KOMPETENSI KOMUNIKASI ANTARBUDAYA, OPO?

i.ytimg.com
Siang mendadak gerimis. Bang Revi seperti biasa, ada saja ulahnya. Hari ini ia datang dengan sekantong plastik penuh dengan kue bohong. Bang Revi pengen menyogok kami, hehehe, agar tidak ada yang bertanya saat kelompoknya presentasi. Ada-ada saja! Hahaha :). Ya, hari ini beliau maju dengan membawakan makalah berjudul “Kompetensi AntarBudaya”. Lantas, apa itu sebenarnya? Pertama kali saya mendengar kata ‘kompetensi’ itu ketika duduk di bangku sekolah dasar. Saat itu ada pembagian buku pelajaran, yang disudut kiri atas buku itu bertuliskan KBK. Belakangan saya baru tahu bahwa KBK itu adalah akronim dari Kurikulum Berbasis Kompetensi. Tapi, saat itu saya masih berpikir bahwa kompetensi itu sama dengan kompetisi. Yakni mengharuskan setiap orang didalamnya untuk bersaing, bertanding ataupun berlomba. Padahal tidaklah seperti itu!
Kompetensi dalam pemahaman komunikasi antarbudaya adalah kemampuan yang dimiliki individu, yang berbeda budaya untuk berkomunikasi. Gudykunst dan Kim (dalam Rahardjo, 2003: 72) mengatakan bahwa kompetensi harus dimiliki komunikator, ataupun harus dimiliki keduanya (komunikator-komunikan). Jadi, ada dua pandangan untuk masalah ini. Kompetensi antarbudaya juga dapat diartikan sebagai kepemilikan motivasi, kerangka pengetahuan dan karakter yang baik guna mengawali komunikasi yang efektif antara orang-orang yang berbeda budaya (Samovar, dkk, 2007: 314). Berikut beberapa penjambarannya:

1.      Motivasi adalah dorongan, sama seperti dorongan kuat untuk belajar. Dalam komunikasi antarbudaya, motivasi adalah hasrat untuk membuat komitmen dalam suatu hubungan. Apalah artinya hubungan tanpa komitmen yang jelas, ya kan? Hehehe. Jika kita telah memiliki komitmen yang kuat, maka kita akan mempelajari budaya mereka demi terciptanya kelanggengan dalam suatu hubungan.
2.      Pengetahuan (Field of References/Experiences), kemampuan kita dalam memahami budaya orang lain berdasarkan referensi yang ada. Apalagi dengan kemudahan informasi sekarang ini, bakal semakin mempermudah kita untuk memahami budaya orang lain.
Sebagaimana dikutip dari makalah kelompok 3; Bang Reviza Putra Syarif, dkk, yang membahas tentang kompetensi komunikasi antarbudaya. Setidaknya ada tiga strategi yang dapat digunakan untuk mengumpulkan pengetahuan tersebut, diantaranya:
a.       Strategi pasif, yakni memfungsikan diri sebagai pengamat (observator) terhadap seseorang yang akan dilibatkan dalam proses interaksi.
b.      Strategi aktif, dilakukan dengan cara mengumpulkan informasi sebanyak mungkin. Melalui berbagai literatur dan membandingkannya dengan hasil pengamatan.
c.       Strategi interaktif, langsung mengadakan hubungan dengan orang yang menjadi target man.
Menurut Judith N. Martin dan Thomas Nakayama, pasti ada keturunan Jepangnya, hehehe. Dalam bukunya “Intercultural Communication in Context” (2007: 435-445), merumuskan bahwa kompetensi komunikasi antarbudaya terdiri dari dua komponen. Yakni komponen individu dan komponen kontekstual. Komponen individu terdiri dari motivasi, pengetahuan, sikap[1], perilaku[2] dan kemampuan yang terdapat dalam diri seorang komunikator. Sedangkan komponen kontekstual meliputi konteks historis, konteks hubungan, konteks budaya dan konteks lainnya seperti gender, ras, waktu dan sebagainya. Kedua komponen ini (individu dan kontekstual) mempengaruhi komunikasi antarbudaya. Contoh untuk komponen kontekstual:

1.      Konteks sejarah
Sulit mempertemukan orang Aceh dan orang Jawa, karena dua etnis ini dalam sejarahnya sempat berkonflik satu sama lain. Pada masa DOM (Daerah Operasi Militer) dulu, etnosentrisme di Aceh sangat kental. Orang Aceh menganggap Jawa sebagai penjajah dan penguras hasil bumi mereka. Sehingga orang Jawa pun diusir dari tanah Aceh. Begitupula sebaliknya, orang Aceh dilabelkan sebagai pemberontak dan pemalas sehingga daerahnya tak maju-maju. Maka daripada itu, saya pribadi sangat mengapresiasi pernikahan beda budaya. Terutama antara perempuan Aceh dan lelaki Jawa misalnya, sehingga dikotomi ini bisa segera diakhiri.       
2.      Konteks Budaya
Orang Batak bersikap keras dan kasar ketika berbicara, sedangkan orang Jawa di Yogyakarta bersikap halus dan lembut. Ketika orang Batak berbicara keras terhadap orang Jawa, maka mereka akan berpikir bahwa orang Batak sedang marah-marah. Menurut saya, orang Batak berbicara dalam volume keras itu karena geografis tempat tinggal mereka. Baik yang tinggal di gunung maupun di pesisir, mereka harus berbicara dengan kencang. Sehingga komunikan dapat mendengar dengan jelas apa yang sedang komunikator bicarakan. Tentu desau angin yang kencang dan debur ombak yang keras, dapat menjadi hambatan komunikasi yang serius.
3.      Konteks Lain (Gender)
Pada budaya suku Minang pedalaman sah-sah saja seorang perempuan melamar laki-laki. Namun tentu hal ini menjadi tabu tatkala dipraktikkan di budaya yang patriarkal (laki-laki mendominasi). Ataupun kepercayaan di suatu tempat yang mengharuskan suami bekerja dan istri di rumah. Lantas, ketika seorang suami meminta istrinya untuk bekerja. Maka, para tetangga akan nyinyir, dan mengkategorikan sang suami tak sanggup lagi menafkahi istrinya. Mbalelo! Hehehe.    
4.      Konteks Lain (Waktu)
Seperti jam karet di Indonesia, tentu berbeda dengan budaya disiplin di Jerman dan Jepang. Contohnya: “Boy, aku datang nanti abis-abis insya ya!”. Ini adalah salah satu kalimat orang Indonesia yang paling tabu. Coba perhatikan kata-kata ‘abis-abis insya’ itu artinya kurang lebih habis shalat insya! Padahal, waktu shalat insya itu panjang sekali, mulai dari jam 8 sampai jam 4 pagi! Jadi habis shalat insya yang mana???? hiks, hehehe. Namun demikian, tetap saja kita mentolerir (jam karet/ keterlambatan) itu, kenapa? Hal itu terjadi karena pandangan masyarakat Indonesia bersifat polychronic, dimana waktu dapat lebih fleksibel demi mempertahankan hubungan harmonis dengan orang lain.
Budaya termasuk dalam M-time adalah Jerman, Austria, Swiss, dan Amerika Serikat. Dalam situasi bisnis, orang dengan orientasi M-time cenderung menekankan pada menjadwalkan janji sebelumnya, tepat waktu, dan mengikuti rencana awal (Lubis, 2012:173).
Menurut Howell (dalam Martin & Nakayama, 2007: 443-445) ada 4 tahapan kompetensi komunikasi antarbudaya, antara lain:
1.      Unconscious Incompetence, dimana kita belum menyadari adanya perbedaan, dan kita tidak butuh untuk melakukan apapun.
2.      Conscious Incompetence, ketika kita menyadari adanya perbedaan, tetapi tidak mengerti mengapa ini bisa terjadi.
3.      Conscious Incompetence, mulai menyadari bahwa perbedaan budaya adalah niscaya, dan mulai belajar untuk menghadapinya.
4.      Inconscious Incompetence, komunikasi berjalan lancar antara pihak-pihak yang berbeda budaya. Ia tidak menyadari hal itu terjadi karena adanya kompetensi dalam dirinya.
Catatan: Coba perhatikan poin 2 dan 3 itu tulisannya benar-benar sama ‘Conscious Incompetence’. Padahal saya kutip langsung dari bukunya Ibunda. Tapi, saya tidak berani konfirmasi, takut tak enak nantinya, hehehe. Jadi dibaca-baca lagi ya, wkwkwk!

Identitas Etnis
Dalam komunikasi antarbudaya identitas etnis ini menjadi penting, karena mempengaruhi cara berkomunikasi kita dengan orang lain. Sebagaimana disinggung dalam bukunya Ibunda, bahwa Indonesia sendiri memiliki ratusan suku bangsa (364-656), dan terdiri dari beragam corak bahasa. Saya jadi teringat percakapan saya bersama Binsar, teman saat S1 dulu.

Binsar: Pintar kau ya bahasa Inggris, Rul!
Khairul: Ah! Bisa saja kau, Bin!
Binsar: Cemana caranya biar bisa cas cis cus bahasa Inggris, Rul?
Khairul: Kan uda kubilang, meleketehe. Mana ku tahu!
Binsar: Aku tak suka bahasa Inggris, Rul!
Khairul: Kenapa tak suka?
Binsar: Macam mana aku mau suka, orang bahasa Batak aja belum semuanya ku kuasai.
Khairul: (bengong) Eh? HAHAHA!

Saya mengartikan identitas sebagai jati diri atau citra yang dimiliki seseorang dalam innerpeace-nya. Dalam komunikasi antarbudaya, identitas etnis (ethnic identity) telah ditanamkan kepada seorang anak sejak ia lahir. Baik melalui proses inkulturasi melalui orangtuanya, pengajaran di sekolah maupun lingkungannya. Barang tentu perbedaan inkulturasi menyebabkan perbedaan identitas etnis budaya. Mulai dari perbedaan bahasa, adat-istiadat, nilai-nilai simbolik, dan agama. Semua ini disebut juga primordialisme. Untuk itu, seseorang yang ingin memiliki kompetensi komunikasi antarbudaya, mesti melatihnya dengan memahami identitas etnis tersebut. Contoh:

a.       Etnis Jawa atau Sunda berbicara dengan lembut, maka berbicaralah kepada mereka dengan lembut.  
b.      Etnis Batak berbicara dengan lantang dan suara keras, maka berbicaralah kepada mereka dengan sedikit lebih keras.
c.       Etnis Aceh terkenal dengan ketaatannya beribadah, maka hormatilah mereka ketika hendak menunaikan ibadah. Misalnya shalat jum’at, maka tinggalkan lah jual beli untuk sementara waktu. “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung (al-Jumu’ah [62]: 9-10).
d.      Etnis Tionghoa seyogyanya tidak menggunakan bahasa hokkian ketika berhadapan dengan pribumi, melainkan menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa. Sekalipun dalam menggunakan bahasa nasional itu mereka masih terbata-bata.
Setiap kelompok sosial, apapun perwujudannya, telah mengembangkan pola-pola interaksi yang membaku, sehingga dapat menjamin ketertiban interaksi sesama warga. Persoalan timbul ketika individu-individu itu bertemu dengan individu dari kelompok lain yang tidak jelas kedudukan sosial atau identitas dirinya. Pada banyak komunitas adat yang ketat membedakan antarwarga dengan bukan warga, kehadiran orang asing itu terpaksa dilalui dengan upacara adopsi untuk mempermudah perlakuan, kecuali kalau yang bersangkutan akan tetap diperlakukan sebagai orang luar atau hendak diperlakukan sebagai musuh (Lubis, 2012: 164-165).
Adapun, 3 dimensi yang perlu diperhatikan dari identitas etnis ialah:
1.      Identifikasi diri sendiri
Contoh: Saya orang Aceh, saya paling malu kalau tidak tepat waktu shalat di masjid.
2.      Pengetahuan tentang budaya etnis
a.       Tradisi, contoh: Dedi, kawan saya yang orang Jawa punya tradisi “mangan ora, mangan ngumpul” (makan ga makan yang penting ngumpul).
b.      Kebiasaan, contoh: Dedi punya kebiasaan bertutur kata dengan lemah lembut.
c.       Nilai, contoh: Dia merupakan orang yang baik untuk dijadikan teman.
d.      Perilaku, contoh: Dedi seorang muslim abangan. Tidak terlalu taat dalam beribadah, walaupun ia mengaku warga NU (Nahdlatul ‘Ulama[3]).
3.      Perasaan mengenai kepemilikan pada kelompok etnis tertentu.
Lantas bagaimana saya harus bersikap???
Jawaban: Saya pikir saya akan tetap mengajaknya untuk bersembahyang di mesjid. Jika ia tidak mau, maka itu adalah haknya. Mungkin, saya akan menyempatkan diri untuk duduk ngumpul bersamanya sampai waktu-waktu tertentu. Karena saya juga harus mengerjakan tugas yang kian menumpuk. Ketika berbicara, saya akan sebisa mungkin untuk bertutur kata yang lembut agar ia tidak takut. Saya pikir begitulah cara saya membentuk kompetensi komunikasi antarbudaya saya. Merasa memiliki budaya mereka dengan tetap menjadi diri sendiri.

Interaksionisme Simbolik
Singkatnya, interaksionisme simbolik adalah teori yang memiliki perspektif (sudut pandang), bahwa perilaku manusia dalam berinteraksi harus dilihat sebagai proses untuk saling memahami. Dengan mempertimbangkan ekspektasi (harapan) orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Saya pernah menghadiri sebuah seminar proposal yang menggunakan teori ini dalam konteks komunikasi antarpribadi. Dan, saya percaya bahwa teori ini juga dapat diterapkan dalam komunikasi antarbudaya. Yang memang menekankan kita untuk lebih bersikap empati.

Individu-individu itu cenderung mengabaikan atau menolak apa yang bertentangan dengan “kebenaran” kultural, atau bertentangan dengan kepercayaan-kepercayaannya. Inilah yang seringkali merupakan landasan bagi prasangka (bahasa Arab su’udzhon –red) yang tumbuh diantara anggota-anggota kelompok lain, bagi penolakan untuk berubah ketika gagasan yang sudah mapan mengadapi tantangan (Lubis, 2012: 169).
Berikut beberapa identifikasi simbol masing-masing budaya yang perlu diperhatikan:

1.      Komunikasi dan Bahasa
Tidak hanya bahasa verbal, bahasa nonverbal yang kerang dianggap ‘sama’ sebenarnya maknanya bisa berbeda-beda. Baik skala daerah maupun skala negara.
2.      Pakaian dan Penampilan
Agak sulit bagi sebagian orang untuk diidentifikasi, karena bajunya itu-itu saja. Hahaha. Becanda koq. Peace :)
3.      Makanan dan Kebiasaan Makan
Contohnya: Orang Jepang dan Tiongkok sama-sama makan dengan alat bernama sumpit. Tapi, kenapa orang Korea malah makan menggunakan sendok seperti orang Indonesia? Bukankah mata mereka juga sipit? Benar-benar aneh bin nyata! Hehehe.
4.      Waktu dan Kesadaran Waktu
Sama seperti yang di atas, copy paste aja hehehe. Contohnya penghargaan waktu di negara kita dan di negara mereka jelas berbeda. Di Barat terkenal jargon, “Time is money” (waktu adalah uang), dan di Arab “al-waqtu kash sayyif, in lam taq ta’hu qata’aka” (waktu itu ibarat pedang; jika tak kau potong, maka ia yang akan memotongmu). Sedangkan di Indonesia “Aku datang abi-abis Insya ya!”. Hehehe.
Di beberapa negara seperti Inggris atau Amerika mungkin tepat dalam soal waktu, tapi tidak begitu tepat dan dianggap normal terlambat beberapa menit di beberapa negara, seperti Arab atau Indonesia.
Kita dapat menetukan sikap suatu budaya tertentu dengan melihat kecepatan anggota dari budaya tersebut dalam mengerjakan suatu hal. Orang Amerika Serikat terbiasa tepat waktu. Bagi mereka “time is money”. Bagi mereka tindakan lebih penting daripada kata-kata dan jangan membuang-buang waktu. Sedangkan negara-negara lain mungkin tidak mengenal istilah ”time is money”. Budaya lain tidak terbiasa untuk melakukan sesuatu hal secara terburu-buru. Indonesia merupakan salah satu budaya yang tidak terburu-buru. Menurut Harris dan Morisan, bahkan ada istilah “jam karet” di Indonesia yang diartikan bahwa waktu dapat diperpanjang/dikompromikan. Orang Cina juga tidak terburu-buru soal waktu. Hal yang penting bagi mereka adalah “menyelesaikan tugas tersebut, tidak masalah selama apa”. Dari contoh-contoh di atas, dapat kita lihat bahwa perilaku nonverbal kadang berhubungan dengan suatu kepercayaan dan orientasi nilai suatu budaya. Manifestasi kecepatan memiliki banyak bentuk. Suatu penelitian, misalnya, menunjukkan bahwa bahkan cepatnya orang berjalan juga menggambarkan konsep suatu budaya mengenai waktu (Lubis, 2012: 171-172).  
5.      Penghargaan dan Pengakuan
Contoh: Orang luar negeri ketika dipuji bakal mengatakan thank you (terimakasih). Tetapi sebaliknya, orang Indonesia ketika dipuji bakal garuk-garuk kepala sambil mengatakan, “Eh? Mana ada, hahaha!”. Padahal, tanpa disadari kupingnya naik 3 centimeter. Wkwkwk.
6.      Hubungan
Contoh: Di Indonesia orang yang lebih tua akan dihormati, jenis kelamin laki-laki akan dianggap lebih kuat, orangtua akan menyayangi anaknya, dan orang yang bijaksana akan dijadikan panutan hidup. Itu yang baik-baiknya ya, hehehe. Sedangkan hubungan yang buruknya seperti orang kaya akan dijilat, kekayaan dan kekuasaan akan membuatnya lupa dunia. Apalagi istri muda. Hahaha!
7.      Nilai dan Norma
Contoh: Di Aceh, menjelang sholat jum’at harus tutup toko, dan orang laki-laki wajib ke mesjid. Begitupula, perempuan tidak boleh berkhalwat (berdua-duaan) dengan yang bukan mahram-nya (suaminya). Disana juga dilarang mabuk-mabukan, berjudi apalagi berzina, sebab bila kedapatan bakal dicambuk didepan umum. Di Lhokseumawe, perempuan tidak boleh duduk mengangkang ketika berkendara. Dan, di Arab Saudi yang tidak membolehkan perempuan untuk menyetir kendaraannya (mobil) sendiri.
8.      Rasa Diri dan Ruang Kenyamanan
Contoh: Budaya Korea Utara sangat tertutup dengan dunia luar, dan sangat ‘menghormati’ pemimpinnya Kim Jong Un II. Sedangkan, budaya Korea Selatan lebih terbuka, dan masyarakatnya lebih leluasa berekspresi.
9.      Proses Mental dan Belajar
Ada anekdot untuk menggambarkan proses ini, dimana “Orang Amerika memikirkan bagaimana caranya pergi ke bulan. Orang Jerman memikirkan bagaimana hidup di bulan. Sedangkan orang Indonesia berpikir bagaimana caranya hidup dari bulan ke bulan”. HAHAHA!
Kesimpulan
Walaupun kita cenderung hidup secara berkelompok dengan sesama kita (homogen). Namun, tentu kita tidak dapat menghindari diri dari pergaulan lintas kelompok. Dengan orang-orang yang berbeda identitas etnis dengan kita (heterogen). Apalagi kita adalah makhluk sosial yang terus membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidup. Termasuk didalamnya kebutuhan untuk berkomunikasi. Maka, peningkatan kompetensi komunikasi antarbudaya mutlak untuk terus ditingkatkan. Last but not least, ada baiknya tulisan ini ditutup dengan kalimat manis dari buku Ibunda yang berbunyi: “Memang tidak dapat dipungkiri, bahwa pluralitas suatu bangsa merupakan suatu fakta yang harus dihadapi bersama, dengan pengembangan sikap toleransi dan empati”. Sekian :) Semoga bermanfaat!

Daftar Referensi:
Lubis, Lusiana Andriani. (2012). Pemahaman Praktis Komunikasi AntarBudaya. Medan: USU Press.
Martin, Judith N., and Thomas K. Nakayama. (2007). Intercultural Communication in Contexts. New York: Mc Graw Hill Companies.
Samovar, L.A. et al. (2007). Communication Between Cultures 6th Edition. Belmont California: Thomson and Wadsworth Publishing Company.
Sumber lain:
Al-Quranul Karim
Makalah Kelompok 3; Reviza Putra Syarif, Syaira Arlizar Ritonga dan Yosua Victor Purba. Kompetensi Komunikasi AntarBudaya. Tanggal 10 Oktober 2017.



[1] Sikap toleransi, empati dan tidak berprasangka buruk atas segala ‘ambiguitas’ budaya yang ada.
[2] Perilaku terampil dalam mengurangi ketidakpastian (uncertainty reduction theory), antara komunikator dan komunikan.
[3] Organisasi Islam terbesar pertama di Indonesia.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer