CULTURE SHOCK ITU PENYAKIT!
res.cloudinary.com |
Pembahasan menarik hari itu
disajikan oleh Kelompok II KAB (Komunikasi AntarBudaya). Baik yang disajikan
oleh pemapar maupun pembandingnya. Pada sore menjelang adzan maghrib itu mereka
membahas perihal culture shock (keterkejutan/gegar budaya). Dan seperti
biasa, Nadira si primadona kelas tetap tampil cantik saat itu. Hahaha. Selain
itu, ada pula Bang Zikra yang membuat saya tak sabar untuk tampil pada
waktunya. Bang Zikra bagus sekali saat memaparkan materinya. Saya suka saat
beliau memberikan contoh kasus yang dikutip dari beberapa pemberitaan. Dari
situ saya berpendapat bahwa Bang Zikra adalah orang yang up to date informasi.
Dari pemaparan kedua pemateri di atas, dapatlah saya merangkumnya sebagai
berikut:
Bahwa culture shock adalah suatu
keadaan mental, dimana seseorang mengalami keterkejutan budaya ketika ia tiba
di lingkungan baru, yang tidak pernah ia kenali sebelumnya. Sekalipun, sekarang
ini ada banyak sekali terpaan media terkait suatu budaya. Namun, perlu
diketahui bahwa hal itu terjadi secara selintas saja. Dan, kita tidak
benar-benar mengetahui perbedaan budaya yang ada itu secara mendalam (indepth).
Istilah culture shock sendiri pertama kali diperkenalkan oleh seorang
antropolog bernama Kalvero Oberg pada tahun 1960. Jadi, culture shock sejatinya
merupakan pembahasan yang ada didalam ilmu antropologi, yang kemudian
diterapkan dalam ilmu komunikasi. Terkhusus pada mata kuliah Komunikasi
AntarBudaya.
Kalvero Oberg mendefinisikan culture
shock sebagai keterkejutan budaya yang ditimbulkan oleh Gegana (Gelisah,
Galau, Merana, hahaha), karena hilangnya semua tanda dan simbol yang selama
ini ia hadapi dalam kehidupan bersosial. Tanda-tanda itu bisa berupa kata-kata,
gerakan, ekspresi wajah, kebiasaan, dan norma-norma yang berlaku di sana. Jadi,
tidak hanya merokok yang dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi
dan gangguan kehamilan dan janin. Tetapi culture shock juga dapat menyebabkan
kita merasa putus asa, lelah dan tidak nyaman akan suatu keadaan baru yang kita
hadapi. Maka daripada itu, saya sangat setuju ketika Pak Syahrir, senior kami
mengibaratkan culture shock itu sebagai penyakit yang harus segera diobati!
Diskusi mengenai keterkejutan budaya
didasarkan atas dua premis. Pertama, setiap tahun jutaan orang berangkat
keluar negeri untuk bekerja, bepergian dan belajar. Kedua, banyak
pengalaman-pengalaman yang berakhir dengan stres, rindu kampung halaman dan
kebingungan. Kejutan budaya merupakan masalah pelik dalam Komunikasi
AntarBudaya, sekaligus dapat menjadi pengalaman dan pembelajaran tersendiri. Menurut
Gudykunst dan Kim (2003: 377), ada beberapa reaksi yang ditimbulkan atas
keterkejutan budaya diantaranya:
1.
Permusuhan terhadap lingkungan yang baru
2.
Perasaan disorientasi
3.
Perasaan tertolak, bukan ditolak cinta ya,
hehehe.
4.
Sakit perut dan sakit kepala, bukan
migrain/sakit kepala sebelah, paramex obatnya! Wkwkwk.
5.
Rindu kampung halaman (homesick, bukan
homeschooling)
6.
Merindukan teman dan keluarga
7.
Perasaan kehilangan status dan pengaruh
8.
Menyendiri (bahasa ilmiahnya teralienasi,
bukan alien ya, hehehe)
9.
Menganggap anggota budaya yang lain tidak
sensitif (kalau kata cewek, ih kamu tu gak peka! Gak pernah ngertiin perasaan
akoeh, wkwkwk).
Sedangkan, hal lain yang juga perlu dipahami dari culture shock adalah
Kurva U (Curve U). Kurva U menjelaskan pada kita tahapan-tahapan
seseorang ketika tengah mengalami suatu perbedaan budaya, diantaranya:
1.
Fase Kegembiraan
Rasa
gembira, penuh harapan dan euphoria karena baru mendatangi suatu tempat
dan budaya yang baru. Baik skalanya daerah maupun negara, sementara ataupun
bakal menetap lama. Kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah
Anda.
2.
Fase Kekecewaan
Das
sein Das Sollen (Beda harapan, beda kenyataan). Ibarat cinta, lama Keenan Pearce
memupuk, menyiram, dan merawat bunga bernama Raisa. Tapi ujung-ujungnya yang metik
malah Hamish Daud. Kan tiiiiiiiiiiiiiiiiiit (sensor)! Begitulah
kira-kira fase kekecewaan itu, dimana harapan yang selama ini didambakannya
pada tempat dan budaya baru tersebut PALSU! Walhasil, ngambek lah ia!
3.
Fase Awal Resolusi (Recovery/ Penyembuhan)
Konflik
batin tersebut tentu tidak akan dibiarkannya berlarut-larut. Ia harus menyudahi
stres yang ada dengan menghadapi budaya baru itu suka-tidak suka.
4.
Fase Berfungsi Efektif
Fase
ini terjadi apabila fase awal resolusi berjalan dengan baik.
Lantas, bagaimana cara mengobatinya?
Sebenarnya simple dan cukup
mudah. Kita hanya perlu untuk memperbaiki cara berpikir dan cara berkomunikasi
kita. Jika kita mau mempelajari budaya mereka, dan mau untuk lebih mengenal
mereka, maka setidaknya kita tidak lagi memiliki kegamangan saat menghadapinya.
Dan, bahasa adalah salah satu elemen terpenting untuk beradaptasi[1]. Jadi, komunikasi
antarbudaya sejatinya tidaklah pelik dan tidak susah, jika kita mau
mempelajarinya.
Contoh kasus dapat dilihat di channel Youtube berjudul
“Reverse Culture Shock Indonesia-USA”. Pada video berdurasi 07:09 menit itu
diceritakan seorang gadis asal Indonesia yang mengalami keterkejutan dengan
budayanya sendiri, setelah lama tinggal di Negeri Paman Sam. Menurut saya ini
terjadi karena gadis tersebut terlalu banyak terpengaruh dengan budaya diluar
sana, sehingga secara tidak langsung lupa dengan budayanya sendiri. Saya pikir
akulturasi semacam ini tidak bagus, karena meminorkan inkulturasi yang telah
tertanam dalam dirinya. Monggo dicek ya, hehehe.
Budaya Indonesia Itu Gotong Royong
Tidak hanya daerah-daerah di
Indonesia saja yang memiliki keunikan dan keberagaman budaya itu. Bahkan,
Indonesia sebagai sebuah negara diantara negara-negara lainnya pun memiliki
kebudayaannya sendiri. Dan, budaya Indonesia itu adalah seperti yang dikatakan
Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara. Yakni: Ing ngarso sung
tulodo, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani. Artinya: Yang didepan
memberi contoh, Yang ditengah membangun, dan Yang dibelakang mendorong).
Sebenarnya, semboyan ini dimaksudkan dalam konteks pendidikan di Indonesia.
Misalnya Ing ngarso sung tulodo, maksudnya adalah orangtua memberi
tauladan atau contoh yang baik bagi anak-anaknya. Dalam kalimat ini Ki Hajar
ingin mengingatkan, bahwa anak-anak selalu belajar melalui apa yang dicontohkan
orangtuanya.
Ing madyo mangun karso, artinya yang ditengah membangun. Maksudnya
semua yang terlibat didalamnya terbangun memberi ide, inovasi dan dukungan. Madyo
atau tengah, dimaksudkan untuk siswa, orangtua dan juga guru. Ketiganya
harus aktif mendukung, agar situasi belajar menjadi kondusif. Tut wuri
handayani, artinya yang dibelakang memberi dorongan Maksudnya siapa saja
yang dibelakang ikut mendorong terwujudnya pendidikan yang dibutuhkan. Tidak
menghalangi dan selalu memberi motivasi (https://student.cnnindonesia.com).
Maka, dalam konteks komunikasi antarbudaya, saya pikir filosofi
pendidikan ini sah-sah saja diterapkan. Karena ketiga filosofi tersebut
mengajarkan kita untuk saling bahu-membahu dan gotong royong dalam mewujudkan
pendidikan Indonesia yang lebih baik. Maka, kita pula harus bersama-sama
mewujudkan komunikasi yang efektif sekalipun dengan orang-orang yang berbeda
budaya dengan kita.
Mulai dari orangtua, lingkungan dan pemerintah terkait pun harus sama-sama
menanamkan persepsi yang benar dalam memaknai perbedaan yang ada. Secara tidak
langsung, kita pun telah mengajarkan inkulturasi[2] yang benar pada anak-anak
bangsa kita. Jika hal tersebut diamalkan dengan saling bersinergi satu sama
lain, maka insyaallah negeri kita pun bakal aman, tidak terpecah belah
dan jauh dari kosakata ‘disintegrasi sosial’ atau perpecahan.
Begitupula, halnya ‘Full Day School’ yang tidak perlu
diperdebatkan, sebab masalah yang seharusnya kita permasalahkan sekarang ini
ialah, bagaimana pendidikan kita di Indonesia bisa menjadi koridor anak-anak
dalam mengenal budaya, pluralitas, toleransi atas keberagaman etnis, bahasa dan
lainnya yang niscaya terjadi di bumi ibu pertiwi. Seharusnya keberagaman itu
menjadikan kita kuat, dan bukan malah menjadi alat adu domba oleh para
politikus busuk! Saya pikir, pendidikan juga bisa menjadi basis utama mereka
untuk tidak lagi mengalami gegar budaya.
Hentikan Sikap Diskriminatif!
Contoh kasus, sebagaimana yang dikutip dari internasional.kompas.com,
tertanggal 30 Januari 2017. Diberitakan bahwa tingkat diskriminatif pun kini
dilakukan oleh orang setingkat presiden. Bahkan seorang presiden negara adidaya
bernama Donald Trump. Ia menelurkan sebuah kebijakan kontroversial, dengan
melarang masuknya pengungsi dan warga dari tujuh negara mayoritas Muslim.
Diantaranya seperti Iran, Suriah, Sudan, Libya, Somalia, dan Yaman untuk masuk
ke AS beberapa bulan yang lalu. Tentu kebijakan semacam ini sangat kita
sesalkan keberadaannya, dimana seharusnya presiden negara adidaya dunia ikut
berpartisipasi dalam menjaga kerukunan antar umat beragama se-dunia.
Parahnya lagi, Trump mengatakan, bahwa hanya orang-orang dari
negara di atas yang mendukung AS lah yang patut untuk diizinkan masuk ke negara
mereka. “Kita ingin memastikan bahwa kita tidak memasukkan ke negara kita
ancaman yang justru diperangi tentara kita di luar negeri,” kata Trump. Lihat!
Bahkan ia menganggap negara mayoritas Islam tersebut sebagai ancaman. “Kita
hanya ingin memasukkan ke negara kita orang-orang yang akan mendukung negara
kita dan sangat mencintai bangsa kita,” lanjut Trump saat mengumumkan larangan
tersebut.
Maka daripada itu, kita mengapresiasi keberanian Kanselir Jerman Angela
Merkel. Melalui juru bicaranya ia mengatakan, bahwa sekalipun ada perang besar
melawan teorisme, perlakuan curiga terhadap orang-orang dari negara tertentu,
atau agama tertentu tak bisa dibenarkan. Begitupula halnya dengan salah seorang
anggota Parlemen Inggris, Heidi Allen, mengatakan, “Kepemimpinan yang kuat
artinya tidak takut memberitahu orang yang sangat berkuasa ketika mereka
salah.”
Kita pula mengapresiasi setinggi-tingginya kepada negara Perancis
yang menyambut baik pengungsi, baik yang melarikan diri dari perang ataupun
penindasan. Selanjutnya, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengaku
kecewa dengan kebijakan yang diambil pemerintahan Trump kala itu.
Menteri Luar Negeri Jerman Sigmar Gabriel
mengatakan, Amerika Serikat adalah negara tempat tradisi Kristen mempunyai
makna yang penting. “Mengasihi sesama manusia adalah nilai Kristen dan juga
menolong orang,” kata Gabriel (internasional.kompas.com).
Sudah seyogyanya setiap pemimpin dunia bersepakat untuk menciptakan
harmonisasi antara pengungsi dengan tuan rumah, hingga pada waktunya mereka
siap untuk kembali ke negara mereka masing-masing. Tentu, ini merupakan
tanggung jawab kita bersama sebagai manusia yang beradab, dan anti bersikap
diskriminatif atas nama apapun.
[1] Adaptasi
bisa dilakukan oleh siapa saja. Bahkan, binatang seperti cicak pun bisa
melakukannya lewat mimikri, atau bunglon yang bisa merubah warna kulitnya.
Hanya saja memang kemampuan seorang manusia dalam beradaptasi itu berbeda-beda
tingkatannya. Sangat bergantung kepada ‘jam terbangnya’. Sangat bergantung
dengan tinggi-rendahnya pengalaman dan pembelajaran yang ia dapati.
Tesisnya, semakin kita mau untuk membuka diri, maka
akan semakin cepat pula adaptasi kita dengan budaya luar. Sekaligus mengurangi
ketidakpastian yang ada diantara kedua belah pihaknya.
[2]
Inkulturasi atau enkulturasi (bahasa Indonesia), dipelajari mulai dari keluarga
sampai dengan penyelenggara negara, maupun pemimpin adat/suku yang membentuk
kultur yang ada pada diri kita masing-masing. Inkulturasi percaya bahwa budaya
itu diajarkan (ditransmisikan), bukan semata diwariskan (gen).
Komentar
Posting Komentar