DINAMIKA BUDAYA BERTRANSPORTASI DI INDONESIA
2.bp.blogspot.com |
Polemik angkutan online vs angkutan konvensional memang
sudah lama usai. Berbagai peraturan pun telah diterbitkan, mulai dari peraturan
kepala daerah sampai pada peraturan menteri bersangkutan. Semua ini dimaksudkan
untuk menyudahi konflik diantara keduanya, yang ujung-ujungnya membuat resah
masyarakat. Keduanya sepakat berdamai dengan memegang teguh prinsip, bahwa rezeki
sudah ada yang mengatur.
Dalam konteks dinamika budaya, maka jelas fenomena ini termasuk kedalam
salah satunya. Dimana dinamika merupakan sesuatu yang terus bergerak dinamis,
dan terus-menerus berubah seiring berjalannya waktu. Zulkarnain (2013)
menyatakan, dinamika juga bisa disebut sebagai bentuk perubahan, baik dalam
skala kecil maupun besar, cepat atau lambat dan sifatnya nyata. Maka, perubahan
budaya masyarakat dalam menggunakan transportasi online secara masif,
cepat atau lambat akan memengaruhi dinamika bertransportasi di Indonesia.
Biasanya dinamika itu diawali dengan penolakan-penolakan, karena
tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh salah satu pihak. Terlihat jelas
dari tidak diterimanya keberadaan pengemudi angkutan online. Hal ini
terjadi karena pengemudi angkutan konvensional merasa rugi dengan keberadaan
transportasi tersebut. Perbedaannya jelas angkutan online memiliki sejumlah
keunggulan, yang tidak dimiliki angkutan konvensional. Sehingga menarik
perhatian calon penumpang. Seperti tarif yang telah ditentukan, dan kenyamanan
lain yang didapat dari angkutan tersebut. Berbeda halnya dengan angkutan umum
biasa, yang memang berstatus koperasi. Kenyamanan sulit didapat, karena supirnya
kerap ugal-ugalan (contoh angkot), tukang becak dan ojek pengkolan yang
sesukanya dalam menetapkan tarif, rawan kiriminalitas (contoh metromini di
Jakarta), dan tarif kemahalan (taksi konvensional).
Dari sisi penumpang, keberadaan transportasi online
memberikan kemudahan bagi setiap orang untuk melakukan perjalanan hanya
melalui smartphone, disertai harga yang terjangkau dan jelas tertera
dalam layar aplikasi, serta efisiensi waktu yang dapat diperoleh. Dari sisi
ekonomi, keberadaan transportasi online memberikan lapangan kerja baru
bagi mereka yang mendaftar sebagai pengemudi. Jika dilihat dari hubungan antara
pengemudi dan penumpang, maka keduanya sama-sama mendapatkan keuntungan (simbiosis
mutualisme). Namun berbeda dengan transportasi konvensional, mereka merasa
sangat tersaingi dengan keberadaan transportasi online yang mengganggu pendapatan
mereka. (Muhammad Dhalim, dkk, halaman 6-7).
Maka daripada itu, diperlukan kesadaran pada kedua belah pihak
untuk saling memahami. Pengemudi konvensional harus sadar betul,
bahwa perkembangan teknologi memang tidak dapat dibendung lagi. Alvin Tofler
(1989: 45) membagi sejarah peradaban manusia kedalam tiga gelombang. Gelombang
pertama ditandai oleh penemuan pertanian, gelombang kedua ditandai oleh
revolusi industri, sedangkan gelombang ketiga yang disebut revolusi ilmu
pengetahuan dan teknologi. Perkembangan teknologi membawa suatu perubahan
budaya, dimana sebagain masyarakat yang mampu mengikuti perubahan menjadi lebih
unggul ketimbang yang tidak. Umumnya, masyarakat yang tertinggal ini akan
menyalahkan perkembangan budaya itu sendiri. Hal ini terlihat dari
banyaknya sopir konvensional yang beralih ke online, sedangkan
sebagiannya lagi memilih tetap bertahan.
Seolah, kini kemudahan dalam bertransportasi ada di ujung jari. Masyarakat
hanya perlu membuka aplikasi, dan memesan lewat aplikasi tersebut. Tidak hanya
itu, pemilik start-up juga mengembangkannya dengan menyediakan jasa lainnya,
seperti Go-Food, Go-Massage, dan sebagainya. Jelas pemilik usaha
angkutan konvensional dibuat kalah telak! Namun, perlu adanya pengertian di
pihak transportasi berbasis daring, untuk tidak menyerobot seluruh penumpang
secara serakah. Perlu adanya pembatasan yang jelas, mana klasifikasi penumpang
angkutan daring dan mana yang tidak. Sehingga, angkutan konvensional tetap mendapat
tempatnya di hati masyarakat. Pihak angkutan konvensional pun harus benar-benar
berbenah!
Apalagi sejak dikeluarkannya Peraturan Menteri, sudah seyogyanya
mengurangi tingkat ketidakpastian dan persaingan yang tidak sehat diantara
keduanya. Penulis teringat pada salah satu lirik lagu Seurieus Band yang
berbunyi: “Sama-sama cari makan/ Gak
perlu sikut-sikutan// Kita semua pingin senang/ Bukan pingin cari
keributan”. Oleh karena itu, perlu adanya komunikasi antara pihak-pihak yang
berseteru secara berkelanjutan. Tentu upaya ‘duduk bersama’ ini sebagai upaya
untuk melepaskan keegoan masing-masing, guna memikirkan solusi-solusi
konstruktif atas permasalahan yang dihadapi bersama.
Sudah saatnya kita menyudahi prasangka yang ada, bahwa transportasi
berbasis online adalah kaki tangan kapitalisme. Sudah saatnya pula kita
menyudahi persepsi keliru bahwa angkutan konvensional sudah saatnya mati.
Penulis meyakini bahwa setiap angkutan baik itu online maupun
konvensional masing-masing telah memiliki segmentasi pasarnya sendiri. Jadi
tidak perlulah terlalu diributkan, sebab yang paling penting ialah terus
meningkatkan mutu dan kualitas layanan kita saja. Just focus. Thank you :)
Referensi:
Toffler, Alvin. (1989). Future
Shock (Kejutan Budaya Masa Depan). Terj. Jakarta: Pantja Simpati.
Makalah Pembanding Kelompok 5:
Dinamika Komunikasi Antar Budaya oleh Muhammad Dhalim dan Hilyati Abdul Jalil.
Komentar
Posting Komentar