UNITY IN DIVERSITY!

http://www.warganegara.org
Tampaknya, membahas kompetensi komunikasi antarbudaya tak cukup satu kali saja. Musabab apa yang sebelumnya saya posting itu belum mencakup semuanya. Oleh karena itu, kali ini saya akan coba merangkum kembali kompetensi komunikasi antarbudaya. Milik kelompok pembanding, yakni Bang Windo Harjoin Sidabutar dan Kak Rizkika Utami. Bang Windo (bukan window jendela ya, wkwkwk) adalah mantan pengajar saya untuk mata kuliah komunikasi pembangunan dan penyuluhan di S1. Sedangkan Kak Rizkika adalah ‘si burung pipit yang pendiam’. Hahaha. Kenapa saya sebut ‘si burung pipit yang pendiam?’. Itu karena sikapnya yang memang pendiam, kalem dan menenangkan seperti tipikal burung pipit. Tapi jangan salah, kalau Kak Rizkika udah ngomong kelar hidup loe! Hehehe. Maksudnya, kalau beliau sudah berbicara didepan kelas, ia akan begitu lancar dalam berkata-kata. Ia akan begitu luwes saat berpresentasi dengan gayanya yang tetap tenang dan shalihah.
Selain itu, ada yang unik dari makalah mereka, yakni mereka membahas apa yang tidak dibahas. Maksudnya, materi tersebut tidak ada didalam bukunya Ibunda maupun di makalah pemapar. Hebat! Beginilah seharusnya pembanding itu, tidak mengulang-ulang sesuatu yang telah ada. Mereka membahas tentang perkembangan model kompetensi komunikasi antarbudaya. Kompetensi komunikasi antarbudaya menjadi penting untuk dipahami karena ia coba meningkatkan kapasitas, keterampilan, pengetahuan, yang berkaitan dengan kebutuhan utama dari orang-orang yang berbeda kebudayaan itu (Prof. Alo dari Kupang, hehehe, 2009: 262).    
Setiap peserta komunikasi antarbudaya dikatakan kompeten (bukan impoten ya, hehehe –red), apabila mereka mampu untuk mengelola secara kompeten faktor penghambat komunikasi antarbudaya (Samovar, et al, 2010: 460). Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa kompetensi komunikasi antarbudaya adalah ‘pintar-pintar’ menempatkan diri. Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung! Singkatnya, ga usah sok-sok an di kampung orang, entar yang ada malah bonyok! Hahaha.
Berikut beberapa model kompetensi komunikasi antarbudaya, diantaranya:
1.      The Jones Model of Cultural Competence
2.      The Jensens Model of Intercultural Communication
3.      Model Intercultural Communication Competence (ICC) Byram, dan
4.      Developmental Model of Intercultural Sensitivity (DMIS) Bennet
Mari kita bahas satu per satu!
Pertama, model kompetensi Jones (bukan jomblo ngenes ya, hehehe) menggunakan model kompetensi ini dalam sebuah organisasi kerja, guna meningkatkan efektivitas kerja. Dengan menekankan pada keberagaman (diversity) dan keterlibatan (inclusion). Menurut Jones, keberagaman merupakan awal dari kreatifitas dan inovasi. Itu sebabnya keberagaman bukan untuk diseragamkan, namun dikembangkan. Keberagaman adalah berbagai perbedaan yang ada pada setiap orang; baik usia, jenis kelamin, etnik, tampilan fisik, agama, kebangsaan, tempat tinggal dan sebagainya. Menurut Jones (sekali lagi, bukan jomblo ngenes ya, hahaha –red), keberagaman ini merupakan kekayaan sebagai modal dasar dalam menciptakan kreatifitas dan inovasi. Itu sebabnya ia mengemukakan empat unsur kompetensi komunikasi antarbudaya (Jones and Associates Consulting, Inc, 1993).
Jadi, sesuai dengan apa yang dinyatakan Ibunda dalam bukunya Pemahaman Praktis Komunikasi AntarBudaya, yakni: “Kita akhirnya sadar bahwa budaya bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh sebagian orang, dan tidak dimiliki oleh sebagian orang yang lainnya. Tetapi budaya dimiliki oleh seluruh, dan dengan demikian seharusnya budaya menjadi salah satu faktor pemersatu (Lubis, 2012: 168). Sebagaimana juga disinggung dalam al-Qur’an yang berbunyi: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaannya ialah menciptakan langit dan bumi, dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui” (QS. Ar Rum: 22).
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. Al-Hujurat: 13).
The Jones Model of Cultural Competence, meliputi:
1.      Cross-Cultural Effective Skills
Kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif dengan orang-orang yang berbeda budaya.
2.      Cultural Self-Awareness
Kesadaran diri akan beragamnya budaya di lingkungan manapun dan kapanpun.
3.      Cultural Intelligence
Memahami perbedaan budaya dipengaruhi oleh latar belakang identitas etnis yang berbeda.
4.      Countering Oppression Through Inclusion
(Kurang paham)
Kedua, model kedua dipersembahkan oleh Iben Jensen. Ia menyatakan globalisasi berhasil menciptakan dua implikasi. Salah satunya ialah terciptanya ‘identitas budaya’ yang sangat penting untuk dikembangkan, dan diteliti secara mendalam dalam penelitian antarbudaya. Untuk itu, ia pun menelurkan (bukan ayam ya, hehehe) sebuah model bernama The Jensens Model of Intercultural Communication. Model ini menawarkan empat alat analisis, yakni:
a.       Position of Experiences (Posisi Pengalaman)
Kalau istilah Ibunda Field of Experiences (FoE). Posisi ini mengatakan, bahwa seluruh penafsiran seseorang dibatasi oleh tingkat pengalamannya. Contohnya: Seorang mahasiswa jurnalistik yang belajar di kelas, tentu berbeda pandangannya dengan wartawan yang bertugas di lapangan. Terutama dalam menanggapi isu idealisme pers.
b.      Cultural Presupposition (Prasangka Budaya)
Menurut Gadamer, setidaknya prasangka dapat menjadi tolok ukur awal dalam menilai seseorang yang berbeda budaya. Dan, setidaknya prasangka ini menjadikan seseorang untuk lebih waspada terhadap lingkungan barunya.
Namun, prasangka yang terus-menerus dipelihara juga tidak bagus. Karena ditakutkan akan menggumpal menjadi sarang kebencian. Dimana ia beranggapan budayanya superior daripada budaya yang lain. Oh ya, prasangka muncul berdasarkan pengetahuan, pengalaman, rasa dan pendapat kepada orang lain yang bukan anggota kelompoknya.
c.       Cultural Self Perception
Membangun persepsi terhadap budaya orang lain. Namun, bila persepsi yang kita yakini itu keliru bisa menimbulkan etnosentrisme dalam diri. Biasanya berujung pada debat kusir, konflik hingga pertikaian. Menang jadi arang, kalah jadi abu.
d.      Cultural Fix Points (Titik Nadi Budaya)
Saya lebih senang menyebutnya ‘titik temu’ dua kutub budaya yang berbeda. Hal ini bisa terjadi karena adanya kesamaan tujuan. Contoh: Kelas Magister Ilmu Komunikasi USU 2017 terdiri dari berbagai suku bangsa dan bahasa, serta tingkat pengalaman hidup yang berbeda-beda. Namun, perbedaan itu tidak menjadikan kami terus salah paham dan berkonflik. Karena kami punya satu tujuan bersama, yakni pengen tamat dan wisuda bareng-bareng :’).
Ketiga, model ketiga bernama Developmental Model of Intercultural Sensitivity (DMIS) Bennet. Nama panjang beliau Milton J. Bennet, Ph. D. Ada saya bertamu ke rumahnya lebaran kemarin, hahaha. Becanda. Model ini menguraikan enam tahapan dalam mengalami perbedaan budaya. Untuk contoh ini, saya sajikan sebuah kisah cinta ya, hehehe. Berikut:
a.       Penolakan Perbedaan (Denial of Difference)
Heru seorang muslim yang taat, namun di S1 dulu pernah mencintai ‘diam-diam’ seorang perempuan cantik beragama Kristen Protestan. Musabab Heru baru pertama kali datang dari Aceh, maka Heru pun menolak perbedaan itu. Bahkan, Heru melabelkan Kemangi (nama perempuan itu) sebagai kafir, yang bakal masuk api neraka. Heru pula menganggap agamanya yang paling benar, dan agama si Kemangi itu salah. Heru meniadakan sedikitpun toleransi kepada Kemangi.   
b.      Pertahanan Melawan Perbedaan (Defence Against Difference)
Menjelang seminar proposal, Kemangi pun mulai dekat dengan Heru. Lantaran cinta, Heru tak bisa menolaknya. Heru dan Kemangi pun pernah makan bersama sembari mengerjakan proposal skripsi, dan terlibat banyak percakapan disana.
Kemangi    : Heru, aku ingin tahu pendapatmu?
Heru          : Tentang apa? (sambil mengunyah makanan)
Kemangi    : Gimana pendapatmu tentang Aksi Bela Islam itu? Aku dan keluargaku jadi takut lho. Adikku bahkan ga dikasi sekolah sama mama. Takut.
Heru          : Itu sah-sah saja, Kemangi. Bagian dari aspirasi umat Islam. Lagian Ahok memang salah karena telah menodai kitab suci kami. Jadi, Ahok harus benar-benar dibui (dipenjara). Kami akan terus berjuang untuk itu!
Kemangi    : Tapi aku takut, Heru. Aku kan non (non-muslim).
Heru          : Tenang saja, kalian tidak akan kenapa-kenapa. Yang dituntut itu kan si Ahok. Bukan kalian. Lagian seharusnya kalian sebagai minoritas menghormati mayoritas, seperti kami menghargai kalian!
Kemangi    : Ah, sudahlah, Heru. Kita bahas yang lain saja (kecewa).
c.       Minimalisasi Perbedaan (Minimization of Difference)
Heru semakin cinta kepada Kemangi, dan tak ingin Kemangi pergi meninggalkannya. Lantas, Heru pun coba menerima perbedaan yang ada pada dirinya. Bahwa Kemangi menjadi Kristen Protestan karena ia terlahir seperti itu. Saya tak bisa memaksakan nilai dan norma yang Heru anut di sana (Aceh) untuk diterapkan di sini (Medan). Dan, Heru pun tak punya hak untuk mengatakan Kemangi kafir ataupun masuk neraka.
d.      Penerimaan Perbedaan (Acceptance of Difference)
Heru dan Kemangi mulai akrab, dan seolah saling melupakan percakapan saat makan bersama. Heru pun mulai menghindari pembicaraan-pembicaraan sensitif seputar Ahok, Aksi Bela Islam, Habib Rizieq dan sebagainya. Heru hanya berusaha menciptakan suasana yang menyenangkan.
e.       Adaptasi Perbedaan (Adaptation to Difference)
Heru sampai ke tahap empati kepada Kemangi, seperti terkadang membayangkan jika Heru berada di posisi Kemangi.
f.       Penyatuan Perbedaan (Integration of Difference)
Heru semakin sadar, bahwa ia tak ingin kehilangan Kemangi. Tapi di satu sisi ia sadar bahwa ia tak bisa memiliki Kemangi, karena beda agama. Namun, hambatan ini tidak menjadi halangan untuk saling mencintai dalam diam. Ya, cinta yang tak harus memiliki.
Sebuah lirik lagu pun mengalun merdu:
Tuhan kita cuma satu, kita yang berbeda
Hingga tak mungkin menyatu, cinta yang terluka
Kuterima semua ini sebagai rahasia
Biar kusimpan selamanya kau di hatiku.. (Kita yang Beda, -Virzha)       
Ketiga, model terakhir bernama Model Intercultural Communication Competence (ICC) Byram. Menurut Sukamto (2015: 32), lima kompetensi budaya dalam model ini adalah: 1) Sikap (Attitudes), 2) Pengetahuan (Knowledge), 3) Keterampilan Menafsirkan dan Mengaitkan (Skill of Interpreting and Relating), 4) Keterampilan Penemuan dan Interaksi (Skills of Discovery and Interactions), dan 5) Kesadaran Budaya Kritis (Critical Cultural Awareness).
Last but not least, ada baiknya tulisan ini ditutup dengan kata-kata mutiara saya, yang berbunyi: “Budaya ‘mereka’ tidak salah, budaya ‘kita’ pun bukanlah yang paling betul. Kompetensi komunikasi antarbudaya bukan cuma soal beradaptasi, tetapi juga soal saling menerima satu sama lain (welcome). Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh! Mari bersatu dalam keberagaman! (unity in diversity!).  

Referensi:
Jensen, Iben. (2001). The Practice of Intercultural Communication. Germany: Roskilde Universitetsforlag, kobenhayn.
Jones, Stephen. (1993). Jones and Associate Consulting, Inc. Journal.
Samovar, Larry A. (2010). Komunikasi LintasBudaya (Communication Between Cultures). Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.
Sukamto, Khatarina Endriati. (2015). Intercultural Competence in Foreign Language Education: An Overview. Yogyakarta: I-collate.
Sumber lain:
Al-Qur’anul Karim
Makalah Pembanding Kelompok 3; Windo Harjoin Sidabutar

Komentar

Postingan Populer