SYAIR MERDEKA

http://fsldkindonesia.org
Seorang teman bertanya padaku, “Apa arti merdeka itu bagimu, Bung?”. Aku terdiam, tak tahu harus menjawab apa atas pertanyaan itu.
Ya, aku bisa saja menjawab, bahwa arti merdeka itu ialah kita bebas dari penjajahan, penindasan, kolonialisme meneer-meneer Belanda dan kungkungan serdadu-serdadu cebol jepang!
Tapi bukan itu arti merdeka bagiku secara substantif!
Musabab, merdeka itu bukan semata perkara de jure dan de facto pada negara luar, bahwa kita telah merdeka. Bukan!
Tapi lebih dari itu, bagaimana kita sebagai anak-anak bangsa mengisi kemerdekaan!
Aku pun tak berani menjawab pertanyaan temanku itu.
Aku pun pulang, berlalu ke rumah sambil memikirkannya lamat-lamat. Apa itu merdeka?

***
i.ytimg.com
Lama juga aku berbaring di tempat tidurku yang rongsok, dengan tangan sebagai bantal dan mata menatap langit-langit kamar yang kotor berjaring laba-laba. Benakku masih juga berpikir, “APA ITU MERDEKA?!”.
Lama juga aku merenunginya, hingga jarum jam menunjukkan 0.00 wib, hingga aku yakin telah menemukan jawabannya.
Dan merdeka itu adalah..........
Akupun terlelap.............
***
colossus.malesbanget.com
Esok paginya kukayuh sepedaku cepat-cepat, menyusuri jalanan setapak yang disamping kanan-kirinya ada pematang sawah terbentang luas, karya indah Tuhan yang Maha Kuasa.
Kugedor-gedor kost-an temanku yang bertanya itu. Hingga ia segera terbangun dan membukakan pintu. “Ada apa kau, Bung?! Pagi-pagi buta sudah membangunkan Beta?! Tidak ada kerjaan lain kah!”.
 Aku pun dengan penuh sumringah berkata: “Apa itu arti merdeka? AKU SUDAH TAHU JAWABANNYA!!!” aku berteriak kencang kepadanya, dan menarik tangannya kuat-kuat. “Mau kemana kita, Bung?!” tanyanya heran. Aku pun menjawab, “Sudah ikut saja, aku akan menjawab pertanyaanmu disana!”.
Sembari mengumpulkan nyawa, mengucek mata, ia lalu duduk dibelakang jok sepedaku yang kukayuh dengan kecang. Bersemangat!
Batinku bergemuruh, “Merdeka itu adalah..........”
***
3.bp.blogspot.com

Kami tiba di sebuah pelataran kampus, yang masih sepi dan masih terlalu subuh untuk didatangi. Kuparkirkan sepedaku di sembarang tempat. Kuajak dia mengikuti langkahku ke sebuah tiang panjang yang berkarat, dengan bendera merah-putih diujungnya yang teronggok tampak lesu.
Aku menunjuk bendera itu dan berkata padanya, “Itulah arti merdeka yang sesungguhnya, Bung! Saat kita mau melepaskan ego kita masing-masing untuk membuatnya berkibar kembali!” aku berkata mantap.
“Saat ini kita terlalu disibukkan dengan ambisi-ambisi kita masing-masing, sehingga merasa diri kitalah yang paling benar, sedangkan yang lainnya mutlak salah. Padahal kita satu, tapi nyatanya kita telah tercerai-berai, Bung!”
“Apa artinya kita merdeka jika seperti itu, Bung?!” Aku mengguncang-guncang tubuhnya.
“Apa artinya 72 tahun kita merdeka, Bung! Tapi kita masih saja saling gontok-gontokkan, karena perbedaan pandangan dan ideologi semata”.
“Padahal itu hanya akan menguras energi kita saja. Padahal masih ada banyak sekali pekerjaan bangsa ini, Bung! Masih banyak sarjana-sarjana kita yang luntang-lantung mencari pekerjaan, ada lebih banyak lagi perempuan-perempuan bangsa ini yang melonte untuk dapat tetap hidup. Seharusnya kita fokus dengan itu, bukan malah menguras tenaga pada hal-hal yang tidak perlu!” mataku berkaca-kaca.      
Kini aku kembali mengarahkan pandanganku ke arah bendera yang lusuh itu. Sekarang, aku berbicara pada temanku dengan nada sedikit lebih rendah, “Kau tahu, Bung, kenapa bendera itu tampak lusuh?”. Ia menggeleng. “Itu karena ia sudah bosan melihat tingkah pemimpin-pemimpin kita yang haus kekuasaan, umara versus ulama, hukum yang tajam ke bawah tumpul ke atas, korupsi menjadi-jadi, aksi main hakim sendiri, pengadilan jalanan, impor narkoba sampai berton-ton banyaknya, anak-anak bangsa ini semakin banyak yang sakau, pendidikan kita yang bobrok dan tak lagi menjamin etika para pelajarnya, bullying, terorisme dan paham kebencian, ketimpangan antara si miskin dan si kaya yang semakin lebar saja jaraknya, arus imigrasi ilegal yang tak terbendung lagi, dan sampai kekayaan alam kita yang terus digerus dan dihisap oleh asing dan aseng!”
“Karena itu bendera kita lusuh, Bung!” aku menangis sesenggukan dan memeluk temanku itu.
“Beta tahu itu, bung, Beta tahu bangsa kita ini punya sangat banyak masalah,” temanku menepuk-nepuk pundakku, menenangkan aku.
“Tapi setiap masalah pasti ada solusinya,” ia melepaskan pelukanku dan tersenyum.
Kali ini ia mengepalkan tangan kirinya mantap dan berkata, “Dan sudah menjadi tanggungjawab kita bung sebagai generasi muda untuk mencari solusinya”.
“Kita sebagai anak-anak bangsa yang terdidik tak boleh hanya menyalahkan pemerintah kita saja tho. Sebab bangsa ini bukan milik pemerintah saja, tapi milik kita bersama anak-anak bangsa Indonesia” Ia menutup kalimat itu dengan senyum mengembang di wajahnya, dan aku pun tersenyum jua.
Tanpa terasa waktu berjalan begitu cepat, tanpa sadar kami sudah cukup lama berdiri di tempat itu, membicarakan arti dari sebuah kemerdekaan. Bahwa arti merdeka itu adalah saat kita mau bersama-sama melepaskan ego kita, untuk berpikir dan berkarya serta bekerja untuk Indonesia yang lebih baik.
Matahari tepat menyingsing dari timur, terbit menerangkan dan menghangatkan bumi tempat kami berpijak. Dan perlahan angin pagi datang menyapu wajah kami yang sumringah, menatap bendera kami yang kembali berkibar.
***
http://image-serve.hipwee.com

Aku merampungkan cerita ini di kamarku tepat pukul 1:25 di malam selanjutnya. Yang kuberi judul: SYAIR MERDEKA.
Quotes: “Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!” –Presiden Pertama RI, Ir. Soekarno.

Komentar

Postingan Populer