SETIAP FILM BUTUH KONFLIK

http://4.bp.blogspot.com
Tak ada manusia yang ingin berlama-lama hidup didalam konflik, baik sekecil apapun konflik tersebut. Baik konflik yang dialaminya hanya sebatas dengan dirinya sendiri. Namun, tak ada manusia yang benar-benar tidak pernah melalui konflik dalam hidupnya. Setiap manusia pasti pernah atau bahkan sedang mengalami konflik tersebut. Hal seperti itulah yang menarik untuk diangkat dalam sebuah film, karena adanya konflik dalam film menjadikan film itu jadi tampak naluriah dan alami, serta tampak nyata.
Bahkan dalam industri perfilman, ukuran besar kecilnya konflik yang dihadapi tokoh dalam suatu penceritaan dapat menjadi nilai jual tersendiri bagi para penontonnya. Tak jarang, film-film Hollywood yang menampilkan tingkatan konflik yang meledak-ledak dapat menjadikan kita mencintai film-film mereka. Sedangkan, film-film Indonesia kerap menampilkan konflik dalam bentukan drama saja, konflik kepentingan saja antar setiap lakon sehingga menjadi kurang memiliki nilai jual. Namun, tentu membuat suatu konflik dalam alur cerita tidaklah mudah, terkadang pendanaan yang kurang dan minimnya fasilitas ikut menjadi penyebab datarnya konflik yang ditampilkan. Walhasil, film yang ditayangkan pun bakal menjadi hambar dan ditinggalkan penontonnya satu per satu.
Ketimbang kehilangan penonton, maka industri perfilman mendadak berubah menjadi sosok yang kejam. Industri film hanya akan menyisakan orang-orang yang kreatif dan mau memeras otaknya untuk menghasilkan konflik-konflik baru dalam suatu cerita. Mereka dituntut untuk bisa membolak-balikkan perasaan penonton, karena itulah inti dari industri ini. Saya pun jadi teringat dengan salah satu dialog Shah Rukh Khan dalam satu filmnya, kurang lebih sebagai berikut: “Membuat film itu tidak se-menyenangkan ketika kita menonton”. Ya, saya setuju dengan King Bollywood itu, dalam membuat suatu film ada otak yang harus diperas, ada tenaga yang harus dikerahkan dan tentu harus ada uang untuk digelontorkan.
Maka daripada itu, secara tidak langsung ukuran suatu konflik juga turut menjadi penentu keberhasilan suatu film. Masalahnya, perfilman di Indonesia cenderung menggunakan konflik sebagai komoditi arus utama. Mereka terus memperdagangkan itu, selama penonton menyenanginya. Sehingga konflik pun menjadi tidak fokus melainkan melebar entah kemana-mana. Contoh terbaik untuk ini ialah sinetron, dan untungnya sinetron bukanlah film (baca: layar lebar).
Adapun, fenomena masih banyaknya ibu-ibu Indonesia yang menyenangi konflik-konflik yang disajikan oleh sinetron-sinetron itu, saya melihatnya sebagai suatu pelarian belaka. Suatu bentuk pelarian ibu-ibu Indonesia untuk menghibur diri setelah lelah seharian mengurusi rumah tangga. Sebagaimana diketahui, secara tidak langsung Indonesia menganut Patriarki, dimana dalam konteks perekonomian menengah ke bawah mengkultuskan suami bekerja dan istri di rumah (dapur, ranjang dan kamar mandi). Maka, hanya tv, sinetron dan gosip satu-satunya hiburan mereka!          
Lucu memang, di satu sisi tidak ada manusia yang menyenangi konflik dalam hidupnya. Bahkan, mereka berharap hidupnya berjalan lancar-lancar saja. Tapi tidak demikian halnya dengan film, penonton menghendaki konflik dalam setiap ceritanya. Walaupun mereka tidak menginginkan hal itu terjadi di kehidupan nyata, tapi mereka ingin melihat konflik itu didalam sebuah film, dan penasaran ingin mengetahui bagaimana sang tokoh utama menghadapinya.
Maka, anekdotnya begini menurut saya, semakin banyak film, maka semakin banyak konflik yang ditawarkan. Namun, semakin banyak konflik yang ditawarkan malah bukan semakin menciptakan kesadaran bagi para penontonnya, bahwa tidak ada perjalanan hidup yang instan dan membutuhkan proses di setiap lika-likunya. Hahaha. Terlepas dari itu sekali lagi, menghadirkan konflik dalam cerita adalah cara jitu untuk mendapatkan perhatian penonton dan menghasilkan kocek dalam jumlah besar, hingga dapat membuat film-film baru lagi.    
Last but not least, salah satu ukuran film itu dikatakan menarik ialah ketika ia berhasil mengikat perhatian penontonnya, dan salah satu cara mengikat penonton tersebut ialah dengan menghadirkan konflik. 

Komentar

Postingan Populer