TEORI PKSI, MODERNISASI DAN DEPENDENSIA
http://1.bp.blogspot.com |
Kata Bang Windo, “Puji Tuhan, hari ini cuma sebelas slide materinya!”.
Tak lama berselang, Kak Uly menimpali, “Kalau satu slide penjelasannya
20 menit sama saja!”. Hahaha. Aku pun tertawa dalam hati. Ya juga, 20
dikali 11 slide = 220 menit! Berapa jam itu? Hahaha! Sore ini
seperti biasa, Profesor Chester mengajar tentang Teori Sosial Pembangunan, dan
kami mendengarnya dengan seksama. Eitttsss! Tunggu dulu, nama beliau
Chester? Ya! Chester Bennington? Tepat sekali! Jadi Chester tidak benar-benar
meninggal? Tidak! Dia melamar jadi dosen di FISIP USU. Hahaha! Becanda kok
:)
Profesor Chester mengatakan, seharusnya pembangunan di Indonesia
menjadikan masyarakatnya semakin maju dan sejahtera. Dimana anak-anak bangsanya
berpendidikan tinggi, hingga mampu mengelola sumber daya alamnya yang melimpah
ruah. Tapi Dass sollen das sein, beda harapan beda kenyataan.
Pembangunan di Indonesia belum mampu menyejahterakan masyarakatnya, dan belum
mampu mengangkat mereka dari lumpur kemiskinan. Terbukti, masih banyak kita
dapati orang-orang yang mengais makanan sisa di tong sampah. Miris sekaligus
menyayat hati!
“Lantas, kenapa ini bisa terjadi? Mari kita merujuk kepada tiga
teori pembangunan, seperti Teori PKSI, Teori Modernisme dan Teori Dependensia,”
kata beliau mengawali materi. Pertama, Teori Pembagian Kerja Secara
Internasional (PKSI). Teori ini menyatakan bahwa setiap negara harus melakukan
spesialisasi produksi sesuai dengan keuntungan komparatif yang dimiliki. Misal
negara kita unggul dalam mengekspor migas dan non-migas, sedangkan negara maju
unggul dalam sektor industri dan mengekspor teknologi. Jadi, apa yang kita
miliki haruslah menguntungkan kita, dengan cara mengelolanya dengan baik. Sayang,
kita belum mampu untuk itu, sehingga masih mendatangkan orang luar untuk
mengelolanya.
“Namun, jika dilihat dalam beberapa tahun ke belakang, kinerja
ekspor Indonesia sebenarnya sangat mengkhawatirkan. Sebab, kinerja ekspor
Indonesia dalam lima tahun terakhir terus merosot. Pelemahan ekonomi global
dituding menjadi penyebab utama terpuruknya ekspor Indonesia. Negara-negara
tujuan utama ekspor Indonesia secara tradisional seperti China, Jepang, AS, dan
negara-negara Eropa tengah mengalami perlambatan ekonomi. Akibatnya permintaan
barang dari Indonesia menurun.”
“Namun, jika alasannya pelemahan ekonomi global, ekspor
negara-negara yang satu peer (setara) dengan Indonesia seperti Thailand,
Filipina, dan Malaysia seharusnya juga jatuh dalam periode dan skala yang sama.
Namun, anehnya, kinerja ekspor negara-negara itu tidak seburuk Indonesia.
Kondisi tersebut menandakan ada masalah yang serius dalam daya saing ekspor
Indonesia. Hal itu terkonfirmasi, dengan membanjirnya barang-barang impor,
sehingga mendesak industri-industri dalam negeri. Sebab, dengan semakin
terbukanya perdagangan internasional, terlebih telah dimulainya implementasi
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), barang-barang dari luar akan semakin mudah
masuk ke Indonesia sekaligus mendepak pemain-pemain lokal (Kompas.com,
Muhammad Fajar Marta, 16/03/16).
Artinya, jika kita ingin perekonomian Indonesia bangkit, maka kita
harus meningkatkan ekspor kita dengan penguatan daya saing masyarakatnya.
Masalahnya, perdagangan internasional tidak selamanya menguntungkan semua
pihak. Terutama Indonesia sebagai negara pengekspor. Sebab realitas di lapangan
menunjukkan, Teori PKSI ini lebih menguntungkan negara-negara maju.
Padahal, pembangunan yang paling baik menurut teori ini, yakni
pembangunan yang meleburkan diri dalam kegiatan ekonomi dunia. Karena pada
dasarnya negara-negara yang ada saling bergantung, dan akan menjadi lebih
menguntungkan bila mau saling menguatkan satu sama lain. Namun, besar pasak
daripada tiang. Berpuluh tahun kemudian, saat negara api menyerang. Hahaha.
Negara-negara industri (negara maju –red) semakin kaya, sedangkan negara-negara
agraris (negara berkembang –red) semakin jauh tertinggal. Teori PKSI yang
seharusnya menjadikan setiap negara saling merangkul, dalam upaya saling
menguntungkan (simbiosis mutualisme). Malah perlahan menuju simbiosis
parasitisme (satu untung, lainnya buntung).
Kedua, Teori Modernisasi. Teori ini menjelaskan, bahwa kemiskinan
disebabkan oleh faktor-faktor internal yang terdapat dalam negara bersangkutan.
Teori ini meyakini, jika masyarakat Indonesia ingin maju, maka harus maju dulu
pemikiran masyarakatnya. Bertransformasi dari masyarakat yang terbelakang ke
masyarakat yang modern[1]. Kupikir Indonesia tengah
menuju ke arah ini. Terlihat dari membludaknya urbanisasi, terpusatnya tenaga
kerja di ibukota, sehingga melebarkan kesenjangan ekonomi antara di daerah dan
di pusat. Perubahan struktur sosial, politik dan juga budaya. Teori Modernisasi
menghendaki adanya suntikan dana dari negara-negara maju kepada negara dunia
ketiga berbentuk investasi. Tentu penanaman modal asing itu harus disikapi
secara bijak, agar tidak menjadi batu sandungan di kemudian hari.
Ketiga, Teori Dependensia (Teori Ketergantungan). Teori ini lebih banyak
mempersoalkan faktor-faktor eksternal sebagai penyebab terjadinya kemiskinan di
negara-negara berkembang. Menurut Theotonio Dos Santos, Dependensi
(ketergantungan) adalah keadaan dimana kehidupan ekonomi negara-negara tertentu
dipengaruhi oleh perkembangan dan ekspansi dari kehidupan ekonomi negara-negara
lain, dimana negara-negara tertentu hanya berperan sebagai penerima akibat
saja. Keterbelakangan inilah yang menyebabkan negara pinggiran terus bergantung
pada negara maju. Teori ini coba menantang hegemoni ekonomi politik, dan budaya
intelektualitas negara maju. Mereka meyakini bahwa negara majulah yang menjadi
biang keladi kemiskinan mereka.
Aku jadi teringat dengan percakapan Ikal bersama Adam Smith dan
Kang Haji Rhoma Irama. Berikut transkrip percakapan mereka:
Adam Smith : Hei... Orang Udik! Siapa kamu? Darimana asalmu?
Ikal :
Saya... Mm... Saya dari Belitong, Tuan Smith.
Adam Smith : Dimana itu?
Ikal :
Indonesia.
Rhoma Irama : Heheh... Terlalu!
Ikal :
Kang Rhoma?
Adam Smith : Sekarang, ceritakan tentang negerimu. Apakah ada orang pintar
di sana?
Ikal :
Eh... Banyak, Tuan Smith. Di Negaraku banyak orang pintar yang mencuri uang
negara.
Adam Smith : Apa kata teoriku dulu! Benarkan, pengaruh uang tak ubahnya seperti
siulan iblis.
Rhoma Irama : Setuju! Di dunia sekarang uang berkuasa ~
Adam Smith : Gara-gara kaum monetaris, mereka bersekongkol agar negeri
kalian berhutang dan akhirnya tergadai!
Ikal :
... Bagaimana agar itu tidak terjadi? Mohon petunjuk, Tuan Smith.
Adam Smith : Pikirkan sendiri! Itu bisa memperbaiki negerimu. Jadilah orang
yang cerdas.
Ikal :
Kang Rhoma, bagaimana pendapat Kang Rhoma?
Rhoma Irama : Oke, bagi yang muda yang bergaya rambate rata hayo, rambate
rata hayo singsingkan lengan baju kalau
kita mau maju ~
Ikal :
Siap Kang Rhoma! Rambate rata hayo!
(dalam Film Edensor, Sekuel Laskar Pelangi
2)
“Awal mula Teori Ketergantungan (Dependency Theory)
dikembangkan pada akhir tahun 1950-an oleh Raul Presbich (Direktur Economic
Commission for Latin America, ECLA). Dalam hal ini Raul Presbich dan
rekannya bimbang terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju yang tumbuh
pesat, namun tidak serta-merta memberikan perkembangan yang sama kepada
pertumbuhan ekonomi di negara-negara miskin. Bahkan dalam kajiannya mereka
mendapati aktivitas ekonomi di negara-negara yang lebih kaya seringkali membawa
kepada masalah-masalah ekonomi di negara-negara miskin.” (id.m.wikipedia.org,
diakses pada 24/10/17).
Faktor-faktor kemiskinan negara pinggiran menurut Raul Presbich,
yaitu:
1.
Terjadi penurunan nilai tukar komoditi
pertanian terhadap komiditi barang industri. Barang industri semakin mahal
dibanding hasil pertanian, akibatnya terjadi defisit pada neraca perdagangan
negara pertanian bila berdagang dengan negara industri.
2.
Negara-negara industri sering melakukan
proteksi terhadap hasil pertanian mereka sendiri, sehingga sulit bagi negara
pertanian untuk mengekspor ke sana (memperkecil jumlah ekspor negara pinggiran
ke pusat).
3.
Kebutuhan akan bahan mentah dapat dikurangi
dengan penemuan teknologi lama yang bisa membuat bahan mentah sintetis,
akibatnya memperkecil jumlah ekspor negara pinggiran ke negara pusat.
4.
Kemakmuran meningkat di negara industri
menyebabkan kuatnya politik kaum buruh. Sehingga upah buruh meningkat dan akan
menaikkan harga jual barang industri, sementara harga barang hasil pertanian
relatif tetap (id.m.wikipedia.org, diakses pada 24/10/17).
Solusi?
Presbich berpendapat negara-negara yang terbelakang harus melakukan
industrialisasi, bila mau membangun dirinya, industrialisasi ini dimulai dengan
Industri Substitusi Impor (ISI). ISI dilakukan dengan cara memproduksi sendiri
kebutuhan barang-barang industri, yang tadinya diimpor untuk mengurangi bahkan
menghilangkan penyediaan devisa negara untuk membayar impor barang tersebut.
Pemerintah berperan untuk memberikan proteksi terhadap industri baru. Ekspor
bahan mentah tetap dilakukan untuk membeli barang-barang modal (mesin-mesin
industri), yang diharapkan dapat mempercepat industrialisasi dan pertumbuhan
ekonomi. Bagi Presbich campur tangan pemerintah merupakan sesuatu yang sangat
penting untuk membebaskan negara-negara pinggiran dari rantai
keterbelakangannya (id.m.wikipedia.orgi). Hal ini sekaligus juga
dimaksudkan untuk melepaskan diri dari belenggu ketergantungan pada negara maju.
Sekian.
[1]
Masyarakat modern (industri) adalah masyarakat yang menjalankan aktivitas dan
memenuhi kebutuhan hidupnya dari hasil teknologi modern. Bentuk konkrit
masyarakat industri dapat dilihat pada negara-negara maju, seperti Amerika,
Jepang, Jerman, Perancis dan Inggris (brainly.co.id, diakses pada 24/10/17).
Komentar
Posting Komentar