DINAMIKA KOMUNIKASI ANTARBUDAYA
Yang ngambil foto antara dua, kalau ga si primadona kelas Nadira, ya Kak Nadia. Eh? Caption macam apa ini, hahaha :) |
1.1
Latar Belakang Masalah
Indonesia bukan hanya sekedar negara agraris,
ataupun digadang-digadang bakal menjadi poros maritim dunia. Tapi lebih dari
itu, Indonesia merupakan sebuah negara yang multikultural dalam artian jamak
dan plural penduduknya. Multikultural itu diukur dari kebudayaan masyarakatnya
yang lebih dari satu dan beragam. Multikulturalisme tersebut jelas merupakan
ciri khas dan kekayaan bangsa, yang tidak mungkin ditolak keberadaannya.
Disisi yang lain, komunikasi meniscayakan terjadinya
kesamaan dalam memahami suatu pesan. Baik pada diri sender (pengirim)
maupun receiver (penerima)-nya. Hanya saja jelas, keberagaman tersebut
juga dapat menimbulkan kesalahpahaman dalam konteks berkomunikasi antara satu
dengan yang lainnya. Inilah yang dimaksud dengan dinamika komunikasi
antarbudaya.
Komunikasi yang berlangsung diantara individu yang
berbeda latar belakang budaya mengalami banyak hambatan yang disadari atau
tidak disadari, sehingga terlihat adanya dinamika antara peserta yang
berkomunikasi tersebut (Lubis, 2012: 45-52).
Jadi, dinamika tidak hanya terjadi di rumah
tangga antara istri dengan suami, di kantor antara atasan dengan bawahan,
ataupun di kampus antara mahasiswa dengan mahasiswa lain dalam rangka beradu
argumentasi. Tetapi dinamika juga dapat terjadi dalam konteks komunikasi
antarbudaya yang kita lakoni sehari-hari. Walhasil, hidup memang penuh dengan
dinamika.
Sementara itu, banyak pula penelitian yang menggambarkan
dinamika komunikasi antarbudaya dalam berbagai corak dan rupa. Seperti halnya
perbedaan bahasa, budaya, gaya hidup hingga makanan pun menjadi musabab
terjadinya hambatan-hambatan dalam berinteraksi. Barang tentu setiap dari kita
pernah mengalami situasi ini, dan mendamba suatu solusi untuk meminimalisirnya.
Seperti penelitian Iswari dan Pawito
(dalam Novita Sari, 2016), yang berjudul “Komunikasi Antarbudaya di
Kalangan Mahasiswa: Studi tentang Komunikasi Antarbudaya di Kalangan Mahasiswa
Etnis Batak dengan Mahasiswa Etnis Jawa di Universitas Sebelas Maret Surakarta”
menyatakan bahwa “Pertama, hambatan-hambatan yang ditemukan dalam
proses komunikasi antarbudaya di kalangan mahasiswa etnis Batak dengan etnis
Jawa yang ada di Universitas Sebelas Maret Surakarta adalah stereotipe,
keterasingan (strangershood), dan ketidakpastian (uncertainty)
yang dialami oleh mahasiswa etnis Batak. Kedua, efektivitas komunikasi
diantara mahasiswa etnis Batak dan etnis Jawa dapat dicapai dengan mengatasi
hambatan dan perbedaan latar belakang budaya yang ada dengan sikap terbuka,
empati dan kemampuan untuk menyesuaikan diri”.
Penelitian Henry, Rochayanti, dan Isbandi (dalam Novita Sari,
2016) yang berjudul “Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Korea Selatan di
Yogyakarta” menyatakan bahwa “Mahasiswa Korea cenderung tertutup terlebih
dengan orang asing. Mereka cenderung melindungi diri dari orang asing, pendiam,
dan berbicara yang penting-penting saja. Mereka bersedia berkomunikasi dengan
orang yang baru jika dikenalkan oleh orang yang sudah dikenal (melalui
perantara).
Penelitian Lubis (dalam Novita Sari, 2016) yang berjudul “Komunikasi
Antarbudaya Etnis Tionghoa dan Pribumi di Kota Medan” menyatakan bahwa
“masyarakat etnis Tionghoa di Kota Medan banyak diantaranya masih menganut
kepercayaan Sinkretisme yang telah diwariskan turun-temurun. Namun disebabkan
perkawinan antara etnis maka terjadinya perpindahan agama, khususnya kepada
agama Islam bukanlah suatu hal yang mudah bagi etnis Tionghoa. Penemuan data
wawancara mendapati bahwa etnis Tionghoa mualaf telah dipinggirkan dari
keluarga inti maupun keluarga besar, karena dianggap sial dan bahkan ada yang
tidak dianggap anak lagi setelah bertukar ke agama Islam, dan menikah dengan
salah satu etnis pribumi.
Penelitian Novita Sari (2016) sendiri yang berjudul “Dinamika
Komunikasi Antarbudaya di Kalangan Mahasiswa FISIP USU dalam Menjaga
Harmonisasi” menyatakan komunikasi antarbudaya sangat penting dipahami
ditengah lingkungan yang memiliki berbagai suku bangsa yang berbeda dengan
kebiasaan-kebiasaan yang berbeda seperti di Indonesia, terkhusus di lingkungan
kampus FISIP USU.
Komunikasi antarbudaya yang terjalin di lingkungan FISIP USU sudah
cukup harmonis. Sudah jarang terjadi kesalahpahaman yang dapat menghambat
proses komunikasi diantara mahasiswa yang berbeda budaya. Ketika mahasiswa
mampu untuk bersikap terbuka dan jujur saat berkomunikasi antara mahasiswa dengan mahasiswa lain yang berbeda budaya, maka akan
lebih mudah bagi mereka untuk mencapai hubungan yang lebih baik.
Ada banyak definisi tentang komunikasi
antarbudaya. Seperti Stewart L. Tubbs (1996: 236-238) mengatakan, bahwa
komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda
budaya. Pernyataan ini beranggapan bahwa perbedaan cara hidup yang berkembang,
dan dianut oleh sekelompok orang serta berlangsung dari generasi ke generasi.
Sedangkan menurut ahli yang lain seperti
Sitaram (1970) menyatakan, bahwa komunikasi antarbudaya merupakan seni untuk
saling memahami, dan saling pengertian antara khalayak yang berbeda kebudayaan.
Fred E. Jandt (1998: 36), mengartikan komunikasi antarbudaya sebagai interaksi
tatap muka diantara orang-orang yang berbeda budayanya. Adapun Rich (1974),
menyimpulkan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi ketika orang-orang yang
berbeda kebudayaan dipertemukan (http://pakarkomunikasi.com).
Dari sejumlah definisi yang telah dikemukakan
para pakar di atas, maka kelompok kami berkesimpulan bahwa, komunikasi
antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi diantara orang-orang yang memiliki
kebudayaan yang berbeda. Bisa beda suku, agara, ras dan antara golongan (sering
disingkat SARA) atau sosioekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan itu.
Ketika adanya komunikasi diantara orang-orang yang memiliki kebudayaan yang
berbeda, maka disitulah terjadi komunikasi antarbudaya. Kelompok kami meyakini pula,
bahwa keberadaan ilmu pengetahuan seperti komunikasi antarbudaya ini merupakan
suatu niat baik, guna terciptanya kesepahaman dan saling pengertian. Sehingga
membawa keselarasan dalam berkomunikasi, sekalipun diantara orang-orang yang
berbeda kebudayaan.
Empat kelompok pada pertemuan sebelumnya telah
membahas persepsi budaya, cultureshock (gegar budaya), kompetensi
komunikasi (didalamnya membahas identitas etnis), dan komunikasi efektif.
Kelompok kami meyakini bahwa persepsi budaya, cultureshock, dan
kompetensi komunikasi turut serta dalam menciptakan dinamika komunikasi
antarbudaya. Sedangkan komunikasi efektif jelas merupakan tujuan dari
komunikasi antarbudaya itu sendiri, dimana S/R = 1. Terciptanya kesepahaman
dalam memahami suatu pesan.
Seperti persepsi budaya yang terbentuk dari
tiga elemen, yakni: 1) Pandangan dunia (terkandung didalamnya agama dan sistem
kepercayaan, nilai dan sikap), 2) Organisasi sosial (seperti keluarga, sekolah,
dan institusi/lembaga yang terlibat dalam membentuk persepsi budaya), dan 3)
Simbol (verbal dan non-verbal sebagai turunan dari keduanya). Gegar budaya,
yang ditimbulkan oleh kecemasan karena kehilangan tanda-tanda dan
lambang-lambang dalam pergaulan sosial. Tanda-tanda tersebut meliputi cara-cara
kita dalam menghadapi situasi sehari-hari. Seperti kapan seharusnya bersalaman?
Apa yang dikatakan bila bertemu dengan orang ‘baru’? Bagaimana cara menerima
atau menolak sesuatu? Cara makan dan sebagainya. Tentu kebiasaan-kebiasaan,
norma-norma, bahasa, dan kepercayaan yang tertanam pada benak kita secara
inkulturasi berbeda halnya dengan budaya luar. Untuk itu, kompetensi harus kita
miliki guna meningkatkan kapasitas, keterampilan, dan pengetahuan yang
berkaitan dengan perbedaan budaya. Sehingga terciptalah sebuah aktivitas
komunikasi yang efektif, karena terdapat persamaan makna pesan antara
komunikator dan komunikannya.
Secara sederhana, komunikasi dikatakan efektif bila orang berhasil
menyampaikan apa yang dimaksudkannya. Sebenarnya ini adalah salah satu ukuran
bagi efektivitas komunikasi. Secara umum, komunikasi dinilai efektif bila
rangsangan yang disampaikan dan yang dimaksud oleh pengirim atau sumber,
berkaitan erat dengan rangsangan yang ditangkap dan dipahami oleh penerima.
Lima hal yang dapat dijadikan ukuran bagi komunikasi yang efektif yaitu
pemahaman, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang makin baik dan
tindakan (Lubis, 2016: 147).
Dinamika dalam perspektif komunikasi antarbudaya terjadi karena adanya
perbedaan budaya itu sendiri. Dimana masih ada frasa “I” and “You”
(“Saya” dan “Kamu”), “We” and “They” (“Kita” dan “Mereka”). Jika
dinamika yang ada dapat dikelola dengan baik, maka akan berdampak pada
terjaganya harmonisasi. Tentu hal ini yang kita inginkan. Sebaliknya, jika
perbedaan yang ada tidak dikelola dengan baik, maka akan menimbulkan gesekan,
disharmonisasi, konflik hingga disintegrasi sosial (perpecahan). Kalau sudah
seperti ini, ibarat bom waktu, tinggal menunggu kehancurannya saja! Nau’dzubillahi
min dzalik (Kami berlindung kepada Tuhan atas hal itu). Oleh karenanya,
makalah ini akan membahas mengenai Dinamika Komunikasi Antarbudaya. Bahasan
ini merupakan bagian dari tugas mata kuliah Komunikasi AntarBudaya Jurusan
Magister Ilmu Komunikasi USU, yang diasuh oleh Prof. Dra. Hj. Lusiana Andriani
Lubis, MA., Ph.D. Berikut pemaparannya:
2.1. Pembahasan
Ibarat dua kutub baterai, ada positif ada pula
yang negatif. Maka implikasi dinamika komunikasi antarbudaya bisa positif,
karena kesesuaian praktik dengan karakter yang ada, bisa pula negatif karena
penyimpangan dan kecenderungan melupakannya. Berikut beberapa karakter dinamika
komunikasi antarbudaya beserta contohnya.
2.1.1
Implikasi Positif
1. Komunikasi Bersifat Dinamis
Komunikasi bersifat dinamis dalam artian komunikasi merupakan
aktivitas yang berlangsung terus-menerus, dari generasi ke generasi dan
mengalami perubahan pola-pola, pesan dan saluran. Artinya, komunikasi tidak
akan berhenti pada satu generasi saja, sekaligus polanya akan terus berkembang
seiring dengan berjalannya waktu. Seperti komunikasi yang dulunya dilakukan
dengan cara memberi tanda dan isyarat, kemudian berkembang menggunakan lisan,
tulisan, mesin cetak (surat kabar/buku/kitab), media massa (elektronik:
telegram, film, radio, dan tv), hingga sekarang manusia berkomunikasi melalui
internet (media sosial) (Nurudin, 2004: 39-59).
Kategori kesukuan (etnisitas) sebagai klasifikasi orang-orang dalam
konteks ‘identitas umum yang paling dasar (basic most general identity),
yang ditentukan oleh asal dan latar belakang orang-orang itu. Atribut penting
yang pada dasarnya mengidentifikasi etnisitas ini ialah adalah faktor-faktor
primordial seperti bahasa daerah, adat istiadat, nilai-nilai simbolik, agama
dan teritorial (Lubis, 2012: 45).
Sehingga tak jarang, setiap suku bangsa yang memiliki identitas
homogen lebih cepat akrab dan harmonis, ketimbang mereka yang tak sama.
Andriani Lubis dalam bukunya menyebutkan, “....sesungguhnya kesetiakawanan
sosial antarsesama warga dalam suatu suku bangsa itu, tidak sekuat
kesetiakawanan yang berbentuk dalam kelompok-kelompok sosial yang lebih kecil, dan
mempunyai profesi yang sama sebagai koorperasi (coporate group) jauh di
luar lingkungan pemukiman asalnya. Hal ini mengakibatkan adanya dinamika
dalam berkomunikasi antarbudaya, sekaligus merupakan suatu hal yang wajar jika
ditinjau dari konteks komunikasi tersebut.
Dalam hal ini, Bangsa Indonesia juga telah mengembangkan berbagai
identitas kelompok untuk memperkuat kesadaran kolektif (peoplehood).
Bahwasanya keberagaman ethnic group yang ada bukanlah suatu halangan
untuk mewujudkan persatuan Indonesia. Melainkan sebuah kekuatan baru dengan
dilandasi oleh keyakinan sama rata sama rasa, dan senasib sepenanggungan
sebagaimana yang sering diorasikan pada zaman kemerdekaan dulu.
Sebagaimana halnya dengan kebutuhan akan identitas individu dalam
penataan kehidupan bermasyarakat, setiap kelompok sosial juga memerlukan
identitas kolektif (group identity) sebagai sarana penataan sosial (organizing
reference) untuk mempermudah pergaulan lintas kelompok sosial. Berbagai
identitas kelompok dikembangkan untuk memperkuat kesadaran kolektif (peoplehood),
antara lain kelompok suku bangsa (ethnic group) yang dilandasi oleh
keyakinan akan asal-usul nenek moyang bersama, baik yang nyata maupun fiktif,
serta kesamaan pengalaman sosial dan kebudayaan yang mengikat kesetiakawanan
sosial. Kesadaran menjadi anggota kelompok itu menjamin rasa aman atau
setidak-tidaknya kenyamanan bagi yang bersangkutan (Lubis, 2012: 46).
Dewasa ini, anak-anak bangsa kita juga ikut memelihara kesetiakawanan
sosial kelompok suku bangsa. Dengan menyebarkan jargon-jargon sarat persatuan
via media sosial, seperti: “Bhineka Tunggal Ika”, “Saya Indonesia Saya
Pancasila”, “Damn I Love Indonesia!”, “NKRI Harga Mati!” dan sebagainya. Mereka mengembangkan jargon-jargon tersebut untuk
menahan gempuran perbedaan bahasa, adat istiadat dan agama yang kerap digoreng
sebagai komoditas politik dan alat pemecah belah bangsa. Namun, semangat
persatuan itu harus pula dibarengi dengan meniadakan primordialisme kesukuan
yang membabi buta. Seperti meyakini simbol-simbol suku bangsanya sendiri yang
paling hebat daripada yang lain. Tentu hal seperti ini tidak boleh lagi ada
dalam rangka memperkuat kesetiakawanan sosial. Sudah seyogyanya, semangat
‘Kerja Bersama’ yang menjadi slogan 72 tahun Indonesia Merdeka diresapi dan
direnungi maknanya bersama-sama.
2.
Komunikasi
Bersifat Interaktif
Komunikasi dalam hal ini, tidak hanya melibatkan dua orang atau
tiga, melainkan juga beberapa kelompok, organisasi, publik maupun massa.
masing-masing orang atau kelompok, baik sebagai sumber maupun penerima dalam
sebuah tindak komunikasi sering mempunyai pengalaman yang berbeda, latar
belakang yang berbeda dan kepribadian yang unik (Lubis, 2012: 47).
Ini bermakna bahwa dinamika komunikasi antarbudaya tidak hanya
berlaku secara antarpribadi. Tetapi juga memuat konteks komunikasi lain,
seperti: komunikasi kelompok (Besar: 20-50 orang/Kecil: 4-20 orang), komunikasi
organisasi (komunikasi ke bawah, komunikasi ke atas, komunikasi menyamping, dan
komunikasi menyilang) (Hardjana, 2003: 30-34), publik juga komunikasi massa.
Bahkan, komunikasi massa (media massa) punya peran besar dalam membentuk
persepsi, stigma, stereotipe dan bias terhadap suatu budaya lewat
pemberitaan ataupun tayangan lainnya. Mirip dengan film-film Barat yang
menggambarkan orang kulit hitam sebagai penjahat, dan orang kulit putih sebagai
pahlawan. Ataupun iklan sabun yang menggambarkan perempuan dengan karakteristik
fisik tertentu sebagai perempuan yang cantik, sedangkan perempuan yang lainnya
tidak. Media massa punya kekuatan untuk melakukan hal-hal tersebut.
Untuk proses interaksi komunikasi antarbudaya yang dilakukan secara
antarpribadi (2-3 orang atau lebih), yang berbeda budaya sangat dipengaruhi
oleh faktor-faktor personal. Seperti Field of Experience (Pengalaman)
dan Field of Reference (Pengetahuan), maupun kelompok budaya. Sedangkan,
umpan balik pada komunikasi kelompok kecil masih cepat, adaptasi pesan masih
bersifat khusus dan tujuan komunikasi masih bersifat tidak terstruktur.
Praktek komunikasi organisasi melibatkan
didalamnya komunikasi antarpribadi atau komunikasi kelompok yang bersifat
impersonal (komunikasi terstruktur). Baik yang dilakukan oleh pribadi
atau kelompok kerja dalam satu organisasi. Jalur komunikasi organisasi adalah
jalur vertikal (atas-bawah; bawah-atas), jalur horizontal (antara masing-masing
unit kerja yang sama derajat) dan jalur diagonal (komunikasi lintas unit atau
satuan kerja). Kesemuanya yang terlibat dalam komunikasi tersebut merupakan
orang-orang yang mempunyai latar belakang yang berbeda baik dalam bidang
pendidikan, suku bangsa, pendapatan, tempat tinggal, pengalaman, dan
lain-lainnya (Lubis, 2012: 49).
Pada komunikasi publik[1]
jumlah orang yang terlibat dalam komunikasi semakin banyak. Maka, sifatnya pun
semakin kurang jelas, umpan balik mulai lambat dan tertunda (delayed).
Walaupun adaptasi pesan masih bersifat khusus dengan tema tertentu, dan tujuan
komunikasi mulai terstruktur. Menurut Lubis (2012: 49), komunikasi publik
mengutamakan pengalihan pesan yang tersusun secara baik, misalnya tertulis
maupun lisan. Oleh karenanya, aspek penggunaan simbol verbal dan
non verbal harus benar-benar diperhatikan oleh para peserta yang berbeda
kebudayaan. Keadaan ini menggambarkan relasi antara komunikator dan komunikan (public/audience)
dalam sebuah konteks komunikasi yang unik. Terakhir, komunikasi massa dalam
konteks komunikasi antarbudaya melibatkan berbagai aspek perbedaan latar
belakang budaya, mulai dari pengelola (organisasi media), saluran (media
massa), pesan-pesan, hingga pada khalayak sasarannya.
Beberapa karakteristik interaksi komunikasi
antar/lintas budaya, seperti 1) Jumlah Orang (Sedikit >< Banyak), 2)
Kedekatan Fisik Para Peserta (Dekat >< Jauh), 3) Sifat Umpan Balik
(Segera >< Tertunda), 4) Peran Komunikasi (Informal >< Formal), 5)
Adaptasi Pesan (Spesifik >< Umum), 6) Tujuan dan Maksud (Tak Berstruktur
>< Struktur) –Liliweri (dalam Andriani Lubis, 2012: 47), mestilah kita
pahami pada konteks komunikai apa ianya berlangsung. Sehingga tidak akan
menimbulkan kesalahpahaman, prasangka, su’udzhon, stereotipe,
stigmatisasi, label dan sikap diskriminatif yang menyebabkan perpecahan
antarsesama anak bangsa.
3.
Komunikasi
Bersifat Irreversible
Ibarat kata pepatah, “Sesuatu yang telah kau ucapkan, tidak dapat
kau tarik kembali” atau “Mulutmu Harimaumu” mungkin dapat menjadi padanan kata
yang tepat, dimana komunikasi bersifat irreversible. Maksudnya adalah
pesan tidak dapat ditarik kembali setelah disampaikan. Meskipun dilakukan
koreksi melalui penyampaian pesan yang baru. Ya, ada satu ‘ibarah lagi
yang mengandaikan ucapan itu seperti paku yang menancap, sekalipun dilepas akan
tetap menyisakan bekasannya. Ini sering menjadi persoalan dalam kehidupan
berinteraksi.
Salah satu perspektif komunikasi antarbudaya menekankan bahwa
tujuan komunikasi antarbudaya adalah mengurangi tingkat ketidakpastian tentang
orang lain. Dalam perjumpaan antarpribadi, anda dan saya sering berhadapan
dengan beberapa ambiguitas tentang relasi, sekurang-kurangnya dalam pertanyaan:
Bagaimana perasaan dia terhadap saya? Bagaimana sikap dia terhadap saya? Apa
yang saya akan peroleh kalau saya berkomunikasi dengan dia? Pertanyaan tentang
kebingungan ini “memaksa” orang untuk berkomunikasi sehingga anda merasa diri
berada dalam suasana relasi yang lebih pasti dan selanjutnya akan mengambil
keputusan meneruskan atau menghentikan komunikasi tersebut (Lubis, 2012: 50).
Kurangnya rasa empati (empathy)[2]
juga bisa menjadi faktor minimnya toleransi dan rasa sensivitas, baik pada diri
komunikator maupun komunikannya. Gudykunst dan Kim (dalam Andriani Lubis, 2012:
50-51) menunjukkan bahwa orang-orang yang kita tidak kenal selalu berusaha
mengurangi tingkat ketidakpastian, melalui peramalan yang tepat atas relasi
antarpribadi. Usaha untuk mengurangi tingkat ketidakpastian itu dapat dilakukan
melalui tiga tahap:
1.
Pra kontra atau
tahap pembentukan kesan melalui simbol verbal maupun non verbal (apakah
komunikan suka berkomunikasi atau menghindari komunikasi)
2.
Initial contact
and impression yakni tanggapan lanjutan atas kesan yang muncul dari kontak awal
tersebut. Misalnya, Apakah saya seperti dia? Apakah dia mengerti saya? Apakah
saya rugi waktu kalau berkomunikasi dengan dia?
3.
Closure, mulai
membuka diri anda yang semula tertutup melalui atribusi dan pengembangan
kepribadian implisit. Teori atribusi menganjurkan agar kita harus lebih
mengerti perilaku atau tindakan kita. Pertanyaan yang relevan adalah apa yang
mendorong dia berkata, berpikir atau berbuat demikian? Contohnya: Kalau seorang
menampilkan tindakan yang positif kepada orang tersebut karena dia bernilai
bagi relasi kita (misalnya karena dia baik maka dia pasti jujur, setia kawan,
rendah hati, suka menolong, dan lain-lain). Sebaliknya, kalau seorang itu
menampilkan tindakan yang negatif maka kita akan memberikan atribusi motivasi
yang negatif tentang dia dan relasi hubungan diperketat dengan cara mencoba
mengevaluasi atas sebuah kehadiran yang implisit.
Dengan
demikian, pada konteks ini komunikator maupun komunikan antar budaya berusaha
menjaga setiap pesan (verbal dan non verbal),
yang akan disampaikan agar masing-masing pihak yang berkomunikasi mempunyai
kesan terhadap pesan, dan komunikasi antarbudaya dapat berlangsung
harmonis. Selain itu, kita juga harus mulai melatih diri untuk tidak men-judge
by cover (menghakimi dari penampilan fisik: budaya atau agama). Singkatnya,
kita harus mengetahui apa yang merupakan kesenangan dan ketidaksenangannya,
yang patut atau tidak patut dilakukan dalam komunikasi antarbudaya, sehingga
orang lain tidak tersinggung. Alangkah indahnya,
jika kita mau mengenalnya dengan lebih dalam.
“Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal”[3]
4.
Komunikasi
Selalu Berlangsung dalam Konteks Fisik dan Sosial
Faktor
lingkungan fisik dapat dianggap mempengaruhi proses komunikasi. Seperti orang
yang sedang berpacaran lebih menyenangi tempat yang remang-remang (di Indonesia
lebih dikenal dengan istilah warung esek-esek), ataupun tempat yang
sepi/memojok. Jika dilihat dari sudut pandang positif, maka hal ini dimaksudkan
untuk menjaga hubungan yang romantis, tenang dan nyaman. Sebaliknya dari sudut
pandang negatif, perilaku seperti ini harus ditindak sebab telah meresahkan
masyarakat di sekitar lingkungan tersebut, serta mencoreng norma-norma yang
berlaku. Begitupula halnya dengan suasana ruangan, tata letak perabotan, warna
rumah dan sebagainya akan berpengaruh pada peserta komunikasi yang sedang
berinteraksi.
Situasi dalam hal ini tidak saja menunjukkan tempat tetapi lebih
dari itu yakni suasana. Ruang dosen meskipun hanya salah satu ruangan di
fakultas, namun suasananya secara umum adalah ilmiah. Pasar merupakan tempat
jual beli namun suasananya bukan untuk tempat belajar dan berdoa, gereja dan
mesjid sebaliknya merupakan tempat berdoa tetapi bukan tempat bermain sandiwara
atau lawak di sana. Situasi tidak saja tempat melainkan gambaran suatu suasana
kebathinan yang dimiliki manusia (Liliweri, 1991: 26-27).
Dalam konteks
lingkungan sosial, seperti perbedaan status sosial, ekonomi, pendidikan,
prestasi, dan lain-lain juga akan mempengaruhi tindak komunikasi. Contoh:
Seorang yang bergelar ‘Tengku’ (Ustadz –bahasa Indonesia) akan sangat dihormati
di Aceh karena pemahaman ilmu agamanya. Toke (juragan –bahasa Indonesia)
akan dihormati oleh anak buahnya. Dosen yang bergelar ‘doktor’ lebih disegani
mahasiswanya ketimbang yang masih S2/Asisten Dosen.
Contoh kasus dinamika komunikasi antarbudaya berimplikasi
positif pernah dituangkan dalam sebuah makalah berjudul: “Dinamika
Komunikasi AntarBudaya Terdapat di Badan Pelaksanaan Penyuluhan Pertanian Aceh
Tamiang”. Dalam makalah yang ditulis oleh mahasiswa Magister Ilmu
Komunikasi USU itu dijelaskan, bahwa Badan Pelaksanaan Penyuluhan Pertanian
(Bappelluh) Kabupaten Aceh Tamiang terdiri dari berbagai macam latar belakang
budaya yang berbeda. Seperti suku Melayu (dominan), suku Aceh, suku Jawa, suku Batak dan
Suku Gayo.
Namun demikian, perbedaan yang ada tidak menghalangi pegawai disana
untuk berkomunikasi. Bahkan, dialog yang terjadi di Bappelluh terjadi begitu
saja. Lantaran berada dalam satu suasana kerja (kantor), dan dengan kepentingan
yang sama. Contohnya, komunikasi yang berlangsung antara Kepala Bidang (Kabid)
bersuku Melayu dengan Staf Kepala Kabid yang bersuku Jawa. Bahkan dialog ini
juga terus berlangsung terus-menerus. Sesuai dengan karakter yang menyebutkan
bahwa komunikasi itu bersifat dinamis.
Contoh lain juga turut disertakan dalam makalah ini, yang
menggambarkan dua PNS yang sebelumnya tidak saling mengenal, bahkan berbeda
budaya hingga kemudian menjadi akrab satu sama lain. Hal ini terjadi karena
karakter komunikasi yang bersifat interaktif. Sehingga ketidakpastian yang
awalnya terjadi diantara keduanya menjadi mencair. Diketahui PNS yang satu
berasal dari Aceh, sedangkan satunya lagi berasal dari Melayu dengan budayanya
yang kental.
Sedangkan untuk contoh komunikasi itu bersifat Irreversible,
penulis makalah ini mencontohkan dirinya sendiri. Dimana SK penempatan
kerja yang didapatkannya tidak sesuai dengan spesifikasi pendidikannya.
Padahal, Kepala Bappelluh itu sudah menyatakan di awal, bahwa ia akan
menempatkan pegawainya sesuai dengan spesifikasi pendidikan yang ada. Jelas apa
yang dinyatakan Kepala Bapelluh itu berbanding terbalik dengan kenyataan yang
ada.
Menurut penulis makalah
tersebut, jelas apa yang terjadi itu menunjukkan bahwa komunikasi itu bersifat Irreversible.
Dimana pesan yang disampaikan oleh Kepala Bappelluh kepada pegawainya tidak
dapat ditarik kembali. Ia juga mengutip pernyataan Begawan Komunikasi, Deddy
Mulyana yang menyatakan: “Dalam komunikasi, sekali kita mengirimkan pesan maka
kita tidak dapat mengendalikan pengaruh pesan tersebut bagi khalayak. Apalagi
menghilangkan efek pesan tersebut sama sekali. Jika kita analogikan seperti
peluru yang ditembakkan dari sepucuk pistol, atau seperti anak panah yang
dilepaskan dari busurnya. Kita tidak bisa menarik kembali peluru atau anak
panah yang telah ditembakkan atau dilepaskan tersebut.
Adapun untuk contoh komunikasi selalu berlangsung dalam konteks
fisik dan sosial, ia mencotohkan perbedaan pangkat dan golongan jabatan di
kantor Bappelluh terkadang ikut terbawa sampai ke kantin. Dimana terjadinya
sikap sopan dan segan saat berkomunikasi dengan mereka. Sekalipun tidak berada
di kantor dan tidak sedang bertugas (jam istirahat). Jadi, dapat disimpulkan
bahwa komunikasi antarbudaya sangat penting dipahami di tengah lingkungan yang
memiliki berbagai suku bangsa yang berbeda dengan kebiasaan-kebiasaan yang
berbeda seperti di Indonesia, terkhusus di lingkungan Badan Pelaksanaan
Penyuluhan Pertanian Aceh Tamiang sebagamaina studi kasus di atas demi menjaga
harmonisasi[4].
Perlu adanya
usaha dari berbagai pihak untuk memahami 4 karakter yang telah disebutkan di
atas. Sehingga, dinamika komunikasi antarbudaya yang muncul tetap berdampak
positif. Setelah itu, kita juga harus menjaga dampak positif yang ada dengan
memperhatikan upaya-upaya berikut: 1) Cara pandang/persepsi budaya, 2) Peranan
kelompok, 3) Peranan keluarga, 4) Pendidikan, 5) Bahasa, dan 6) Adaptasi budaya
(Lubis, 2016: 32).
2.1.2
Implikasi Negatif
1.
Komunikasi
Bersifat Dinamis
Peserta yang berkomunikasi dengan
keragaman budaya juga rentan terkena dampak situasi disharmonis. Apabila tidak
memahami norma dan nilai-nilai budaya yang berkembang, baik pada diri
komunikator maupun komunikannya. Apalagi, setiap suku bangsa memiliki budaya
yang unik dan khas. Bangsa Indonesia sendiri terdiri dari ratusan (346 – 656)
suku bangsa.
Persoalan timbul ketika individu-individu itu bertemu dengan
individu dari kelompok lain, yang tidak jelas kedudukan sosial atau identitas
dirinya. Pada banyak komunitas adat yang ketat membedakan antarwarga dengan
bukan warga, kehadiran orang asing itu terpaksa dilalui dengan upacara adopsi
untuk mempermudah perlakuan, kecuali kalau yang bersangkutan akan tetap
diperlakukan sebagai orang luar atau hendak diperlakukan sebagai musuh (Lubis,
2012: 45).
Contohnya politisi yang hendak maju ke gelanggang politik, baik itu
di legislatif ataupun eksekutif. Agar lebih mudah meraup suara masyarakat di
daerah yang bukan basisnya, maka ia pun membeli ataupun diberikan marga di
masyarakat Batak. Disisi lain, kita sebagai makhluk sosial jelas tidak dapat
hidup sendiri. Melainkan membutuhkan manusia lain dalam pergaulan lintas
kelompok, baik untuk mempertahankan maupun mengembangkan hidupnya. Guna
menjamin ketertiban interaksi sosial lintas budaya itu sendiri, maka mestilah
dibarengi dengan tingkat mobilitas komunikasi yang ‘arif nan bijaksana
antar warganya.
Persoalan dalam keberagaman budaya adalah munculnya berbagai
konflik antarsuku bangsa, agama, status sosial ekonomi, dan lain-lain
disebabkan dinamika komunikasi yang berlangsung. Ini merupakan suatu persoalan
yang memerlukan sebuah pemikiran bagaimana mengakomodasi komunikasi antarbudaya
tersebut dapat berlangsung dengan efektif. Berbagai upaya dalam mempersatukan
kebudayaan yang ada di lokal memang sulit. Sebuah paham yang mengedepankan hak
asasi manusia, persamaan di semua bidang merupakan satu upaya yang harus
dilakukan. Sangat sulit memang untuk mencegah terjadinya konflik yang
berkepanjangan karena masing-masing kebudayaan mempunyai tujuan atau pola hidup
yang berbeda. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa pluralitas suatu bangsa
merupakan suatu fakta yang harus dihadapi bersama dengan pengembangan sikap
toleransi dan empati (Lubis, 2012: 46).
2.
Komunikasi
Bersifat Interaktif
Pada proses interaksi kelompok yang berlangsung dalam konteks
komunikasi antarbudaya, juga sering terjadinya gap antara in group
(sama budaya) dengan outgroup (beda budaya). Contoh terburuk ingroup
dalam skala negara ialah Korea Utara, yang tidak mau membuka diri terhadap
dunia luar. Terus menutup diri dengan merendahkan kelompok lain, jelas bukanlah
langkah bijak dalam membangun suatu negara. Ataupun ketika masa DOM (Daerah
Operasi Militer) di Aceh, etnosentrisme GAM (Gerakan Aceh Merdeka) sangat
melekat kuat pada diri mereka dan anti-Jawa. Juga sebagaimana kata rasisme
‘Cina!’ yang sempat merebak ketika reformasi 1998.
3.
Komunikasi Bersifat Irreversible
Ketika dalam suatu tindak komunikasi secara tidak sadar menimbulkan
pengaruh. Seperti mengatakan, “Islam Teroris!”, “Orang Aceh tukang
kawin!”, “Batak mebule lidah!”
(Orang Batak makan orang –bahasa Aceh), Manipol (Mandailing Polit!),
“Jawa Kontrak!”, Padang kantong bejahit! (pelit!) “Non-Muslim Kafir!” dan
sebagainya. Akibatnya, dalam interaksi berikutnya timbul permusuhan hingga adu jotos
(perpecahan).
4.
Komunikasi
Selalu Berlangsung dalam Konteks Fisik dan Sosial
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh konteks sosial menjadi
sangat dominan dalam kehidupan paternalistik dan tradisional seperti di Jawa[5]
dan Asia pada umumnya. Konteks sosial ini agak melemah ketika berada dalam
masyarakat egaliter dan demokrasi yang tinggi seperti di Amerika Serikat
(Purwasito, 2003: 116-117) seterusnya bentuk bahasa yang digunakan,
penghormatan maupun kurangnya perhomatan yang ditujukan kepada seseorang, masa,
suasana hati, bahkan derajat kegugupan ataupun kepercayaan diri yang
diperlihatkan oleh seseorang merupakan sebagian saja dari aspek komunikasi yang
dipengaruhi oleh lingkungan sosial (Lubis, 2012: 52).
Lantas, mengapa ini semua bisa terjadi?
2.1.3
Gaya Berkomunikasi
Identitas dan citra diri kita di
mata orang lain dipengaruhi oleh cara kita berkomunikasi. Penampilan kita
(termasuk busana dan gaya rambut) serta perlengkapan lainnya seperti arloji,
kacamata, sepatu dan tas, akan memberi kesan kuat tentang siapa kita. Begitu juga cara kita berbicara, termasuk
kata-kata yang kita pilih, kelancaran, kecepatan dan intonasi suara kita. Seperti Wakil Presiden Jusuf Kalla
misalnya, kerap memberikan statement-statement dalam nada cepat. Hal itu
terjadi karena budaya Bugis beliau yang amat kental. Tentu berbeda sekali
dengan SBY atau Jokowi yang berbicara dengan intonasi lebih lambat. Gaya
berkomunikasi akan mempengaruhi simbol-simbol yang kita gunakan yaitu simbol
verbal ataukah non verbal, bergantung konteks komunikasi yang sedang
berlangsung. Masing-masing daerah, apalagi
negara mempunyai ciri khas tersendiri yang menunjukan identitas budayannya. Hal
inilah yang membuat dunia semakin indah dengan keragaman simbol-simbol yang
melekat pada suatu daerah dan negara dengan kebudayaan yang
melatarbelakanginya.
Kelompok kami
sependapat dengan para pakar komunikasi antarbudaya yang menyatakan, bahwa gaya
berkomunikasi yang sesuai dengan selera masyarakat tampaknya berubah dari waktu
ke waktu. Misalnya saja untuk Indonesia,
orang yang gaya bicaranya mirip gaya bicara Soekarno mungkin akan tampak aneh pada zaman global ini. Contohnya seperti
pemakaian kata “Bung!”, tentu tidak sesuai lagi. Karena
kata “Bung” sendiri mengacu pada zaman merebut kemerdekaan dulu, sebagai
kata ganti penyemangat “Ayo Bung rebut kembali!”[6].
Sebaliknya, gaya bicara yang sering menyelipkan kata-kata asing akan tampak
keren. Meskipun penggunanya sendiri tidak mengerti
apa yang dibicarakan, ditambah dengan pengucapan atau tata bahasa
yang keliru. Contohnya Khairul yang baru pulang
dari pesantren dan berbicara cas cis cus di rumah dengan bahasa Inggris,
bakal dianggap adik-adiknya sebagai sikap yang ‘sok sok-an’.
JAKARTA, KOMPAS.com –
Sekolah dan masyarakat saat ini telah menanamkan paradigma yang keliru bagi
generasi muda dengan menempatkan hal-hal yang berasal dari luar negeri,
khususnya dunia barat, sebagai tanda kemajuan dan internasional. Sementara itu,
nilai-nilai ke-Indonesia-an, yang salah satunya bangga berbahasa Indonesia,
semakin luntur.
“Kami tidak ingin bahasa
asing itu sebagai tempelan atau label saja. Sebab, kalau belajar bahasa bukan
sekedar menggunakan bahasa itu, tetapi juga kita memahami pola pikir masyarakat
pengguna bahasa itu. Kami justru memperkuat karakter, supaya mereka tetap
bangga menjadi anak Indonesia,” papar E Baskoro Poedjinoegroho, Pembina Kolese
Kanisius di Jakarta, Kamis (11/11/2010).
Berikut merupakan Penggunaan Gaya berkomunikasi :
Ø Komunikasi Konteks Tinggi (High
Culture Context/HCC) dan Komunikasi Konteks Rendah (Low Culture
Context/LCC)
Sebuah kebudayaan yang mana
prosedur pengalihan informasi menjadi lebih sukar dikomunikasikan disebut
dengan Komunikasi Konteks Tinggi (High Culture Context=HCC). Sebaliknya
suatu kebudayaan yang mana prosedur pengalihan informasinya menjadi lebih mudah
atau gampang dikomunikasikan disebut dengan komunikasi konteks rendah (Low
Culture Context=LCC). Para anggota kebudayaan HCC umumnya bersifat
implisit (tersirat –red), sedangkan LCC umumnya bersifat
eksplisit (tersurat –red) (Liliweri, 2003: 154-155).
Salah satu analis populer mengenai
perbedaan gaya berkomunikasi dikemukankan oleh seorang antropolog Edward T. Hall (dalam Mulyana, 2004: 130-131).
Menurutnya, budaya dapat diklarifikasikan ke dalam gaya komunikasi konteks
tinggi dan gaya komunikasi konteks rendah. Dalam budaya konteks-tinggi, makna
terinternalisasikan pada orang yang bersangkutan, dan pesan non-verbal lebih
ditekankan. Kebanyakan masyarakat homogen berbudaya konteks-tinggi. Hall
berpendapat bahwa komunikasi konteks-tinggi merupakan kekuatan kohesif bersama
yang memiliki sejarah yang panjang, lamban berubah dan berfungsi untuk
menyatukan kelompok.
Orang-orangg
dalam budaya konteks tinggi cenderung lebih curiga terhadap pendatang atau
orang asing. Kontras dengan budaya konteks tinggi, budaya konteks rendah sibuk
dengan spesifikasi, rincian dan jadwal waktu yang persis dengan mengabaikan
konteks. Bahasa yang digunakan langsung dan lugas. Contohnya orang-orang yang
tinggal di Medan sudah terbiasa berkonteks rendah. Hal ini ditunjukkan ketika
memesan makanan, mereka memilih untuk tidak keluar dari mobilnya (drive thru).
Tapi tentu hal ini akan dianggap tidak sopan ketika dilakukan di Aceh, bahkan
bisa berujung keributan. Karena masyarakat di sana masih berkonteks tinggi.
Dalam
komunikasi antarbudaya, kesabaran penting untuk memahami bahasa konteks-tinggi
dan bahasa konteks-rendah. Oleh karenannya untuk menjaga harmoni dengan orang
lain, kita sering menggunakan eufemisme, yakni ungkapan-ungkapan yang
menghaluskan situasi yang sebenarnya buruk, juga kebohongan putih (white
lies) untuk tidak menyinggung perasaan atau mempermalukan orang lain.
Contoh: Pedagang sate asal Padang coba memahami perilaku sebagian orang Medan,
yang memesan makanan tanpa mau keluar dari mobilnya. Kelompok kami meyakini
bahwa komunikasi konteks-tinggi maupun konteks rendah sama-sama dihasilkan oleh
proses inkulturasi. Baik berupa pengajaran dari orangtuanya, lingkungan maupun
pranata sosial seperti sekolah.
Meskipun
diakui bahwa kedua gaya komunikasi tersebut boleh jadi ada dalam budaya yang
sama, tetapi biasanya salah satunya mendominasi. Misalnya: Suku Batak memang
dapat digolongkan kedalam gaya komunikasi berkonteks rendah. Sebab gaya
berbicara orang Batak yang langsung, lugas dan tanpa ba-bi-bu (basa-basi
–red). Tapi perlu digarisbawahi, bahwa dalam komunikasi konteks rendah
meniscayakan sifat pertalian antarpribadi sangat lemah. Padahal kenyataannya,
pertalian antarpribadi sangat kuat satu sama lain antarsesama Batak. Jadi
menurut kelompok kami, tidak ada gaya komunikasi yang 100% berkonteks tinggi
ataupun rendah, walaupun tetap ada yang mendominasi.
Dibawah ini dapat dilihat perbandingan
persepsi budaya komunikasi konteks tinggi – komunikasi konteks rendah (lihat
hal: 158-159 dari buku Prof. Alo Liliweri berjudul “Dasar-Dasar Komunikasi
AntarBudaya”).
High Culture Context (HCC)
|
Low Culture Context (LCC)
|
·
Prosedur pengalihan informasi sukar
|
·
Prosedur pengalihan informasi menjadi lebih gampang.
|
Persepsi
terhadap isu dan orang yang menyebarkan isu
|
|
·
Tidak memisahkan isu dan orang yang mengkonsumsikan isu
|
·
Memisahkan isu dan orang yang mengkonsumsikan isu.
|
Persepsi
terhadap tugas dan relasi
|
|
·
Mengutamakan relasi sosial dalam melaksanakan tugas
·
Sosial oriented
·
Personal relations
|
·
Relasi antarmanusia dalam tugas berdasarkan relasi tugas
·
Task oriented
·
Impersonal relations
|
Persepsi
terhadap kelogisan informasi
|
|
·
Tidak menyukai informasi yang rasional
·
Mengutamakan emosi
·
Mengutamakan basa-basi
|
·
Menyukai informasi yang rasional
·
Menjauhi sikap emosi
·
Tidak mengutamakan basa-basi
|
Persepsi
terhadap gaya komunikasi
|
|
·
Memakai gaya komunikasi tidak langsung
·
Mengutamakan pertukaran informasi secara non-verbal
·
Mengutamakan suasana komunikasi yang informal
|
·
Memakasi gaya komunikasi langsung
·
Mengutamakan pertukaran informasi secara verbal
·
Mengutamakan suasana komunikasi yang formal
|
Persepsi
terhadap pola negoisasi
|
|
·
Mengutamakan perundingan melalui human relations
·
Pilihan komunikasi meliputi perasaan dan intuisi
·
Mengutamakan hati daripada otak
|
·
Mengutamakan perundingan melalui bargaining (tawar-menawar).
·
Pilihan komunikasi meliputi pertimbangan rasional
·
Mengutamakan otak daripada hati.
|
Persepsi
terhadap informasi tentang individu
|
|
·
Mengutamakan individu dengan mempertimbangkan dukungan faktor sosial
·
Mempetimbangkan loyalitas individu kepada kelompok
|
·
Mengutamakan kapasitas individu tanpa memperhatikan faktor sosial
·
Tidak mengutamakan pertimbangan loyalitas individu kepada kelompok.
|
Bentuk
pesan/informasi
|
|
·
Sebagian besar pesan tersembunyi dan implisit
|
·
Sebagian besar pesan jelas, tampak dan eksplisit
|
Reaksi
terhadap sesuatu
|
|
·
Reaksi terhadap sesuatu tidak selalu nampak
|
·
Reaksi terhadap sesuatu selalu nampak
|
Memandang in
grup dan out group
|
|
·
Selalu luwes dalam melihat perbedaan in group dengan out group
|
·
Selalu memisahkan kepentingan in group dengan out group
|
Sifat
pertalian antarpribadi
|
|
·
Pertalian antarpribadi sangat kuat
|
·
Pertalian antarpribadi sangat lemah
|
Konsep
waktu
|
|
·
Konsep terhadap waktu sangat terbuka dan luwes
|
·
Konsep terhadap waktu yang sangat terorganisir.
|
Jadi, suatu pesan yang disampaikan, dapat
dipahami secara berbeda oleh orang-orang yang berbeda-beda konteks gaya
komunikasinya. Orang yang berkonteks tinggi cenderung berbasa-basi dan berbelit-belit[7] dulu,
sebelum mengutarakan suatu tujuan pembicaraan. Sedangkan orang yang berkonteks
rendah cenderung tidak menyukai basa-basi, dan langsung ke inti persoalan.
Sudah jelas, bahwa gaya komunikasi konteks tinggi terdapat pada budaya kita
orang Indonesia, dan orang-orang pada belahan dunia timur pada umumnya.
Sedangkan komunikasi konteks rendah jelas terdapat pada budaya orang Barat. Dampak
positif dari gaya komunikasi konteks tinggi, yakni terciptanya kekerabatan
antarpeserta komunikasi. Sedangkan dampak negatifnya ialah proses komunikasi
yang ribet dan tidak berterus terang. Adapun dampak positif dari gaya
komunikasi konteks rendah, yakni munculnya kejujuran dan terciptanya efesiensi
waktu. Sedangkan dampak negatifnya ialah tercerminnya sikap individualis
(kehendak pribadi) dalam diri, dan mengenyahkan kepentingan bersama.
Dalam budaya
konteks-rendah, misalnya Amerika, orang menggunakan pola pikir linier, sehingga
berbicara secara linier pula. Gaya bicara linier ini ditandai
dengan sifat langsung, lugas dan eksplisit. Sedangkan dalam budaya
konteks-tinggi, misalnya Jepang orang berbicara secara nonlinier, tidak
langsung dan lebih banyak berbasa-basi. Tujuannya antara lain untuk memelihara keselarasan kelompok. Oleh
karenannya, seorang anggota budaya konteks tinggi tidak suka
dipermalukan di depan orang lain berdasarkan nilai harmoni ini. Jika terjadi
konflik, tidak jarang konflik tersebut diselesaikan dengan perantara pihak
ketiga karena budaya konteks-tinggi cenderung menghindari konfrontasi (Lubis, 2012: 132-133).
Adapun gaya komunikasi konteks tinggi dan
rendah mencakup:
a.
Paralinguistik
-
Kecepatan
berbicara
-
Intonasi
-
Nada Suara
-
Kelancaran
-
dan sebagainya
b.
Gestur Tubuh
-
Ekspresi Wajah
-
Kontak Mata
-
Isyarat Tangan
-
Sentuhan
-
Anggukan dan Gelengan
Kepala
-
Postur Tubuh
-
dan masih
banyak lagi tentunya
Suatu rumusan yang dapat disimpulkan, yakni
pembahasan gaya berkomunikasi mengandung makna yang beragam, dan tak jarang
sulit untuk dimengerti oleh budaya yang berbeda. Walhasil, kecenderungan yang
muncul adalah ketidaksamaan makna, salah persepsi, salah paham, ketidaknyamanan
hingga konflik bila tidak dapat dikelola dengan baik.
3.1.
Saran
Agar dinamika yang
muncul tidak berdampak negatif dan berujung pada kehancuran. Kita memerlukan
adanya solusi yang diterapkan secara konsisten, sehingga dapat menghasilkan
keharmonisan. Berikut beberapa prinsip komunikasi antarbudaya yang perlu
diperhatikan:
1. Relativitas Bahasa
Bahasa mempengaruhi cara kita berpikir dan
bagaimana kita bersikap. Gagasan ini paling banyak disuarakan oleh para
antropolog linguistik sepanjang tahun 1930-an. Mereka meyakini bahwa
karakteristik bahasa mempengaruhi proses kognitif dan behavioral kita. Jelas, bahasa-bahasa
di dunia sangat berbeda dalam hal karakteristik dan strukturnya. Sehingga masuk
akal untuk mengatakan bahwa orang yang menggunakan bahasa yang berbeda-beda,
juga akan berbeda-beda dalam memaknai dunia.
2. Bahasa Cermin Budaya
Bahasa ialah cerminan budaya. Makin besar
perbedaan budaya yang ada, maka semakin besar pula perbedaan komunikasi yang
terjadi. Baik dalam bentuk verbal maupun dalam isyarat-isyarat nonverbal.
Akibatnya, semakin sulitlah komunikasi yang dilakukan. Seperti lebih banyak
melakukan kesalahan komunikasi, lebih banyak kesalahan kalimat, lebih besar
kemungkinan salah paham, dan makin banyak salah persepsi.
3. Mengurangi Ketidakpastian
Makin besar perbedaan antarbudaya, maka makin
besar pula ketidakpastian dan ambiguitas (keragu-raguan) dalam komunikasi. Padahal,
keberadaan aktivitas komunikasi sendiri dimaksudkan untuk mengurangi
ketidakpastian. Sehingga kita dapat lebih baik lagi dalam menguraikan,
memprediksi dan menjelaskan perilaku orang lain. Untuk itu, kita butuh lebih
banyak waktu untuk mengurangi ketidakpastian, dan menghasilkan komunikasi yang
lebih bermakna.
4. Kesadaran Diri dalam Perbedaan
Antarbudaya
Seyogyanya, semakin besar jurang perbedaan yang
ada semakin menjadikan kita lebih mawas diri (mindfulness) selama
berkomunikasi. Seperti lebih berhati-hati dalam bersikap maupun dalam
berkata-kata. Sehingga tidak melukai pihak manapun yang berbeda budaya dengan
kita.
5. Interaksi Awal dan Perbedaan
Antarbudaya
Adanya interaksi awal dalam komunikasi
antarbudaya secara berangsur-angsur akan mengurangi ketidakpastian yang ada.
Walaupun pada mulanya salah persepsi kemungkinan besar akan terjadi. Tetapi
setidaknya ini merupakan langkah awal menuju ke hubungan yang lebih akrab.
6. Memaksimalkan Hasil Interaksi
Dalam komunikasi antarbudaya, kita berusaha
memaksimalkan hasil interaksi yang ada. Tiga konsekuensi yang dibahas oleh
Sunnafrank (1989) mengisyaratkan implikasi yang penting bagi komunikasi
antarbudaya, sebagai berikut:
Pertama, orang akan berinteraksi dengan orang lain yang mereka perkirakan akan
memberikan hasil positif. Karena komunikasi antarbudaya itu sulit, dan kita
akan cenderung menghindarinya. Dengan demikian, kita hanya akan memilih
berbicara dengan rekan sekelas yang banyak kemiripannya dengan kita, ketimbang
dengan orang lain yang sangat berbeda.
Kedua, bila kita
mendapatkan hasil yang positif, kita bakal terus melibatkan diri dan
meningkatkan intensitas komunikasi kita. Sebaliknya, bila kita memperoleh hasil
yang negatif, kita akan perlahan menarik diri dan mengurangi intensitas
komunikasi.
Ketiga, kita membuat
prediksi tentang mana perilaku kita yang akan menghasilkan dampak positif dalam
berkomunikasi. Misalnya memilih topik pembicaraan, posisi/jarak kedekatan yang
kita ambil, perilaku verbal-nonverbal yang kita tunjukkan dan sebagainya yang
sekiranya tidak akan memberikan hasil negatif (https://id.wikipedia.org).
Last but not least, sungguh
tidaklah mudah untuk melakukan komunikasi antarbudaya, yang berlangsung di
masyarakat Indonesia. Karena insan-insan yang terlibat dalam proses
komunikasinya bersifat plural dan heterogen dengan kebhinekaan yang berkadar
tinggi. Namun, bukan pula hal yang tidak mungkin untuk dilakukan. Kelompok kami
yakin dan percaya, dengan sikap menerima perbedaan sebagai sebuah keniscayaan
suatu bangsa yang majemuk dan plural, serta menjadikannya sebagai kekuatan dan
kekhasan tersendiri. Maka, dinamika komunikasi antarbudaya yang kita jalin akan
berjalan secara terhormat, tulus dan saling mengembangkan. Bersatu kita
teguh, bercerai kita runtuh. Salam damai!
Sumber:
Lubis, Lusiana Andriani. (2012). Pemahaman Praktis Komunikasi AntarBudaya. Medan:
USU Press.
. (2016). Dinamika Komunikasi Antarbudaya
& Implikasi Penelitian. Medan: USU
Press.
E. Jandt, Fred. (1998). Intercultural Communication, An Introduction.
London: Sage Publication.
Liliweri,
Alo. (1991). Komunikasi Antar Pribadi. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti.
. (2004). Dasar-Dasar
Komunikasi AntarBudaya. Yogyakarta: PT. Pustaka Pelajar.
L. Tubbs, Stewart dan Sylvia Moss. (1996). Human Communication: Konteks Konteks
Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
M.
Hardjana, Agus. (2003). Komunikasi Intrapersonal & Interpersonal. Yoyakarta: Penerbit Kanisius.
Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat. (2004). Komunikasi Efektif.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Novita Sari, Fipit. (2016). Dinamika Komunikasi Antarbudaya di Kalangan Mahasiswa
FISIP USU dalam Menjaga Harmonisasi. (Jurnal Ilmu Komunikasi FLOW), Vol. 2, No. 17. hlm, 1-9.
Nurudin.
(2004). Komunikasi Massa. Malang: Cespur.
Sumber lain:
Al-Qur’an
Surah Al Hujurat, Ayat 13.
https://www.academia.edu/12033037/Dinamika_Komunikasi_Antar_Budaya_Dikantor_Pemerintah_Peranan_Indentitas_Etnis_Dan_Adopsi_Budaya_Agar_Seseorang_Nyaman_Sebagai_Warga_Negara_Tahapan-Tahapan_Seseorang_Mengalami_Gegar_Budaya,
diakses pada 25/09/2017.
https://id.wikipedia.org/wiki/Komunikasi_antarbudaya#cite_note-Intercultural-3, diakses pada 27/09/2017.
https://medium.com, diakses pada 19/10/2017.
kompas.com, diakses pada
19/10/2017.
[1] Komunikasi publik
merupakan komunikasi yang dilakukan oleh seseorang kepada sejumlah orang yang
berbeda latar belakang budaya didalam situasi pertemuan (rapat, seminar,
lokakarya, symposium) (Lubis, 2012: 49).
[2] Kecakapan untuk memahami
pengertian dan perasaan orang lain, tanpa meninggalkan sudut pandang sendiri
tentang hal yang menjadi bahan komunikasi (Hardjana, 2003: 92).
[3] QS. Al Hujurat: 13
[4] Secara sederhana, kata
Harmonisasi dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana tercapai keselarasan
dan kedamaian tanpa ada perselisihan dan ketidaksepahaman. Sebuah tatanan
masyarakat sangat memerlukan sebuah harmonisasi struktur, baik struktur norma
maupun struktur lembaga (Novita Sari, 2016).
Menurut De Vito (dalam Novita Sari, 2016),
faktor-faktor yang menjadi penentu efektivitas komunikasi antarpribadi dalam
kaitannya menjaga harmonisasi, yaitu: 1) Keterbukaan, 2) Sikap empati, 3)
Perasaan positif, 4) Memberikan dukungan, dan 5) Menjaga keseimbangan.
[5] Kajian Purwasito (2003:
116), di Jawa seorang majikan akan berbicara dengan tangan di pinggang kepada
para buruhnya, dan tidak ada beban apapun ketika ia menggunakan bahasa Jawa ngoko
(bahasa Jawa kasar). Tetapi bagi seorang buruh, majikan mendapatkan
penghargaan yang khas, dimana buruh tersebut harus bersikap sopan, menundukkan
muka dengan tangan ngapu rancang (menyembah) dan anggukan bahasa Jawa karma
inggil (bahasa Jawa halus khas bangsawan).
[6] Dalam kondisi perang, “Bung” menemukan
wataknya yang revolusioner, sehingga digunakan sebagai sapaan kebanggaan
diantara para pejuang. Tak mengherankan, ketika “Bung” yang melekat pada nama
para pejuang itu, diingat pula sebagai sebutan bagi pahlawan, seperti terpantul
dari sajak Chairil Anwar Karawang Bekasi yang berbunyi: “Kenang, kenanglah
kami. Teruskan, teruskan jiwa kami. Menjaga Bung Karno, menjaga Bung Hatta,
menjaga Bung Sjahrir”.
Kata “Bung” pun menjadi keteguhan bangkit dan melawan!
Pada saat itu, muncul poster yang terlukis sebagai gambar orang yang dirantai,
tetapi rantai itu sudah putus. Lalu, seorang penyair, Chairil Anwar memberi
kata: “Boeng, ajo boeng” (medium.com).
[7] Kelompok kami meyakini bahwa ini menjadi
jawaban mengapa proses birokrasi di negara kita berbelit-belit. Hal itu terjadi
karena gaya komunikasi masyarakatnya yang berkonteks rendah. Sayang, hal ini
dimanfaatkan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab untuk mendapatkan uang
dengan mudah. Seperti dalam proses pembuatan SIM ataupun proses penilangan yang
berbelit-belit, dan ujug-ujugnya duit.
Komentar
Posting Komentar