MENDENGARKAN SEBAGAI KEAHLIAN KOMUNIKASI ANTARPRIBADI
pixabay.com |
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
“Saya tidak berkeberatan kalau orang memandang arlojinya pada saat
saya berbicara, tetapi saya tegas berkeberatan apabila mereka mulai
menggoncang-goncangkan arlojinya untuk memastikan apakah arlojinya masih jalan”.
–Lord Birkett (dalam Stuart, 1992: 1).
Mendengarkan
adalah langkah pertama menuju ke arah komunikasi interpersonal. Sekaligus
sebagai sebuah keahlian dalam studi komunikasi antarpribadi. Mendengarkan jelas
merupakan langkah pertama menuju terciptanya pembicaraan, baik pada diri
komunikator maupun komunikannya. Untuk menciptakan komunikasi antarpribadi yang
efektif, pendengar harus memahami bagaimana cara ‘mendengarkan’ yang baik dan
benar. Jika tidak, mungkin pesan yang sampai menjadi tidak jelas. Sekalipun
pesan yang disampaikan oleh komunikator tersebut jelas dan bertenaga. Tetapi
apakah pesan itu diterima? Tersampaikan atau tidak tersampaikan pesan tersebut?
Dan, jika pendengar tidak mendengarkan, apa pula gunanya komunikasi
antarpribadi? Semua juga turut bergantung pada diri komunikannya dalam konteks
‘mendengarkan’.
Maka daripada
itu, keahlian bukan sekedar melempar lembing, tolak peluru dan memanah, akan
tetapi mendengarkan juga merupakan sebuah keahlian dalam komunikasi
antarpribadi. Bukan pula untuk sekedar dipahami, tetapi juga diterapkan dalam
komunikasi antarpersonal. Realitas menunjukkan tidak banyak lawan bicara yang
cukup berkonsentrasi ketika mereka sedang mendengarkan. Beberapa dalih
menunjukkan bahwa mereka merasa terganggu, terutama oleh pikirannya sendiri
kala proses komunikasi berlangsung. Sehingga pada saat percakapan berlangsung,
komunikan hanya mendengarkan setengah dari keseluruhan pesan yang disampaikan
komunikator.
Pikiran manusia memproses kata berkecepatan kira-kira 500 setiap
menit. Tapi kita mengucapkan kira-kira 150 kata setiap menit, jadi selisih
antar keduanya adalah 350 kata. Ketika para pendengar melamun, kemungkinannya
mereka berada di rute 350 (Stuart, 1992: 2).
Lagipun,
kebanyakan pendengar tidaklah seperti spons kering yang siap menyerap segala
sesuatunya. Pada saat yang bersamaan pendengar terus-menerus menaksir,
menyelami, menolak atau menerima apa yang didengar. Kita cenderung mengadu isi
pembicaran dengan prasangka dan pengalaman sendiri untuk menilai apa yang dikatakan oleh orang lain tersebut benar
atau tidak. Bahkan ketika komunikasi interpersonal berlangsung,
kita cenderung menilai pembicaranya sendiri, bukan lagi kontennya. Yang
menyebabkan pendengar kadang-kadang tidak mampu lagi berkonsentrasi, lantaran
terganggu oleh pikirannya sendiri. Bisa jadi karena ada kaitannya dengan
tingkah laku dan penampilan pembicara.
Menurut Effendi
(2004: 8) komunikasi antarpersonal (interpersonal communication) adalah
komunikasi antara komunikator dengan seorang komunikan. Komunikasi jenis ini
dianggap paling efektif dalam hal upaya mengubah sikap, pendapat, atau perilaku
seseorang, karena sifatnya dialogis, berupa percakapan. Arus balik
bersifat langsung. Komunikator mengetahui tanggapan komunikan ketika itu juga,
pada saat komunikasi dilancarkan. Komunikator mengetahui pasti apakah
komunikasinya itu positif atau negatif, berhasil atau tidak. Jika tidak, ia
dapat meyakinkan komunikan ketika itu juga karena ia dapat memberi kesempatan
kepada komunikan untuk bertanya seluas-luasnya.
Pentingnya
situasi komunikasi antarpersonal seperti itu bagi komunikator ialah karena ia
dapat mengetahui diri komunikan selengkap-lengkapnya. Ia dapat mengetahui
namanya, pekerjaannya, pendidikannya, agamanya, pengalamannya, cita-citanya,
dan sebagainya, yang penting artinya untuk mengubah sikap, pendapat, atau
perilakunya. Dengan demikian komunikator dapat mengarahkannya ke suatu tujuan
sebagaimana ia inginkan. Dalam kajian komunikasi intrapersonal pun, mendengarkan
menjadi suatu elemen yang penting dalam kehidupan sehari-hari.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pembahasan
Mendengarkan dapat diartikan sebagai proses
aktif menerima rangsangan (stimulus), telinga (aural). Mendengarkan (listening) menyangkut penerimaan
rangsangan dan karenanya berbeda dengan mendengar (hearing) sebagai proses fisiologis. Mendengarkan adalah salah satu
skill komunikasi yang terpenting (De Vito, 2011).
Ada istilah
yang mengatakan, bahwa kebanyakan dari kita sekarang ini ingin didengarkan,
tetapi enggan untuk mendengarkan. Padahal, mendengarkan merupakan salah satu
kunci efektifnya komunikasi yang berlangsung secara personal. Jika tidak, maka
proses pesan yang berlangsung tidak akan tersampaikan secara maksimal kepada komunikannya.
Akhirnya, komunikasi menjadi mandek atau ngawur tanpa suatu pokok
pembicaraan yang jelas.
Namun, dalam
pembahasan ini bukan mendengarkan hati nurani yang akan dibahas, melainkan yang
akan dibahas oleh kelompok ini ialah mendengarkan sebagai keahlian komunikasi
antarpribadi dalam konteks interpersonal, yang juga ikut menjadi ukuran
kesuksesan komunikasi personal (antarmanusia) yang berlangsung.
2.1.1 Mendengarkan itu Sukar
Sangking
sukarnya mendengarkan lawan bicara, sehingga terbesitlah dalam hati kita,
apakah ada manfaatnya aku berbicara tatap muka, jika lawan bicaraku saja tak
mendengarkan aku. Menurut Stuart (1992: 2-3) berikut beberapa sebab mengapa
‘seseorang’ sulit mendengarkan:
1.
Sudah
mengetahui lebih dulu apa yang akan dikatakan oleh pembicara, sehingga mereka
mengalihkan pembicaraan.
Contoh: Alah-alah itunya yang mau dibahas, uda taunya aku!
2.
Sedang
merencanakan apa yang harus mereka katakan sewaktu gilirannya tiba.
Contoh: Kurang setuju aku dengan pendapat si kawan ini, ah nanti
mo kutanyak!
3.
Mungkin
lelah atau cemas, mungkin terlampau sulit untuk berkonsentrasi.
Contoh: Uda tau lembur sampe malam, diajaknya pula dengerin dia
curhat. Heleh!
4.
Tidak
dapat mendengar atau merasa jemu dengan suara pembicara yang bernada aneh atau
datar.
Contoh: Cempreng kali suaranya, hehehe (dengan senyum yang
ditahan).
5.
Pokok
pembicaraan yang diketengahkan terlalu rumit dan sukar untuk diikuti.
Contoh: Aih mak jang,
dibahasnya lah politik. Dasar tampol bego!
6.
Pokok
pembicaraannya yang terlalu sederhana dan mendasar.
Contoh: Is ga level kali lah pembahasan anak ini sama aku!
7.
Pembicara
kurang memiliki keyakinan yang teguh.
Contoh: Dia sendiri ga yakin dengan apa yang dia omongin. Hahaha
=D,
Dia gelisah nampaknya!
8.
Kursinya
keras atau kurang nyaman; udaranya terlalu panas atau terlampau dingin, dan
bisingnya lalu lintas yang terasa mengganggu.
Contoh:
Bising kali pun! (Sembari
melihat keluar jendela).
Padahal,
komunikasi antarpribadi meniscayakan adanya aksi dari komunikator menimbulkan
reaksi dari komunikan. Salah satu reaksi tersebut ialah mendengar apa yang
menjadi pembicaraannya. Baik mendengarkan secara antusias (kesungguhan hati),
bergairah, serta penuh vitalitas. Selain itu, mendengarkan sebagai keahlian
komunikasi antarpribadi bukan hanya dibebankan pada komunikan, tapi komunikator
juga harus memahaminya. Komunikator dapat menyesuaikan dirinya untuk membuat
perubahan, dan mengubah pesannya untuk lawan bicaranya yang berbeda-beda.
Gagasan yang rumit dapat diperjelas dengan menggunakan kata dan ungkapan,
mengulang sesuatu hal yang dirasa komunikan kurang, menggunakan bahasa yang
sederhana dan penyajian yang buruk. Ingat peribahasa padi: “Semakin berisi
semakin merunduk”. Bukan semakin meninggi! (bahasanya), serta menggunakan
isyarat nonverbal sebagai alat bantu percakapan.
Untuk itu,
komunikator perlu memperlambat/mempercepat/mengulang dan melibatkan pendengar. Komunikator
juga perlu memakai bahasa isyarat (ekspresi wajah, kontak mata, dan perangai),
serta suara sebagai penegasan, kegairahan dan emosi. Bersikap lebih
menyesuaikan diri dan relevan dengan mengubah dan membuat kalimat yang
berbeda-beda agar lebih sesuai dengan pendengar. Terakhir, komunikator juga
perlu menguasai perhatian pendengar yang mendengar dengan memahami
ketertarikannya.
Telah diperkirakan oleh peneliti komunikasi, Profesor Albert
Mehrabian, bahwa kata-kata hanya menghasilkan 7 persen pengaruh dari pembicara
atas hadirin. Sejumlah 55 persen lainnya berasal dari apa yang tampak, yaitu
bagaimana penampilannya, ekspresi muka, gerak isyarat, bahasa isyarat dan sikap
badan dst., sedangkan 38 persen dari dampaknya berasal dari suara; apakah ia
dapat dipercaya; apakah suaranya beraneka ragam dan menarik untuk didengar? (Stuart,
1992: 4).
Secara tidak
langsung kita telah membuat pertimbangan dan penilaian berdasarkan suaranya –
dia sepertinya ramah atau pemarah, atau bahkan tak mengesankan – agresif, jujur
atau gembira. Ya, kita sebagai ‘pendengar yang mendengar’ seringkali menilai komunikator
secara tidak sadar. Seringkali pendapat pendengar sudah terbentuk bahkan
sebelum pembicara mengucapkan sepatah kata pun. Parahnya, penilaian itu didasarkan
sepenuhnya atas dampak visual semata.
2.1.2 Mengapa Mendengarkan Sulit?
Latar belakang
budaya yang berbeda akan menimbulkan makna yang berbeda pula antara pembicara
dan pendengar. Karena kebudayaan menyangkut kepercayaan dan keyakinan seseorang
akan sesuatu hal, yang tentu berbeda dengan budaya lainnya. Selain itu, faktor
jenis kelamin juga turut mempengaruhi proses mendengarkan. Laki-laki dan
perempuan menunjukkan cara mendengarkan yang berbeda. Perempuan ketika
mendengarkan biasanya memberikan respon langsung dengan berkata “ya” atau “hu-uh”,
mengangguk setuju atau tersenyum. Sedangkan laki-laki lebih sering mendengarkan
dengan diam. Perempuan berusaha menunjukkan dirinya sebagai seorang pendengar
yang baik ketimbang laki-laki.
Berikut
beberapa faktor mengapa mendengarkan itu sulit, yaitu:
1.
Gangguan dari
dalam dan dari luar.
2.
Pesan diterima
melalui saringan pengalaman dan prasangka.
3. Para pendengar secara selektif mendengarkan apa yang mereka anggap
penting, atau apa yang menarik perhatiannya.
4. Pembicara yang kurang cakap, yaitu suaranya tidak menarik,
perangainya menjengkelkan, dan seterusnya.
5. Pidato (pembicaraan) yang kurang bermutu, yaitu cara berpikir yang
kacau, tidak ada struktur, kosakata tidak serasi, tingkatan pembicaraan yang
tidak tepat untuk pendengar (terlalu sederhana atau terlalu sulit)
(Stuart,1992: 5).
Menurut
Hardjana (2003: 99-101), dalam percakapan dengan orang lain, pada umumnya kita
sebaiknya tidak sekedar mendengarkan sebatas isi. Kita juga tidak mendengarkan
secara kritis. Tetapi lebih dari itu, kita berusaha untuk mendengarkan secara
empati[1]
dan aktif[2].
Tujuannya adalah agar kita dapat mendengarkan secara efektif dan akhirnya bisa
mencapai tujuan dan hasil yang kita inginkan. Berikut beberapa hal yang
sebaiknya kita lakukan agar bisa mendengarkan secara efektif, yakni:
1.
Bermotivasi
(being motivated). Bermotivasi berarti mempunyai dorongan dari dalam
untuk mau mendengarkan dan mau berusaha mendengarkan dengan baik.
2.
Mengadakan
kontak mata (making eye contact). Mengadakan kontak mata membantu kita
untuk memusatkan perhatian, mengurangi kemungkinan terganggu oleh hal-hal di
sekitar, dan mendorong pembicara tetap berminat untuk berbicara. Jika tidak mengadakan
kontak mata, maka orang yang berbicara dengan kita akan menafsirkan bahwa kita
tidak tertarik untuk berbicara dengannya, dan kemudian akan mengambil jarak
dengan kita.
3.
Menunjukkan
minat (showing interest). Kita menunjukkan bahwa kita tertarik pada apa
yang dikatakan orang, perasaan-perasaan yang menyertai, dan kebutuhan-kebutuhan
yang terkandung dalam pembicaraan, yang diungkapkan dengan bahasa nonverbal seperti
raut wajah, gerak mata, gerak-gerik dan kecondongan tubuh, serta jarak duduk.
4.
Menghindari
tindakan-tindakan yang mengganggu (distracting actions). Bentuk tindakan
yang mengganggu, antara lain, tiap kali melihat jam, memain-mainkan benda
seperti pensil dan kertas. Tindakan-tindakan seperti itu membuat pembicara
merasa bahwa kita bosan atau tidak tertarik pada isi pembicaraannya, dan kurang
menaruh perhatian pada apa yang disampaikannya.
5.
Tidak
memotong pembicaraan (interrupting). Memotong pembicaraan adalah kita
mengatakan sesuatu sebelum pembicara menyelesaikan pembicaraannya.
6.
Bersikap
wajar (being natural). bersikap wajar berarti tidak berlebihan dalam
usaha mau dan berminat untuk mendengar dengan melebih-lebihkan bahasa tubuh.
Bersikap berlebihan dapat mengurangi rasa percaya orang yang berbicara terhadap
ketulusan kita untuk mendengarkan.
2.1.3 Proses Mendengarkan
Mendengarkan
merupakan aktivitas komunikasi yang sangat penting, karena sangat mempengaruhi
berlangsungnya komunikasi. Untuk mengukur pentingnya mendengarkan terlihat dari
tujuan mendengarkan dan manfaat yang dapat diproleh dari mendengarkan.
Mendengarkan yang efektif adalah yang menerima pesan secara utuh, dan kemudian
memberikan feedback sesuai dengan pesan yang disampaikan. Untuk menjadi
seorang pendengar yang baik, perlu mengetahui tahapan-tahapan mendengarkan
menurut Goss sebagai berikut.
1.
Receiving (Menerima)
Mendengarkan dimulai dengan menerima pesan verbal dan nonverbal,
yang terdiri dari kata serta gerak tubuh, ekspresi wajah, dan variasi dalam
tingkat volume suara (paralinguistik).
Dalam menerima cobalah untuk:
a.
Memfokuskan
perhatian Anda pada pesan verbal dan nonverbal pembicara, atas apa yang
dikatakan dan apa yang tidak dikatakannya.
b.
Menghindari
gangguan lingkungan.
c.
Memfokuskan
perhatian Anda pada pembicara, bukan pada apa yang akan Anda katakan
selanjutnya.
d.
Mempertahankan
peran Anda sebagai pendengar, dan hindari tindakan yang mengganggu.
2.
Understanding
(Memahami)
Memahami adalah tahapan dimana Anda mempelajari maksud pembicara,
baik dari isi maupun emosinya.
Dalam memahami cobalah untuk:
a.
Menghubungkan
informasi baru dari pembicara dengan apa yang sudah Anda ketahui.
b.
Melihat
pesan pembicara dari sudut pandang pembicara. Hindari menilai pesan pembicara
sampai Anda benar-benar memahaminya.
c.
Mengajukan
pertanyaan untuk klarifikasi.
d.
Mengulangi
ide-ide pembicara dengan kata-kata Anda sendiri.
3.
Remembering
(Mengingat)
Dalam mendengarkan diperlukan adanya ingatan, untuk mengingat pesan
yang telah disampaikan. Ingatan berguna dalam melakukan komunikasi agar yang
disampaikan sesuai, tidak keliru, maupun rancu. Ingatan misalnya untuk
mengingat nomor telepon, alamat rumah, nama, janji temu, atau arah.
Dalam mengingat cobalah untuk:
a.
Mengidentifikasikan
ide-ide pokok dari pesan pembicara maupun garis besarnya.
b.
Merangkum
pesan dalam bentuk yang mudah dimengerti. Namun, jangan sampai merubah pesan
penting si pembicara.
4.
Evaluating (Evaluasi)
Evaluasi terdiri dari pengambilan kesimpulan. Kita sering kali
mengevaluasi niat atau motif pembicara, secara sadar maupun tidak sadar. Baik
dalam bentuk kritik atau analisis. Evaluasi merupakan upaya untuk menyamakan
pesan dengan realita dan fakta yang terjadi.
Dalam mengevaluasi cobalah untuk:
a.
Menentang
evaluasi sampai Anda sepenuhnya paham sudut pandang pembicara.
b.
Menganggap
pembicara tersebut sebagai seseorang yang baik (husnudzon –red), yang
pesannya memberikan manfaat kepada pendengar.
c.
Membedakan
mana fakta dan mana opini yang disampaikan oleh si pembicara.
d.
Mengidentifikasi
sikap pembicara yang condong untuk memihak pada salah satu hal (unfair).
5.
Responding (Menanggapi)
Dua fase yang terjadi dalam menanggapi:
a.
Tanggapan
dibuat saat pembicara sedang berbicara
-
Sebagai
bukti Anda mendengarkan pembicara
-
Adanya
back chanelling cues (seperti hmm, ya, uh, he? dan lain-lain)
b.
Tanggapan
dibuat seusai pembicara berbicara
-
Sebagai
bentuk empati
-
Untuk
klarifikasi lebih lanjut
Dalam menanggapi
cobalah untuk:
a.
Mendukung
apa yang disampaikan pembicara dengan menggunakan back channeling cues.
b.
Mengekspresikan
dukungan tersebut pada tanggapan Anda.
c.
Jujur
d.
Menyampaikan
tanggapan pribadi
e.
Tidak
sama
Berbanding sama
dengan pendapat Devito (2013), yang menyatakan proses mendengarkan adalah
sebagai berikut:
a.
Penerimaan
Mendengarkan (listening) dimulai
dari proses mendengar (hearing), dimana pendengar menerima pesan yang dikirim oleh pembicara. Mendengar (hearing) adalah tahap pertama dari mendengarkan (listening). Setelah tahap penerimaan, Anda tidak hanya mengingat apa yang dikatakan (secara verbal dan nonverbal)
tetapi juga apa yang diabaikan.
b.
Pemahaman
Pemahaman adalah tahap dimana Anda mempelajari apa yang dikatakan oleh pembicara. Tahap dimana Anda memahami pemikiran dan emosi yang
diekspresikan oleh si pembicara. Pemahaman tanpa tahap selanjutnya tidak
akan menghasilkan hasil yang seimbang.
c.
Mengingat
Mendengarkan yang efektif sangat bergantung pada proses mengingat Anda. Dalam grup kecil atau public speaking, misalnya, Anda dapat mengingat dengan cara mencatat pesan-pesan yang disampaikan.
d. Evaluasi
Evaluasi terdiri dari menilai pesan dengan
berbagai cara. Proses evaluasi sering berjalan tanpa disadari (dibawah alam sadar –red). Dalam situasi lainnya, evaluasi merujuk
kepada analisis kritikal.
Menanggapi terdiri dari dua tahapan, yakni menanggapi langsung ketika pembicara sedang berbicara (immediate feedback), dan menanggapi setelah pembicara berhenti berbicara (delayed feedback). Ketika pembicara sedang berbicara dan Anda menganggukkan kepala atau tersenyum. Tindakan
ini disebut juga jenis menanggapi secara langsung (immediate feedback).
Sedangkan, ketika Anda berkomentar di jejaring sosial, tindakan Anda ini disebut
jenis menanggapi secara tidak langsung (delayed feedback).
2.1.4 Mendengarkan Efektif
Anda mendengarkan untuk berbagai alasan dan
tujuan yang berbeda, prinsip-prinsip yang ada terapkan dalam mendengarkan
secara efektif haruslah berbeda dari satu situasi ke situasi yang lain. Berikut
ini adalah dimensi untuk mendengarkan secara efektif menurut De Vito (2011):
a.
Mendengarkan secara empatik dan objektif
Menurut Rodgers dan Farson (dalam Devito, 2011), jika Anda ingin memahami apa yang dimaksud dan dirasakan
seseorang, maka Anda perlu mendengarkannya secara empati. Berempati kepada orang lain
artinya ikut merasakan apa yang dirasakan mereka, melihat dunia seperti yang
mereka lihat. Dengan berempati, Anda bisa memahami maksud orang lain
sepenuhnya.
b.
Mendengarkan tanpa menilai dan mendengarkan
secara kritis
Mendengarkan secara efektif melibatkan
tanggapan baik yang bersifat tidak menilai (non-judgemental) dan tidak kritis. Kita perlu mendengarkan
tanpa menilai, dengan pikiran terbuka dan berusaha memahaminya. Tetapi, terkadang kita juga perlu untuk mendengarkan secara kritis dengan tujuan melakukan evaluasi atau penilaian.
c.
Mendengarkan secara dangkal dan mendalam
Dalam mendengarkan, kita harus peka
terhadap berbagai tingkatan makna. Jika Anda menanggapi komunikasi hanya secara dangkal, maka Anda akan kehilangan kesempatan untuk membuat kontak
yang lebih berarti; dengan perasaan dan kebutuhan sebenarnya
dari orang yang bersangkutan.
2.1.5
Contoh Kasus
2.1.5.1
Contoh Kasus A
Pada menit ke
46:51 dalam sekuel Laskar Pelangi 2 ‘Edensor’, Arai digambarkan marah kepada
Ikal, karena nilai belajarnya yang buruk. Lantaran Ikal sibuk dengan urusan
cintanya dengan Katya, seorang wanita Jerman. Arai yang peduli dengan
sahabatnya itu coba menasehati, tetapi Ikal tidak mengindahkannya. Ikal
cenderung acuh tak acuh dengan nasihat Arai bahkan melawannya. Ikal menganggap
Arai sudah terlampau mengurusi hidupnya, dan masih menganggapnya sebagai anak
kecil. Ikal benar-benar muntab, sedangkan Arai kecewa dengan sikap sahabatnya
itu.
Merujuk pada
pendapat Goss dan De Vito, maka proses mendengarkan yang dilakukan Ikal tidak
berjalan efektif. Karena Ikal tidak menerima dengan baik pesan verbal dan
nonverbal yang disampaikan oleh Arai. Mulai dari nasihatnya untuk fokus kuliah,
gerak tubuh, ekspresi wajah, dan variasi tingkat volume suara yang mendukung
hal itu. Akibat ketidakfokusannya tersebut, Ikal pun tidak memahami dengan baik
maksud dari kemarahan Arai. Ikal tidak melihat pesan tersebut dari sudut
pandang Arai, melainkan dari sudut pandang dia sendiri.
Hal ini bisa
terjadi karena Ikal over evaluating (terlalu mengevaluasi) nasihat Arai.
Ia memandang ada motif buruk dibalik nasihat Arai. Seperti mengatakan, “Hei! Boi!
Aku ini muak! Selalu kau perlakukan aku seperti anak kecil! Kau selalu
tempatkan aku di posisi yang lemah! Seperti kepompong yang selalu dilindungi!.
Kau! Kau selalu ingin menjadi lebih hebat! Jadi pahlawan!
Walhasil
tanggapan yang dihasilkan Ikal pun berupa penentangan, karena melihat Arai dan
nasihatnya lewat prasangka (su’udzhon –red). Berikut transkrip
percakapan mereka:
Arai :
Darimana Kau?
Ikal : Kenapa
kau?
Arai :
(Menunjukkan dan menyerahkan nilai belajar kepada Ikal).
Ikal : Kenapa
kau ambil nilai belajarku tanpa izin, itu tidak etis!
Arai :
(Memukul-mukul meja dan menatap tajam ke arah Ikal) Kau yang taruk itu
sembarangan, Kal! Sejak kapan ada rahasia diantara kita? Apa karena nilai kau
jelek?
Ikal :
(Berlalu dari hadapan Arai)
Arai :
(Mengikuti langkah Ikal), boi, kita ke sini bukan untuk senang-senang!
Ikal :
(Berbalik badan, menjauh, dan memunggungi Arai). Aku akan memperbaikinya! Aku sudah
menemui pembimbing tesisku.
Arai : (Kesal,
Menggeram) Tak bise kalau kau sibuk terus dengan urusan cinta!
Ikal :
(Menatap tajam ke arah Arai) Hei! Boi! (Mendekati Arai). Kenapa kau
harus seperti itu? Hah! Siapa kau?! Ayahku? Pak Balia? Bu Muslimah? Aku
ini sudah dewasa! Aku tahu mana yang buruk mana yang baik! (Mendongakkan
kepala, menatap tajam Arai) Kau urus saja urusan kau sendiri!
Arai : (Balik
Geram) Boi aku bukan mau ikut campur urusan kau, tapi aku cuma mau
menepati janjiku (Kecewa, membalikkan badan menuju ke arah tempat tidur).
Ikal : Heh!
Boi! (Kembali mendekati Arai, sembari menunjuk-nunjuk ke arahnya) Aku ini
muak! Selalu kau perlakukan aku seperti anak kecil! Kau selalu tempatkan aku di
posisi yang lemah! (Menunjuk-nunjuk ke arah bawah, menatap tajam Arai). Seperti
kepompong yang selalu dilindungi. Kau! (Setengah membentak). Kau selalu ingin
menjadi lebih hebat! Jadi pahlawan!
Arai : (Diam
sejenak, mengangguk beberapa kali). Begitu menurut kau (Beradu mata dengan
Ikal).
Ikal : Ya!
(Balik menatap tajam).
Arai : Baik.
Aku gak akan ikut campur! (Sambil menekan setiap kata-katanya). Kau urus
diri kau sendiri! (Menunjuk keras ke arah dada Ikal). Kecewa aku sama kau!
(Kemudian beranjak pergi dan melanjutkan belajar).
Ikal: (Terdiam dalam posisi berdiri).
2.1.5.2
Contoh Kasus B
Untuk contoh
mendengarkan secara empati, mungkin dapat merujuk kepada film yang sama.
Terutama pada waktu 01:01:15, dimana Ikal merasa kehilangan sahabatnya Arai
setelah kejadian itu. Bahkan ia tidak tahu dimana Arai berada. Hingga pada satu
waktu mereka dipertemukan di sebuah jembatan di Perancis. Arai sedang melihat
ke arah sungai, dan Ikal coba mendekatinya dengan muka bersalah. Ikal yakin
sudah saatnya ia mendengarkan sahabatnya itu secara empati. Coba memahami bahwa
Arai marah kepadanya demi kebaikan. Ikal juga mulai memahami bahwa tingginya
kepeduliaan Arai kepadanya karena rasa sayang yang bersangatan. Sekaligus sebagai
balas budi atas kebaikan bapak Ikal dulu yang mengambilnya dari kesendirian
(ditinggal mati bapak ibunya –red). Mereka pun saling berempati, melihat dari
sudut pandang yang sama, bahwa mereka ke luar negeri bukan untuk melancong
melainkan untuk meraih cita-cita.
Berikut transkrip percakapan mereka:
Ikal :
(Memulai percakapan) Hoi.
Arai :
(Melihat ke arah Ikal, kembali memandangi sungai).
Ikal :
(Memberanikan diri). Aku mau minta maaf sama kau. Aku yang salah. Kau benar, aku
ini orang yang tak tahu berterimakasih (Memandang Arai yang masih menunduk).
Arai :
(Melihat ke arah Ikal, sedikit mengibaskan rambut). Kau ingat ceritaku dulu.
Hampir habis aku. Semenjak tinggal bapak dan emmak-ku, aku anak
penghabisan di keluargaku. Simpai keramat.
Ikal :
(Mendengar dengan seksama, walaupun melihat ke arah lain).
Arai : (Melanjutkan
cerita). Berhari-hari tinggal sendiri. Takut aku, Kal (dengan nada sedikit
ditekan). Setelah itu, kau dan ayah datang menjemputku. Kulihat kalian sedih. Kusembunyikan
rasa takut dan sedihku. Kuambilkan kumbang untuk kau, kau tertawa.
Ikal : (Ikal
dan arai berdiri bersisian). Kumbang. Itu indah sekali. Aku ini ndak
tahu bagaimana, kau ini bisa mendapatkan serangga langka itu (Tersenyum menatap
ke arah Arai).
Arai : (Tiupan
angin meniup sedikit rambut poni Arai). Kalian pusat duniaku sejak saat itu. Apapun
kulakukan untuk membalas kasih sayang kalian. Karna tu kugantung mimpiku
tinggi-tinggi.
Ikal :
(Memandang langit Paris yang bermandikan bintang). Gantunglah mimpi-mimpimu
setinggi langit, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu. Itu kata kau (sama-sama tersenyum).
Arai : Tanpa
cita-cita itu sebuah tragedi untuk manusia. Kalian keluargaku satu-satunya, Kal..
Kulakukan apapun untuk kalian. Banyak yang telah kita lewati bersama kau, aku,
Jimbron. Aku sadar kau benar. Niatku untuk menjaga dan melindungi kau terlalu
kuat. Aku minta maaf.
Ikal :
(Berkaca-kaca, menahan tangis). Aku seharusnya minta maaf, aku yang salah. Aku
berterimakasih padamu (dengan wajah sungguh-sungguh). Aku ini tak tau
bagaimana jadinya diriku tanpa kau teman.
Arai :
(Memeluk Ikal). Kau tetap menjadi orang hebat, Kal. Aku percaya itu.
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Simpulan
Mendengarkan
merupakan keahlian yang harus diasah terus-menerus dalam
konteks komunikasi antarpribadi. Karena didalamnya ada upaya-upaya untuk mengoptimalkan penerimaan pesan, dan meminimalisir kesalahpahaman. Mendengarkan sekaligus
merupakan langkah bijak untuk
menundukkan ke-ego-an dan mengenal diri kita
dengan lebih baik. Regards!
DAFTAR REFERENSI
De Vito, Joseph A. (2011). Komunikasi AntarManusia.
Tangerang Selatan: Karisma Publishing
Group.
Effendy, Onong Uchjana. (2004). Dinamika Komunikasi.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
M. Hardjana, Agus. (2003). Komunikasi Intrapersonal &
Interpersonal. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Stuart, Cristina. (1992). Berbicara Efektif: Panduan Penting
untuk Meningkatkan Kemampuan
Berkomunikasi Anda. Jakarta: Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (Institut PPM).
Sumber lain:
Laskar Pelangi 2, Edensor (dokpribadi)
[1]
Empati (empathy) adalah kemampuan memproyeksikan diri kepada diri orang
lain; dengan lain perkataan, kemampuan menghayati perasaan orang lain atau merasakan
apa yang dirasakan orang lain (Effendy, 2004: 13).
[2]
Kunci agar mendengarkan menjadi efektif dalam komunikasi interpersonal adalah
dengan menjadi pendengar yang aktif. Sebagai pendengar, partisipasi dalam
interaksi komunikasi sama halnya dengan memposisikan diri sebagai partner bagi
komunikator, yaitu sebagai orang yang secara emosional dan intelektual terlibat
dalam komunikasi yang satu makna (memiliki sudut pandang yang sama). S/R = 1.
Komentar
Posting Komentar