CARA MUDAH PAHAM CULTURE SHOCK

http://pad2.whstatic.com
Sudah sedari lahir manusia ditanamkan nilai-nilai budaya oleh orangtuanya, yang kemudian disebut enkulturasi (nilai dalam diri). Hal inilah yang dibawa anak tersebut ke lingkungan barunya. Sah-sah saja komunikasi antarbudaya terjalin efektif, jika orang-orang di lingkungan barunya itu memiliki budaya homogen. Lantas, bagaimana jika dia bertemu dengan orang-orang yang seratus persen berbeda budaya dengannya. Pasti dia bakal mengalami culture shock[1] (gegar budaya).
Lalau apa yang akan terjadi bila seseorang yang lahir dan terenkulturasi dalam suatu budaya tertentu, memasuki budaya lain? Segala bentuk lambang-lambang verbal dan non verbal, dan aturan-aturan yang telah dipelajari individu dalam lingkungan budayanya memungkinkan lenyap, dan tidak berfungsi lagi dalam lingkungan budaya baru yang ia masuki (Lubis, 2012: 175).
Ibarat kata pepatah, “Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”. Jika kita tidak mengikuti atau sekurang-kurangnya menghormati perbedaan budaya yang ada, maka kita akan didepak ataupun teralienasi (terasingkan). Individu atau suatu kelompok yang mengalami gegar budaya itu pun mulai mengalami proses enkulturasi yang kedua, yakni akulturasi. Akulturasi sendiri merupakan suatu proses menyesuaikan diri (adaptasi) dengan budaya baru. Dimana sesuatu nilai masuk kedalam diri individu, tanpa meninggalkan identitas budaya yang lama (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 139). Kalau istilah saya, menghargai perbedaan yang ada dengan tetap menjadi diri sendiri. Tanpa harus memaksakan diri untuk menjadi orang lain.
Seperti saya misalnya, yang lahir dan tinggal lama di Medan. Ketika saya masuk SD, SMP, dan SMA saya dan teman-teman sekolah memiliki kesamaan dalam hal etnis, kepercayaan kepada agama Islam, nilai-nilai syari’at Islam, dan kerap menggunakan bahasa Aceh dalam bergaul sehari-hari, serta memiliki dialek yang sama. Tapi, hal itu tidak terjadi ketika saya kuliah, baik di S1 maupun di S2 yang kini saya jalani.
Saya benar-benar merasa asing, dan menganggap diri alien. Hahaha. Mulai dari suku yang berbeda seperti Batak, Jawa, Melayu, Minang dan sebagainya. Bahkan, saya pikir dulunya suku Batak itu hanya ada satu ya suku Batak. Padahal ada banyak sekali seperti Batak Karo, Batak Toba, Batak Mandailing, Batak Simalungun, Batak Pak Pak dan sebagainya. Dulu saya malah jadi bingung bagaimana cara membedakannya. @#$%^&*. Pusing. Kini, setelah saya melalui serangkaian proses berinteraksi dengan mereka barulah saya tahu, bahwa suku Batak itu ditentukan oleh marga yang ada dibelakang nama.
Salah satu kecemasan saya lagi adalah saat harus berkomunikasi. Misalnya, teman saya yang notabene orang Medan bertanya pada saya, “Eh, kau ada kuliah semalam?”. Saya pribadi pun langsung shock, saya pikir ada kuliah tadi malam. Sebab kata semalam di Aceh artinya tadi malam. Ataupun saat teman saya yang orang Medan bertanya lagi, “Mau kuantar kau, Khai?”. Aku jawab, “Boleh”. Lantas kutanya lagi, “Naik honda?”. Jawabnya, “Nggak, naik Yamaha. Hahaha!”. Dia pun berkelakar, “Orang Aceh-orang Aceh, semua kereta dibilangnya honda!”. Ya, orang Aceh menyebut sepeda motor itu honda, karena distributor sepeda motor pertama di Aceh adalah Capella Honda. Orang Aceh sama seperti kebanyakan orang Jawa yang menganggap bahwa kereta itu adalah kereta api. Hahaha. Akupun tergelak.
Salah satu kecemasan yang terbesar adalah mengenai bagaimana harus berkomunikasi. Sangat wajar apabila seseorang yang masuk dalam lingkungan budaya baru mengalami kesulitan. Bahkan, tekanan mental karena telah terbiasa dengan hal-hal yang ada di sekelilingnya. Ketika kita masuk dan mengalami kontak dengan budaya lain, serta merasakan ketidaknyamanan psikis dan fisik karena kontak tersebut. Maka keadaan ini disebut gegar budaya atau culture shock.

Culture Shock (Gegar Budaya)
Namun, gegar budaya bukanlah suatu hal yang perlu ditakuti. Ia adalah niscaya dalam masyarakat kita yang majemuk. Sekaligus menjadi cara bagi kita untuk saling mengenal satu sama lain dengan orang-orang yang berbeda budaya. Jangan seperti katak dalam tempurung. Keluar dan lihatlah dunia! Menurut saya, imigran Cina pada tahun 17-an yang datang ke Aceh dan beranak-pinak disana merupakan contoh imigran yang sukses dalam hal menyesuaikan dengan budaya pribumi Aceh. Sampai kini, etnis Tionghoa sebagai keturunan dan anak cucunya tetap memegang prinsip akulturasi dengan teguh. Dimana mereka tetap menghormati budaya dan Syariat Islam yang berlaku di sana. Seperti menutup toko ketika shalat jum’at berlangsung, dan menggunakan selendang penutup kepala ketika keluar atau berpergian. Mereka juga sangat ramah dalam melayani pembeli yang orang Aceh. Bahkan, mereka telah cukup lancar menggunakan bahasa lokal dengan paduan dialek khas mereka. Hahaha. :)
Akulturasi merupakan suatu proses dimana imigran menyesuaikan diri dengan dan memperoleh budaya pribumi. Proses komunikasi mendasari proses akulturasi seorang imigran. Akulturasi terjadi melalui identifikasi dan internalisasi lambang-lambang masyarakat pribumi yang signifikan (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 139). 
Hal di atas baru dapat terjadi bila berlangsungnya tahap komunikasi dan interaksi yang berlangsung secara terus-menerus (kontinyu/berkesinambungan). Komunikasi berperan penting dalam proses komunikasi. Variabel-variabel komunikasi dalam komunikasi, antara lain: komunikasi persona; yang meliputi karakteristik personal, motivasi individu, pengetahuan individu tentang budaya baru, pengalaman sebelumnya; komunikasi sosial yang meliputi komunikasi antarpersonal (verbal dan nonverbal); serta lingkungan komunikasi (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 140).
Disebutkan bahwa orang yang mengalami culture shock akan stres secara psikologis. Tapi saya tidak merasakan itu, melainkan hanya kegamangan yang sebentar saja. Lagipun, perkembangan teknologi sekarang ini membuat kita memahami perbedaan budaya pada beberapa daerah hingga negara. Seperti lewat pemberitaan, tayangan jalan-jalan dan sebagainya walaupun hanya selintas saja. Saya pikir informasi ini setidaknya dapat menjadi tolok ukur kita dalam melihat budaya luar. Atau mungkin dampak stres tersebut berlaku bagi mereka yang memutuskan tinggal secara permanen, dan bukan temporer di suatu negara ataupun di daerah yang berbeda.
Kemanapun kita melangkah dan dimanapun kaki kita berpijak, maka komunikasi antarbudaya tak dapat terelakkan. Untuk itu, menurut Lubis (2012: 177) usaha untuk menjalin komunikasi antarbudaya dalam praktiknya bukanlah persoalan yang sederhana. Kita harus menyadari pesan dan menyandi balik pesan dengan cara tertentu, sehingga pesan-pesan tersebut akan dikenali, diterima dan direspon oleh individu-individu yang berinteraksi dengan kita. Seperti mahasiswa/i asal Malaysia di USU yang hanya bergaul dengan sesamanya. Begitupula halnya dengan mahasiswa asal India atau Papua. Hal itu terjadi karena mereka masih mengalami culture shock, dan belum terbiasa dengan segala perbedaan budaya yang ada di Medan.
Reaksi terhadap culture shock bervariasi antara individu yang satu dengan individu lainnya. Dan, dapat muncul pada waktu yang berbeda-beda. Menurut Samovar dkk (2007: 335), reaksi-reaksi yang mungkin terjadi, antara lain:

1.      Antagonis/ Memusuhi lingkungan baru
(Saya pernah mengalami)
2.      Rasa kehilangan arah
(Saya pernah mengalami)
3.      Rasa penolakan
(Saya pernah mengalami)
4.      Gangguan lambung dan sakit kepala
(Saya tidak pernah mengalami)
5.      Homesick/ rindu pada rumah atau lingkungan lama
(Saya sering mengalami)
6.      Rindu pada teman dan keluarga
(Saya sering mengalami)
7.      Merasa kehilangan status dan pengaruh
(Saya pernah mengalami)
8.      Menarik diri
(Saya pernah mengalami)
9.      Menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka
(Saya pernah mengalami).      

Dan, diantara reaksi yang paling saya alami sekarang ini adalah saya merasa kehilangan status dan pengaruh di S2 saya. Bukan hanya karena perbedaan budaya saja seperti yang saya alami di S1. Tapi lebihdari itu, di Magister Ilmu Komunikasi USU Rreguler 2017 (Mikom) ini saya berjumpa dengan orang-orang baru. Dimana mereka telah memiliki jam terbang yang tinggi dan pengalaman kerja ketimbang saya yang masih freshgraduate. Saya takut sekali gagal bersaing dengan mereka!
Adapun empat tingkatan culture shock (U Curve) sebagai reaksi terhadap gegar budaya adalah sebagai berikut:
1.      Fase Optimistik (Optimistic Phase)
Fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euphoria sebagai antisipasi individu pra memasuki budaya baru.
2.      Fase Masalah Kultural (Cultural Problems)
Fase kedua, dimana masalah dengan lingkungan baru mulai berkembang. Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Ini adalah periode krisis dalam culture shock.
3.      Fase Kesembuhan (Recovery Phase)
Fase ketiga, dimana orang mulai mengerti mengenai budaya barunya.
4.      Fase Penyesuaian (Adjustment Phase)
Fase terakhir, dimana orang telah mengerti elemen kunci dari budaya barunya. Seperti nilai-nilai khusus, keyakinan dan pola komunikasi (Samovar dkk, 2007: 336).  
Ya, semoga saya dapat melaju ke fase recovery, agar saya semakin bisa menyesuaikan diri dengan apa yang saya hadapi di Mikom. Mungkin dengan memperbanyak referensi bacaan, karena memang saya yang nir-pengalaman. Jadi, Field of Experience yang tidak saya miliki bakal saya imbangi dengan Field of References saya.
###
Landasan daya tarik manusia, yaitu:
1.      Kedekatan Geografis (Proximity)
2.      Kemiripan (Similarity)
3.      Situasi (Situation)
a.       Rasa suka yang timbal balik
b.      Perubahan dalam penghargaan diri (self-esteem)
c.       Kecemasan
d.      Isolasi
e.       Kebutuhan-kebutuhan yang saling melengkapi.  
Maka daripada itu, dalam suatu hubungan percintaan kedekatan jarat amat sangat menentukan kualitas hubungan. Sekalipun jarak fisik memisahkan, namun setidaknya secara batin mereka harus saling terikat satu sama lain. Saling dekat dan saling merindui. Ibarat kata pepatah, “Jauh di mata, namun dekat di hati”. Asek!
Cinta juga terjadi karena adanya kesamaan. Walaupun beberapa pasangan mengaku bahwa mereka memiliki karakter yang berbeda, namun cinta lah yang menyatukan mereka. Karena kesamaan untuk saling mencintai dan melengkapi lah mereka jadi terjalin satu sama lain. Coming together with harmony.
###
Adapun karakteristik hubungan adalah:
1.      Konteks
2.      Penegasan (konfirmasi) dan diskonfirmasi
3.      Sikap mendukung dan sikap bertahan
4.      Waktu
5.      Pemilihan bersama akan informasi
6.      Kepercayaan
7.      Afeksi dan kontrol

Siklus suatu hubungan:
1.      Menuju kebersamaan
a.       Initiating (Tahap Memulai)
b.      Experimenting (Tahap Penjajakan)
c.       Intensifying (Tahap Penggiatan)
d.      Integratif (Tahap Pengintegrasian)
2.      Menuju perpisahan
a.       Differintiating (Tahap Pembedaan)
b.      Circumscribing (Tahap Pembatasan)
c.       Stagnating (Tahap Stagnasi)
d.      Avoiding (Tahap Penghindaran)
e.       Terminating (Tahap Pemutusan) –Knapp dan Vangelisti (dalam Deddy Mulyana, 2001).
Pemelihara hubungan:
a.       Positivisme
b.      Keterbukaan
c.       Jaminan
d.      Jaringan
e.       Tugas 

Referensi:
Lubis, Lusiana Andriani Lubis. (2012). Pemahaman Praktis Komunikasi AntarBudaya.     Medan: USU Press.
Mulyana, Deddy dan Jalauddin Rakhmat. (2001). (Ed). Human Communication: Prinsip  Prinsip Dasar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.    
                                                                        . (2005). Komunikasi Antarbudaya: Panduan            Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: PT. Remaja        Rosdakarya.    
Samovar, L.A. et al. (2007). Communication between Cultures 6th Edition. Belmont          California: Thomson and Wadsworth Publising Company.


[1] Culture Shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap, yang muncul dari kehilangan semua lambang dan simbol yang familiar dalam hubungan sosial. Tanda-tanda atau petunjuk itu meliputi seribu satu cara yang kita lakukan dalam mengendalikan diri kita sendiri dalam menghadapi situasi sehari-hari (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 174-335).  

Komentar

Postingan Populer