DINAMIKA KOMUNIKASI ANTARBUDAYA

Yang ngambil foto antara dua, kalau ga si primadona kelas Nadira, ya Kak Nadia. Eh? Caption macam apa ini, hahaha :)
1.1    Latar Belakang Masalah
Indonesia bukan hanya sekedar negara agraris, ataupun digadang-digadang bakal menjadi poros maritim dunia. Tapi lebih dari itu, Indonesia merupakan sebuah negara yang multikultural dalam artian jamak dan plural penduduknya. Multikultural itu diukur dari kebudayaan masyarakatnya yang lebih dari satu dan beragam. Multikulturalisme tersebut jelas merupakan ciri khas dan kekayaan bangsa, yang tidak mungkin ditolak keberadaannya.
Disisi yang lain, komunikasi meniscayakan terjadinya kesamaan dalam memahami suatu pesan. Baik pada diri sender (pengirim) maupun receiver (penerima)-nya. Hanya saja jelas, keberagaman tersebut juga dapat menimbulkan kesalahpahaman dalam konteks berkomunikasi antara satu dengan yang lainnya. Inilah yang dimaksud dengan dinamika komunikasi antarbudaya.   
Komunikasi yang berlangsung diantara individu yang berbeda latar belakang budaya mengalami banyak hambatan yang disadari atau tidak disadari, sehingga terlihat adanya dinamika antara peserta yang berkomunikasi tersebut (Lubis, 2012: 45-52).
Jadi, dinamika tidak hanya terjadi di rumah tangga antara istri dengan suami, di kantor antara atasan dengan bawahan, ataupun di kampus antara mahasiswa dengan mahasiswa lain dalam rangka beradu argumentasi. Tetapi dinamika juga dapat terjadi dalam konteks komunikasi antarbudaya yang kita lakoni sehari-hari. Walhasil, hidup memang penuh dengan dinamika.
Sementara itu, banyak pula penelitian yang menggambarkan dinamika komunikasi antarbudaya dalam berbagai corak dan rupa. Seperti halnya perbedaan bahasa, budaya, gaya hidup hingga makanan pun menjadi musabab terjadinya hambatan-hambatan dalam berinteraksi. Barang tentu setiap dari kita pernah mengalami situasi ini, dan mendamba suatu solusi untuk meminimalisirnya.
Seperti penelitian Iswari dan Pawito (dalam Novita Sari, 2016), yang berjudul “Komunikasi Antarbudaya di Kalangan Mahasiswa: Studi tentang Komunikasi Antarbudaya di Kalangan Mahasiswa Etnis Batak dengan Mahasiswa Etnis Jawa di Universitas Sebelas Maret Surakarta” menyatakan bahwa “Pertama, hambatan-hambatan yang ditemukan dalam proses komunikasi antarbudaya di kalangan mahasiswa etnis Batak dengan etnis Jawa yang ada di Universitas Sebelas Maret Surakarta adalah stereotipe, keterasingan (strangershood), dan ketidakpastian (uncertainty) yang dialami oleh mahasiswa etnis Batak. Kedua, efektivitas komunikasi diantara mahasiswa etnis Batak dan etnis Jawa dapat dicapai dengan mengatasi hambatan dan perbedaan latar belakang budaya yang ada dengan sikap terbuka, empati dan kemampuan untuk menyesuaikan diri”.
Penelitian Henry, Rochayanti, dan Isbandi (dalam Novita Sari, 2016) yang berjudul “Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Korea Selatan di Yogyakarta” menyatakan bahwa “Mahasiswa Korea cenderung tertutup terlebih dengan orang asing. Mereka cenderung melindungi diri dari orang asing, pendiam, dan berbicara yang penting-penting saja. Mereka bersedia berkomunikasi dengan orang yang baru jika dikenalkan oleh orang yang sudah dikenal (melalui perantara).
Penelitian Lubis (dalam Novita Sari, 2016) yang berjudul “Komunikasi Antarbudaya Etnis Tionghoa dan Pribumi di Kota Medan” menyatakan bahwa “masyarakat etnis Tionghoa di Kota Medan banyak diantaranya masih menganut kepercayaan Sinkretisme yang telah diwariskan turun-temurun. Namun disebabkan perkawinan antara etnis maka terjadinya perpindahan agama, khususnya kepada agama Islam bukanlah suatu hal yang mudah bagi etnis Tionghoa. Penemuan data wawancara mendapati bahwa etnis Tionghoa mualaf telah dipinggirkan dari keluarga inti maupun keluarga besar, karena dianggap sial dan bahkan ada yang tidak dianggap anak lagi setelah bertukar ke agama Islam, dan menikah dengan salah satu etnis pribumi.
Penelitian Novita Sari (2016) sendiri yang berjudul “Dinamika Komunikasi Antarbudaya di Kalangan Mahasiswa FISIP USU dalam Menjaga Harmonisasi” menyatakan komunikasi antarbudaya sangat penting dipahami ditengah lingkungan yang memiliki berbagai suku bangsa yang berbeda dengan kebiasaan-kebiasaan yang berbeda seperti di Indonesia, terkhusus di lingkungan kampus FISIP USU.
Komunikasi antarbudaya yang terjalin di lingkungan FISIP USU sudah cukup harmonis. Sudah jarang terjadi kesalahpahaman yang dapat menghambat proses komunikasi diantara mahasiswa yang berbeda budaya. Ketika mahasiswa mampu untuk bersikap terbuka dan jujur saat berkomunikasi antara mahasiswa dengan mahasiswa lain yang berbeda budaya, maka akan lebih mudah bagi mereka untuk mencapai hubungan yang lebih baik. 
Ada banyak definisi tentang komunikasi antarbudaya. Seperti Stewart L. Tubbs (1996: 236-238) mengatakan, bahwa komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya. Pernyataan ini beranggapan bahwa perbedaan cara hidup yang berkembang, dan dianut oleh sekelompok orang serta berlangsung dari generasi ke generasi.
Sedangkan menurut ahli yang lain seperti Sitaram (1970) menyatakan, bahwa komunikasi antarbudaya merupakan seni untuk saling memahami, dan saling pengertian antara khalayak yang berbeda kebudayaan. Fred E. Jandt (1998: 36), mengartikan komunikasi antarbudaya sebagai interaksi tatap muka diantara orang-orang yang berbeda budayanya. Adapun Rich (1974), menyimpulkan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi ketika orang-orang yang berbeda kebudayaan dipertemukan (http://pakarkomunikasi.com).
Dari sejumlah definisi yang telah dikemukakan para pakar di atas, maka kelompok kami berkesimpulan bahwa, komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi diantara orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda. Bisa beda suku, agara, ras dan antara golongan (sering disingkat SARA) atau sosioekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan itu. Ketika adanya komunikasi diantara orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda, maka disitulah terjadi komunikasi antarbudaya. Kelompok kami meyakini pula, bahwa keberadaan ilmu pengetahuan seperti komunikasi antarbudaya ini merupakan suatu niat baik, guna terciptanya kesepahaman dan saling pengertian. Sehingga membawa keselarasan dalam berkomunikasi, sekalipun diantara orang-orang yang berbeda kebudayaan.
Empat kelompok pada pertemuan sebelumnya telah membahas persepsi budaya, cultureshock (gegar budaya), kompetensi komunikasi (didalamnya membahas identitas etnis), dan komunikasi efektif. Kelompok kami meyakini bahwa persepsi budaya, cultureshock, dan kompetensi komunikasi turut serta dalam menciptakan dinamika komunikasi antarbudaya. Sedangkan komunikasi efektif jelas merupakan tujuan dari komunikasi antarbudaya itu sendiri, dimana S/R = 1. Terciptanya kesepahaman dalam memahami suatu pesan.
Seperti persepsi budaya yang terbentuk dari tiga elemen, yakni: 1) Pandangan dunia (terkandung didalamnya agama dan sistem kepercayaan, nilai dan sikap), 2) Organisasi sosial (seperti keluarga, sekolah, dan institusi/lembaga yang terlibat dalam membentuk persepsi budaya), dan 3) Simbol (verbal dan non-verbal sebagai turunan dari keduanya). Gegar budaya, yang ditimbulkan oleh kecemasan karena kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang dalam pergaulan sosial. Tanda-tanda tersebut meliputi cara-cara kita dalam menghadapi situasi sehari-hari. Seperti kapan seharusnya bersalaman? Apa yang dikatakan bila bertemu dengan orang ‘baru’? Bagaimana cara menerima atau menolak sesuatu? Cara makan dan sebagainya. Tentu kebiasaan-kebiasaan, norma-norma, bahasa, dan kepercayaan yang tertanam pada benak kita secara inkulturasi berbeda halnya dengan budaya luar. Untuk itu, kompetensi harus kita miliki guna meningkatkan kapasitas, keterampilan, dan pengetahuan yang berkaitan dengan perbedaan budaya. Sehingga terciptalah sebuah aktivitas komunikasi yang efektif, karena terdapat persamaan makna pesan antara komunikator dan komunikannya. 
Secara sederhana, komunikasi dikatakan efektif bila orang berhasil menyampaikan apa yang dimaksudkannya. Sebenarnya ini adalah salah satu ukuran bagi efektivitas komunikasi. Secara umum, komunikasi dinilai efektif bila rangsangan yang disampaikan dan yang dimaksud oleh pengirim atau sumber, berkaitan erat dengan rangsangan yang ditangkap dan dipahami oleh penerima. Lima hal yang dapat dijadikan ukuran bagi komunikasi yang efektif yaitu pemahaman, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang makin baik dan tindakan (Lubis, 2016: 147).

Dinamika dalam perspektif komunikasi antarbudaya terjadi karena adanya perbedaan budaya itu sendiri. Dimana masih ada frasa “I” and “You” (“Saya” dan “Kamu”), “We” and “They” (“Kita” dan “Mereka”). Jika dinamika yang ada dapat dikelola dengan baik, maka akan berdampak pada terjaganya harmonisasi. Tentu hal ini yang kita inginkan. Sebaliknya, jika perbedaan yang ada tidak dikelola dengan baik, maka akan menimbulkan gesekan, disharmonisasi, konflik hingga disintegrasi sosial (perpecahan). Kalau sudah seperti ini, ibarat bom waktu, tinggal menunggu kehancurannya saja! Nau’dzubillahi min dzalik (Kami berlindung kepada Tuhan atas hal itu). Oleh karenanya, makalah ini akan membahas mengenai Dinamika Komunikasi Antarbudaya. Bahasan ini merupakan bagian dari tugas mata kuliah Komunikasi AntarBudaya Jurusan Magister Ilmu Komunikasi USU, yang diasuh oleh Prof. Dra. Hj. Lusiana Andriani Lubis, MA., Ph.D. Berikut pemaparannya:
2.1. Pembahasan 
Ibarat dua kutub baterai, ada positif ada pula yang negatif. Maka implikasi dinamika komunikasi antarbudaya bisa positif, karena kesesuaian praktik dengan karakter yang ada, bisa pula negatif karena penyimpangan dan kecenderungan melupakannya. Berikut beberapa karakter dinamika komunikasi antarbudaya beserta contohnya.
2.1.1        Implikasi Positif
1.      Komunikasi Bersifat Dinamis
Komunikasi bersifat dinamis dalam artian komunikasi merupakan aktivitas yang berlangsung terus-menerus, dari generasi ke generasi dan mengalami perubahan pola-pola, pesan dan saluran. Artinya, komunikasi tidak akan berhenti pada satu generasi saja, sekaligus polanya akan terus berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Seperti komunikasi yang dulunya dilakukan dengan cara memberi tanda dan isyarat, kemudian berkembang menggunakan lisan, tulisan, mesin cetak (surat kabar/buku/kitab), media massa (elektronik: telegram, film, radio, dan tv), hingga sekarang manusia berkomunikasi melalui internet (media sosial) (Nurudin, 2004: 39-59).
Kategori kesukuan (etnisitas) sebagai klasifikasi orang-orang dalam konteks ‘identitas umum yang paling dasar (basic most general identity), yang ditentukan oleh asal dan latar belakang orang-orang itu. Atribut penting yang pada dasarnya mengidentifikasi etnisitas ini ialah adalah faktor-faktor primordial seperti bahasa daerah, adat istiadat, nilai-nilai simbolik, agama dan teritorial (Lubis, 2012: 45).
Sehingga tak jarang, setiap suku bangsa yang memiliki identitas homogen lebih cepat akrab dan harmonis, ketimbang mereka yang tak sama. Andriani Lubis dalam bukunya menyebutkan, “....sesungguhnya kesetiakawanan sosial antarsesama warga dalam suatu suku bangsa itu, tidak sekuat kesetiakawanan yang berbentuk dalam kelompok-kelompok sosial yang lebih kecil, dan mempunyai profesi yang sama sebagai koorperasi (coporate group) jauh di luar lingkungan pemukiman asalnya. Hal ini mengakibatkan adanya dinamika dalam berkomunikasi antarbudaya, sekaligus merupakan suatu hal yang wajar jika ditinjau dari konteks komunikasi tersebut.
Dalam hal ini, Bangsa Indonesia juga telah mengembangkan berbagai identitas kelompok untuk memperkuat kesadaran kolektif (peoplehood). Bahwasanya keberagaman ethnic group yang ada bukanlah suatu halangan untuk mewujudkan persatuan Indonesia. Melainkan sebuah kekuatan baru dengan dilandasi oleh keyakinan sama rata sama rasa, dan senasib sepenanggungan sebagaimana yang sering diorasikan pada zaman kemerdekaan dulu.
Sebagaimana halnya dengan kebutuhan akan identitas individu dalam penataan kehidupan bermasyarakat, setiap kelompok sosial juga memerlukan identitas kolektif (group identity) sebagai sarana penataan sosial (organizing reference) untuk mempermudah pergaulan lintas kelompok sosial. Berbagai identitas kelompok dikembangkan untuk memperkuat kesadaran kolektif (peoplehood), antara lain kelompok suku bangsa (ethnic group) yang dilandasi oleh keyakinan akan asal-usul nenek moyang bersama, baik yang nyata maupun fiktif, serta kesamaan pengalaman sosial dan kebudayaan yang mengikat kesetiakawanan sosial. Kesadaran menjadi anggota kelompok itu menjamin rasa aman atau setidak-tidaknya kenyamanan bagi yang bersangkutan (Lubis, 2012: 46).     
Dewasa ini, anak-anak bangsa kita juga ikut memelihara kesetiakawanan sosial kelompok suku bangsa. Dengan menyebarkan jargon-jargon sarat persatuan via media sosial, seperti: “Bhineka Tunggal Ika”, “Saya Indonesia Saya Pancasila”, “Damn I Love Indonesia!”, “NKRI Harga Mati!” dan sebagainya. Mereka mengembangkan jargon-jargon tersebut untuk menahan gempuran perbedaan bahasa, adat istiadat dan agama yang kerap digoreng sebagai komoditas politik dan alat pemecah belah bangsa. Namun, semangat persatuan itu harus pula dibarengi dengan meniadakan primordialisme kesukuan yang membabi buta. Seperti meyakini simbol-simbol suku bangsanya sendiri yang paling hebat daripada yang lain. Tentu hal seperti ini tidak boleh lagi ada dalam rangka memperkuat kesetiakawanan sosial. Sudah seyogyanya, semangat ‘Kerja Bersama’ yang menjadi slogan 72 tahun Indonesia Merdeka diresapi dan direnungi maknanya bersama-sama.
2.      Komunikasi Bersifat Interaktif
Komunikasi dalam hal ini, tidak hanya melibatkan dua orang atau tiga, melainkan juga beberapa kelompok, organisasi, publik maupun massa. masing-masing orang atau kelompok, baik sebagai sumber maupun penerima dalam sebuah tindak komunikasi sering mempunyai pengalaman yang berbeda, latar belakang yang berbeda dan kepribadian yang unik (Lubis, 2012: 47).
Ini bermakna bahwa dinamika komunikasi antarbudaya tidak hanya berlaku secara antarpribadi. Tetapi juga memuat konteks komunikasi lain, seperti: komunikasi kelompok (Besar: 20-50 orang/Kecil: 4-20 orang), komunikasi organisasi (komunikasi ke bawah, komunikasi ke atas, komunikasi menyamping, dan komunikasi menyilang) (Hardjana, 2003: 30-34), publik juga komunikasi massa. Bahkan, komunikasi massa (media massa) punya peran besar dalam membentuk persepsi, stigma, stereotipe dan bias terhadap suatu budaya lewat pemberitaan ataupun tayangan lainnya. Mirip dengan film-film Barat yang menggambarkan orang kulit hitam sebagai penjahat, dan orang kulit putih sebagai pahlawan. Ataupun iklan sabun yang menggambarkan perempuan dengan karakteristik fisik tertentu sebagai perempuan yang cantik, sedangkan perempuan yang lainnya tidak. Media massa punya kekuatan untuk melakukan hal-hal tersebut.
Untuk proses interaksi komunikasi antarbudaya yang dilakukan secara antarpribadi (2-3 orang atau lebih), yang berbeda budaya sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor personal. Seperti Field of Experience (Pengalaman) dan Field of Reference (Pengetahuan), maupun kelompok budaya. Sedangkan, umpan balik pada komunikasi kelompok kecil masih cepat, adaptasi pesan masih bersifat khusus dan tujuan komunikasi masih bersifat tidak terstruktur.
Praktek komunikasi organisasi melibatkan didalamnya komunikasi antarpribadi atau komunikasi kelompok yang bersifat impersonal (komunikasi terstruktur). Baik yang dilakukan oleh pribadi atau kelompok kerja dalam satu organisasi. Jalur komunikasi organisasi adalah jalur vertikal (atas-bawah; bawah-atas), jalur horizontal (antara masing-masing unit kerja yang sama derajat) dan jalur diagonal (komunikasi lintas unit atau satuan kerja). Kesemuanya yang terlibat dalam komunikasi tersebut merupakan orang-orang yang mempunyai latar belakang yang berbeda baik dalam bidang pendidikan, suku bangsa, pendapatan, tempat tinggal, pengalaman, dan lain-lainnya (Lubis, 2012: 49).  
Pada komunikasi publik[1] jumlah orang yang terlibat dalam komunikasi semakin banyak. Maka, sifatnya pun semakin kurang jelas, umpan balik mulai lambat dan tertunda (delayed). Walaupun adaptasi pesan masih bersifat khusus dengan tema tertentu, dan tujuan komunikasi mulai terstruktur. Menurut Lubis (2012: 49), komunikasi publik mengutamakan pengalihan pesan yang tersusun secara baik, misalnya tertulis maupun lisan. Oleh karenanya, aspek penggunaan simbol verbal dan non verbal harus benar-benar diperhatikan oleh para peserta yang berbeda kebudayaan. Keadaan ini menggambarkan relasi antara komunikator dan komunikan (public/audience) dalam sebuah konteks komunikasi yang unik. Terakhir, komunikasi massa dalam konteks komunikasi antarbudaya melibatkan berbagai aspek perbedaan latar belakang budaya, mulai dari pengelola (organisasi media), saluran (media massa), pesan-pesan, hingga pada khalayak sasarannya.
Beberapa karakteristik interaksi komunikasi antar/lintas budaya, seperti 1) Jumlah Orang (Sedikit >< Banyak), 2) Kedekatan Fisik Para Peserta (Dekat >< Jauh), 3) Sifat Umpan Balik (Segera >< Tertunda), 4) Peran Komunikasi (Informal >< Formal), 5) Adaptasi Pesan (Spesifik >< Umum), 6) Tujuan dan Maksud (Tak Berstruktur >< Struktur) –Liliweri (dalam Andriani Lubis, 2012: 47), mestilah kita pahami pada konteks komunikai apa ianya berlangsung. Sehingga tidak akan menimbulkan kesalahpahaman, prasangka, su’udzhon, stereotipe, stigmatisasi, label dan sikap diskriminatif yang menyebabkan perpecahan antarsesama anak bangsa.
3.      Komunikasi Bersifat Irreversible 
Ibarat kata pepatah, “Sesuatu yang telah kau ucapkan, tidak dapat kau tarik kembali” atau “Mulutmu Harimaumu” mungkin dapat menjadi padanan kata yang tepat, dimana komunikasi bersifat irreversible. Maksudnya adalah pesan tidak dapat ditarik kembali setelah disampaikan. Meskipun dilakukan koreksi melalui penyampaian pesan yang baru. Ya, ada satu ‘ibarah lagi yang mengandaikan ucapan itu seperti paku yang menancap, sekalipun dilepas akan tetap menyisakan bekasannya. Ini sering menjadi persoalan dalam kehidupan berinteraksi.
Salah satu perspektif komunikasi antarbudaya menekankan bahwa tujuan komunikasi antarbudaya adalah mengurangi tingkat ketidakpastian tentang orang lain. Dalam perjumpaan antarpribadi, anda dan saya sering berhadapan dengan beberapa ambiguitas tentang relasi, sekurang-kurangnya dalam pertanyaan: Bagaimana perasaan dia terhadap saya? Bagaimana sikap dia terhadap saya? Apa yang saya akan peroleh kalau saya berkomunikasi dengan dia? Pertanyaan tentang kebingungan ini “memaksa” orang untuk berkomunikasi sehingga anda merasa diri berada dalam suasana relasi yang lebih pasti dan selanjutnya akan mengambil keputusan meneruskan atau menghentikan komunikasi tersebut (Lubis, 2012: 50).
Kurangnya rasa empati (empathy)[2] juga bisa menjadi faktor minimnya toleransi dan rasa sensivitas, baik pada diri komunikator maupun komunikannya. Gudykunst dan Kim (dalam Andriani Lubis, 2012: 50-51) menunjukkan bahwa orang-orang yang kita tidak kenal selalu berusaha mengurangi tingkat ketidakpastian, melalui peramalan yang tepat atas relasi antarpribadi. Usaha untuk mengurangi tingkat ketidakpastian itu dapat dilakukan melalui tiga tahap:
1.      Pra kontra atau tahap pembentukan kesan melalui simbol verbal maupun non verbal (apakah komunikan suka berkomunikasi atau menghindari komunikasi)
2.      Initial contact and impression yakni tanggapan lanjutan atas kesan yang muncul dari kontak awal tersebut. Misalnya, Apakah saya seperti dia? Apakah dia mengerti saya? Apakah saya rugi waktu kalau berkomunikasi dengan dia?
3.      Closure, mulai membuka diri anda yang semula tertutup melalui atribusi dan pengembangan kepribadian implisit. Teori atribusi menganjurkan agar kita harus lebih mengerti perilaku atau tindakan kita. Pertanyaan yang relevan adalah apa yang mendorong dia berkata, berpikir atau berbuat demikian? Contohnya: Kalau seorang menampilkan tindakan yang positif kepada orang tersebut karena dia bernilai bagi relasi kita (misalnya karena dia baik maka dia pasti jujur, setia kawan, rendah hati, suka menolong, dan lain-lain). Sebaliknya, kalau seorang itu menampilkan tindakan yang negatif maka kita akan memberikan atribusi motivasi yang negatif tentang dia dan relasi hubungan diperketat dengan cara mencoba mengevaluasi atas sebuah kehadiran yang implisit.
Dengan demikian, pada konteks ini komunikator maupun komunikan antar budaya berusaha menjaga setiap pesan (verbal dan non verbal), yang akan disampaikan agar masing-masing pihak yang berkomunikasi mempunyai kesan terhadap pesan, dan komunikasi antarbudaya dapat berlangsung harmonis. Selain itu, kita juga harus mulai melatih diri untuk tidak men-judge by cover (menghakimi dari penampilan fisik: budaya atau agama). Singkatnya, kita harus mengetahui apa yang merupakan kesenangan dan ketidaksenangannya, yang patut atau tidak patut dilakukan dalam komunikasi antarbudaya, sehingga orang lain tidak tersinggung. Alangkah indahnya, jika kita mau mengenalnya dengan lebih dalam.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal”[3]

4.      Komunikasi Selalu Berlangsung dalam Konteks Fisik dan Sosial
Faktor lingkungan fisik dapat dianggap mempengaruhi proses komunikasi. Seperti orang yang sedang berpacaran lebih menyenangi tempat yang remang-remang (di Indonesia lebih dikenal dengan istilah warung esek-esek), ataupun tempat yang sepi/memojok. Jika dilihat dari sudut pandang positif, maka hal ini dimaksudkan untuk menjaga hubungan yang romantis, tenang dan nyaman. Sebaliknya dari sudut pandang negatif, perilaku seperti ini harus ditindak sebab telah meresahkan masyarakat di sekitar lingkungan tersebut, serta mencoreng norma-norma yang berlaku. Begitupula halnya dengan suasana ruangan, tata letak perabotan, warna rumah dan sebagainya akan berpengaruh pada peserta komunikasi yang sedang berinteraksi.
Situasi dalam hal ini tidak saja menunjukkan tempat tetapi lebih dari itu yakni suasana. Ruang dosen meskipun hanya salah satu ruangan di fakultas, namun suasananya secara umum adalah ilmiah. Pasar merupakan tempat jual beli namun suasananya bukan untuk tempat belajar dan berdoa, gereja dan mesjid sebaliknya merupakan tempat berdoa tetapi bukan tempat bermain sandiwara atau lawak di sana. Situasi tidak saja tempat melainkan gambaran suatu suasana kebathinan yang dimiliki manusia (Liliweri, 1991: 26-27).
Dalam konteks lingkungan sosial, seperti perbedaan status sosial, ekonomi, pendidikan, prestasi, dan lain-lain juga akan mempengaruhi tindak komunikasi. Contoh: Seorang yang bergelar ‘Tengku’ (Ustadz –bahasa Indonesia) akan sangat dihormati di Aceh karena pemahaman ilmu agamanya. Toke (juragan –bahasa Indonesia) akan dihormati oleh anak buahnya. Dosen yang bergelar ‘doktor’ lebih disegani mahasiswanya ketimbang yang masih S2/Asisten Dosen.
Contoh kasus dinamika komunikasi antarbudaya berimplikasi positif pernah dituangkan dalam sebuah makalah berjudul: Dinamika Komunikasi AntarBudaya Terdapat di Badan Pelaksanaan Penyuluhan Pertanian Aceh Tamiang”. Dalam makalah yang ditulis oleh mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi USU itu dijelaskan, bahwa Badan Pelaksanaan Penyuluhan Pertanian (Bappelluh) Kabupaten Aceh Tamiang terdiri dari berbagai macam latar belakang budaya yang berbeda. Seperti suku Melayu (dominan), suku Aceh, suku Jawa, suku Batak dan Suku Gayo.
Namun demikian, perbedaan yang ada tidak menghalangi pegawai disana untuk berkomunikasi. Bahkan, dialog yang terjadi di Bappelluh terjadi begitu saja. Lantaran berada dalam satu suasana kerja (kantor), dan dengan kepentingan yang sama. Contohnya, komunikasi yang berlangsung antara Kepala Bidang (Kabid) bersuku Melayu dengan Staf Kepala Kabid yang bersuku Jawa. Bahkan dialog ini juga terus berlangsung terus-menerus. Sesuai dengan karakter yang menyebutkan bahwa komunikasi itu bersifat dinamis.
Contoh lain juga turut disertakan dalam makalah ini, yang menggambarkan dua PNS yang sebelumnya tidak saling mengenal, bahkan berbeda budaya hingga kemudian menjadi akrab satu sama lain. Hal ini terjadi karena karakter komunikasi yang bersifat interaktif. Sehingga ketidakpastian yang awalnya terjadi diantara keduanya menjadi mencair. Diketahui PNS yang satu berasal dari Aceh, sedangkan satunya lagi berasal dari Melayu dengan budayanya yang kental.
Sedangkan untuk contoh komunikasi itu bersifat Irreversible, penulis makalah ini mencontohkan dirinya sendiri. Dimana SK penempatan kerja yang didapatkannya tidak sesuai dengan spesifikasi pendidikannya. Padahal, Kepala Bappelluh itu sudah menyatakan di awal, bahwa ia akan menempatkan pegawainya sesuai dengan spesifikasi pendidikan yang ada. Jelas apa yang dinyatakan Kepala Bapelluh itu berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada.
Menurut penulis makalah tersebut, jelas apa yang terjadi itu menunjukkan bahwa komunikasi itu bersifat Irreversible. Dimana pesan yang disampaikan oleh Kepala Bappelluh kepada pegawainya tidak dapat ditarik kembali. Ia juga mengutip pernyataan Begawan Komunikasi, Deddy Mulyana yang menyatakan: “Dalam komunikasi, sekali kita mengirimkan pesan maka kita tidak dapat mengendalikan pengaruh pesan tersebut bagi khalayak. Apalagi menghilangkan efek pesan tersebut sama sekali. Jika kita analogikan seperti peluru yang ditembakkan dari sepucuk pistol, atau seperti anak panah yang dilepaskan dari busurnya. Kita tidak bisa menarik kembali peluru atau anak panah yang telah ditembakkan atau dilepaskan tersebut.
Adapun untuk contoh komunikasi selalu berlangsung dalam konteks fisik dan sosial, ia mencotohkan perbedaan pangkat dan golongan jabatan di kantor Bappelluh terkadang ikut terbawa sampai ke kantin. Dimana terjadinya sikap sopan dan segan saat berkomunikasi dengan mereka. Sekalipun tidak berada di kantor dan tidak sedang bertugas (jam istirahat). Jadi, dapat disimpulkan bahwa komunikasi antarbudaya sangat penting dipahami di tengah lingkungan yang memiliki berbagai suku bangsa yang berbeda dengan kebiasaan-kebiasaan yang berbeda seperti di Indonesia, terkhusus di lingkungan Badan Pelaksanaan Penyuluhan Pertanian Aceh Tamiang sebagamaina studi kasus di atas demi menjaga harmonisasi[4].
Perlu adanya usaha dari berbagai pihak untuk memahami 4 karakter yang telah disebutkan di atas. Sehingga, dinamika komunikasi antarbudaya yang muncul tetap berdampak positif. Setelah itu, kita juga harus menjaga dampak positif yang ada dengan memperhatikan upaya-upaya berikut: 1) Cara pandang/persepsi budaya, 2) Peranan kelompok, 3) Peranan keluarga, 4) Pendidikan, 5) Bahasa, dan 6) Adaptasi budaya (Lubis, 2016: 32).
2.1.2        Implikasi Negatif
1.      Komunikasi Bersifat Dinamis
Peserta yang berkomunikasi dengan keragaman budaya juga rentan terkena dampak situasi disharmonis. Apabila tidak memahami norma dan nilai-nilai budaya yang berkembang, baik pada diri komunikator maupun komunikannya. Apalagi, setiap suku bangsa memiliki budaya yang unik dan khas. Bangsa Indonesia sendiri terdiri dari ratusan (346 – 656) suku bangsa.
Persoalan timbul ketika individu-individu itu bertemu dengan individu dari kelompok lain, yang tidak jelas kedudukan sosial atau identitas dirinya. Pada banyak komunitas adat yang ketat membedakan antarwarga dengan bukan warga, kehadiran orang asing itu terpaksa dilalui dengan upacara adopsi untuk mempermudah perlakuan, kecuali kalau yang bersangkutan akan tetap diperlakukan sebagai orang luar atau hendak diperlakukan sebagai musuh (Lubis, 2012: 45).
Contohnya politisi yang hendak maju ke gelanggang politik, baik itu di legislatif ataupun eksekutif. Agar lebih mudah meraup suara masyarakat di daerah yang bukan basisnya, maka ia pun membeli ataupun diberikan marga di masyarakat Batak. Disisi lain, kita sebagai makhluk sosial jelas tidak dapat hidup sendiri. Melainkan membutuhkan manusia lain dalam pergaulan lintas kelompok, baik untuk mempertahankan maupun mengembangkan hidupnya. Guna menjamin ketertiban interaksi sosial lintas budaya itu sendiri, maka mestilah dibarengi dengan tingkat mobilitas komunikasi yang ‘arif nan bijaksana antar warganya.
Persoalan dalam keberagaman budaya adalah munculnya berbagai konflik antarsuku bangsa, agama, status sosial ekonomi, dan lain-lain disebabkan dinamika komunikasi yang berlangsung. Ini merupakan suatu persoalan yang memerlukan sebuah pemikiran bagaimana mengakomodasi komunikasi antarbudaya tersebut dapat berlangsung dengan efektif. Berbagai upaya dalam mempersatukan kebudayaan yang ada di lokal memang sulit. Sebuah paham yang mengedepankan hak asasi manusia, persamaan di semua bidang merupakan satu upaya yang harus dilakukan. Sangat sulit memang untuk mencegah terjadinya konflik yang berkepanjangan karena masing-masing kebudayaan mempunyai tujuan atau pola hidup yang berbeda. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa pluralitas suatu bangsa merupakan suatu fakta yang harus dihadapi bersama dengan pengembangan sikap toleransi dan empati (Lubis, 2012: 46).

2.      Komunikasi Bersifat Interaktif
Pada proses interaksi kelompok yang berlangsung dalam konteks komunikasi antarbudaya, juga sering terjadinya gap antara in group (sama budaya) dengan outgroup (beda budaya). Contoh terburuk ingroup dalam skala negara ialah Korea Utara, yang tidak mau membuka diri terhadap dunia luar. Terus menutup diri dengan merendahkan kelompok lain, jelas bukanlah langkah bijak dalam membangun suatu negara. Ataupun ketika masa DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh, etnosentrisme GAM (Gerakan Aceh Merdeka) sangat melekat kuat pada diri mereka dan anti-Jawa. Juga sebagaimana kata rasisme ‘Cina!’ yang sempat merebak ketika reformasi 1998. 
3.       Komunikasi Bersifat Irreversible 
Ketika dalam suatu tindak komunikasi secara tidak sadar menimbulkan pengaruh. Seperti mengatakan, “Islam Teroris!”, “Orang Aceh tukang kawin!”,  “Batak mebule lidah!” (Orang Batak makan orang –bahasa Aceh), Manipol (Mandailing Polit!), “Jawa Kontrak!”, Padang kantong bejahit! (pelit!) “Non-Muslim Kafir!” dan sebagainya. Akibatnya, dalam interaksi berikutnya timbul permusuhan hingga adu jotos (perpecahan).
4.      Komunikasi Selalu Berlangsung dalam Konteks Fisik dan Sosial
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh konteks sosial menjadi sangat dominan dalam kehidupan paternalistik dan tradisional seperti di Jawa[5] dan Asia pada umumnya. Konteks sosial ini agak melemah ketika berada dalam masyarakat egaliter dan demokrasi yang tinggi seperti di Amerika Serikat (Purwasito, 2003: 116-117) seterusnya bentuk bahasa yang digunakan, penghormatan maupun kurangnya perhomatan yang ditujukan kepada seseorang, masa, suasana hati, bahkan derajat kegugupan ataupun kepercayaan diri yang diperlihatkan oleh seseorang merupakan sebagian saja dari aspek komunikasi yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial (Lubis, 2012: 52).  
Lantas, mengapa ini semua bisa terjadi?
2.1.3        Gaya Berkomunikasi
Identitas dan citra diri kita di mata orang lain dipengaruhi oleh cara kita berkomunikasi. Penampilan kita (termasuk busana dan gaya rambut) serta perlengkapan lainnya seperti arloji, kacamata, sepatu dan tas, akan memberi kesan kuat tentang siapa kita.  Begitu juga cara kita berbicara, termasuk kata-kata yang kita pilih, kelancaran, kecepatan dan intonasi suara kita. Seperti Wakil Presiden Jusuf Kalla misalnya, kerap memberikan statement-statement dalam nada cepat. Hal itu terjadi karena budaya Bugis beliau yang amat kental. Tentu berbeda sekali dengan SBY atau Jokowi yang berbicara dengan intonasi lebih lambat. Gaya berkomunikasi akan mempengaruhi simbol-simbol yang kita gunakan yaitu simbol verbal ataukah non verbal, bergantung konteks komunikasi yang sedang berlangsung. Masing-masing daerah, apalagi negara mempunyai ciri khas tersendiri yang menunjukan identitas budayannya. Hal inilah yang membuat dunia semakin indah dengan keragaman simbol-simbol yang melekat pada suatu daerah dan negara dengan kebudayaan yang melatarbelakanginya.
Kelompok kami sependapat dengan para pakar komunikasi antarbudaya yang menyatakan, bahwa gaya berkomunikasi yang sesuai dengan selera masyarakat tampaknya berubah dari waktu ke waktu. Misalnya saja untuk Indonesia, orang yang gaya bicaranya mirip gaya bicara Soekarno mungkin akan tampak aneh pada zaman global ini. Contohnya seperti pemakaian kata “Bung!”, tentu tidak sesuai lagi. Karena kata “Bung” sendiri mengacu pada zaman merebut kemerdekaan dulu, sebagai kata ganti penyemangat “Ayo Bung rebut kembali!”[6]. Sebaliknya, gaya bicara yang sering menyelipkan kata-kata asing akan tampak keren. Meskipun penggunanya sendiri tidak mengerti apa yang dibicarakan, ditambah dengan pengucapan atau tata bahasa yang keliru. Contohnya Khairul yang baru pulang dari pesantren dan berbicara cas cis cus di rumah dengan bahasa Inggris, bakal dianggap adik-adiknya sebagai sikap yang ‘sok sok-an’.
JAKARTA, KOMPAS.com – Sekolah dan masyarakat saat ini telah menanamkan paradigma yang keliru bagi generasi muda dengan menempatkan hal-hal yang berasal dari luar negeri, khususnya dunia barat, sebagai tanda kemajuan dan internasional. Sementara itu, nilai-nilai ke-Indonesia-an, yang salah satunya bangga berbahasa Indonesia, semakin luntur.
“Kami tidak ingin bahasa asing itu sebagai tempelan atau label saja. Sebab, kalau belajar bahasa bukan sekedar menggunakan bahasa itu, tetapi juga kita memahami pola pikir masyarakat pengguna bahasa itu. Kami justru memperkuat karakter, supaya mereka tetap bangga menjadi anak Indonesia,” papar E Baskoro Poedjinoegroho, Pembina Kolese Kanisius di Jakarta, Kamis (11/11/2010).
Berikut merupakan Penggunaan Gaya berkomunikasi :
Ø  Komunikasi Konteks Tinggi (High Culture Context/HCC) dan Komunikasi Konteks Rendah (Low Culture Context/LCC)
Sebuah kebudayaan yang mana prosedur pengalihan informasi menjadi lebih sukar dikomunikasikan disebut dengan Komunikasi Konteks Tinggi (High Culture Context=HCC). Sebaliknya suatu kebudayaan yang mana prosedur pengalihan informasinya menjadi lebih mudah atau gampang dikomunikasikan disebut dengan komunikasi konteks rendah (Low Culture Context=LCC). Para anggota kebudayaan HCC umumnya bersifat implisit (tersirat –red), sedangkan LCC umumnya bersifat eksplisit (tersurat –red) (Liliweri, 2003: 154-155).
Salah satu analis populer mengenai perbedaan gaya berkomunikasi dikemukankan oleh seorang antropolog Edward T. Hall (dalam Mulyana, 2004: 130-131). Menurutnya, budaya dapat diklarifikasikan ke dalam gaya komunikasi konteks tinggi dan gaya komunikasi konteks rendah. Dalam budaya konteks-tinggi, makna terinternalisasikan pada orang yang bersangkutan, dan pesan non-verbal lebih ditekankan. Kebanyakan masyarakat homogen berbudaya konteks-tinggi. Hall berpendapat bahwa komunikasi konteks-tinggi merupakan kekuatan kohesif bersama yang memiliki sejarah yang panjang, lamban berubah dan berfungsi untuk menyatukan kelompok.
Orang-orangg dalam budaya konteks tinggi cenderung lebih curiga terhadap pendatang atau orang asing. Kontras dengan budaya konteks tinggi, budaya konteks rendah sibuk dengan spesifikasi, rincian dan jadwal waktu yang persis dengan mengabaikan konteks. Bahasa yang digunakan langsung dan lugas. Contohnya orang-orang yang tinggal di Medan sudah terbiasa berkonteks rendah. Hal ini ditunjukkan ketika memesan makanan, mereka memilih untuk tidak keluar dari mobilnya (drive thru). Tapi tentu hal ini akan dianggap tidak sopan ketika dilakukan di Aceh, bahkan bisa berujung keributan. Karena masyarakat di sana masih berkonteks tinggi.
Dalam komunikasi antarbudaya, kesabaran penting untuk memahami bahasa konteks-tinggi dan bahasa konteks-rendah. Oleh karenannya untuk menjaga harmoni dengan orang lain, kita sering menggunakan eufemisme, yakni ungkapan-ungkapan yang menghaluskan situasi yang sebenarnya buruk, juga kebohongan putih (white lies) untuk tidak menyinggung perasaan atau mempermalukan orang lain. Contoh: Pedagang sate asal Padang coba memahami perilaku sebagian orang Medan, yang memesan makanan tanpa mau keluar dari mobilnya. Kelompok kami meyakini bahwa komunikasi konteks-tinggi maupun konteks rendah sama-sama dihasilkan oleh proses inkulturasi. Baik berupa pengajaran dari orangtuanya, lingkungan maupun pranata sosial seperti sekolah.
Meskipun diakui bahwa kedua gaya komunikasi tersebut boleh jadi ada dalam budaya yang sama, tetapi biasanya salah satunya mendominasi. Misalnya: Suku Batak memang dapat digolongkan kedalam gaya komunikasi berkonteks rendah. Sebab gaya berbicara orang Batak yang langsung, lugas dan tanpa ba-bi-bu (basa-basi –red). Tapi perlu digarisbawahi, bahwa dalam komunikasi konteks rendah meniscayakan sifat pertalian antarpribadi sangat lemah. Padahal kenyataannya, pertalian antarpribadi sangat kuat satu sama lain antarsesama Batak. Jadi menurut kelompok kami, tidak ada gaya komunikasi yang 100% berkonteks tinggi ataupun rendah, walaupun tetap ada yang mendominasi.
 Dibawah ini dapat dilihat perbandingan persepsi budaya komunikasi konteks tinggi – komunikasi konteks rendah (lihat hal: 158-159 dari buku Prof. Alo Liliweri berjudul “Dasar-Dasar Komunikasi AntarBudaya”).
High Culture Context (HCC)
Low Culture Context (LCC)
·         Prosedur pengalihan informasi sukar
·         Prosedur pengalihan informasi menjadi lebih gampang.

Persepsi terhadap isu dan orang yang menyebarkan isu
·         Tidak memisahkan isu dan orang yang mengkonsumsikan isu
·         Memisahkan isu dan orang yang mengkonsumsikan isu.
Persepsi terhadap tugas dan relasi
·         Mengutamakan relasi sosial dalam melaksanakan tugas
·         Sosial oriented
·         Personal relations
·         Relasi antarmanusia dalam tugas berdasarkan relasi tugas
·         Task oriented
·         Impersonal relations

Persepsi terhadap kelogisan informasi
·         Tidak menyukai informasi yang rasional
·         Mengutamakan emosi
·         Mengutamakan basa-basi
·         Menyukai informasi yang rasional
·         Menjauhi sikap emosi
·         Tidak mengutamakan basa-basi
Persepsi terhadap gaya komunikasi
·         Memakai gaya komunikasi tidak langsung
·         Mengutamakan pertukaran informasi secara non-verbal
·         Mengutamakan suasana komunikasi yang informal
·         Memakasi gaya komunikasi langsung
·         Mengutamakan pertukaran informasi secara verbal
·         Mengutamakan suasana komunikasi yang formal
Persepsi terhadap pola negoisasi
·         Mengutamakan perundingan melalui human relations
·         Pilihan komunikasi meliputi perasaan dan intuisi
·         Mengutamakan hati daripada otak
·         Mengutamakan perundingan melalui bargaining (tawar-menawar).
·         Pilihan komunikasi meliputi pertimbangan rasional
·         Mengutamakan otak daripada hati.

Persepsi terhadap informasi tentang individu
·         Mengutamakan individu dengan mempertimbangkan dukungan faktor sosial
·         Mempetimbangkan loyalitas individu kepada kelompok
·         Mengutamakan kapasitas individu tanpa memperhatikan faktor sosial
·         Tidak mengutamakan pertimbangan loyalitas individu kepada kelompok.
Bentuk pesan/informasi
·         Sebagian besar pesan tersembunyi dan implisit
·         Sebagian besar pesan jelas, tampak dan eksplisit
Reaksi terhadap sesuatu
·         Reaksi terhadap sesuatu tidak selalu nampak
·         Reaksi terhadap sesuatu selalu nampak
Memandang in grup dan out group
·         Selalu luwes dalam melihat perbedaan in group dengan out group
·         Selalu memisahkan kepentingan in group dengan out group
Sifat pertalian antarpribadi
·         Pertalian antarpribadi sangat kuat
·         Pertalian antarpribadi sangat lemah
Konsep waktu
·         Konsep terhadap waktu sangat terbuka dan luwes
·         Konsep terhadap waktu yang sangat terorganisir.

Jadi, suatu pesan yang disampaikan, dapat dipahami secara berbeda oleh orang-orang yang berbeda-beda konteks gaya komunikasinya. Orang yang berkonteks tinggi cenderung berbasa-basi dan berbelit-belit[7] dulu, sebelum mengutarakan suatu tujuan pembicaraan. Sedangkan orang yang berkonteks rendah cenderung tidak menyukai basa-basi, dan langsung ke inti persoalan. Sudah jelas, bahwa gaya komunikasi konteks tinggi terdapat pada budaya kita orang Indonesia, dan orang-orang pada belahan dunia timur pada umumnya. Sedangkan komunikasi konteks rendah jelas terdapat pada budaya orang Barat. Dampak positif dari gaya komunikasi konteks tinggi, yakni terciptanya kekerabatan antarpeserta komunikasi. Sedangkan dampak negatifnya ialah proses komunikasi yang ribet dan tidak berterus terang. Adapun dampak positif dari gaya komunikasi konteks rendah, yakni munculnya kejujuran dan terciptanya efesiensi waktu. Sedangkan dampak negatifnya ialah tercerminnya sikap individualis (kehendak pribadi) dalam diri, dan mengenyahkan kepentingan bersama.
Dalam budaya konteks-rendah, misalnya Amerika, orang menggunakan pola pikir linier, sehingga berbicara secara linier pula. Gaya bicara linier ini ditandai dengan sifat langsung, lugas dan eksplisit. Sedangkan dalam budaya konteks-tinggi, misalnya Jepang orang berbicara secara nonlinier, tidak langsung dan lebih banyak berbasa-basi. Tujuannya antara lain untuk memelihara keselarasan kelompok. Oleh karenannya, seorang anggota budaya konteks tinggi tidak suka dipermalukan di depan orang lain berdasarkan nilai harmoni ini. Jika terjadi konflik, tidak jarang konflik tersebut diselesaikan dengan perantara pihak ketiga karena budaya konteks-tinggi cenderung menghindari konfrontasi (Lubis, 2012: 132-133).
Adapun gaya komunikasi konteks tinggi dan rendah mencakup:
a.       Paralinguistik
-          Kecepatan berbicara
-          Intonasi
-          Nada Suara
-          Kelancaran
-          dan sebagainya
b.      Gestur Tubuh
-          Ekspresi Wajah
-          Kontak Mata
-          Isyarat Tangan
-          Sentuhan
-          Anggukan dan Gelengan Kepala
-          Postur Tubuh
-          dan masih banyak lagi tentunya
Suatu rumusan yang dapat disimpulkan, yakni pembahasan gaya berkomunikasi mengandung makna yang beragam, dan tak jarang sulit untuk dimengerti oleh budaya yang berbeda. Walhasil, kecenderungan yang muncul adalah ketidaksamaan makna, salah persepsi, salah paham, ketidaknyamanan hingga konflik bila tidak dapat dikelola dengan baik.
3.1.   Saran
Agar dinamika yang muncul tidak berdampak negatif dan berujung pada kehancuran. Kita memerlukan adanya solusi yang diterapkan secara konsisten, sehingga dapat menghasilkan keharmonisan. Berikut beberapa prinsip komunikasi antarbudaya yang perlu diperhatikan:
1.      Relativitas Bahasa
Bahasa mempengaruhi cara kita berpikir dan bagaimana kita bersikap. Gagasan ini paling banyak disuarakan oleh para antropolog linguistik sepanjang tahun 1930-an. Mereka meyakini bahwa karakteristik bahasa mempengaruhi proses kognitif dan behavioral kita. Jelas, bahasa-bahasa di dunia sangat berbeda dalam hal karakteristik dan strukturnya. Sehingga masuk akal untuk mengatakan bahwa orang yang menggunakan bahasa yang berbeda-beda, juga akan berbeda-beda dalam memaknai dunia.   
2.      Bahasa Cermin Budaya 
Bahasa ialah cerminan budaya. Makin besar perbedaan budaya yang ada, maka semakin besar pula perbedaan komunikasi yang terjadi. Baik dalam bentuk verbal maupun dalam isyarat-isyarat nonverbal. Akibatnya, semakin sulitlah komunikasi yang dilakukan. Seperti lebih banyak melakukan kesalahan komunikasi, lebih banyak kesalahan kalimat, lebih besar kemungkinan salah paham, dan makin banyak salah persepsi. 
3.      Mengurangi Ketidakpastian
Makin besar perbedaan antarbudaya, maka makin besar pula ketidakpastian dan ambiguitas (keragu-raguan) dalam komunikasi. Padahal, keberadaan aktivitas komunikasi sendiri dimaksudkan untuk mengurangi ketidakpastian. Sehingga kita dapat lebih baik lagi dalam menguraikan, memprediksi dan menjelaskan perilaku orang lain. Untuk itu, kita butuh lebih banyak waktu untuk mengurangi ketidakpastian, dan menghasilkan komunikasi yang lebih bermakna.
4.      Kesadaran Diri dalam Perbedaan Antarbudaya
Seyogyanya, semakin besar jurang perbedaan yang ada semakin menjadikan kita lebih mawas diri (mindfulness) selama berkomunikasi. Seperti lebih berhati-hati dalam bersikap maupun dalam berkata-kata. Sehingga tidak melukai pihak manapun yang berbeda budaya dengan kita.
5.      Interaksi Awal dan Perbedaan Antarbudaya
Adanya interaksi awal dalam komunikasi antarbudaya secara berangsur-angsur akan mengurangi ketidakpastian yang ada. Walaupun pada mulanya salah persepsi kemungkinan besar akan terjadi. Tetapi setidaknya ini merupakan langkah awal menuju ke hubungan yang lebih akrab.   
6.      Memaksimalkan Hasil Interaksi
Dalam komunikasi antarbudaya, kita berusaha memaksimalkan hasil interaksi yang ada. Tiga konsekuensi yang dibahas oleh Sunnafrank (1989) mengisyaratkan implikasi yang penting bagi komunikasi antarbudaya, sebagai berikut:
Pertama, orang akan berinteraksi dengan orang lain yang mereka perkirakan akan memberikan hasil positif. Karena komunikasi antarbudaya itu sulit, dan kita akan cenderung menghindarinya. Dengan demikian, kita hanya akan memilih berbicara dengan rekan sekelas yang banyak kemiripannya dengan kita, ketimbang dengan orang lain yang sangat berbeda.
Kedua, bila kita mendapatkan hasil yang positif, kita bakal terus melibatkan diri dan meningkatkan intensitas komunikasi kita. Sebaliknya, bila kita memperoleh hasil yang negatif, kita akan perlahan menarik diri dan mengurangi intensitas komunikasi.
Ketiga, kita membuat prediksi tentang mana perilaku kita yang akan menghasilkan dampak positif dalam berkomunikasi. Misalnya memilih topik pembicaraan, posisi/jarak kedekatan yang kita ambil, perilaku verbal-nonverbal yang kita tunjukkan dan sebagainya yang sekiranya tidak akan memberikan hasil negatif (https://id.wikipedia.org).
Last but not least, sungguh tidaklah mudah untuk melakukan komunikasi antarbudaya, yang berlangsung di masyarakat Indonesia. Karena insan-insan yang terlibat dalam proses komunikasinya bersifat plural dan heterogen dengan kebhinekaan yang berkadar tinggi. Namun, bukan pula hal yang tidak mungkin untuk dilakukan. Kelompok kami yakin dan percaya, dengan sikap menerima perbedaan sebagai sebuah keniscayaan suatu bangsa yang majemuk dan plural, serta menjadikannya sebagai kekuatan dan kekhasan tersendiri. Maka, dinamika komunikasi antarbudaya yang kita jalin akan berjalan secara terhormat, tulus dan saling mengembangkan. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Salam damai!

Sumber:
Lubis, Lusiana Andriani. (2012). Pemahaman Praktis Komunikasi AntarBudaya. Medan: USU Press.
                                           . (2016). Dinamika Komunikasi Antarbudaya & Implikasi Penelitian. Medan: USU Press.
E. Jandt, Fred. (1998). Intercultural Communication, An Introduction. London: Sage Publication.
Liliweri, Alo. (1991). Komunikasi Antar Pribadi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
                     . (2004). Dasar-Dasar Komunikasi AntarBudaya. Yogyakarta: PT. Pustaka Pelajar.
L. Tubbs, Stewart dan Sylvia Moss. (1996). Human Communication: Konteks Konteks Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
M. Hardjana, Agus. (2003). Komunikasi Intrapersonal & Interpersonal. Yoyakarta: Penerbit Kanisius.
Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat. (2004). Komunikasi Efektif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Novita Sari, Fipit. (2016). Dinamika Komunikasi Antarbudaya di Kalangan Mahasiswa FISIP USU dalam Menjaga Harmonisasi. (Jurnal Ilmu      Komunikasi FLOW), Vol. 2, No. 17. hlm, 1-9.
Nurudin. (2004). Komunikasi Massa. Malang: Cespur.

Sumber lain:
Al-Qur’an Surah Al Hujurat, Ayat 13.
https://medium.com, diakses pada 19/10/2017.
kompas.com, diakses pada 19/10/2017. 



[1] Komunikasi publik merupakan komunikasi yang dilakukan oleh seseorang kepada sejumlah orang yang berbeda latar belakang budaya didalam situasi pertemuan (rapat, seminar, lokakarya, symposium) (Lubis, 2012: 49).
[2] Kecakapan untuk memahami pengertian dan perasaan orang lain, tanpa meninggalkan sudut pandang sendiri tentang hal yang menjadi bahan komunikasi (Hardjana, 2003: 92).
[3] QS. Al Hujurat: 13
[4] Secara sederhana, kata Harmonisasi dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana tercapai keselarasan dan kedamaian tanpa ada perselisihan dan ketidaksepahaman. Sebuah tatanan masyarakat sangat memerlukan sebuah harmonisasi struktur, baik struktur norma maupun struktur lembaga (Novita Sari, 2016).
Menurut De Vito (dalam Novita Sari, 2016), faktor-faktor yang menjadi penentu efektivitas komunikasi antarpribadi dalam kaitannya menjaga harmonisasi, yaitu: 1) Keterbukaan, 2) Sikap empati, 3) Perasaan positif, 4) Memberikan dukungan, dan 5) Menjaga keseimbangan.
[5] Kajian Purwasito (2003: 116), di Jawa seorang majikan akan berbicara dengan tangan di pinggang kepada para buruhnya, dan tidak ada beban apapun ketika ia menggunakan bahasa Jawa ngoko (bahasa Jawa kasar). Tetapi bagi seorang buruh, majikan mendapatkan penghargaan yang khas, dimana buruh tersebut harus bersikap sopan, menundukkan muka dengan tangan ngapu rancang (menyembah) dan anggukan bahasa Jawa karma inggil  (bahasa Jawa halus khas bangsawan).
[6]  Dalam kondisi perang, “Bung” menemukan wataknya yang revolusioner, sehingga digunakan sebagai sapaan kebanggaan diantara para pejuang. Tak mengherankan, ketika “Bung” yang melekat pada nama para pejuang itu, diingat pula sebagai sebutan bagi pahlawan, seperti terpantul dari sajak Chairil Anwar Karawang Bekasi yang berbunyi: “Kenang, kenanglah kami. Teruskan, teruskan jiwa kami. Menjaga Bung Karno, menjaga Bung Hatta, menjaga Bung Sjahrir”.
Kata “Bung” pun menjadi keteguhan bangkit dan melawan! Pada saat itu, muncul poster yang terlukis sebagai gambar orang yang dirantai, tetapi rantai itu sudah putus. Lalu, seorang penyair, Chairil Anwar memberi kata: “Boeng, ajo boeng” (medium.com). 
[7]  Kelompok kami meyakini bahwa ini menjadi jawaban mengapa proses birokrasi di negara kita berbelit-belit. Hal itu terjadi karena gaya komunikasi masyarakatnya yang berkonteks rendah. Sayang, hal ini dimanfaatkan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab untuk mendapatkan uang dengan mudah. Seperti dalam proses pembuatan SIM ataupun proses penilangan yang berbelit-belit, dan ujug-ujugnya duit. 

Komentar

Postingan Populer