PARADIGMA DAN FAKTA SOSIAL
2.bp.blogspot.com |
Haruslah dipahami, bahwa definisi
paradigma bukan hanya milik Thomas Khun semata. Yang mengatakan ilmu
pengetahuan itu bersifat revolusioner (tidak kumulatif[1]). Berikut 2 pengertian paradigma
menurut para ahli:
1.
Robert Friedrichs
Paradigma adalah suatu pandangan mendasar dari
suatu disiplin ilmu. Artinya apa yang menjadi pokok persoalan itulah yang
semestinya dipelajari.
2.
George Ritzer
Sebelas dua belas dengan Robert Friedrichs, dimana paradigma adalah
pandangan mendasar para ilmuwan guna mempelajari suatu pokok permasalahan.
Dari dua pendapat di atas dapatlah disimpulkan,
paradigma membantu rumuskan apa yang seharusnya dipelajari; Persoalan apa yang
mesti dijawab? Bagaimana seharusnya menjawab? Dan, aturan apa yang harus
diikuti untuk menjawab itu? Jika ibarat senjata, maka paradigma adalah senjata
para peneliti untuk melakukan penelitian. Lebih dari itu, kaum sekuler menyebut
paradigma sebagai agama kedua mereka. Sembah paradigma! Hulu hulu hulu!
Hahaha.
Musabab paradigma merupakan suatu
keyakinan yang dianut oleh ilmuwan/peneliti, serta memiliki pengikut. Maka, wajar
saja di kemudian hari menimbulkan pertentangan-pertentangan diantara mereka
yang memiliki pandangan berbeda. Mereka yang meyakini suatu paradigma bakal
terus mengamininya, membelanya sampai titik darah penghabisan, dan mencari-cari
kelemahan dari paradigma lain. Saya memahami fenomena ini sebagai taklid buta.
Fanatik dalam meyakini suatu paradigma. Saya pikir ini bukanlah cara yang baik
dalam upaya mengembangkan ilmu pengetahuan.
###
Dalam suatu cabang ilmu pengetahuan,
dimungkinkan timbulnya beberapa paradigma. Sebagaimana yang telah disebutkan di
atas, paradigma bukan hanya milik Thomas Khun. Paradigma tidak bisa dimonopoli!
Main monopoli yok, hehehe! Perbedaan paradigma itu sangat dimungkinkan
terjadi dalam ilmu sosial, yang sifatnya memang dinamis (terus bergerak maju). Lantas,
apa yang menyebabkan terjadinya perbedaan paradigma. Berikut beberapa
faktornya:
1.
Pandangan filsafat yang memang sudah berbeda dari
sononya.
Ibarat kata rambut boleh sama hitam, isi
pikiran siapa yang tahu.
Rambut boleh sama pirang, isi pikiran siapa
yang tahu.
Rambut boleh sama blonde, isi pikiran siapa
yang tahu.
Rambut boleh sama putih beruban, isi pikiran
siapa yang tahu. Begitu seterusnya sampai Khairullah beneran nikah sama Raline
Shah. Hahaha!
2.
Teori yang dibangun dan dikembangkan ilmuwan
berbeda.
3.
Metode memahami substansi ilmu berbeda (Ritzer)[2].
Ritzer tidak hanya menjelaskan
faktor-faktor penyebab terjadinya perbedaan paradigma. Tetapi, ia juga
mengelompokkan teori-teori sosial kedalam tiga paradigma, yakni: Fakta Sosial,
Definisi Sosial dan Perilaku Sosial.
###
Sebagaimana disebutkan di atas,
bahwa paradigma memiliki sejumlah pengikut yang akan dengan setia membela
paradigmanya. Contohnya paradigma fakta sosial memiliki pengikut seperti Emile
Durkheim dan Karl Marx. Bahkan, karya Durkheim sendiri melandasi terciptanya
paradigma ini. Karya tersebut berjudul “The Rules of Sociological Method”.
Beli di gramedia ya, hehe. Pokok persoalan yang biasanya mereka selidiki
adalah fakta sosial yang berkaitan dengan perilaku manusia (bertindak, berpikir
dan berperasaan).
Contoh: Fakta Sosial selama ini
menunjukkan bahwa struktur lah yang membentuk individu. Seperti struktur kampus
di Indonesia yang mewajibkan persentase kehadiran mahasiswa/i-nya sekian
persen. Struktur kerja di kantor mewajibkan pegawainya mengisi absensi sampai
lima kali! Struktur di keluarga mewajibkan anak patuh kepada orangtua, dan
suami wajib takut pada istri, hehehe. Struktur dinas di kemiliteran
mewajibkan tentaranya untuk berdisiplin tinggi. Begitupula halnya dengan
santriwan/i di pesantren wajib mematuhi peraturan yang ada.
Jika fakta sosial di atas tidak
ditaati, maka akan terkena sanksi sosial. Misalnya: Mahasiswa/i yang
terus-terusan membolos suatu mata kuliah, bakal dinyatakan tidak lulus mata kuliah
tersebut dan diharuskan mengulang. Pegawai yang sering terlambat masuk kerja
akan dipotong gajinya, atau yang lebih parah di-PHK. Bukan PHD[3]
ya, hehehe. Anak yang tidak patuh pada orangtua bakal dicap anak durhaka dan
dikutuk jadi batu, hehe. Tentara yang tidak melaksanakan sumpah Sapta Marga[4] akan dipecat dari
tugasnya. Begitupula santriwan dan santriwati yang ketahuan berpacaran, bakal
dipermalukan dan dipanggil orangtuanya (ini pengalaman pribadi, wkwkwk).
Yang pasti akan ada sanksi-sanksi sosial yang akan dijatuhkan kepada para
pelanggarnya. Contoh lain: Di Suku Batak
berkembang suatu aturan yang tidak membolehkan menikah dengan sesama marga.
Apabila ada yang melanggar, maka akan diusir oleh para tetua adat dari
kampungnya.
Khairul : Dev, kudengar kalian tak boleh menikah
sesama marga?
Devirayuli Siahaan : Yups,
Khai memang ga boleh. Misalnya aku marga Siahaan, aku ga boleh
nikah sama laki-laki yang marga Siahaan juga. Kata orang, nanti anakku bisa
idiot karena kualat dan buktinya memang ada!
Khairul :
Jadi kalo cinta cemana? Bukankah tidak ada yang dapat menghalangi
cinta? (Sok puitis). Bukankah Judika pernah berkata: “Biar mamamu tak
suka, papamu juga melarang. Biar dunia menolak, tetap kukatakan kucinta dirimu o....”
(Tiba-tiba nyanyi, hehe).
Devirayuli Siahaan : HAHAHA!
Pokoknya ga boleh Khai!
###
Belakangan ada fakta sosial yang
menunjukkan, bahwa kini individulah yang mampu merubah struktur. Terutama dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Contoh: Gaya blusukan Jokowi saat
menjabat Gubernur DKI Jakarta menginspirasi banyak orang, bahwa seharusnya
pemimpin itu merakyat. Bukan dikit-dikit mengatasnamakan rakyat!
Melainkan benar-benar dekat dengan rakyat. Turun ke jalan, dan menyaksikan
sendiri kehidupan rakyatnya. Sudah sejahtera atau belum? Kini gaya blusukan
itu ditiru oleh banyak kepala daerah di Indonesia. Mulai dari yang ikhlas
sampai dengan tujuan pencitraan semata.
Belakangan juga muncul fakta sosial
yang menunjukkan, bahwa norma-norma yang dianut di desa tidak lagi sekuat dulu.
Apalagi sejak masuknya internet, anak-anak mulai candu main game dan
mulai leluasa mengakses video porno, bahkan ikut membuatnya. Miris! Walhasil,
kerusakan moral tidak hanya mengincar anak-anak kota, melainkan juga
bocah-bocah polos di pelosok desa.
Emile Durkheim membagi fakta sosial
kedalam dua bentuk:
1.
Bentuk material
Sesuatu yang dapat disimak dan merupakan bagian
dari dunia nyata, sekaligus membentuk perilaku kita.
Contoh: Keberadaan gadget dan internet
yang disalahgunakan, berujung kepada kemalasan buah hati kita untuk belajar. Asik
main mobile legend aja!
2.
Bentuk non-material
Seperti sikap egois, altruisme, bla bla bla.
Contoh: Anak-anak yang banyak menghabiskan waktunya di depan gadget,
perlahan akan menjadikan mereka kurang peka terhadap lingkungan sekitarnya.
Menjadi individual dan anti-sosial. Ih sereeeem!!!!
Ada empat teori yang tergabung dalam
paradigma fakta sosial, yaitu:
1.
Teori Fungsionalisme Struktural
Teori fungsionalisme struktural menekankan pada
keteraturan (struktur). Karena masyarakat merupakan satu elemen yang saling
berkaitan satu sama lain. Guna menciptakan keseimbangan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Ibarat organ tubuh manusia, jika satu sakit maka yang
lain turut merasakannya.
Contoh:
a.
Objek-objek vital negara tidak boleh jatuh ke
tangan musuh, sehingga harus dijaga dengan penjagaan yang super ketat. Istana
Negara, Markas Besar Kepolisian, Markas Besar TNI tidak boleh lumpuh apalagi jatuh
ke tangan musuh, karena bisa menciptakan dampak yang lebih besar lagi, yakni
NEGARA DALAM BAHAYA!
b.
Pemerintah menjaga stabilitas ekonomi, sehingga
tidak terjadi huru-hara ditengah masyarakat. Ingat tragedi 1998? Oleh karena
itu, Karl Marx mengatakan, ekonomi adalah penentu bangunan sebuah negara. Jika
terjadi sedikit saja guncangan ekonomi, maka pasti akan berdampak terhadap
segala aspek kehidupan masyarakat. Terutama aspek kehidupan masyarakat kelas
bawah. Meunyoe prut ka troe hana le prang! (Kalau perut sudah kenyang,
maka tidak akan ada lagi yang namanya perang!)
c.
Pemerintahan rezim Jokowi menerbitkan Perppu
Ormas bukan sekedar untuk mencegah masuknya ormas-ormas anti-Pancasila. Tapi
dibalik itu, pemerintah juga menjaga kekuasaannya agar tetap langgeng.
d.
Keberadaan orang miskin dalam konteks teori
fungsionalisme struktural, merupakan suatu hal yang wajar-wajar saja. Karena
kemiskinan menempatkan mereka sebagai buruh dan pekerja kasar, yang secara
tidak langsung menguntungkan para pemilik modal. Dimana mereka tidak harus
mengeluarkan modal yang besar untuk menjalankan produksi mereka.
Perlu diketahui! Bahwa teori ini
tidak bermaksud melanggengkan kemiskinan, melainkan menunjukkan jikalau orang
miskin juga memiliki fungsi struktural ditengah masyarakat kita.
2.
Teori Konflik
Contoh: Oknum-oknum tertentu menggembosi suatu
isu seperti pemerintah ‘begini-begono’, dengan maksud menjatuhkan
kredibilitasnya di mata masyarakat. Sehingga dapat menggantinya dengan yang
baru.
3.
Teori Sistem
4.
Teori Sosiologi Makro
###
Teori fungsionalisme mengajukan
tujuh asumsi dasar, diantaranya:
1.
Masyarakat dianalisis sebagai suatu kesatuah
yang utuh.
2.
Hubungan penelitian bisa bersifat satu arah
atau timbal balik.
3.
Sistem sosial yang berlaku di masyarakat bisa
bersifat dinamis.
Contohnya: Pembentukan suatu badan/lembaga oleh
pemerintah guna meredam gejolak di masyarakat. Seperti BEKRAF (Badan Ekonomi
Kreatif), KPK (Komunikasi Pembarantasan Korupsi), dan UKPPIP (Unit Kerja
Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila), dan sebagainya sampai Khairullah
punya anak dua dari Raline Shah, hehehe.
4.
Integrasi yang sempurna tidak pernah ada.
Contohnya: Pada era Orde Baru, pernah terjadi
dualisme antara PDI “Megawati” dan PDI “Soerjadi”. Jelas, Orde Baru mendukung
Soerjadi dan ‘mengesahkan’ PDI kepengurusannya. Pernah juga terjadi dualisme
Partai Golkar, baik yang dipimpin oleh “Aburizal Bakrie/Ical” ataupun “Agung
Laksono”. Sekarang terjadi lagi dualisme di tubuh Partai PPP, antara kubu
“Romahurmuziy” dan kubu “Djan Faridz”. Yang salah satunya mendukung dan
didukung pemerintah, sedangkan yang lainnya tidak. Hal ini dimaksudkan untuk
meredakan ketegangan antara pemerintah dengan partai-partai oposisi. Sekaligus
menciptakan konflik didalam partai tersebut.
5.
Tidak ada konsep perubahan yang bergerak secara
revolusi, akan tetapi gradual (perlahan-lahan).
Contohnya: Pasca runtuhnya Orde Baru,
masyarakat Indonesia tidak langsung menyebutnya sebagai revolusi tetapi
reformasi. Karena revolusi menghendaki perubahan secara total dan tidak
setengah-setengah. Sedangkan, reformasi mengehendaki perubahan secara transisi
(perlahan-lahan). Terbukti, kekuatan Orde Baru masih tersisa dan berkuasa
sampai sekarang ini.
6.
Adanya pemekaran, diferensiasi dan inovasi.
7.
Sistem diintegrasikan lewat nilai-nilai.
Komentar
Posting Komentar