MENIRU DANGAL
a2.kompasiana.com |
Ada banyak hal
yang bisa dipetik sebagai pembelajaran hidup dalam film berjudul “Dangal”[1].
Film Aamir Khan tersebut menceritakan tentang ‘kegilaan’ seorang bapak untuk
menjadikan kedua putrinya sebagai atlit gulat. Bahkan tidak tanggung-tanggung,
sang bapak tersebut sampai melatih kedua putri cantiknya sekeras melatih anak
laki-laki. Bangun pagi-pagi untuk lari, dan memotong rambut mereka jika melawan
perintahnya. Tindakan gila sang bapak tersebut pun menuai cibiran dari warga desa
sekitar.
Tindakan ‘gila’
si bapak bukanlah tanpa alasan. Hal itu dikarenakan ia melihat potensi yang ada
pada diri kedua putrinya. Saat kedua putrinya membuat anak tetangga babak
belur, lantaran terus mengejeki mereka. Bagaimanapun, sang bapak yang diperankan
oleh Aamir Khan merupakan mantan pegulat, yang menginginkan darah itu mengalir
kepada anaknya. Sebuah dilema berat bagi Aamir Khan, ketika mengetahui kedua
anaknya berjenis kelamin perempuan. Namun, hal itu berlangsung surut ketika
mengetahui potensi pada diri putri-putrinya. Ia pun tidak menyianyiakan waktu
itu untuk melatih mereka. Untuk menyumbangkan emas kepada negaranya, yang
sebelumnya gagal diraih oleh Mahavir Singh Phogat.
Sampai disini
setidaknya saya memetik beberapa pesan, diantaranya: 1) Jangan pernah
menyianyiakan bakat yang dimiliki oleh sang anak. Melainkan, asah terus
kemampuan tersebut, hingga ia menjadi setajam pisau. 2) Berlatihlah sekeras
mungkin, karena filosofi menyebutnya, “Proses tidak akan pernah mengecewakan
hasil”. 3) Jangan pernah perdulikan omongan orang lain yang tidak penting.
Melainkan teruslah berjuang, pantang mundur dan biarkanlah prestasi yang
menjawab semuanya. Anggap saja mereka itu, “Anjing menggonggong kafilah
berlalu!”. “Sebelum kau menjalani pertarungan sesungguhnya, kau harus lebih
dulu mengalahkan rasa takut. Setidaknya Geeta[2] (diperankan
oleh Fatimah Shaik) telah mengalahkan rasa takutnya” (Dialog Mahavir).
Namun, untuk
menjadi pegulat yang berprestasi itu tentu tidaklah mudah didapatkan. Ada
banyak sekali perjuangan yang harus dilalui Geeta dan Babita[3] (diperankan
oleh Sanya Malhotra) untuk mewujudkan cita-cita besar ayahnya. Yaitu bangun
pada pagi buta untuk berlari, meminum susu, latihan saban hari di tempat yang
dibangun oleh ayahnya, tidak boleh makan macam-macam, bergulat dengan anak
laki-laki. Dan, yang paling sulit ialah mereka harus meyakinkan mental mereka
bahwa mereka bisa, karena bagaimanapun Geeta Phogat dan adiknya merupakan
perempuan yang sewaktu-waktu kembali kepada naluriah mereka. Untuk bersolek,
untuk berias dan untuk datang ke pesta pernikahan temannya, Sunita. Tapi di pesta pernikahan itulah, Geeta dan
adiknya memahami bahwa ayah mereka tidak bermaksud untuk menghukum mereka,
melainkan untuk menyiapkan masa depan mereka yang lebih baik.
Jadi, pemikiran
patriarki ditengah masyarakat kita, dimana wanita itu adalah sosok lemah yang
hanya bertugas di dapur, kasur dan kamar mandi harus dimusnahkan! Mereka
diciptakan Tuhan bukan hanya untuk melayani suami dan membesarkan anak-anak
saja, melainkan mereka juga berhak untuk mewujudkan cita-cita mereka.
“Setidaknya
ayahmu memikirkan masa depanmu. Jika tidak, takdir kita hanyalah sebagai
seorang gadis dilahirkan, diajarkan masak dan bersih-bersih, memaksanya
kerjakan seluruh tugas rumah tangga. Kemudian ketika dewasa ia akan dinikahkan
untuk mengurangi beban keluarga dan memberikan tangannya pada lelaki yang sama
sekali belum dikenal. Melahirkan bayi kemudian membesarkannya. Itu semua tugas
seorang gadis” (Dialog Sunita).
Ya, itulah
pesan lain yang juga saya tangkap dari film based on true story ini,
yakni: Tak peduli kamu laki-laki ataupun perempuan, kamu berhak untuk
menggeluti apa yang kamu inginkan. Namun, kamu harus serius dengan itu dan
membuktikan bahwa kamu tidak salah memilih jalan hidup. Baik itu sebagai atlit,
pegulat, maupun penyanyi. Kamu hanya perlu yakin dan fokus, serta enyahkan yang
lainnya.
Sedangkan untuk
pemerintah, film berdurasi hampir tiga jam ini berhasil menyindir mereka. Bahwa
pemerintah tidak boleh hanya ‘cuap-cuap’ saja dalam hal mendukung atlitnya
berjuang di suatu kejuaraan. Melainkan, pemerintah seharusnya membuktikan frasa
‘mendukung’ itu dalam wujud konkrit. Seperti penyediaan fasilitas, sarana dan
prasarana yang maksimal dan memadai untuk menunjang prestasi mereka. Jangan
hanya ketika menang saja baru dielu-elukan.
Padahal,
sebelumnya sang atlit berjuang sendiri dan dilirik pun tidak. Semoga hal ini
dapat menjadi cambuk tersendiri bagi kita di Indonesia melalui Kemenpora,
Dispora atau dinas maupun lembaga terkait yang bertujuan untuk mencetak
generas-generasi emas, yang mengharumkan nama bangsa di mata dunia. Bagaimana
caranya para atlit kita bisa meraih pencapaian yang tinggi? Yaitu dengan
dibarengi support yang diberikan oleh pemerintah dan bukan hanya sekedar
‘cuap-cuap’ belaka!
Kepada
atlit-atlit kita dari cabang olahraga apapun, juga janganlah cepat puas ‘sombong’
dengan apa yang kau raih saat ini, sebab diatas langit masih ada langit. Oleh
karena itu, dalam hal berprestasi janganlah pernah melihat kebawah kita,
melainkan teruslah melihat ke atas kita. Sehingga kita dapat termotivasi untuk
lebih baik lagi. Jangan pernah terlena oleh keadaaan dan sorotan media, karena sesungguhnya
pertandingan belum jua usai!
“Bertandinglah
dengan gaya yang orang lain mengingatmu, jika kau hanya mendapat perak, cepat
atau lambat kau akan dilupakan, jika kau meraih emas, kau akan jadi teladan”
(Dialog Mahavir kepada Geeta). Hemat kata jadilah diri sendiri yang out of
the box (diluar pada umumnya).
Sebagaimana
kata storyofjho dalam blognya, “Film ini sangat mengesankan buat saya.
Aamir Khan telah berhasil membuat wajah baru terhadap film India. Menonton 2
jam 49 menit terasa tidak sia-sia dan begitu menyenangkan. Good Job
Aamir Khan”. Ya, Film Dangal berhasil mencampur adukkan perasaan penonton, dan
berhasil menggabungkan pesan emansipasi wanita serta rasa nasionalisme
kebangsaan melalui olahraga gulat. Semoga kita Bangsa Indonesia juga dapat
mengambil dan meniru pelajaran berharga darinya. Baik di Sea Games ini
maupun Asean Games yang akan datang. Amin ya Rabbal ‘alamin.
[1]
Sebagaimana dikutip dari storyfjho.wordpress.com, Mahavir Shingh Phogat
adalah seorang mantan atlet gulat India semasa mudanya pernah menjadi juara
tingkat nasional. Dia akhirnya mundur dari dunia gulat karena gulat kurang
menjanjikan secara ekonomi. Mimpinya untuk bisa memberikan medali emas bagi
negaranya akhirnya kandas. Dia berharap suatu saat anak laki-lakinya akan
meneruskan mimpinya, tapi ternyata semua anaknya adalah perempuan. Mengetahui 2
anak perempuannya –Geeta & Babita berpotensi menjadi seorang pegulat,
Mahavir Shingh melatih mereka berdua untuk bergulat dan mendorong mereka untuk
mengejar medali hingga tingkat internasional.
Sebagaimana dikutip dari www.zetizen.com, Film Dangal juga
termasuk kedalam film Bollywood tersukses, yang berhasil membanderol keuntungan
sebesar 58 juta USD dalam 17 hari penayangannya. Perolehan rating di IMDB mencapai
nilai superior 9.2. Sementara Google User memberikan nilai 96%.
[2] Geeta
Phogat, memenangkan medali emas pertama untuk India dari Commonwealth Games
(Olahraga Persemakmuran) tahun 2010, sekaligus menjadi pegulat wanita India
pertama yang lolos kualifikasi Olimpiade Musim Panas 2016.
[3] Babita
Kumari juga telah mengoleksi medali emas dari kategori gulat di Commonwealth
Games pada tahun yang berbeda.
saya baru menonton film ini beberapa hari yang lalu, dan saya sudah menontonnya sebanyak 18 kali, saya suka alur ceritanya, ini adalah film ke tiga india yang saya sukai selain 3 idiot dan saala khados
BalasHapuswah terima kasih mas. saya juga suka lo. :)
Hapus