KEMANA ARAH PERS INDONESIA?
http://assets.kompasiana.com |
Waduh! Sulit juga
untuk menjawab pertanyaan yang satu ini. Bukan pertanyaan dari teman saya,
hanya pertanyaan saya sendiri yang terus menghantui saban hari. Menurut saya,
untuk menjawab pertanyaan itu saya dan mungkin kita semua perlu merujuk kembali
kepada ilmu pers dan jurnalistik.
Dari sudut pandang pers, jelas media di Indonesia adalah lembaga
kemasyarakatan (social institution). Dia dimiliki oleh bangsa Indonesia,
tapi tidak sepenuhnya dimiliki bangsa Indonesia. Maksudnya begini, dia
menggunakan frekuensi udara dan gelombang yang merupakan milik negara untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hanya saja, media tetap punya hak untuk
menghidupi dirinya sendiri sebagai sebuah perusahaan.
Dengan demikian, maka pers Indonesia tidak bisa hidup hanya di
belahan idealnya saja. Melainkan juga mengejar keuntungan (profit) untuk
menggaji para pekerjanya. Mulai dari wartawannya, penjaga kantinnya hingga
satpamnya. Sayang, terkadang dalam upaya mengejar profit itu, media di
Indonesia mulai meninggalkan belahan idealnya.
Bukan cuma sekedar memenuhi kebutuhan ekonomi, media di Indonesia
pun dasawarsa ini menjadi dilema diatas pertikaian politik yang ada. Di satu
sisi ia ingin ideal, tapi di satu sisi dia bekerja untuk siapa? Mungkin,
kedepannya Dewan Pers perlu memberikan batasan kepada pemilik media untuk
berpolitik praktis. Atau memilih diantara yang kedua?
Jika merujuk kepada Fred S. Siebert, Theodore Peterson dan Wilbur
Schramm dalam bukunya yang terkenal “Four Theories of The Press” mungkin
pers kita tengah menuju ke arah pers libertarian. Karena menurut pendapat
Effendy (2004) hanya ada dua kategori pers, yakni Libertarian dan Authotitarian.
Libertarian melahirkan Social Responsibility Theory dan Soviet
Communist Theory merupakan anak turunan dari Authoritarian Theory.
Saya meyakini, Authoritarian apalagi Soviet Communist
Theory tidak berlaku di Indonesia. Sebab Indonesia sangat anti-Komunis yang
pernah berusaha merongrong ideologi negara. Andaipun Indonesia pernah mengalami
masa-masa Authoritarian Pers mungkin itu dapat dikata terjadi pada rezim
Soeharto, Bapak Pembangunan yang 32 tahun berkuasa. Di era itu ada banyak media
kritis yang dibungkam melalui pembredelan. Tentu saja hal ini tidak semestinya
terjadi di negara yang mengaku merdeka.
Kini terbalik, saat kran kebebasan pers dibuka sederas-derasnya
timbul polemik baru. Setiap orang berhak berbicara dan bahkan memiliki media.
Kebenaran (truth) pun menjadi subjektif, sebab bisa dimiliki oleh siapa
saja. Mulai dari pemilik media mainstream sampai pemilik media
abal-abal. Ditambah lagi dengan keberadaan hoax dan ujaran kebencian di
media sosial yang semakin memperkeruh suasana, dan berpotensi menciptakan
disintegrasi sosial.
Ya, saya pikir media di Indonesia benar-benar tengah menuju ke arah
Libertarian Theory. Sedangkan Social Responsibility hanyalah
sebagai pemanis bibir saja. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa media
sebagai sarana penyebar informasi dan mencerdaskan kehidupan bangsa telah benar-benar
berubah. Media di Indonesia telah bertransformasi menjadi alat justifikasi
kebenaran versi ‘kita’ dan ‘mereka’. Akhirnya terciptalah kubu-kubuan ditengah
masyarakat kita. Selebihnya mereka-mereka yang awam pun mendadak bingung dan
rentan terkena adu domba.
Mashuri, S.H sewaktu menjabat Menteri Penerangan, dan tokoh
wartawan Wonohito pernah mengatakan bahwa pers di Indonesia adalah Pers
Pancasila. Entah kenapa saya masih kurang percaya. Memang secara idiil Pers di
Indonesia masih menganut Pancasila, tapi pada praktiknya mulai bebas dan mulai
tidak bertanggungjawab. Saya pikir sudah saatnya Pers Indonesia sebagai media
komunikasi massa dan subsistem kepercayaan masyarakat, harus benar-benar dijaga
netralitasnya. Setidak-tidaknya keberimbangan pemberitaannya, keobjektifan[1]
pemberitaannya tanpa tedeng aling-aling. Sudah seyogyanya mereka yang ingin
maju ke pentas politik, harus lebih dulu turun dari media yang dimilikinya.
Dan, perusahaan Pers harus tetap berada pada belahan idealnya, dengan tetap
menyertakan aspek ekonominya.
Saya yakin dan percaya, bahwa media di Indonesia bukan hanya
sekedar alat perjuangan pada masa lampau. Tapi lebih dari itu, media di
Indonesia punya tanggungjawab untuk menjaga persatuan yang ada. Menjaga
persatuan yang telah terajut selama 72 tahun Indonesia merdeka. Apalagi,
sebentar lagi Indonesia bakal memasuki tahun-tahun politik. Saya pikir media di
Indonesia sebagai komunikator terlembagakan (institutionalized communicator)
tak perlu lah ikut-ikutan dalam menyebarkan ‘friksi-friksi’ perpecahan. Sebagaimana
yang masih terus terjadi di media sosial, dan sudah sampai ke taraf
menggelisahkan.
Komunikator terlembagakan itu harus benar-benar taat dan patuh
kepada Kode Etik Jurnalistik, Undang-Undang Pers, Undang-Undang Penyiaran,
KUHP, policy perusahaan terkait, tapi tidak kepada pemilik media yang bernafsu
untuk berkuasa, dan menggunakan media sebagai corong politiknya. Saya pikir nothing
impossible, jika kita mau bersama-sama menentang nafsu sesumbarnya itu.
Last but not least,
pemberitaan yang ada harus benar-benar mencerdaskan kehidupan bangsa, harus
benar-benar memenuhi kepentingan khalayak pembaca, penonton dan pendengarnya.
Pesan-pesannya pun harus menyatukan, bukan malah memecah-belah. Lantas,
kemanakah arah Pers Indonesia sekarang ini? Pers yang bertaring?[2]
Atau Pers yang ompong?[3] Wallahu
‘alam bish shawab.
Referensi:
Effendy, Onong Uchjana. (2004). Dinamika Komunikasi: Pers
dan Jurnalistik. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
[1] Sebuah
berita harus faktual dan objektif. Tetapi nilai objektif untuk suatu fakta
merupakan hal yang membingungkan, karena tidaklah mungkin ada objektivitas yang
mutlak.
Bagi para wartawan, berita objektif ialah laporan
mengenai suatu fakta yang diamatinya tanpa pandangan berat sebelah (bias). Ini
berarti laporan yang jujur (Effendy, 2004).
[2] Pers
yang mempunyai kepribadian, yang bersikap lebih baik “mati” dengan menanggung
segala resikonya daripada ingkar dari prinsip yang dianutnya.
[3] Mengalah
kepada interpretasi pihak penguasa.
Komentar
Posting Komentar