MENDENGARKAN TATAP MUKA
mmc.tirto.id |
Jurnal kedua berjudul “Konstelasi Kemampuan “Listening” dalam
Komunikasi Tatap Muka. Jurnal ini ditulis oleh Maman Suherman. Entah kenapa,
Saya yakin Maman Suherman yang dimaksud adalah notulen Indonesia Lawak Club.
Sekaligus seorang penulis yang memang produktif dalam menghasilkan karya-karyanya.
Adapun abstrak jurnal ini berbunyi sebagai berikut: “Tatanan komunikasi
dalam konteks tulisan ini lebih pada tatanan komunikasi tatap muka. Komunikasi
pada hakikatnya adalah proses pengoperan lambang berarti dari seseorang kepada
orang lain. Proses ini akan efektif manakala pelakunya berhasil mempersamakan
makna tadi. Komunikator perlu membuat strategi yang jitu. Di pihak lain,
komunikan harus siap mendengarkan apa yang akan disampaikan komunikator. Listening
(mendengarkan), sebagai keahlian komunikasi, merupakan bagian integral dari komunikan
yang dapat ikut menentukan efektivitas komunikasi. Apapun yang disampaikan
komunikator, dengan menggunakan media apapun, dalam suasana bagaimanapun, sulit
untuk mencapai efektivitas, jika komunikan tidak mendukung proses komunikasi
tersebut”.
Dari pemaparan abstrak di atas dapatlah kita memahami, bahwa
komunikasi akan berjalan efektif apabila komunikator dan komunikan saling
berupaya memberikan usaha terbaiknya. Dimana komunikator membuat strategi yang
jitu, agar pesan dapat tersampaikan dengan baik pada diri komunikan. Begitupula,
komunikan berusaha menangkap dengan baik pesan-pesan yang disampaikan
komunikator. Semua proses ini membutuhkan energi yang tidak sedikit. Jadi,
tidak hanya olahraga saja yang menguras energi, akktivitas komunikasi pun
demikian halnya. Semua ini dimaksudkan untuk menghasilkan S/R=1, yakni
berlangsungnya komunikasi yang efektif diantara komunikator dan komunikan.
Melalui persamaan persepsi dalam memahami suatu pesan.
Jurnal ini dibuka dengan pendahuluan berbentuk narasi, yang
bercerita tentang seorang dosen yang kompeten di bidangnya. Namun, tak mampu
menyalurkan pengetahuannya dengan baik kepada para mahasiswanya. Terbukti dari
nilai belajar mereka yang buruk. Usut punya usut, ternyata kegagalan tersebut
bukan karena pengajaran dosennya yang salah. Melainkan keahlian mendengarkan
komunikannya yang memang buruk. Mendengar sambil lalu. Tamoeng ret uneun,
teubit ret wi (Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri –pepatah Aceh).
Perbedaan ‘Mendengar’ dan ‘Mendengarkan’
Hearing (mendengar)
dan listening (mendengarkan) adalah dua istilah yang berbeda. Banyak
orang berpikir dua kata tersebut sama, dan penambahan “–kan” pada kata
“mendengar” dianggap sebagai imbuhan saja. Padahal listening lebih rumit
ketimbang hearing. Mendengar belum tentu mendengarkan, sedangkan mendengarkan
barang tentu melewati proses mendengar.
Kembar tapi beda.
Mendengar bisa saja dilakukan sambil lalu, sedangkan mendengarkan butuh
persiapan fisik dan mental yang lebih dari komunikannya. Karena dalam
mendengarkan ada beberapa tahapan yang dikemukakan De Vito (2011), seperti: Menerima
(Receiving), Memahami (Understanding), Mengingat (Remembering),
Mengevaluasi (Evaluation), dan Menanggapi (Responding). Citobroto mengatakan, bahwa mendengarkan
adalah mendengar dengan memusatkan perhatian, sehingga dapat menangkap dan
mengingat apa yang didengarnya.
Berangkat
dari pengertian di atas, jelas bahwa dalam proses mendengarkan diperlukan
kesiapan fisik dan mental. Dengan persiapan ini, pendengar akan berupaya
memusatkan perhatiannya kepada apa yang disampaikan pembicara. Dia akan
berupaya menghindari atau membuang jauh-jauh suara-suara yang terdengar ketika
hendak mendengarkan. Dengan konsentrasi, pendengar akan mampu menyeleksi
suara-suara yang terdengar dan akan berusaha menafsirkan apa yang didengarnya
dengan sungguh-sungguh, yang pada gilirannya akan menghasilkan makna yang
sesuai dengan apa yang dimaknakan oleh pembicara. Mendengarkan adalah sebuah
kegiatan persepsi. Suara yang dipilih dari sejumlah suara yang terdengar adalah
suara yang sesuai dengan sikap dan harapan yang diinginkan pendengar. Jadi,
proses mendengarkan memiliki tujuan yang ingin dicapai.
Sebaliknya
mendengar (hearing), dalam prosesnya tidak membutuhkan kesiapan fisik
dan mental secara khusus. Stimulus, berupa suara, begitu banyak yang diterima
telinga. Mendengar tidak mengharuskan pendengar memilih suara tertentu.
Mendengar terjadi secara otomatis, sejauh suara itu masih terdengar oleh
telinga (audible).
Karena
mendengarkan membutuhkan kesiapan fisik dan mental, maka dalam prosesnya faktor
jarak turut menjadi penentu dalam mencapai efektivitas komunikasi, terutama
tatap muka. Tidak mungkin seorang pembicara dengan jarak yang jauh, suaranya
mampu didengar dengan baik oleh pendengarnya, kecuali menggunakan alat bantu
(media). Walaupun dapat dibenarkan bahwa selama suara dapat tertangkap oleh
telinga (audibel) maka sepanjang itu pula seseorang dapat mendengar (melakukan hearing)
(Suherman, 2000: 94).
Ya, saya pribadi termasuk orang yang meyakini, bahwa komunikasi
antarpribadi ialah yang tatap-muka secara langsung, dan bukan melalui media.
Karena komunikasi antarpribadi melalui media kerap menimbulkan kendala-kendala
berarti. Seperti jaringan yang terputus-putus, sehingga proses mendengarkan pun
menjadi tidak maksimal. Tentu berbeda halnya ketika saya melakukannya secara
tatap muka.
Proses Mendengarkan
Goss (1983) menjelaskan bagaimana proses menyimak itu berlangsung.
Menurutnya, ada dua hal pokok yang perlu diperhatikan, yaitu:
1.
Requirements
for listening
a. Isolating the message
Menyaring
ransangan yang tidak diperlukan, terutama ketika proses komunikasi dimulai.
Seorang komunikan hendaknya menyingkirkan suara-suara sumbang yang tidak
diperlukan, dan mulailah fokus pada satu pesan saja. Yakni apa yang disampaikan
oleh si komunikator.
b. Being ready to respond
-
Komunikan
mempersiapkan pikirannya terhadap pesan.
-
Komunikan
tidak kehabisan enerji ketika menyimak.
c. Decoding and Assigning Meaning
Merespon
pesan yang disampaikan oleh komunikator. Tanggapan komunikan berlangsung hampir
berbarengan dengan apa yang disampaikan komunikator. Jadi, komunikan hanya memiliki
waktu yang terbatas untuk menanggapinya. Tentu sulit, apalagi dengan lawan
bicara yang berbeda budaya.
2.
Forecasting
Kemampuan
meramalkan pesan yang akan disampaikan komunikator selanjutnya. Jadi, kemampuan
meramal bukan hanya milik dukun, melainkan juga keahlian yang harus dimiliki
peserta komunikasi. Contohnya seperti tayangan hiburan Eat Bulaga! Indonesia
(sekarang The New Eat Bulaga! Indonesia), yang memuat satu kuis tebak kata. Apa
yang kita sebutkan itu kemudian dikonfirmasi oleh tim kita. Apakah benar atau
salah?
Seberapa Pentingkah Menyimak Itu?
Sering kali kita mendengar pepatah, “Kenapa Tuhan menciptakan dua
telinga dan satu mulut? Ialah karena Tuhan ingin makhluk-Nya lebih banyak
mendengarkan ketimbang berbicara”. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan Epictetus
jauh-jauh hari, “Nature has given (us) one tongue, but two ears, that we may
hear others twice as much as we speak”.
Pernyataan
Epictetus tidak berlebihan. Sebab ada bukti hasil riset yang mendukungnya.
Rankin, seperti dikutip King, dalam disertasi doktornya yang ditulis tahun
1962, memperlihatkan data bahwa 70% waktu terjaga manusia digunakan untuk
berkomunikasi. Dari 70% tersebut (dihitung menjadi 100%) digunakan untuk
berbicara (speaking); 30%, mendengarkan/menyimak (listening);
menulis (writing) 9% dan membaca 16%. Dukungan data yang hampir sama,
dikemukakan oleh Nichols dan Stevens (1957), juga Werner (1975) bahwa Bob
menghabiskan sekitar 70% hari kerjanya untuk berkomunikasi dalam berbagai cara
tertentu. Sekitar 45-55% waktu komunikasi Bob dihabiskan untuk menyimak (listening).
Hasil riset yang dilakukan Verdeber dan Elder, juga menunjukkan hal yang
serupa. Mereka memperlihatkan data tentang kebiasaan berkomunikasi mahasiswa
yang menyatakan bahwa 22% waktu mereka digunakan untuk berbicara, 20% untuk
membaca, 8% menulis, dan 50% dari waktu mereka digunakan untuk mendengarkan
(Suherman, 2000: 96).
Dari pemaparan data di atas dapatlah kita simpulkan, bahwa
mendengarkan juga merupakan aktivitas yang penting guna mencapai komunikasi
yang efektif. Sayang, pranata sosial kita saat ini masih menekankan murid-muridnya
untuk membaca, menulis dan berhitung saja. Padahal, mendengarkan adalah
keahlian dalam komunikasi antarpribadi yang juga perlu untuk diajarkan. Barang
tentu keahlian mendengarkan sangat diperlukan dalam segala situasi dan kondisi.
Anyone, anywhere and anytime!
Contoh:
a.
Suami-Istri
yang sedang berbicara harus saling menyimak satu sama lain, guna meningkatkan
hubungan kearah yang lebih baik lagi.
b.
Mahasiswa
yang ingin mendapatkan nilai bagus, harus menyimak mata kuliahnya dengan baik.
c.
Wartawan
yang ingin membuat laporan indepth harus menyimak penuturan narasumber. Tapi
belakangan, wartawan cenderung mencerca narasumber dengan berbagai pertanyaan, tanpa
proses menyimak yang baik.
d.
Bussinesman dengan bussinesman yang lain juga harus menyimak dengan
baik, untuk menghasilkan negosiasi yang menguntungkan keduanya.
e.
Psikiater
harus menyimak baik-baik keluhan pasiennya.
f.
Pilot
yang menerbangkan pesawatnya harus menyimak dengan baik petunjuk dari menara
pengawas baik ketika take off maupun landing.
g.
Pemimpin
yang baik adalah pemimpin yang langsung mendengarkan keluhan dari rakyatnya,
dan bukan melalui bawahannya yang punya pinsip Asal Bapak Senang.
Banyak orang yang salah kaprah, bahwa pendengar yang baik adalah
mereka yang ‘seolah-olah’ mendengarkan dengan baik. Padahal, pikiran orang
tersebut mengawang entah kemana-mana. Perlu digarisbawahi bahwa ukuran
pendengar yang baik bukan itu, melainkan orang-orang yang memahami makna pesan komunikator
dengan baik dan benar alias tidak ngawur. Namun, pekerjaan
‘mendengarkan’ bukan hanya milik komunikan. Tetapi juga tugas seorang
komunikator untuk memastikan sudah sejauh mana pesannya dipahami.
Penyebab Kegagalan
Mendengarkan
Robin dan Jones (1982) mengidentifikasikan lima penyebab kegagalan
dalam mendengarkan, diantaranya:
1.
Hendak
mengingat semua fakta
Ia
berharap mampu menangkap seluruh isi materi. Padahal daya ingat manusia itu terbatas.
Lagipun, manusia merupakan biangnya lupa ma-nusiya (barang yang lupa,
bahasa Arab –red). Kegagalannya dalam mengingat semua fakta akan meresahkan
dirinya. Ia akan bertanya ke sana ke mari, guna melengkapi fakta yang dirasakan
lepas dari pengamatannya. “We cannot notice everything. If we really tried,
we would overload our mental circuits. This is why we must select certain
stimuli for attention and screen out others –Robert G. King”. Oleh karena
itu, pendengar harus pintar memilah-memilih pesan mana yang diambil dan mana
yang tidak. Seperti wartawan, tentukan saja angle-nya!
2.
Terlalu
emosional
Saya
mengartikannya sebagai sikap yang baperan (terlalu terbawa perasaan), too
emotionally. Di sini, pemahaman kalimat secara utuh diabaikan, dan malah
mengartikan kata per kata. Contoh untuk kasus ini ialah mereka yang membeo
(ikut-ikutan –red) menyalahkan pidato Anies, yang memuat kata ‘pribumi’ dan ‘non-pribumi’.
Parahnya, mereka tidak melihat dalam konteks apa Anies membicarakan itu.
3.
Menolak
seluruhnya karena tidak menyukai sebagian
Sama
seperti orang yang menulis di selembar kertas. Ketika tulisannya terasa tidak
bagus, makas selembar kertas tersebut akan diremas membentuk gumpalan dan dibuangnya.
Padahal, masih banyak bagian kosong pada kertas itu. Begitupula halnya dengan
pendengar. Ketika ia tidak menyukai komunikator dalam hal-hal tertentu, maka ia
akan memutuskan untuk tidak menyimak apapun yang dikatakan si komunikator.
Kondisi seperti ini sama seperti ‘mereka’ yang memiliki su’udzhon luar
biasa terhadap kemenangan Anies.
4.
Pura-pura
memperhatikan
Orang-orang
yang melakukannya disebut caper (cari perhatian), dan berharap puja-puji
dari orang lain atas tindakannya itu.
5.
Pendengar
yang tidak menyukai bagian tertentu dari pembicara, lantas ia tidak bersedia
menyimak apapun yang sedang dibicarakan. Mulai dengan perlahan-lahan mengurangi
intensitas perhatiannya untuk menyimak.
Sedangkan, menurut Goss (1983) adalah sebagai berikut:
1.
Distractions
Merupakan hambatan pendengar berupa bentrokan pemikiran. Baik yang
datang dari dalam (internal), seperti tiba-tiba ingat cucian yang belum
diangkat dari jemuran, tatkala sebentar lagi turun hujan. Maupun dari luar
(eksternal) seperti noise atau kebisingan di lingkungan sekitar
tempatnya melakukan percakapan. Contoh ruang kuliah FIB USU yang sama sekali tidak
kondusif, karena diluar kelas itu ada beberapa mahasiswa yang latihan memainkan
alat musik seperti terompet, gitar serta drum. Distraction menyebabkan
komunikan gagal fokus dalam proses mendengarkan.
2.
Disorientation
Biasanya terjadi karena bingung (confusion)[1]
dan bosan (boredam)[2]
dengan materi yang dibawakan oleh pemateri. Sehingga ia menjadi hilang
pemikiran tentang pembicaraan itu (reflection). Contoh: Baru-baru ini
saya diminta untuk mengikuti seminar “Kenali Energi Negeri” yang
diselenggarakan oleh Pertamina. Jelas ini bukanlah expert saya yang
Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi. Oleh karena itu, saya pun merasa bingung dengan
materi yang dibawakan, ditambah dengan pembawaan yang lama. Saya pun menarik
diri dari perbincangan itu.
3.
Defensiveness
Pendengar akan melakukan sikap defensif ketika dirinya dihadapkan
pada kondisi dimana dia tidak memiliki kesesuaian pendapat, sikap, atau
perilaku, dengan pembicara. Serta ketidaksesuaian terhadap pesan, tempat atau
waktu. Sikap defensif ini sudah tentu akan berakibat pada timbulnya kesulitan
pendengar untuk mengikuti pembicaraan dengan sepenuh hati. Sikap defensif dapat
terjadi karena faktor ketersinggungan pendengar oleh ucapan, sikap dan
perlakuan pembicara. Oleh karena itu, komunikator harus benar-benar mengontrol
pesan yang disampaikannya. Sikap defensif juga dapat muncul, jika pendengar
merasa bahwa keterlibatan dirinya dalam pembicaraan itu karena terjebak atau
keterpaksaan.
Menurut Curtis, Floyd dan Winsor (1992), mengutip pendapat Floyd, ada
enam penyebab buruknya penyimakan yang dilakukan komunikan, diantaranya:
1.
Komunikan
lebih banyak berbicara ketimbang menyimak. Tidak sadar posisi, bahwa proses komunikasi
menghendaki didalamnya terjadi interaksi timbal balik. Ada saatnya mengirim dan
ada saatnya menerima pesan. Yang terjadi malah komunikan mendominasi
pembicaraan.
2.
Sindrom
‘hiburan’ yang menjangkit pada diri komunikan. Sehingga komunikan kurang ‘ngeh’
dengan pembahasan yang disampaikan oleh pembicara yang too serious dan
tegang.
3.
Mendahulukan
prasangka (su’udzhon –red). Sehingga apapun yang disampaikan oleh
pembicara tidak pernah benar. Maka daripada itu, sudah saatnya kita mengasah
diri untuk terus berprasangka baik (husnuzdhon –red).
4.
Menyimak
dengan kritis. Ada baiknya kita pun menempatkan kekritisan pada tempatnya, dan
mulailah menyimak secara empati dalam konteks komunikasi antarpribadi.
5.
Gangguan.
Baik yang datang dari dalam diri komunikan maupun dari luar lingkungannya.
6.
Takut
terhadap materi yang tidak disukai. Contohnya saya adalah orang yang tidak
menyukai ilmu pasti. Saya selalu berupaya menghindari pelajaran fisika,
matematika, kimia, statistika dan pelajaran ilmu-ilmu pasti lainnya. Untuk itu,
saya masuk Fakultas Ilmu Budaya dan kini melanjutkannya ke Magister Ilmu Komunikasi
USU Reguler 2017. Oleh karena itu, ketika ada mata kuliah Metode Penelitian
Kuantitatif (MPK) yang diasuh oleh Bang Hendra, saya tidak mampu mencernanya
dengan baik. Saya selalu dihantui perasaan gelisah, khawatir, kalau nanti tesis
saya menggunakan pendekatan ini.
Mendengarkan Efektif
Tentu kita tidak dapat menolak posisi kita sebagai komunikator
bertukar menjadi komunikan. Untuk itu, kita perlu mengasah kemampuan
mendengarkan kita sebagai keahlian dalam komunikasi antarpribadi. Berikut kiat-kiatnya:
1.
Mempersiapkan
diri, baik mental mamupun fisik. Bisa dengan istirahat secara teratur, agar
lebih fit menghadapi aktivitas komunikasi di keesokan harinya.
2.
Memberikan
perhatian yang besar terhadap komunikator dan mempertahankannya. Berusaha
sebaik mungkin menangkap pesan verbal maupun nonverbal pembicara. Theoretically,
it should be possible to listen to everything you hear, but if you did, you
would be crazy (Goss).
3.
Memfokuskan
diri kepada inti pembicaraan saja.
4.
Mengontrol
emosi untuk tidak langsung menginterupsi pendapat pembicara, yang bersebrangan
denga kita sampai waktunya tiba.
5.
Jangan
asyik masyuk dengan pikiran Anda sendiri.
6.
Memahami
maksud pesan pembicara, ketika waktu jeda pembicaraan tiba. Walaupun itu
singkat, gunakanlah dengan semaksimal mungkin.
7.
Analisis
dan evaluasi pesan tersebut jika waktu memungkinkan. Bisa juga di-crosschek kembali
pada lain kesempatan.
So, listening more than hearing process. Believe me in listening
steps there are receiving, understanding, remembering, evaluating and
responding. If you can control and improve your listening skill, you will be a
good communicant and produce an effectively communication. Especially interpersonal
communication. Thank you.
Referensi:
Citobroto,
R.I. Suhartin. (1989). Prinsip-Prinsip dan Tekhnik Berkomunikasi. Bhratara: Jakarta.
Curtis,
dan B. James J Floyd, Jerry L. Winsor. (1992). Komunikasi Bisnis dan Profesional
(Business and Profesional Communication). (1996). Terj. Nanan Kandagasari,
dkk. Rosda Jayaputra: Jakarta.
De
Vito, Joseph A. (2011). Komunikasi AntarManusia. Tangerang Selatan: Karisma
Publishing Group.
Goss,
Blaine. (1983). Communication in Everyday Life. Wadsworth Belmont: California.
Robbin,
James G dan Barbara S. Jones. (1982). Komunikasi yang Efektif untuk Pemimpin,
Pejabat, dan Usahawan (Effective Communication Today’s Manager). Terj. R.
Turman Sirait. Tulus Jaya: Jakarta.
Suherman,
Maman, Konstelasi Kemampuan “Listening” dalam Komunikasi Tatap Muka,
Mediator, 2000,Volume 1, Nomor 1, Halaman 93-103.
Tubbs,
Stewart L, dan Sylvia Moss. (1996). Human Communication: Prinsip Prinsip Dasar,
Buku Pertama (Human Communication). Terj. Deddy Mulyana. (1996). Remaja
Rosdakarya: Bandung.
[1] Confusion
terjadi ketika pendengar mendapat kesulitan menafsirkan atau memakai sebuah
istilah yang dilontarkan pembicara. Karena pendengar terus berusaha memikirkan
istilah tadi agar dapat menemukan alur berpikir (cerita), maka akibatnya dia
tertinggal beberapa saat (waktu) yang berakibat tertinggal terhadap pesan
komunikasi.
[2] Boredam
terjadi tatkala pendengar sudah merasa tidak tertarik lagi terhadap materi
pembicaraan. Pendengar bosan karena pembicaraan terlalu lama. Bisa juga karena
materi yang disajikan sudah dipahami oleh pendengar, sehingga dia tahu banyak
tentang apa yang akan disampaikan pembicara. Kebosanan dapat pula terjadi karena
pendengar telah membuat penilaian bahwa pembicara pasti menjemukan (Suherman,
2000: 99).
Komentar
Posting Komentar