekad bersama dengan pemuda-pemudi sebagai anggotanya untuk memiliki gaung dan impact yang kuat, besar serta nyata. Mereka bakal terus berkampanye lewat media mereka dan terus turun ke jalan, mengunjungi berbagai tempat agar pesan-pesan literasi media itu tersampaikan secara lebih merata.
Ask not what your country can do for you, but ask what you can do for your country”. –Pepatah Amerika.

Komentar

Postingan Populer